Atomic Bomb!

Posted: Selasa, 30 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Sabtu lalu setelah mengangkat tubuhnya dari kolam renang, Nyawa memeluk saya. Mulutnya yang monyong menempel di baju dan terdengarlah suara menyesap. Oalah…ia menghisap air yang diserap oleh baju saya yang basah.

Sepulang dari kolam renang itu, saya memergoki dia sendiri. Tidur-tiduran karena kecapaian di depan kulkas sembari memasang wajah sedih, menunduk, seperti tengah merenung. Saya kemudian membujuknya.

“Nyaw, ngapain disini, mending ke sana yuk, kita ngeliat nenek ma abah.”
Tapi Nyawa menggeleng. Matanya menerawang.
“Nggak mau,” rajuknya. “Nyawa lagi pengen sendiri.”

Mendengar omongan macam filsuf itu mendadak saya ngakak.

Lain waktu, usai mandi dan membereskan baju (ia sudah bisa melipat baju dan celananya sendiri) Nyawa berlari keluar. Tak lama kemudian tubuhnya menempel di paha saya. Ia pun berdendang. “Jujurlah padaku…”

Halah, nyanyi apa? Nyanyi lagu Radja…. disaster!

Menggunakan trik magic sy berusaha membelokan nyanyiannya.

“Jujurlah padaku …. Jika?” tanya saya pada Nyawa.
“Jika apa Panda?”
“Jujurlah padaku, jika kau tidak jujur.”

Nyawa bengong. Dia tidak mengucapkan apa yang saya pinta.

Saya benar-benar takut anak itu menambahkan lirik … “Jika kau tak lagi suka…jika kau tak lagi cinta” Itu mengerikan. Benar-benar angina taufan.

Tak ingin Nyawa melanjutkan nyanyian yang membuar merinding, saya pun menginterogasi Ira.
“De, si Nyawa diajarin apa?”
“Emang kenapa?” mimic Ira berubah. Ia tak mau disalahkan begitu saja.
“Itu, si Nyawa nyanyi lagu Raja. Ih amit-amit!”

Ira melihat Nyawa yang kini tengah melamun di sofa. Cewek saya itu mendengar Nyawa bernyanyi… “Jujurlah padaku… jujurlah padaku… “ Nyawa diam selama beberapa detik… lalu menambahkan nyaniannya dan berteriak. “Cinnnntaaaaa.”
Kami tertawa.
“Itu kan lagu Viera A’.” bela Ira.
“Siapa yang ngajarin?”.
“Iklan.”
Yah sedikit mendinglah ketimbang Radja.

Iklan. Iklan. Iklan. Sehebat apapun Ira menjaga Nyawa dengan mendampingi dan menyortir acara di tv untuk anaknya, pengaruh lagu-lagu aneh, melalui iklan tetap berhasi menembus pertahanan kami. Kejadian seperti ini sy hitung sudah berlangsung dua kali.

Ati, wanita yang suka membantu kami pernah memergoki sekonyong-konyong si anak cungkring itu berkicau... “tuaraa dengarkanlah aku….apa kabarmu…” sambil melamun.

Kalau dipikir-pikir apa yang dilakukannya memang lucu. Yah, lucunya serasa memelihara Brownies dan (berandalmilitia88.blogspot.com), atau lucu seperti kelakuan kucing angora, atau seakan memelihara seorang pelawak.

Kejutan yang seringkali dibuat anak kecil seperti Nyawa, kadang melebihi keterkejutan ketika seorang teman menunjukan bagaimana kentut bisa berubah menjadi semburan api jika dikawinkan dengan korek api.

Mengingat itu saya jadi teringat impian yang pernah saya tuliskan dalam buku kenangan seorang teman sewaktu lulus SD.

Nama : Divan Semesta (nama asli disamarkan)
Kelahiran : Bogor tanggal dan tahun disamarkan
Bintang : Leo.
Hobby : Break dance (supaya keren)
Artis Favorite : Jason Donovan, New Kids on The Block dan Trio Libels
Makanan Favorite : Pizza Hat, dan Kentucky
dan …
Cita-cita : menjadi penemu bom atom yang terbuat dari campuran tai
manusia dan binatang!

Saya berharap cita-cita si Nyawa jauh melebihi cita-cita teman-teman sebayanya. Atau bahkan melebihi cita-cita masa SD saya.
Cita-citanya menjadi lebih agung.
Lebih menggetarkan.
Lebih menggemparkan seperti nama yang disandangnya.

Dut! Prepet … Geleguaarrrrrrrrrrrrr!


-------------------

Photo: Mimik Nyawa lagi ngeden.

READ MORE!

Sepatu Rombeng (Bab 20)

Posted: Minggu, 28 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Setelah mandi di masjid Agung, tubuh Riang dan Taryan bersih dan suci. Mereka duduk di bawah terpal, Taryan berniat membincangkan cerita mengenai kehebatan dan kedigjayaan Aplatun, namun orang di sampingnya tak mereken, tak memperdulikan. Riang masih melayang-layang memikirkan kehebatan dirinya, memikirkan bakat terpendamnya ketika mempengaruhi dua orang dalam satu hari. Riang tak habis pikir bisa mengeluarkan kata-kata beracun semacam itu. Kata-kata yang bisa pengaruhi orang, kata-kata yang bisa buat orang beringas jadi tenang, kata-kata yang bisa membolak-balik, mengaduk-aduk pikiran orang. Ia hampir takabur. Senyum sendiri, mesem sendiri.

Apa yang Taryan katakan, ia dengar selewat. Riang dalam keadaan mabuk. Dalam kondisi kepayang. Penyesalannya saat memaksa Taryan mengingat pertolongan yang ia berikan hilang. Pertolongan yang pernah dilakukannya malah membuat Riang berkhayal dan mengasosiasikannya dengan kata-kata altruis yang canggih. Riang mengulang kembali kata yang pernah didengarnya. Altruis, altruis, altruis. Dalam pada itu, kejapan kata yang membuatnya bahagia mengingatkan dia akan dua orang pria: Fidel entah di mana, dan Pepei ... O, Riang sedih. Riang berusaha melupakan. Hari itu waktu mereka menghabiskan waktu dengan menggosipi apa saja yang menyangkut diri Aplatun, tentunya kisah perempuan gila yang Riang temui di jalanan, tak luput dari perhatian.

Pada akhirnya acara gosip itu membuat Riang dan Taryan akur. Perseteruan tak perlu dilanjutkan. Riang memilih waktu baik --yang entah kapan--, untuk membicarakan perihal balas dendam.

Di bawah atas kulit bumi, dibawah terpal, mereka bersila damai, padahal di sebuah ruangan, seorang pria gagah memberi instruksi. Orang-orang berseragam yang mengitari tubuhnya mengangguk-angguk, memperhitungkan jam yang tepat untuk melakukan gebrakan.

MALAM ITU, dalam diam Riang dan Taryan perhatikan keadaan sekeliling: voltase tak stabil membuat lampu masjid agung redup berkedip, seorang ibu mengarahkan pancuran air pipis balitanya menuju dinding tong sampah, seorang nenek memilih menyetop kuda ketimbang angkutan kota, di samping tenda darurat penjudi goblok tenggak minuman keras. Penjudi plus pemabuk itu kalah. Kalau sudah begini, malam dibuatnya menjadi berisik, membuat Riang dan Taryan kesulitan memejamkan mata. Kata-kata kasar yang dikeluarkan mulut pemabuk itu tak lucu. Hal ini berbeda dengan kawan-kawannya satu kubu kemaksiatan.

Riang dan Taryan hapal benar binatang apa yang paling sering penjud-penjudi itu teriakan sebagai umpatan, sebagai lakaran. Riang dan Taryan pasti rindukan lakaran itu. Merindukan kehadiran Bapak yang di kepalanya selalu bertengger kopeah haji. Bapak yang tak pernah langgar absensi di areal perjudian itu tentu bukan dalam rangka khutbah ittaqullah! Bertaqwalah kepada Allah, melainkan untuk menyemangati dan membandari judi kartu gaple dan remi.

Taryan yang suka shalat di masjid Agung tahu kalau bapak itu rajin shalat, meski gerakannya secepat pelatuk Woody Wood Packer. Taryan tahu bapak itu dzikirnya berabad, dan seharusnya ia sebal atas sikap munafik yang dipraktikan olehnya, namun tingkah laku dan kata-kata si bapak membuat Taryan merasa harus mengecualikan. Se-preman-premannya, sebejat-bejatnya, orang Sunda, mereka masih bisa menjadi Kabayan --dan tentunya—masih memiliki kesempatan mempersunting ’Nyai Iteung’ yang cantik jelita.

”Kumaha mun tarohanana iman Islam!? Gimana kalo tarohannya iman Islam” Kata si Bapak pada suatu waktu. “Mun tarohannana agama mah bosen! ’kalau taruhan agama sih bosen’ Ayeuna, anu tarohanana leuwih keren mah, sekarang taruhan yang paling mutakhir di antara yang mutakhir sih ... MATA SIA DICOLOK!!! MATA LU GUA COLOK! Wani teu! Berani gak!’”

Riang dan Taryan yang sedikitnya sudah paham bahasa Sunda tertawa hampir habis tenaga. Bapak itu memang edisi khusus yang tidak ada dua. Kalau kebanyakan penjudi ucapkan, ”ANYING! ’Anjing!’ di setiap kekalahan dan kemenangan yang didapatkan, si bapak yang acapkali dipanggil bos itu punya gaya beda. Kalau dia kalah yang pertama dilakukan nyanyi lagu bung Rhoma:

Judi!
(Judi! Teot!)
menjanjikan kemenangan
Judi!
(Judi! Teot!)
menjanjikan kekayaan
Bohong! Bohong!

(kata bohong sengaja ia teriakan
di kuping orang yang paling dekat dengannya)

Kalaupun kau menang,
itu awal dari kekalahan.
Bohong! Bohong!
Kalaupun kau kaya,
itu awal dari kemiskinan

Judi!
(Judi! Teot!)
meracuni kehidupan.
Judi!
(Judi! Teot!)
meracuni keimanan
Pasti! Pasti!
karna perjudian,
orang malas dibuai harapan
...
Apapun namanya bentuk judi
itu perbuatan Keji!

Selesai nyanyi si Bos selalu ingatkan, ”UANG JUDI NAJIS! TIADA BERKAH! APAPUN NAMANYA BENTUK JUDI!!” tidak puas di sana. Ia kemudian bercerita tentang penjudi-penjudi yang bakal digosongkan menggunakan setrika sebesar traktor di neraka Saqor!

Cerita tidak buat penjudi lainnya takut. Mereka tak peduli dengan neraka dan cerita seseram apapun mengenainya. Mereka tak kuat tahan tawa. Riang bahkan pernah melihat buih keluar dari mulut mereka.

Si Bos berkopeah haji itu memang hebat. Ia bukan saja mampu teriak, berkata melainkan juga bernyanyi demi kepentingannya. Kalau ia menang di putarbalikannya lirik bung Rhoma. Ia bernyanyi: "Uang judi memang penuh berkah! Itulah berkahnya judi! ... Judi teot! ... dan seterusnya.

Riang dan Taryan boleh tertawa oleh perilaku sesat itu, tetapi seorang ustad muda di masjid jami tidak! Ustad muda itu kesal. Ia tak sanggup melihat munculnya manusia yang mainkan kesakralan surga dan neraka, memainkannya seolah tempat yang indah dan seram itu tidak ada! Wajar jika pada satu waktu, usai shalat Isya, ustad muda itu menziarahi, dengan niat menasehati para penjudi.

Bukannya sadar mereka malah balas khotbah sang ustad dengan olokan. Apa mau di kata, maksud baik sang ustad muda dimutilasi oleh si Bos penjudi-penjudi gila. “Maneh teh lemet keneh. Nyaho naon heh!? ’Lu tuh masih ingusan heh! Tau apa kamu tentang kehidupan?!’ Mun maneh geus boga kaluarga, karak nyaho!, Kalau Lu dah punya keluarga, baru tau!”

“Heeuh! ’Iya, benar!’” Penjudi yang mengelilingi si Bos kompak bersuara.

Lantas apa yang menjadi bantahan sang ustad muda?

“HARAM!!! Ini dosa benar! Sekali dosa besar tetap dosa besar!!” ia berkacak pinggang.
Di hadapan anak buah, si Bos pantang mengalah.

“He … he … Dosa?! Ku aing di sunat siah! ’Hei hei, dosa?! Gua sunat luh! Sia kudu nyaho kana kaayaan beul! ’Elu harus tau keadaan, bebal!’ Mun sia jadi aing, mun anak sia di imah congor na ngangap-ngangap menta kadaharan, istri gering rek ngajuru, maneh ngaharap ti mana?!m Kalau Elu jadi gua, kalau anak Elu di rumah, mulutnya ngangap-ngangap minta makan, istri sakit mau melahirkan, mau ngeharap dari mana?’ Pamarentah?! Cuiih! Pemerintah?! Cih!” Ia meludah. “Ti iraha pamarentah ngurusan aing sakaluarga?! ’Sejak kapan pemerintah ngurus keluarga gua?! Anak aing paeh ge teu paduli. Cuih! Anak gua modar aja nggak peduli. Cuih!”

Ustad muda diam, lalu balik pulang. Dan perjudian pun berlanjutlah. Namun keesokan malamnya, di jam-jam ketika perjudian tengah ramai, sang ustad datang bawa batu sekepal tangan. Ia lempar batu itu! Melayang ...! Kopeah haji tersambar! Si bos jungkal sekaligus dengan badan! Pingsan! Dari kepala si bos keluar darah. Arena judi kacau balau! Penjudi-penjudi marah! Kartu remi dan gaple mereka lempar ke tanah. Mereka berdiri, mengambil ancang-ancang. Mereka kejar itu ustad.

Ustad lari karena jumlah yang mengejar dirinya terlampau banyak. Bukan main! Larinya cepat sekali! Dia berkelat-kelit, meliak-liuk gesit. Sayang! batu yang ia lempar datangkan sial. Batu itu dilempar balik, menyerempet muka si ustad sampai pipinya codet! Ustad terhuyung-huyung! Dan habislah badan dia dipukuli sampai sekarat.

Taryan dan Riang ingin membantu. Namun keinginan mereka hanya sampai bab niat. Mereka hanya bisa doakan agar sang ustad tidak mati. Kalaupun mati mudah-mudahan matinya syahid. Masuk surga!

Setelah para penjudi puas memukuli si ustad, barulah Riang dan Taryan mendatangi got tempat ustad malang itu njompret. Ajal belum datang. Nafas sang ustad masih ada. Itulah mengapa, sejak kejadian tragis itu tak ada satu orang pun yang mau menjadi martir. Perjudian tak mungkin bubar hingga sebuah kejadian melakukannya.

MALAM ITU UDARA MENGHANGAT. Sebentar lagi hujan. Riang lupa ia ia harus pergi ke rumah Bentar. Gosip mengenai Aplatun membuat dirinya hilang ingatan. Menjelang tengah malam, Riang mulai merasa tidak enak dengan Bentar. Ia jadi takut membayangkan Bentar menolak kedatangannya. Ia teringat atas apa yang dilakukan mandor terhadapnya. Riang dipecat karena terlambat, karena bangun kesiangan. Ia takut kesempatannya kali ini pupus akibat alpa.

Berulang kali Riang melihat Taryan yang tengah tidur pulas. Melihat lelaki yang tidak ia ketahui merasa senang karena berhasil mengalihkan pikirannya ke arah Bentar. Taryan terlihat letih. Belakangan ini, temannya itu acapkali bangun malam. Taryan merahasiakan apa yang dilakukannya. Yang Riang tahu, Taryan selalu menggoyang kakinya, pura-pura bertanya, “Sudah tidur Yang?,” Kalau Riang mengguman ia merebahkan badannya kembali. Kalau Riang tak keluarkan reaksi, Taryan menyegerakan diri berjingkat keluar.

Riang sempat berpikir kalau sahabatnya tak punya pertahanan diri. Ia tidak tahan karena dipikirnya Taryan sudah pernah ’mencoba’ dan dari obrolan masa remajanya, Riang mendengar bahwa orang yang sudah ‘mencoba’ suka kecanduan. Pikiran buruk berusaha Riang tepiskan, toh, setiap Taryan pulang, Riang tidak pernah mencium parfum perempuan bergincu tebal yang sering berpapasan dengan Riang di jalanan. Hingga saat ini, kelakuan Taryan masih menjadi misteri baginya.

Riang ikut rebahkan diri. Kesadarannya melarut. Tidurnya satu manusia lagi, mebuat bumi semakin sepi. Deru mobil sesekali terdengar. Para penjudi sudah ditinggalkan begitu banyak keramaian. Hanya tinggal mereka yang tersisa.

Tak jauh dari tempat itu, orang-orang berseragam yang di waktu sore mengangguk, telah tentukan siasat dan jam. Beberapa puluh orang mereka datangkan dari suatu tempat untuk lakukan penggarukan. Di malam yang gerah itu, suara sirine merayap di udara. Suaranya belum sampai ke tempat Riang dan Taryan. Orang-orang berlari.

Desas-desus menyebar mengembang di udara. Penjudi kasak-kusuk. Puluhan orang berseragam datang dari arah Dago. Mereka sampai di belakang masjid besar alun-alun. Suara sirine mulai terdengar. Sayup. Orang berlarian dari arah masjid. Suara teriakan terdengar.

”Aparat! Aparat!”

Suara hingar bingar. Serombongan orang datang membawa kayu, membawa pentungan! Mereka ’garuk’ warung dan gelandangan yang membuat Pemkot ’geli’. Penjudi-penjudi di samping tenda bukannya malah melarikan diri. Mereka yang mabuk lempari petugas Kamtibmas menggunakan botol dan gelas. ”Prang! Prang!” Beling pecah membentur aspal. Tak satu pun petugas yang cedera.

Petugas masygul! Mereka mendatangi kumpulan penjudi. Pentungan membuat para penjudi, akhirnya kocar-kacir melarikan diri. Beberapa orang yang tertangkap, dipukuli, lalu dilempar ke dalam truk, sementara itu otak judi –si bos berkopeah haji selamat, sebab waktu kejadian berlangsung si bos itulah yang lebih dulu melarikan diri.

Riang bangun. Keriuhan terdengar. Ia tak melihat Taryan di sampingnya. Riang keluar. Ia melongo, menggaruk kepalanya menyaksikan Kamtibmas melancarkan operasi penggarukan. Dari kejauhan, dari balik pengkolan seseorang berlari seperti orang liar. ”Yang kabur! Kabur,” katanya. Riang sadar. Ia ambil harta yang tersisa. Ke dua orang itu tak sempat mempreteli bahan bangunan rongsok yang mereka curi dan temukan. Riang dan Taryan terus berlari, menyembunyikan diri. Di balik kegelapan mereka menyaksikan terpal, spanduk dan kayu-kayu penyangga tenda darurat diterjang. Satu-satunya tempat kediaman bagi mereka dirubuhkan. Sedih mendatangi seperti ubi jalar. Sedih membuat mereka tersesak. Tak ada yang bisa dilakukan. Kedua orang ini gontai, berjalan meninggalkan kenangan.

Malam menua. Hujan tak jadi datang. Tak ada bulan dan bintang. Yang ada hanya cahaya buatan manusia sinari jalan. Dari jendela angkutan kota, pohon-pohong, dinding bangunan dan tiang-tiang berlari. Semua yang usang harus ditinggalkan. Malam ini ... kehidupan layaknya sepatu rombeng!

READ MORE!

Hati-hati

Posted: Jumat, 26 Juni 2009 by Divan Semesta in
8


Menjadi revolusioner itu beda tipis
dengan menjadi maniak revolusi.
Hati-hati kawan :)

READ MORE!

Efek Samping

Posted: Jumat, 26 Juni 2009 by Divan Semesta in
5

Kalau di tilik-tilik, pada kisaran tahun 1999-2003/2004 kondisi keimanan saya lumayan canggih. Saat itu merasa siap mati. Sy tidak khawatir, karena sy menganggap Allah benar-benar dekat, entah sebagai Sahabat untuk berbagi, atau sebagai Tuhan.

Dan diatas tahun itu, yang ada hanyalah radikalisme pemuda, radikalisme ideologi, keinginan untuk eksis dan berkoar-koar, berkobar. Sy masih ‘malu’ untuk mengakui bahwa di dalam diri sy terdapat keinginan untuk ‘terlihat’ become a famous idol of resistance, sementara hati kecil ini sy borgol, sy sudutkan.

“Manusia memang membutuhkan pengakuan,” ucap seseorang yang nafasnya bau Gudang Garam.

Perkataan kawan saya itu memang manis, terasa renyah, kelihatan bijak. Tapi renyah, manis, bijak dari sudut pandang apa? Jika tak menyebabkan datangnya rahmat dan pahala, untuk apa?

Kita mungkin pernah mendengar, bahwa ujian pertama orang-orang besar bukanlah diosol-osol, diadu-adu, tetapi disanjung-sanjung sampai tinggi sampai tak bisa bernafas lagi, karena jiwa ini terbang jauh menuju atmosfer. Karena jiwa ini melayang tinggi membuat sesak.

Tak baik, tak boleh. Sy bukan orang besar. Sy hanya orang kecil yang berusaha untuk membakar keinginan akan semerbaknya sebuah nama. Karenanya, kini, sy berusaha tak peduli dengan ‘eksibionisme’ secular mengenai manusia harus eksis secara total.

Dalam konsep sy yang sekarang: eksis itu tidak berharga apabila pencapaiannya diawali, dilalui oleh keinginan untuk menjadi eksis. Eksis itu harus muncul alamiah. Harus muncul dari valensi. Karena valensi (menjadi terkenal karena usaha, bakat, karena kecedasan, skill) itu merupakan efek samping. Bukan tujuan. Tapi efek samping.

READ MORE!

Melintasi Kompi Easy

Posted: Jumat, 26 Juni 2009 by Divan Semesta in
2

Saat media massa pertama kali memberitakan munculnya Tsunami di Aceh, sambil merokok sy melihat televisi dengan santai. Di kepala sy muncul bisikan. O korbannya puluhan orang. O baru seratusan. Dan seiring pertambahan waktu korban terus bertambah, dan sy mulai terhenyak saat hitungan kematian bergerak ke angka ribuan, kemudian berlanjut ke puluhan ribu, dan sesaknya tak tertahan ketika angka itu mencapai ratusan ribu.

Dan saya menyimpulkan: inilah sesak yang dihasilkan oleh statistic.
Anehnya sekitar tahun 2000-an, sy pernah datang ke kampus membawa potongan gambar
(gambarnya sy laminating). Hari itu mata saya sembab. Sy melihat tubuh bocah Palestina di di bolongi peluru tentara Zionis. Photo tragis Muhammad al Durra dan Babanya, lantas saya perlihatkan ke teman-teman satu jurusan. Reaksi mereka biasa-biasa saja. Sy sedih. Mengapa hanya saya yang menangis? (sepertinya).

Sy menyepi di bawah tangga kampus, sambil sesekali melihat photo itu. Sy melihat wajah ayah yang bersaha melindungi anaknya. Sy melihat kekhawatiran. Sy melihat bagaimana Ayahnya berusaha melindungi al Durra di punggungnya. Sy melihat perasaan menyesal dan putus asa.

Di dalam dada ini ada yang bergemuruh. Rasa geram, ketidakmampuan, kebencian kemudian menuntun sy untuk bersujud. Dan dalam sujud itu sy menangis sepuasnya. Allah maha besar. Sy benar-benar yakin, benar-benar mengetahui bahwa doa yang terlantun pada saat itu merupakan salah satu doa terikhlas, terkhidmat yang pernah saya keluhkan ke Allah.

Fakta yang pernah terjadi beberapa tahun sebelum Tsunami di Aceh muncul itu, membuat keyakinan sy sedikit terpupus. Bahwa kematian --dalam pandangan sy-- hanyalah statistik tidak sepenuhnya benar.

Pemaknaan terhadap kematian memang tergantung pada pasang-surutnya keimanan.

* * *

Jumat sekitar satu bulan yang lalu, saat saya tengah mendengar Walk the Line-nya Rufio, Ira memberikan kabar. Fardan, anak sepupu meninggal dunia. Anak yang umurnya hampir tiga tahun itu ditemukan mengambang, di halaman belakang, disebuah kolam ikan..

Kami tak pernah menyangka, apalagi sebelumnya (pada hari minggu) saya pernah mentertawakan rambut Fardan (di sebuah foto) yang potongannya mirip potongan rambut Lee Naruto atau seperti gaya si Qibil Changchuters.

Saya tak pernah menyangka.

Memang, Fardan bukan anak sy. Itu baru anak sepupu. Bagaimana jika yang mengalami musibah adalah kakak atau adik, atau ... anak sy? Duh, bahkan hanya berandai-andai hal itu terjadi pun sy merasa tidak sanggup. Sy yakin pasti lebih sakit ketimbang mendengar kematian Fardan.

Di sinilah saya sampai pada asumsi: bahwa kadang. kita tak merasa --atau dengan kejam tak mempedulikan-- bila kematian itu terjadi di sebuah tempat yang jauh, di sebuah lokasi yang kita tak memiliki keterikatan persahabatan atau kekerabatan.

Kadang pada situasi seperti itu kematian menjadi statistic. Dan mungkin, kita baru bisa menyesap getirnya kematian apabila kematian itu dekat dengan kehidupan kita.

Dulu, Rasulullah pernah menyampaikan bahwa setiap muslim adalah bersaudara. Kita diikatkan oleh ikatan keyakinan sehingga ketika satu orang menderita maka derita itu memang harus terasa benar di dalam diri kita.

Maka seharusnya kita semua nyesak, manakala menyaksikan keajaiban teknologi persenjataan menjadi kotak Pandora yang dari boxnya melompat aneka macam pembantaian dan pembunuhan keji. Harusnya kita pun nyesak ketika menyaksikan aneka bencana di monitor computer, hp, atau layar televisi. Dan setelelah sesak, --atau bahkan sebelum kita benar-benar sesak--, seharusnya kita mengantisipasi, entah dengan mengalokasikan zakat untuk mensuport dana perang, memberikan bantuan pengobatan… doa dan ada seribu satu macam cara sebagai cara untuk merasakan penderitaan.

Saya cemas. Benar benar cemas. Jika kita memang kita tidak memiliki hati yang mudah terketuk maka Allah akan menurunkan bencana ‘genosida,’ kelumpuhan, keterlantaran, kefakiran tepat dihadapan mata, hanya untuk menyadarkan bahwa saudara kita disana pernah mengalami hal yang sama. Dan terkutuknya, tangan kita tidak pernah berada di pundak mereka. Jangankan tangan, pikiran pun tidak.

Disinilah salah satu ujian keimanan berada karena keimanan adalah sebuah ikatan. Melebihi ikatan persahabatan dalam kompi Easy. Melebihi ikatan pernikahan, menerabas melankolisnya ikatan kemanusiaan, klan dan kebangsaan.

READ MORE!

Solidaritas (19)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Taryan belum bisa membujuk Riang. Selogis apapun alasan yang Riang beri, ia tetap tak setuju atas keputusan Riang. Kampung Rambutan, masa lalunya di Jakarta merupakan salah satu pengalaman terbaik bagi Taryan. Pengalaman yang membuat giginya tanggal, uang di kancut, serta Leonard dan anak muda sipit yang menurut kajian ilmu antropologi tidak menyiratkan ciri-ciri fisiknya berasal dari tanah Tuanku Rao dan Sisingamangaraja itu, menanamkan sikap skeptis padanya. Pagi ini, sebelum sore hari mereka menemui Bentar di Dago elos, Taryan terus berpikir, mencari cara agar Riang mau mengikuti sarannya.

Warung Aplatun tampak di depan mata. Dari kejauhan mereka melihat tangan pemilik warung melambai. Aplatun butuh receh. Ia tahu kepada siapa uang besar harus dipecah.

Kantung Taryan tak lagi memberatkannya, uang logam di ganti uang kertas yang ringan, yang semua ekonom mengetahui bahwa nilai yang tertera di permukaannya hanyalah dusta, Aplatun mulai menggosip: mengenai IP pelanggannya tadi yang turun, tentang wajah drop outnya, tentang kuliahnya di sastra jurusan basket karena kuliahnya dihabiskan di lapangan basket.

Aplatun melucu. Riang, Taryan dan seorang pelanggan lain tak ingin humor Aplatun disia-siakan. Mereka pun memberi Aplatun tawa kemanusiaan.

”Sekarang anak itu malah kecanduan game.” Aplatun memulai lagi. ”Tak tahulah apa jadinya! Tak ada urusan!”

Pelanggan yang sebelumnya ikut tertawa bersama Riang dan Taryan menyelesaikan makannya. Ia memberikan uang pas lalu melenggang keluar dan menyalakan mesin motornya yang berplat merah.
”Kalau dia,” Aplatun menunjuk keluar, ”anak yang barusan tadi kuliahnya di jurusan peternakan gigi!”
”Jurusan apa itu?” Taryan kebingungan.
”Lha giginya maju!”Aplatun tertawa. Riang diam tak timpali. Biar dia dari desa, dari udik Riang tetap tidak suka gurauan tak berperadaban semacam itu. Aplatun merasa tidak nyaman. Merasa salah dengan ucapannya, larilah si bujang mencuci mangkuk dan gelas yang sudah menumpuk, meninggalkan Riang dan Taryan yang tengah menikmati sarapan paginya.

Di sana Taryan kembali membujuk Riang. Ia terus menerus membicarakan perihal yang haram di bicarakan karena mengandung bahasan SARA. Riang tak peduli. Sejak bertemu Bentar dan memperhatikan betul wajah serta kepribadiannya, ia sudah memutuskan. Kekeraskepalaan Riang membuat Taryan yang kesal, meminta bantuan. ”Ton,” Taryan berteriak, menyindir, ”... masa dia mau percaya sama orang yang baru dikenal!”

Orang yang dimintai bantuan sadar diri. Aplatun baru saja keluar, menghindari perang dinginnya dengan Riang. Ia belum mau mengomentari. Ia menunggu apa yang bakal Riang katakan.
”Yan, mungkin situ ada benarnya,” Riang berniat membalikan, ”tapi kalau pikiranku begitu terus, mencurigai setiap orang terus, apa situ pikir kita bakal bertemu, menjadi teman?”

Taryan butuh waktu untuk mencerna, menggambarkan bagaimana dulu Riang membopongnya sewaktu tengkurap di jalan. Membopong dirinya, orang yang sama sekali tidak Riang kenal.
”Tapi, waktu itu situ yang nolong aku, bukan orang lain.” Taryan bersikukuh.
Riang mengambil nafas. ”Banyak orang jahat, tapi tidak semua orang jahat kan?” Tanya Riang.

Taryan kalah telak. Ia tahu Riang benar, bahkan sejak alasan awal alasan bahwa dirinya tak punya uang. Riang pun tahu, apa yang dilakukan sahabatnya --berusaha membalikan pikirannya-- adalah sebentuk solidaritas serupa dengan pengorbanan Taryan untuk tetap bersamanya di jalan, meski ia tahu uang yang dimiliki Taryan dari mengemis, sebenarnya bisa digunakan untuk membeli tiket kereta. Alasan mengapa Taryan tidak melakukannya adalah sebentuk rahasia. Riang malas menanyakannya. Ia hanya menanam keyakinan, bahwa suatu saat nanti Taryan bakalan pulang. Riang berusaha berpikir jernih bahwa yang dilakukan sahabatnya adalah –pula-- sedikit dari usaha dia untuk melindunginya. Sampai di titik itu, Riang menyesal mengungkit kebaikan yang pernah ia lakukan, untuk membalikan keadaan.


Aplatun masuk ke dalam warung membawa gelas dan mangkuk yang masih bercucuran. Dari luar terdengar desis pipa PAM yang bocor. Ia mengambil plastik dan tali yang terbuat dari karet ban. Aplatun kembali keluar.
”Situ harusnya ambil pelajaran!”

Taryan yang sudah tidak bisa menggunakan pikirannya. Taryan membuat Riang bosan. Ia tidak mungkin mempan. Ia biarkan Taryan mengulang-ulang membicarakan pengalamannya. Taryan hanya tidak ingin kehilangan harga diri usai argumentasinya dikalahkan.

”Situ dengar ndak aku bicara? Situ dengar Yang?! Jangan sampai Situ nyesel! Orang batak yang kutemui, si Leonard itu itu gila! Yang di Kampung Rambutan awalnya baik! Sok-sokan baik! Orang yang satunya lagi yang aku kira benar ternyata begajul juga! Apalagi orang kemarin kutemui di dekat BIP, orang yang pernah buat aku babak belur, yang ampil dompet temuan itu... sama juga!”

Riang teringat ketika Taryan menawarinya main cewek dan membelikannya makanan usai menemukan sebuah dompet.
”Hah!” Riang tak sadar jika ia berdiri.
Taryan hentikan kicauannya. Ia tertegun.
”Di mana tadi!? Di BIP kau bilang?!” Riang memaksa.

Suasana tiba-tiba berbalik. Taryan bingung. Marahnya padam. Ia tidak menemukan kata untuk menjelaskan.

”Di mana?” Riang menekan. ”Di BIP?!” Ia memastikan.

Taryan tidak punya maksud mengungkit sial yang pernah orang lain timpakkan, tetapi ia kadung bicara.

“Yang, aku sudah ndak mikirin itu.” Taryan berubah dingin. Panas lima puluh sembilan derajat yang beberapa detik lalu dicapainya, berubah menjadi dua derajat selsius.
“Yan!?”
”Sudah. Aku malas bahas itu.” Taryan reflek meminum es teh sisa pelanggan yang masih teronggok di meja.
”Kalau malas, kenapa Situ bilang lihat preman yang buat Situ bengep?!”
“Kalau tahu sikapmu bakal begini, mustahil aku cerita.” Jawab Riang asal. ”Aku cerita bukan supaya Situ ngamuk.”
”Siapa yang ngamuk!?”
”Situ! Lha, aku cerita supaya situ jangan percayai ... siapa itu namanya ... siapa?!”
Riang tak menjawab pertanyaan Taryan.
”Ceritaku bukan untuk balas dendam.” Taryan mematenkan.

Riang berpikir cepat. “Ini bukan masalah balas dendam!” Keahliannya yang terpendam ia gunakan, ia keluarkan ”Ini masalah mengingatkan! Kalau preman itu didiamkan apa yang terjadi?”
Taryan tak peduli. Ia menerawang ke depan. Tangannya, mengetuk-etuk gelas.
“Yan, ... bagaimana mereka mau sadar kalau ndak ada yang mengingatkan? Mereka bakal terus jahati orang! Nodong orang! Nakutin orang! Bener kan?!”
Riang haluskan suaranya. ”Yan ... kalau semua orang kayak Situ, di dunia ini tidak bakal ada nabi!”
Taryan menjauhi mata Riang namun ia mulai tertarik karena Riang menyebut-nyebut nabi.
”Kamu fikir nabi Musa diturunkan untuk apa?!”
“Untuk umatnya.”
“Sungguh tepat untuk umatnya! Tapi bukan itu maksudku! Musa diturunkan untuk mengingatkan! ... Isa diturunkan untuk apa?”
“Untuk mengingatkan seperti mau mu itu!”
“Bukan mauku! Situ cinta Muhammad ndak!?”
Taryan diam.
Riang menemukan celah.
“Muhammad diturunkan untuk apa?”
“Mengingatkan!.”
“Benar!” Taryan didesaknya hingga ke pojok. ”Sekarang, agamamu apa?”
“Dari dulu juga Situ tahu!”
“… Kalau agamamu Islam, Kamu ndak mau mengiikuti nabimu? Apa Situ
tidak mau peringatkan orang lain supaya tidak kembali melakukan kejahatan lagi?”

Taryan gamang. Disaat itulah Aplatun masuk. Teriakan Taryan di awal-awal pembicaraan membangkitkan naluri alaminya Wajahnya merah padam. Ia seakan menahan benda besar yang hendak keluar dari tubuhnya.
”Aku dengar sedari tadi! Siapa mau kelahi?!” Aplatun meminta penjelasan yang sebenarnya sudah jelas baginya.

Mulut Riang terbuka, hendak menjelaskan semuanya, namun mendadak Taryan mennyalipnya untuk menyederhanakan permasalahan. Penyederhanaan ini malah memanjang. Kepanjangan inilah yang justru membuka selubung pengunci mahluk yang bersemayam di tubuh Aplatun.
“KAMPANG!” Hidung Aplatun mendadak kembang kempis Ia marah. Nafasnya menghembus-hembus! ”Orang Batak itu suaranya saja yang besar!!! Kalau ditantang kelahi pakai pisau, kabur semua!!! KAMPANG!!! Biar ku tujah mereka! Biar! Biar mereka tahu kalau berurusan dengan temannya siapa!!!”

Ghuarg! Awan tabrakan. Suara petirnya melabrak rongga pendengaran. Suara Aplatun sungguh menakutkan! Tidak cukup, Ia gebrak triplek putih. Gelas yang ada di atasnya berajojing meloncat setengah senti.
“Aku ikut kelahi dengan kalian!!!” Blar! Petir ganas menyambar! “Kurus-kurus begini, aku pernah jadi pemimpin bajing luncat!” Dan mengucur deraslah cerita menakutkan dari keran mulut Aplatun.
Diceritakanlah bagaimana dulu, ia menyengajakan diri menumpang bis eksekutif menuju Bengkulu. Manakala bus sampai di Jerambah Kawat, manakala orang masih terlelap, Aplatun menyiram lantai bus pakai bensin. Aplatun teriak, menggertak! Suaranya bangunkan semua penumpang! Diperintahnya orang-orang preteli hiasan dan dompet. Di perintahnya supir bus berhenti injak pedal gas. Kalau tidak, Aplatun ancam: bus itu bakal dia bakar!

Bus berhenti. Teman-teman --yang memang sudah menunggu di Jerambah Kawat--, naik. Tidak ada satu penumpang pun yang berani melawan, kecuali satu orang lelaki yang perawakannya mirip tentara. Aplatun kalap. “Kau mau jadi pahlawan hah!?” Ia teriak! Maka di bacoknya kepala orang itu sampai mati! Wanita yang ada di dalam bis ringsut. Tak ada yang teriak kecuali seorang lelaki yang dandan ala banci.

Penumpang bus sadar. Mereka tidak bisa melawan. Maka, beberapa wanita menjadi sukarelawan: mempreteli anting-anting, gelang, tusuk konde emas, cicin tunangan, walkman dan dompet milik sendiri, untuk dimasukan ke dalam karung goni.

Aplatun, merasa harus yakinkan Riang dan Taryan. Cerita yang tak kalah seram ditambahkan.“Dulu, aku pernah masuk Angkatan Darat di Palembang. Di sana aku ketemu komandan brengsek, yang kalau aku salah sedikit dia selalu ngancam kalau aku bakal dipecat! Kerjanya maen perintah seolah aku ini hewan! Aku melawan! Komandanku marah! Aku digamparnya! Maka aku matikan saja dia!”

Bukannya si komandan yang memecat, malah Aplatun yang memecat sang komandan dari kehidupan di dunia. Si komandan dipersonanongratakan dari alam manusia menuju alam baka! Perbuatan ini sebabkan Aplatun masuk berita koran-koran besar. Akibatnya lahan hidup dia di Palembang menyempit. Aplatun lari ke Jakarta. Di waktu-waktu ke depannya, ia jadi tangan kanan preman nomor satu di Kampung Rambutan.

Riang dan Taryan tak habis pikir. Dia ... Aplatun yang kerempeng itu... Aplatun yang banyak omong itu ... punya masa yang kelam, punya cerita seram yang bisa buat manusia biasa keriput.

Dukungan Aplatun, dengan skill tersendiri yang seharusnya membuat Riang bahagia. Cerita masa lalu Aplatun tidak membuatnya senang. Ia malah berpikir: bagaimana jika preman itu dipecat Aplatun dari nikmatnya kehidupan di dunia?

Pemukulan dan perampasan harus di balas dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi balasan yang setimpal itu bukan dibunuh!

Di antara waktu jeda, Riang berpikir..
“Aku senang kau punya itikad baik. Siapa yang tidak senang Ton ... tapi maaf, kali ini jangan!” Ia temukan alasan.
“Jadi kau …?!” Ada kata-kata yang tak mampu kelur dari mulut Aplatun.

Riang khawatir Aplatun merasa disepelekan. “Bukan! Bukan aku sangsi keberanianmu, tapi sekarang ini Kau sudah hidup tenang. Sudah hidup baik-baik! Kalau ikut kami, tusuk sana tusuk ini, apa yang terjadi?”
“Tak peduli! Aku tak peduli. Pantang kata kutarik lagi. Pantang! Tak mungkin takut. Nenek moyang ini tak pernah takuti apa! Aku bunuh orang-orang itu!”
“Bukan! Bukan begitu … ,” Riang rendahkan suaranya, “Aku tahu kau tidak takut kecuali takut pada Tuhan,” Riang sengaja sebut nama Tuhan. Nama Tuhan biasanya mujarab redakan marah. “Aku tahu Ton… aku tahu… tapi masalah tidak semudah yang dibayangkan. Kalau kau menujah, yang ditujah mati, apa selesai? Tidak. Kau bakal dicari, bukan cuma dicari segelintir orang Batak. Bakal orang-orang Batak se-Bandung!”
“Kalau semua uber aku, tidak takut aku! Nenek moyang ini, sejak kemerdekaan berjuang demi tegaknya UUD 45! Aku tahu, biar mereka bajingan tapi bajingan untuk Belanda! Nenek moyangku, kakekku, arwah kakekku Mat Kancil bakal malu kalau lihat keturunannya, aku Aplatun tidak turun tangan! Ikut bela kawan! Tidak perlu satu! Seribu orang Batak, aku lawan mereka! Sepulau Samosir, aku tujah satu persatu!”

Riang berusaha kesankan dirinya berani. Kesankan kalau ia dan Taryan bisa selesaikan masalah sendiri, “Demi Tuhan Ton ... jangan dipotong dulu perkataanku ... Ton … kalau aku dan Taryan ndak apa–apa tujah sana-sini Habis beri pelajaran, habis bunuh itu preman, bisa pergi semau kita. Bagaimana dengan mu? Kau pasti rugi. Mau dikemanakan warung yang kau bangun? Mau kau bawa? Warung tak mungkin digendong. Membangun warung baru butuh modal, butuh uang, perlu biaya dan masalah tidak mungkin selesai di situ saja! Kalau warung Kau tutup, bagaimana nasib istrimu?”

Kehidupan istri, keluarga yang disayang, adalah salah satu cobaan terberat sepanjang sejarah manusia. Wajar jika Aplatun goyah. “Tapi!... Tapi!...,” Aplatun masih berusaha menyangkal, namun pikiran menghambatnya. Pengaruh Riang sampai di kepalanya. Sebelum Aplatun mendapat celah, Riang menyudahi.

“ ... Terimakasih! Aku dan Taryan hargai keberanianmu. Solidaritas sudah cukup. Lebih dari cukup! Aku bangga punya teman sepertimu! Aku gembira, di zaman seperti ini tersisa manusia yang pentingkan orang lain ketimbang dirinya. Inilah yang dinamakan altruis Kamu preman shalih Ton. Kau pemberani. Kau tak usah libatkan diri. Aku janji, bilang padamu, kalau temui masalah. Aku yakin, ini bisa diselesaikan,” Riang menyikut perut Taryan.

Aplatun tak bicara lagi. Ia masuk ke dalam sekat triplek, mengambil golok panjang berkarat. Diberikannya benda berbahaya itu, ”Buat jaga-jaga,” katanya. Riang tak menolak. Untuk sementara golok itu akan disimpannya ditempat yang aman. Serah terima berlangsung baik, aman dan terkendali. Untuk Taryan, Aplatun mengambil garpu. Ia bengkokan hingga gagangnya dapat dikepal. Dua ruas tengah garpu tajam dibengkokkan menggunakan jempol. Dua ruas itu bisa dijadikan senjata, menusuk orang. Suk!

READ MORE!

Ketertarikan (Bab 18)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
2

Satu minggu setelah berobat, seorang pria memperhatikan tenda darurat Riang. Wajahnya bolong-bolong bekas cacar. Ia menyembunyikan rambut keritingnya di balik topi bergambar Iwan Fals. Rahangnya yang tegas bertentangan dengan kedua lesung pipitnya. Kausnya berwarna putih. Ada tulisan Djarum Coklat berwarna merah di dadanya. Ia menggunakan jeans abu-abu yang serat-seratnya terlihat di bagian dengkul. Pria itu menggendong gitar. Ia memergoki Riang yang tengah memperhatikan kalender lama bergambar wanita yang lagi nungging. Pria itu kemudian mencocokan wajah Riang dengan photo yang ada di tangannya. Riang tak tahu. Ia dicari sejak lama.

Sebelum hampiri Riang, pria itu meminjam korek api dari pejalan kaki. Korek api lembab. Matanya berkeliling mencari pedagang asongan. Ia tak menemukan. Pria itu kemudian berjalan, sampai di tenda darurat yang menyerupai kandang ia lantas jongkok, menggerakkan tangan dan memberi isyarat pada Riang bahwa ia ingin meracuni paru-parunya. Tanpa melihat wajahnya lebih dahulu, refleks Riang sibuk mencari geretan. Di balik onggokan baju, ia menemukan geretan kuning yang sudah beberapa hari tidak ia digunakan. Pria itu mengulurkan tangan. Riang tengadah. Ia terkejut melihat tingkat kerusakan wajah lelaki yang ada di hadapannya. Pria itu biasa dengan respon pertama yang biasa dia dapatkan. Ia mengembalian geretan lalu menawarkan jabatan tangan.

Riang tak tahu rencana yang ada di balik kepala pria yang ada di hadapannya. Tak terasa obrolan sudah berlangsung lebih dari lima belas menit. Riang merasa nyaman dengannya. Nama panggilan pria itu, Awas Bentar. Namanya aslinya tenggelam karena sebuah kejadian.

”Suatu saat, waktu aku tengah ngamen di Jakarta hujan lebat datang tiba-tiba! Petir menyambar pohon paling tinggi di daerah UKI. Semua orang nunduk. Semua orang takut. Seram! Kejadian itu menyeramkan! Aku melihat langit. Cahaya seperti akar muncul di angkasa. Sebelum suara menggelegar muncul, aku teriak! Aku mengkhawatirkan teman-temanku. Aku berteriak .... AWAS BENTAR!!! dan sejak saat itulah nama Awas Bentar jadi panggilan untukku. Resmi!” Ia mengepulkan asap rokoknya.

”Jadi yang ganti nama aslimu, Aep Ahmadi itu, teman-temanmu?”

Pertanyaan tak berbobot itu dijawab Bentar dengan senyuman. Ia masukan abu rokok ke dalam bolongan gitar.
”Siang begini tidak bekerja?”

Karena Riang tidak berhadapan dengan seorang wanita seperti Milea, ia tak ragu untuk mengatakan terus terang. ”Pengangguran.” katanya, berharap menemukan peluang.
”Pengangguran banyak rizki?”
Riang tertawa.
”Bisa main gitar?”
”Sedikit.”
”Mau ikut ngamen?”

Ia menimbang-nimbang tanpa tahu apa yang harus ditimbang. ”Kalau bisanya cuma kunci standar, tidak apa-apa?” tanya Riang.
”Tidak masalah. Kunci lainnya nanti ku beri contoh.”
”Kapan mulai?”
”Sekarang.”

Riang berbinar. Ia berjalan di samping teman barunya. Bentar mengajaknya menuju daerah kost-kosan mahasiswa, di Simpang Dago, Dipati-Ukur dan daerah tugu Pancasila. Mereka menaiki angkot Kebun Kelapa menuju Kimia Farma, lantas turun dan menunggu DAMRI pulang dari terminal Leuwi Panjang.

”Itu dia!” Bentar berteriak. Bus reot datang.

Kedua orang gelantungan seperti monyet padahal ruang bus cukup leluasa. Untuk Bentar gelantungan itu berarti gaya sedang untuk Riang mengikuti saja.

Di dalam bus orang-orang duduk beraturan. Hanya dua orang lelaki yang berdiri. Kaca jendela digeser setengah. Angin masuk. Suasana sumpek hilang. Leher-leher beraneka warna putih, kuning, dan coklat menantang. Dari pintu belakang, Bentar melangkah ke depan. Ia memegang besi di langit-langit. Gas DAMRI yang tak stabil membuat jalannya seperti Kwei Cheng Kein. Di tengah-tengah bus, Bentar berteriak lantang. “Kalau Anda menyangka bahwa Anda tidak akan bertemu lagi, tidak mungkin menjumpai lagi pengamen jalanan maka .... Anda semua … SALAH BESAR! ........ Selamat Siang! Salam pembebasan untuk teman-teman yang sedang menikmati pendidikan! Untuk yang lain, saya ucapkan semoga bisnis hari ini berjalan lancar.”

Tak duk, tak duk, suara gitar di tepuk.
”Maaf jika saya mengganggu!”
Gonjreng… gonjreng!.
Bentar bernyanyi diiringi pantun.

”Dari manakah datangnya lintah,
darilah sawah terus turun ke kali.
Perut mual serasa mau muntah,
padahal nyium perek cuma sekali!

(Dia berhenti nyanyi, memainkan gitar,
kemudian diselingi kembali pantun)

Kalaulah tuan nanti pergi ke pasar,
titiplah saya sekilo kentang.
Sungguh mati lutut suka gemetar,
kalau liat cewe tidur telentang!

Ke kamar mandi aku tak masuk mandi,
tapi untuk mencuci tempat menggoreng.
Pada nona aku tak Bermaksud berjanji,
tapi hanya sekedar tularin Koreng.

Ada roda dijalan tanjakan,
tertimpa dahan si pohon jengkol.
Ada janda menjerit kesakitan,
gak taunya lagi dikerjain banpol

Tinggilah tinggi air pancuran,
terdengar kicau si burung pipit.
Padahal satu bulan baru pacaran,
badan kurus habis dijepit!

Jalan-jalan ke kampung,
pacaran menjadi kadal di dalam gua.
Mati juga aku tak penasaran,
kalau sudah gamparin mertua!

Terbanglah tinggi kapal-kapalan,
jatuh ke ember ada airnya.
Sungguhlah cantik itu perawan,
waktu ditelanjangin banyak kutilnya!

Nenek2 ompong makan bengkuang,
tukang kredit datang menagih.
Nenek-nenek ditindihin anak bujang,
dasar genit … besoknya minta lagi

Ada seorang bapa datang merinding,
gak tahan ingin kencing.
Rasanya diri ini mau mati,
waktu mimpi pantat digerogotin kucing!

Tentara jepang gagah tegak berdiri,
tapi kalau perang dia takut sendiri.
Ke anak orang sayang kaya ke anak sendiri.
Kalo liat bini orang lupa bini
sendiri eeeh, dasar laki-laki!”

Lagu berhenti.

Orang-orang di dalam bus tertawa. Ada yang nangis. Ada yang memegang perut. Ada yang senyum simpul mendengar lagu yang pernah dibawakan Doel Sumbang.

Bentar mohon pamit. “Terima kasih. Mudah-mudahan tidak tersinggung! Kalau tersinggung Saya mohon maaf.” Ia senteri orang-orang dengan senyum. Orang-orang membalas dengan senter yang sinarannya lebih kuat. Mereka terhibur.

Bentar mengambil kantung permen. Didatanginya penumpang satu persatu. Kebanyakan orang memberi dua ratus rupiah. Orang yang terbahak sampai keluar air mata memberinya uang seribuan. Uang mengalirlah. Bunyinya sampai di kuping Riang. Cring-cring!

Bus sampai di tempat ngetem. Orang-orang berhamburan. Gencet-gencetan. Kondektur marah. “Sabar! Sabar!” bentaknya. Seorang penumpang, nyeletuk. ”Sabar! Yang sabar di sayang kucing!” Orang-orang tak pedulikan. Kondektur hampir murka. Ia tahan untuk mengucapkan sumpah serapah tak senonoh. Dari mulutnya akhirnya keluar rapal istighfar. Ia cuma takut penumpangnya tergilas. Riang dan Bentar tinggalkan kerumunan, meloncat paling awal. Mereka berjalan menuju warung tegal.

Suara mix masjid keresekan. Azan mengudara. Suaranya timbul tenggelam. Gelombangnya terhalang rimbun pohon flamboyan, suara kendaraan dan teriakan calo-calo angkutan. Masuki ke dalam warteg, dangdut remix meradang mengombang-ambing. Syairnya mengenai derita wanita yang menjadi janda.

Botol-botol kecap dan saus kosong tergeletak di pipiran kedai. Jam dinding gambar balita gelengkan kepala. Segelas kopi panas disajikan. Tukang ojek keluarkan gulungan uang yang diikat karet.

“Minum apa?” Bentar memecah perhatian Riang.
“Air putih!”

Bentar tersenyum sinis. ”Kamu pikir uang yang aku dapat bakal di bawa mati?”

Ucapan itu mengartikan: pesanlah apa saja! Masalah bayar kutanggung sampai tujuh turunan! Tapi, Riang tak mengerti.

“Es jeruk dua Bu!” Bentar acungkan dua jari.

Ibu berambut kusam, jalan ke arah cerek. Ia ciduk air menggunakan gayung panjang. Ia masukan isinya ke dalam termos bunga. Di ambilnya dua buah gelas besar. Diperasnya dua buah jeruk nipis, dibubuhkannya dua sendok gula pasir. Sendok yang diputar berpuluh kali timbulkan orkes. Balok es ditusuk besi tajam sekurus lidi. Bongkah es tambah isi gelas.

“Tertarik ngamen?” Bentar bertanya.
“Daripada ngemis, ngamen lebih terpandang, lebih cepat datang uang.”
“Kapan mau mulai?”
“Mulai?” Riang pura-pura.
”Ya! Kapan mulai makan?”
Oh, Riang kecewa.
”Ya, mulai ngamen lah!”

Bukan menjawab waktu kesiapan dia kapan, Riang malah semangat bilang, ”Mau!”

“Kalau begitu, datang kerumahku dulu saja.” Bentar pinjam pulpen. Ia sobek kertas rokok. Dituliskannya alamat dibalik kertas alumunium emas. ”Podok Liliput. Dago elos 62.”
“Kamu bisa main gitar kan?” Bentar memastikan.
“Cuma kunci standar.”
“Bagus! Itu dasar!” Bentar angkat jari. “Bu pesan nasi satu pake perkedel, tambah kangkung,” ia menoleh. “Kamu makan apa?”
Riang menjawab masih kenyang padahal perutnya keroncongan.
”Jangan basa-basi ah!” Bentar angkat alis. “Bu satu lagi. Sama!”

Siang itu perut Riang membuntal. Usai bicara tak tentu arah, Riang ucap terima kasih waktu Bentar tengah mencongkel biji cabai. Mereka berpisah.

Riang teringat Taryan. Ia berjalan menuju simpang Dago. Menurut taksirannya, tempat Taryan mangkal tak kurang satu kilometer jauhnya. Selama sepuluh menit ia lewati bermacam hal. Mahasiswa-mahasiswi seliwer berlawanan atau berjalan searah dengannya. Kebanyakan dari mereka memakai baju seragam hitam putih.

Melewati kedai kedai kopi, ia melihat mahasiswi berambut sebahu datang ke arah penjual rujak. Wanita itu mengambil semangka, duduk di bangku panjang bersama seorang lelaki kekar. Wanita lainnya bertubuh mungil, rambutnya dihias bandana corak bunga, bersandar di mesin fotokopi bermerek Xerox. Lampu mesin fotocopy yang seterang petir itu mengelus jerawatnya. Wanita itu tersenyum. Seorang lelaki tua menyekop debu dan sampah plastik yang terserak. Dimasukannya sampah itu ke dalam tong bekas cat.

Riang sampai di perempatan Dago. Ia tak temukan Taryan di samping kios buah, di bawah triplek Jus Ngeunah yang beberapa waktu lalu ditunjuknya. Riang melangkah lebih jauh melewati warung masakan padang. Ia menemukan sahabatnya tengah duduk dekat etalase kacamata. Setelah menukar uang seribu dengan sebungkus keripik singkong, Riang menepuk pundak Taryan.

“Lha kok di sini!?” Taryan terkejut.

Riang tak lekas menjawab. Ia sibuk mengunyah. Taryan merebutnya. Tak berapa lama kemudian cerita pun mengalir.
“Mau ngamen tapi tak punya gitar?” Taryan berikan tanggapan sinis, setelah Riang menyelesaikan ceritanya.
Riang nyengir.
Taryan mendesak.
“Ngamen pake apa? Pakai kecrekan?! Tepuk-tepuk tangan?! Ndak pantas! Yang pantas pake kecrekan itu anak kecil!”
“Lha orang dia punya dua. Dia mau meminjamkan gitarnya!”
”Baru pertama ketemu sudah berani pinjamkan gitar,” Taryan geleng kepala. Sewa?”
“Gratis!”
“Wah… wah! Baru pertama kali sudah baik gitu. Situ ditipu! Si Bentar itu orang mana dia?! Batak?!”
Riang menggoda. ”Bukan! Dia tinggal di Kampung Rambutan!”
“Orang kampung Rambutan? Tuh! Kamu ditipu Yang!” Taryan menunjuk mukanya. “ Mau gigi depanmu hilang hah?!”
”Dia asli Garut!”
”Sama saja!” Taryan sebal. Dia diam. Mereka diam namun lima menit kemudian Riang menyerah. Ia memberi Taryan pengertian.

”Yan.... aku tak punya pilihan. Kamu tau sendiri kalau uangku habis. Lagipula, kalau Bentar memang seperti yang kau pikirkan, ia tak bakal dapat apa-apa dariku. Dia bakal rugi habiskan waktu denganku!”

Taryan tak beri komentar. Malam harinya tawaran Bentar memeriahkan mimpi Riang.

READ MORE!

Dr Nurlaila (Bab 17)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Taryan tertawa kebablasan. Cerita mengenai bujukan maut dua kuli bangunan dan Big boss membuatnya jatuh. Hilangnya pekerjaan Riang tak jua menyurutkan tawanya.

Riang kesal. Dari pada berakhir menjadi pertengkaran ia pejamkan mata. Lima menit kemudian ia tak mengingat apa-apa. Selang dua jam ia mimpi buang air besar. Ia bangun dan merasa seekor alien ada di dalam perutnya. Riang melesat menuju kamar mandi masjid jami. Balik dari sana ia lanjutkan tidur. Setengah jam kemudian ia bangun dalam keadaan tegang, merasa tertekan, mengalami perasaan terancam. Ia lari lagi. Malam itu, bulak baliknya Riang ke kamar mandi melebihi jumlah bulak-baliknya Adam dan Hawa dari Shafa menuju Marwa.

Ketika tak ada lagi yang bisa dikeluarkan perutnya, Riang tertidur. Bangunnya ia temukan dua pil pereda sakit perut, juga nasi hangat dan lauk-pauknya. Lebih dari itu, ia menemukan uang receh di sakunya. Riang bersyukur sebab sisa upahnya kemarin, hanya cukup untuk sekali makan. Hari ini Riang habiskan waktunya di dalam tenda.

SORE HARI. Taryan datang dari balik tikungan. Ia bawakan Riang satu lembar celana panjang dan jaket tentara. Acuh-tak acuh ia lempar celana dan jaket berpenutup kepala itu ke arah sahabatnya.

“Pake!” Taryan melempar. ”Persediaan celanamu habis. Untuk sementara pakai dulu yang kubeli!”
”Maaf nyusahin situ!” Hati Riang serasa di gosok batu. Ia terharu.
Taryan menghela nafas, “Yang? ... kau ingat waktu pertama kali kita bertemu?”
Riang anggukan kepala.
“Sekarang saatnya aku balas kebaikanmu!”
Mereka diam.
”Yang?”
Riang masih diam.
“Kita akan saling menjaga!”

Mata Riang buram. Ia mengangguk pelan. Ia sandarkan badan dan limpangkan jaket di dengkulnya. Taryan merasa canggung melihat Riang seperti itu. Menggunakan alasan: belum shalat ashar, ia pergi, tetapi baru beberapa langkah berjalan Taryan tertawa kemudian berbalik.

“Nih seadanya!” Ia melemparkan sebuah kantung plastik lagi. Taryan melangkah kembali menuju masjid.

Riang membuka bungkusan yang dilemparkan. Ia menemukan kerupuk lepek dan sebungkus nasi di dalamnya. Meski tanpa lauk-pauk Riang merasa nikmat. Air yang memburami matanya merembes, mengalir melewati hidung, menetes dan menjadi kuah yang menggarami nasi bungkusnya.

Satu jam setelah makan berselang, sakit Riang bertambah parah. Riang berak di celana. Ia pikir Taryan berniat membunuhnya.

TARYAN YANG DATANG saat udara magrib diisi kesejukan, terkejut saat menemukan Riang yang tengah kelojotan. Kalau terus menerus begini temannya bisa mati. Maka di bawanya Riang menuju warung Aplatun.

”Sebaiknya kau bawa Riang ke dokter Nurlaila.” Aplatun memberi saran.
”Tak punya uang Ton!” Mendengar kata dokter Taryan ketakutan.
”Coba kamu ke sana!Dia bukan dokter matre!”

Bukan dokter matre berarti menjadi idola di kalangan tak berpunya. Menjadi idola di kalangan tak berpunya berarti sang dokter tidak memberi tarif gila, seperti dokter yang kerasukan mengejar setoran. Menjadi idola di kalangan tak punya adalah jaminan bahwa si dokter tidak akan mempengaruhi pasiennya untuk membeli obat mahal yang ditawarkan salesman pabrik farmasi, agar ia bisa pergi dua kali ke luar negeri setahun sekali.

Berbekal alamat dan teh pahit buatan Aplatun, Riang dan Taryan berjalan hingga terminal Kebun Kelapa. Di sana orang-orang berteriak menjual baju, menjual celana bekas dan baru. Tukang stiker menyingkir, menutup barang dagangannya dengan terpal biru. Tukang martabak dan gorengan dibanjiri cahaya neon. Suara minyak panci penggorengan mendesis-desis. Penjual buku memasukan buku pelajaran, tuntunan praktis bercocok tanam, komik sampai majalah porno ke dalam gerobak.

Dekat penjual kaset yang memakai anting di bibir, Riang dan Taryan masuk ke dalam angkutan kota yang gelap. Calo meminta jatah. Uang berpindah dan roda berputar beratus ribu kali hingga mereka sampai di pusat kota: Dago. Di sana orang-orang keluar seperti gerombolan kelelawar. Anak remaja pria dan wanita bergandengan tangan. Mereka masih muda. Masih murni, belum bau tanah. Selang-seling manusia berkerumun, masuk ke dalam pertokoan atau sekedar duduk-duduk di cafe. Cahaya benderang. Mesin mobil-mobil mewah hampir menempel di tanah. Suara bas menendang-nendang. Lampu merah menyala. Mobil berhenti. Bunga mawar putih yang dilapisi plastik transparan dijajakan Beberapa orang membeli tanpa meminta kembalian. Lampu hijau menyala, derum memekakan telinga. Beberapa mobil melesat cepat. Angkutan yang mereka tumpangi berjalan lambat, mengedut-ngendut.

Lampu merah lagi. Anak kecil memakai topi berwarna hijau dekil, masuk ke dalam. Tingginya kira-kira sedada Riang. Kakinya kanannya menjejak angkutan kota. Yang kiri, menjejak aspal. Ia memakai sendal jepit yang mereknya sama dengan yang Riang pakai. Swallow. Jemarinya kusam. Dari mulutnya yang bau, suara cericit keluar. Ia menyanyi. Suaranya sumbang.

Azan telah mengumandang (Tangannya berbunyi)
Di puncak menara tinggi.
Memanggil kaum muslimin dan muslimat, bergegas untuk bersembahyang.
Panggilan Tuhan yang Esa,
jangaaaanlah engkau abaikan. Lima kali sehari semalam,
la ... la ... la la ... (Ia lupa).

Anak itu membuka topi. Kepalanya plontos. Dijulurkannya topi itu ke arah Riang dan Taryan. Mereka memberi senyum pada si anak. Seorang wanita belia memasukan dua ratus rupiah. Anak kecil berbaju necis memberikan uangnya. Penjual suara bertubuh kecil turun dari angkutan kota. Dan lampu hijau pun menyala.

”Sampai di Simpang Dago,” Taryan bersuara. “Aku biasa mangkal di sana Yang!” Ia menunjuk warung buah-buahan yang ramai oleh warna. Ada jeruk --yang warna oranyenya bikin perut Riang melilit. Ada apel merah. Ada anggur yang membuat liur Taryan terbit dari kerongkongan.

“Di bawah triplek itu,” Taryan menujuk papan bertuliskan Jus Ngeunah ”aku meniipu mahasiswa ITB yang katanya pintar-pintar itu.”

“Orang yang pandai berakting, harusnya jadi bintang film.” Riang berkomentar lemas.
Taryan memukuli dadanya seperti kingkong.

Angkutan kota berhenti di depan sekolah bertingkat dua, saat Taryan berteriak ”Kiri”. Mereka menatap plang-plang, dan masuk ke dalam gang.

Dr. Umum Nurlaila
Praktik Dari Hari Senin – Sabtu
Pukul 17.30-21.00

Pas! Mereka masuk ke dalam ruang praktik. Warna cream dinding membuat mereka silau. Sebuah buku tulis terbuka di atas meja bertaplak putih. Seorang wanita muda tersenyum. Lampu membuat rambutnya yang panjang terlihat merah. Riang dan Taryan membalas senyumnya.

“Baru kesini?” Tanya wanita itu ramah
“Iya. Nganter teman!” Taryan antarkan Riang menuju sofa. ”Sebentar ya Mbak.”
“Namanya siapa?”
“Saya Taryan!”

Wanita itu tidak memakai lipstik tapi warna bibirnya merah jambu mengkilat ditimpa cahaya lampu. Ia keluarkan karton hijau bergaris.
”Akang, sakit apa?”

Taryan menunjuk. “Yang sakit bukan saya. Itu ...”

“Jadi yang sakit bukan Akangnya.” Wanita itu mengambil tip ex. “Nama teman Mas siapa?”
“Riang?”

Taryan kebingungan. Wanita itu melihat ke arah Riang, meminta nama panjangnya.

“Riang Merapi!” Riang menyahut dari tempat duduknya, kemudian mengenakan penutup kepala, memperhatikan wanita itu, namanya Milea. Ia mengingat baik-baik huruf yang menempel di dada wanita itu. Melihat Milea membuat sakit perutnya berkurang. Selesai menulis nama, Milea masuk ke dalam sebuah ruangan. Tak lama, pintu dibuka. Pasien wanita berpakaian seronok muncul. Mukanya lesu. Sekarang, giliran Riang dan Taryan masuk ke dalam.

Seorang wanita tua berwajah keibuan duduk di sana. Umur nya sekitar 50 tahunan. Ia persilahkan si pasien duduk dan menceritakan keluhan. Setelahnya Riang berbaring di ranjang.

Dokter menekan perutnya. “Sakit atau tidak?”
“Sakit!”
“Asal dari mana?” Dokter Nurlaela memasang stetoskop.
“Thekelan Jawa Tengah Bu.”
“Disini kerja?”
“Jadi kuli bangunan di Kebun Kelapa.” Riang berbohong. Ia malu mengakui statusnya sekarang.
“Di Bandung ada keluarga?”
“Ndak ada!”

Pemeriksaan selesai. Ada tanda tanya di wajah dokter. Riang memakai baju dan jaketnya.

“Terakhir mengkonsumsi apa?” tanya dokter sembari mencuci tangan di keran.
Hampir saja Riang bilang Big Boss. Kerudung yang dikenakan dokter Nurlaila membuatnya tak tega berterus terang.
”Tongkol” yang terucap dari mulut Riang.
”Untuk sementara makan bubur saja.” Dokter mengambil kertas. ” Selama dua hari ini, jangan makan yang keras-keras.”

Riang menyenggol dengkul Taryan.

Taryan memasukan tangan ke dalam kantung celana. “Biayanya berapa Bu?”
“Sebentar,” Dokter menulis resep di kertas. “Apotik ada di samping.” Katanya.

Taryan mengulang pertanyaan, “Maaf Bu ... berapa biaya berobatnya?”
“Tidak usah.”
“Jangan!” Teriak Riang dan Taryan hampir bersamaan.
“Tak apa. Uangnya dibelikan obat saja”.
”Jangan Bu!”

Dokter Nurlaila tersenyum melihat bolong di gigi Taryan. Tak perlu lagi ada percakapan mengenai biaya, sebab keputusannya sudah final.

Riang dan Taryan pamit berdiri. Taryan mengambil tangan dokter Nurlaila. Dahinya ia letakan di atas lengannya. Dokter kebingungan. Mereka pun keluar. Saat pintu hampir tertutup, dokter keluar dari ruangannya. Kali ini suaranya terdengar hangat. “Lekas sembuh ya Nak!” Hari ini hati kedua orang itu dipenuhi bunga. Dokter Nurlaila membuat bahagia. Mereka memetik pelajaran bahwa tak selamanya orang yang kelihatan dingin tak mempunyai kepedulian.

Malam itu di bawah temaramnya bintang Taryan bermimpi bertemu mertuanya. Riang lain lagi. Ia bermimpi bertemu Milea. Dalam mimpinya, Milea mencoreng morengi wajah Riang dengan arang. Dalam tidurnya Riang tertawa. Subuh harinya, ia sudah bisa kentuti wajah Taryan.

READ MORE!

Ramones (Wonderfull World)

Posted: Rabu, 17 Juni 2009 by Divan Semesta in
0


I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself what a wonderful world.
I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself what a wonderful world.
The colors of the rainbow so pretty in the sky
Are also on the faces of people going by
I see friends shaking hands saying how do you do
They're really saying I love you.

I hear babies crying, I watch them grow
They'll learn much more than I'll never know
And I think to myself what a wonderful world
Yes I think to myself what a wonderful world.

(Dedicate for Chirek, Solstance and their spouse.
Hope Allah will give prosperity to your new family.
Love you All. Yihaa :))

READ MORE!

Mabuk Bab 16)

Posted: Sabtu, 13 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Sore hari, usai lempar ratusan batu-bata, bahu dan pergelangan tangan Riang terasa pegal. Dua kuli bangunan yang sejak awal jadi teman Riang bekerja mengajaknya pulihkan stamina.

”Kita minum Big Boss Yang.”
”Cape pegel ilang, badan jadi hangat. Ada lagi khasiat yang utama.” teman Riang sesama buruh bangunan tersenyum genit.

”Minuman apa itu?” tanya Riang, ”bagaimana dengan khasiatnya?”
”Bisa membuat lelaki seperti kita jadi banteng!”
”Ngamuk diranjang!” seru kuli yang satunya.
“Bukan cuma ngamuk, Yang. Nanduk-nanduk!”
“Kelojotan!”

Mereka tertawa dan Riang percaya. Maka setelah dua orang kuli itu shalat Isya, dibawanyalah Riang menuju penjual jamu. Sampai di sana salah seorang teman kerja Riang berteriak. “Biasa!” dan tersedialah tiga cangkir minuman bening warna kuning.

Riang membaui Big Boss. Ia curiga. “Akohol!?” tanyanya sambil mendelikan mata.
Dua kuli berpandangan. ”Emang pernah minum AO Yang?!”
“AO?!”
“Anggur Cap Orang Tua! Masak gak tau?”
“Ndak tahu itu!”
“Udah minum Topi Miring?”

Riang mengangkat bahu.

“Minuman beralkohol!” jelas kuli yang satunya, menengak seseloki air jeruk yang menemani Big Boss.
“Ndak pernah tapi waktu di SMA pernah hampir minum.”
Penjelasan ”hampir” menjadi bahan cemoohan.
“Eu maneh mah. Alah! Kamu itu! Nanya-nanya minuman alkohol, tapi teu nyaho, tapi nggak tau Topi Miring jeung sama AO!”

Ketidaktahuan merupakan kelemahan. Riang pun dibombardir oleh dua orang kuli mengenai khasiat Big Bos yang menggemparkan dan anak kemarin sore ini, akhirnya tertarik juga.

”Pahit!” Desis Riang saat mencoba.
”Pan, kan jamu!”
”Jamu kuat Yang!”

Ludeslah Big Boss yang ada tangan Riang. Minuman ditambah. Dua kuli menyoraki. Memberi semangat supaya Riang minum untuk yang keduakalinya. Satu menit setelah meletakan gelas ke dua, Riang merasa tubuhnya diayun. Badannya digoyang ke kiri ke kanan. Ia bakal hilang kesadaran. Ia tak kuat. Dunia yang lambat membuat tubuhnya terasa dicanteli gandulan besi. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya Riang mabuk berat.

Dua kuli bangunan tak menyangka, jika efek Big Boss sedemikian kuat untuk teman barunya itu. Usai habiskan minum mereka membawa Riang pulang menuju bedeng. Namun apa yang bisa diharapkan dari dua orang pemabuk? Keduanya putus asa. Setelah membopong cukup lama, Riang ditinggalkan di samping monumen Pancasila yang sakti mandraguna.

Pagi hari menjelang kembalinya matahari, Riang bangun. Ia mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ia menemukan. Riang mengumpat meski diakuinya benar khasiat Big Boss membuatnya bugar. Riang mulai merasa khawatir. Ia harus memastikan berada pada jam berapa hari ini, di dunia ini.

Ketegangan menyedot seperempat stamina tubuhnya.
”Sekarang jam berapa Mbak?” Ia bertanya pada seorang wanita.
Simbak yang seharusnya dipanggil teteh tak mendengar. Riang mengulang
”Maaf ... Mbak. Sekarang jam berapa?!”
Muka si Mbak pucat! Bulu -bulu halus di sekitar lehernya berdiri. si Mbak menarik kemeja birunya cepat-cepat.
”... jam 8.30.”
Jam 8.30 ... jam 8.30!!!
Plak! Riang menghantam jidat. Ia berteriak
”Mati aku!”

Mendengar kata mati, si teteh geulis gumelis terkejut. Ia lari, melolong-lolong. ”Toloooooooooooooooooooooong!” Sebuah angkutan kota yang bunyi knalpotnya menyerupai kentut berhenti menyelamatkannya.

Seharusnya Riang tertawa menyaksikan akibat yang ia perbuat. Kehawatiran membuat sense of humornya hilang. Menyadari dirinya terlambat, Riang terpekur. Ia mulai berpikir buruk mengenai nasibnya ke depan. Riang tak mau jadi pengemis seperti Taryan. Ia tidak mau menadahkan tangan sambil tidur-tiduran seperti binatang dabba, seakan reptil yang melata! Riang tidak mau. Ia lebih memilih jadi kuli karena tahu, menjadi pengemis itu susah menahan gengsi.

Tubuh Riang lemas, perutnya sakit! Cahaya matahari tak lagi terasa hangat. Muncul dingin di perutnya! Pengaruh cairan kekuningan Big Bos mengaduk perutnya. ”Sialan! Sialan!” Umpat Riang berulang-ulang.

Kata sialan tak pernah bisa merubah keadaan. Riang pun memberanikan diri menemui mandor di tempat kerjanya. Jujur ia jelaskan semua kejadan bahkan yang seharusnya tak ia ceritakan.

Mandor tak ambil pusing. Ia tak butuh alasan, terlebih jika alasan itu tak ia sukai. Bagi mandir mabuk merupakan perkara berat. Riang langsung divonis. Ia tidak bisa mengajukan banding. Keputusan telah di buat. Ia dipecat!

Dengan wajah yang lesu ia menuju warung Aplatun.
”Taryan kemana Ton?”

Antoni angkat bahu, bibirnya bergelayut. ”Mana kutahu. Malam tadi kusuruh tidur di sini. Dia tak mau.”
”Kenapa tak kerja?!”

Riang tak menjawab. Big Bos lebih dulu mencuri perhatiannya. Mengaduk-aduk perutnya. Perut Riang merilit. Ia menuju kamar mandi. ”Ikut buang air Ton!” Riang berlari, berteriak.

Antoni tidak bilang jika air PAM di warung tak mengalir deras. Riang keluar. Ia lari terbirit menuju WC perguruan tinggi. Riang mengejan cukup lama di sana. Ia merasa sakit perutnya merupaka siksaan terberat untuk umat manusia. Ia tak mengetahui bagaimana sakitnya seorang wanita saat melahirkan, pinggulnya serasa dijebol! Riang tak akan pernah mengetahui.

Selesai menuntaskan hajat, Riang berjalan menuju kediamannya semulanya yang berupa tenda darurat beratap terpal itu. Di jalan ia mengantungi kerikil sebagai berhala penangkal. Ia tak mau kapacirit, buang air di celana, di jalan raya.

READ MORE!

Takdir (15)

Posted: Sabtu, 13 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Mencurigai adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang. Beberapa bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’ itu menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan pulang ke desa. Lelaki itu tahu bahwa permasalahan yang tidak dapat dipastikan kesudahannya, bisa membuat dia masuk ke lubang yang sama berbahaya dengan kehidupan di Jakarta.

Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui pihak yang berwajib. Naiklah ia di kereta kelas kambing. Ia duduk di depan ruangan, di mana jutaan penumpang mengeluarkan seni. Belama-lama di dekat tempat sebau itu, tentu tidak membuat apresiasi seni si lelaki makin tinggi. Manusia perlu udara bersih. Lelaki itu pun demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat waktu itu menghentikan perjalanannya.

Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di gerbong kereta. Karena tak punya karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk ditempel, lalu disalam-salam, lelaki itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir.

Ia berjalan sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak salah, karena yang salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak tentu arah. Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin. Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri. Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh.

Orang-orang di trotoar mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat menyalip dengan cepat. Kalau diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin kecepatan salipnya mencapai 20 km/jam. Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia hampiri, ia bangunkan, ia silangkan lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu menuju warung tempatnya makan. Lelaki itu diberi pemilik warung indomie segelas teh panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan lelaki itu, sejak saat itu pula, Riang mendapat dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Antoni, si pemilik warung indomie dan seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan.

Sebagai teman, Antoni memiliki perbedaan dengan Taryan. Jika Antoni selalu memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban untuk Riang, Buruk-buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi ’asuransi’ apabila ia ditimpa kecelakaan di masa mendatang. Ini tidak berlangsung lama. Apa yang dilakukannya untuk Taryan dianggapnya sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan pertemanan mereka. Di saat Riang benar-benar tak memiliki uang, ’asurani’ yang sudah dihapus dari pikirannya datang. Hal ini pun tak disangka sebab ia tahu jika hari yang lalu itu, Taryan tidak dapat uang sepeser setelah mengemis. Yang ia tahu tiba-tiba Taryan datang membawa dua bos rokok, dua bungkus pecel lele.

Kejadian macam begini pun jauh dari dugaan Taryan, karena lapar setelah mengemis dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, Taryan terjongkang di bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon, Taryan mohon pada Tuhan dikasih makan. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan curut bakar. Permohonan itu tak pernah terkabul. Tuhan tak pernah menawar –sekedar—nasi bungkus untuk dimakan. Namun, apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan menemukan dompet abu, di genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan menganggapnya ya.

Taryan bersorak, berhuray ada uang banyak di dalamnya. Tak seperti kali pertama kala ia merasa dosa mengambil uang keropak, dan berniat mengembalikannya. Kali ini Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet ia punya di kepalanya. Dompet berikut kartu pengenal yang ada di dalam dompet Taryan buang. Uangnya ia masukan ke dalam celana setelah di gulung menggunakan karet gelang.

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.
”Dapat uang dari mana?” tanyanya.
Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan. ”Laper kan?” katanya.

Ya jelas, Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah standar pas-pasan.
”Situ nyuri ya?!”

Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.

”Tanya- tanya segala! Mending makan aja. Nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun segera ia insyapi. Sebab, bagi gelandangan, makan tentu lebih utama dari penasaran.

Secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah Irian, secepat itu pula Riang makan. Perutnya kembung.

Taryan menepuk perut Riang.
”Enak?”
”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.
Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar biasanya ia tawarkan cewek.

”Mau disetrum atau nyetrum Yang?”

Taryan llagak. Riang tahu, Taryan tidak punya keberanian untuk itu. Sepengetahuannya shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu makan apa, besoknya Taryan mengemis sambil puasa. Keganjilan itu membuat Riang kehabisan pikir.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya perepet juga, maka rahasia uang yang dimiliki Taryan terkuak. Bengep-bengep di wajah dan noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia.

Riang mengetahui asal muasal uang temannya dan mengetahui pula kemana uang itu amblas. Uang Taryan beralih ke tangan preman. Apapun yang terjadi, bagi Riang, Taryan telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka berjalan Sejak itu tak ada lagi hitung-hitungan asuransi di kepalanya. Teman adalah teman.

Setelah dua orang itu kehabisan uang, lantas apa yang terjadi?

Taryan tak bisa mengharapkan dari hasil mengemis, pasalnya kemudaan diri dia membuat orang, sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada yang memberi, itu lebih dikarenakan mencari aman. Uang simpanan Riang pun ludes. Semua jerih payah dan pemberian Bapaknya habis. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Antoni. Tangan mereka tak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Antoni adalah manusia yang menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka.

Diberi makan, Riang dan Taryan semangat mencari uang. Mereka berpencar mencari peluang. Peluang pertama menjumpai Riang saat sebuah kecelakaan terjadi. Riang melihat kerumunan. Kasak-kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari ketinggian. Katanya tiga kepal batu jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang penyangga.

Batu pertama jatuh merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur helm dua orang pekerja pememanggul pipa Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang mereka kenakan jadi tidak begitu berfungsi apalagi fungsi menyelamatkan kerja mereka.

Dua buruh bangunan pingsan. Segera celah sempit yang melebihi sempitnya celah Keiber itu dimasuki sang pencari peluang. Riang meliuk-liuk di antara kerumunan. Ia bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan.

Satu jam kemudian, dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari kemampuan buruh bangunan, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakannya. Dalam keadaan biasa, siapa yang bakal percaya, dan mau memperkerjakan orang yang datang tiba-tiba? Tapi bukankan keadaan di dunia, tidak selamanya merupakan keadaan biasa? Mandor memutuskan. Riang dipekerjakan.

Takar-menakar di kepala mandor yang akhirnya menghasilkan keputusan itu lataran ia diburu atasan, dan atasan mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Selesai menyepakati draft kontrak, Riang semangat lari demi memberitahu Taryan. Pikirnya ada pekerjaan kasar yang bisa Taryan lakukan. Sayang, keinginan Riang tak kesampaian.

Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi sangat diperlukan. Memang, mandor butuh pekerja, akan tetapi akal sehatnya menuntut dia untuk mempekerjakan orang yang memiliki selembar kartu sebagai jaminan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan Taryan

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Siapa yang nanti temani Taryan?, pikirnya. Riang perlu jalan keluar.

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”
”Sudah ku ajak Ton.”
”Tidak bisa? ”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”
”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”
“Jadi hanya karna KTP?”
”Pasti karena itu!”
“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”
“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan, tapi mandor nolak!”
“Sekarang apa yang dia perbuat?”
”Taryan?”
”Ya.”
“Tidak tahu! Dia tidak bilang waktu tadi pergi. Aku kasihan padanya....”
Antoni merasakan kesedihan itu.
”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”

Antoni menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.

”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau Kau mau tidur, tidur di sini saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Demi solidaritas antar teman yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah beban Riang. Ia tidak merasa dosa saat Taryan menemuinya di warung indomie.

Taryan menjinjing kantung kresek. Isinya segepok gajih kambing.
”Apa yang kau bawa?” tanya Antoni.
”Nanti kau tahu. Ton ... sekarang pinjami aku uang.” Taryan cengegesan.
“Untuk apa?”
“Beli obat merah.”

Antoni membuka laci harta karunnya. Diberikannya beberapa lembar uang berwarna merah.
”Besok ku ganti Ton.”
”Tak usah! Amal!”

Antoni tahu apa yang dilakukannya. Gaji kambing itu digunakan Taryan membantunya mengemis. Alhasil, setiap hari, puluhan uang receh masuk berdenting-denting ke dalam plastik biru deterjen milik Taryan.

Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Tak lama lagi, profesi inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua hari, Taryan kembali membuktikan eratnya hubungan timbal balik antar mereka.

READ MORE!

Islamisasi Ilmu.

Posted: Kamis, 11 Juni 2009 by Divan Semesta in
3

Naquib al Atas adalah ilmuwan humaniora yang menjadi salah satu garda terdepan pohon bakau penahan tsunami orientalisme di dunia Islam. Ada sebuah konsep menarik yang di sampaikan oleh dia, mengenai Islamisasi ilmu. Jika kalian membacanya, buku dia mungkin bisa diibaratkan seperti pesawat Nasa yang tengah berusaha menerabas atmosfer bumi. Jika belum terlatih, penumpang yang ada di dalamnya pasti mengalami guncangan yang membuat kepala pening. Sy pribadi belum pernah, membaca buku ilmuwan asal Bogor itu sampai tuntas. Namun, sy yakin sebenarnya konsepsi dia menarik dan sebenarnya sangat sederhana.

Islamisasi ilmu itu bisa dijelaskan, seperti halnya ketika sy mendengarkan lagu Superman is Dead berjudul kita bersama (yang pernah sy posting) misalnya. Lyric lirik lagu SID tidak pernah meracuni pemikiran sy. Lyric itu saya olah di kepala, dan diartikan oleh pengalaman dan mungkin so called struggle yang tengah sy dan kawan-kawan lakukan.



Islamisasi ilmu, mungkin bisa dilebarkan menjadi islamisasi lagu. Bukan hanya lagu Jika kami Bersama, yang di dalamnya terdapat lirik Kita muda dan berbahaya, yang selalu mengingatkan sy mengenai our bond as a brother, tapi, lagu-lagu yang lainnya. Setiap mendengar Burgerkill, biasanya solat sy serius. Mendengar lyric The Used, atau MCR, atau Rancid tidak membuat kepercayaan terhadap pemikiran Islam tergerus. Kau (dengan huruf kecil) yang biasanya dilekatkan dengan cewek di dalam lagu-lagu genre emo, saya ganti dengan hal yang dalam pengertian sy positif, atau apalah (sy yakin kamu mengerti).


Sekarang, ada sebuah pertanyaan yang tersisa, apa yang telah kita islamisasi, teman dan sahabat? Akankah Islam itu di sekularisasi, islam di “komunisasi”, Islam dikomoditi, ataukah kita yang mengkomodisasi mereka?

READ MORE!

Menggelandang (Bab 14)

Posted: Selasa, 09 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Waktu seperti trenggiling, berguling-guling di tanah menindas semut yang menjadi sisa makanannya. Demikian pula dengan Riang. Ia digulung waktu. Rencananya semula memburam tidak seenak mie ayam.

Selepas berangkat dari Thekelan menuju Yogya, Taryan tak menemukan lelaki yang dicari meski seluruh terminal Yogyakarta sudah ia hampiri. Ia semakin yakin Simbok Marmi atau Marmut, menipu dirinya. Seburuk-buruknya anak, --meski mengetahui anaknya melakukan kesalahan besar-- orang tua tetap akan bepikir berpuluh kali untuk memberikan informasi yang akan membahayakan anaknya. Peribahasa itu khusus untuk orang tua yang akal dan perilakunya pertengahan antara waras dan tidak. Peribahasa itu, tentunya tak berlaku untuk Mbok Marmi, duga Riang.

Riang tak putus asa. Ia terus menekuni apa yang dicarinya. Dan sebuah pribahasa lain dari negeri kita mengatakan bahwa sepandai-pandainya tupai buang gas akhirnya terendus juga, terbukti dalam kehidupan Riang. Informasi mengenai keberadaan Kardi, ia dengar melalui perbincangan di warung kopi.

”Nyeberang ke Kalimantan!” seorang tukang becak menerka.
” Genduruwo itu kabur ke Bandung!” yang lainnya menyanggah.
”Biar hidup wong gendheng itu tidak tenang! Biar modiar sekalian!” timpal penjual soto Lamongan

Informasi itu simpang siur di jalanan. Di bicarakan diam-diam namun dipenuhi dendam. Kebencian Riang adalah kebencian orang-orang itu juga dan informasi yang tak memiliki akurasi tersebut memancingnya untuk terus mengejar Kardi.

“Lain waktu bukan aku yang ke Thekelan. Lain waktu Riang yang akan ke tempatku.”

Keyakinan Fidel akan ucapan yang di sampaikannya di Kopeng, membuat Riang tak ragu pergi menuju kota pelarian itu. Sesampainya di Bandung kenyataan segera menghampiri. Ia menemukan kontrakan yang kosong.
”Fidel mangkat ka nu tebih,” jawab induk semangnya.

Mojang Priangan yang orisinil cantik itu menterjemahkan perkataan indungna, ibunya. ”Fidel pergi ke tempat yang jauh Kang.”

Mengenai jauhnya berapa kilometer, letaknya di mana, induk semang dan anaknya tak dapat menunjukkan. Mereka hanya menjawab, ”Fahan, fahan ... naon nya, apa ya, di tempat Sadam Husein sigana mah, sepertinya.”
”Irak?” Jawab Riang.
”Sigana! Mungkin!”
”Sugan We, bisa saja di Iran, nggak tahu lah, Kang.” Anaknya yang cantik memungkas.

Kedua orang itu tak dapat meyakinkan Riang. Harapan bertemu Fidel menjadi ampas. Tak ada tempat berteduh bagi Riang tetapi ia tak peduli jika harus menggelandang. Ia tak peduli meski harus menjalani hidup di jalan.

PAGI BUTA. Dingin akhir musim kemarau menjeruji kaki. Cahaya lampu hotel dan rumah mewah Dipati-Ukur memantul dari steinles stell pagar yang cerlang. Bintang pagi meremang. Subuh datang membuka hari. Bergulirlah kembali. Malam digilir pagi dan pagi digilir malam. Terus seperti itu hingga seisi semesta gulung tikar.

Berada ruang besar yang disanggah hukum alam, Riang meringkuk, berselimut kertas koran alas shalat jumat kemarin siang. Ia diami ghetto di bawah semesta nan rindang. Tempat kediaman itu ia dibuatnya menggunakan peti buah, spanduk curian dan terpal sobek yang ia jahit. Terpal dan spanduk ia jadikan sebagai atap sementara kayu peti buah yang di ikat tali rapia ia jadikan rangka. Tempat kediaman itu tak pantas disebut kediaman, sedikit lebih pantas jika disejajarkan dengan kandang.

Jam delapan. Toet-toet knalpot, ketepok ladam kuda dan tapak kaki sepasang manula memopor kesadarannya. Riang membuka mata. Lendir yang halangi pandangan, membuatnya berpikir tentang lendir yang bisa dijadikan lem perangko atau pengganti garam perangsang nafsu makan. Riang melihat ke kanan dan ke kirinya. Ia tak menemukan orang yang selama ini menemaninya di jalanan. Riang hany melihat seorang perempuan berambut kusut tengah jongkok tak jauh dari tempatnya, tertawa di dalam bak sampah.. Rambut kusut perempuan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya.

Baju Riang lusuh. Mulutnya bau septictank. Di kupingnya dedak kuning menumpuk. Di rongga hidungnya lendir hijau mulai mengerak. Rasa jijik pada diri sendiri membuatnya merasa bersalah.

Riang berniat mandi. Ia bangun dari conblock dan baru menyadari jika perempuan itu memperhatikannya. Perutnya perempuan itu bengkak. Riang tiba-tiba teringat kisah yang beberapa waktu lalu dianggapnya dongeng belaka.

”Ada seorang betina gila. Betina gila yang dicokok dari jalanan,” demikianlah Aplatun mengawali ceritanya. ”Betina gila itu di ambil sekelompok preman menggunakan mobil bak!” Pemilik warung indomie itu mulai mendesis. Ia mulai mendramatisir. ”Lalu, lalu perempuan gila itu dibawa ke sebuah tempat, sebuah tempat yang jumlah manusianya dalam satu kilometer hanya sejumlah rokok di dalam satu bos! Di tempat sepi itu, si perempuan gila di masukan ke dalam kali. Perempuan gila yang kulitnya bau kesemek busuk itu diberi sabun!” Aplatun mencermati benar wajah Riang dan Taryan. ”Orang gila mana ngerti yang namanya kebersihan.” Aplatun meringkik senyaring ringkikan kuda. ”Bukannya bersihin badan, eh ... eh dia malah nyipratin air orang-orang yang nunggu tontonan streaptease gratis di pinggir kali!”
”Streaptease apa Ton?” tanya Taryan antusias.
”Nari bugil, gaya ular kobra,” Aplatun mendongak, tertawa.
”Terus, terus?”
”Preman-preman itu gak sabar.”
”Sebabnya?”
”Perempuan gila itu ngulangin kegiatannya.”
”Ngulangin apa?”
”Nyiprat air!” Riang mencemooh kesal. ”Lanjut Ton!” ia tak sabar.
”Waktu si perempuan gila itu ’ngulang-ngulang kegiatannya’ preman-preman pada buat undian. Yang kalah harus mandiin, harus nyampoin perempuan gila itu di kali!”
”Yang undian siapa?”
”PREMAN!!” Riang membentak Taryan sebelum Aplatun menjawabnya.
Ada kemenangan yang muncul diketiak saat Taryan berhasil menjahili Riang. Ia tertawa.
”Setelah di mandiin gimana Ton?”
”Ya tentulah!”
”Tentulah apa?” Tanya Riang penasaran.
”Lelaki yang sudah mimpi basah harusnya bisa nebak!” Taryan balas berteriak membuat pekak. ”Disetrum Yang ... Disetrum!”
”Dan setelah disetrum, perempuan gila itu menjadi-jadi!” Aplatun menggambarkan seolah ia menggambarkan kebahagiaan Socrates dalam Phaedo sebelum filsuf Athena itu menenggak hemlok, racun.
”Menjadi apa?” Riang keracunan.
”Haus seks!” Aplatun tertawa penuh kebahagiaan.

Di sanalah cerita berakhir. Di sana pulalah Riang menganggap cerita Aplatun berlebihan. Terlalu banyak dramatisasi. Tetapi, lain soal ketika Riang perut perempuan gila di hadapannya melendung. Perempuan gila itu pertanda. Ia mulai memperhatikan perempuan gila yang tengah jongkok dan makan sepuasnya di dalam bak sampah. Dilihatnya mata perempuan itu berkeliling seperti komedi putar. Perempuan gila itu melihat makanan. Berkeliling melihat segala macam lalu melihat makanan. Lalu melihat Riang. Melihat makanan. Melihat Riang. Melihat makanan. Melihat Riang.

Perempuan gila cengar-cengir. Ia lempar makanan basi yang ada ditangannya. Badannya ngesot dan... horas bah! ... dimasukannya jari yang masih ditempeli nasi ke dalam kemaluan. Astaganaga bung Rhoma! Dia masturbasi! Hawa tubuh Riang mencapai titik panasnya! Riang gemetar! Baru sekali ia melihat kejadian live macam gini.

Riang palingkan pandangan. Di balik kaca belakang angkutan kota, anak-anak SMA tertawa. Orang-orang melihat ke arah Riang, lalu melihat si perempuan gila. Riang dan dia. Dia dan Riang. Uh malu! Riang lekas menjauh. Ia benar-benar insyap.
Semua rencana yang dipikirkannya pagi itu buyar. Ia bergegas menjumpai Taryan.
”Cerita Aplatun benar!”

Lalu peristiwa penting melebihi perang Paregreg bahkan perang tiga tahun di Stalingard itu membuat kedua lelaki aneh itu rela berjalan selama seperempat jam, tergopoh-gopoh menuju warung sekaligus pemilik radio penyebar informasi amatir.

Aplatun yang tengah menabur merica di atas telur setengah matang melihat ke dua orang ini berjalan ke arahnya, masuk ke dalam warungnya, terengah-engah menceritakan apa yang dialami Riang pagi itu.

”Orang gila yang Kamu lihat itu korban kejadian sebelumnya.” Komentar Aplatun santai. Ia malah menjerumuskan ke dua orang aneh di hadapannya pada cerita lain yang tak kalah menjijikan.

Riang dan Taryan menukar pandangan. ”Sebelumnya berarti ada yang ...”

”Tidak, tidak!” Aplatun memang jago menimbulkan pertanyaan dan angan-angan yang kebablasan. ”Tidak ada perempuan gila lagi dalam ceritaku! Cerita ini lebih keren lagi.” Katanya.

”Ayo Ton... Ayo Ton!” Riang dan Taryan menyemangati.
Lantas diceritakannyalah, ditanamnya belati di dalam dubur aki-aki, kakek-kakek.
”Dan tahukah kalian?”
”Apa wahai begawan?” Riang tertawa.
”Belati yang ditanam di dubur adalah hasil cocok tanam ’belati tumpul’ si aki waktu muda!”

Di neraka dunia tempat Riang menjebloskan diri, sudah tak terhitung preman menanam belati tumpul di dubur anak jalanan. Kalau anak-anak malang berteriak kesakitan ”Wuah! Akh! Ampun!” si preman malah teriak. ”O Yeah! Yeah,” kerasukan setan kenikmatan. Kebiasaan umat nabi Luth itu dilakukan hingga si anak jadi terbiasa dan karna terbiasa, kejadian ini menjadi siklus. Anak-anak kecil yang dulu di tanam balik balas menanam di dubur anak kecil yang tak berani melawan. Tapi tidak semuanya begitu.

Ada seorang anak yang tidak malang melintang di dunia sodom dan gomoroh. Setelah disodom, ia menunggu kesempatan. Ia memendam amarahnya. Ia tunggu perhitungan dengan orang yang pernah menyodomnya. Setelah dewasa. Setelah menjadi penguasa lahan parkir di Cileunyi dubur aki-aki yang di masa lalu pernah mempraktikan kesesatan itu ditikamnya. Lalu, munculah pertaubatan besar akhir zaman. Jalanan sepi kasus penyodoman. Preman-preman dewasa mulai mencari jalan aman penyalur kebutuhan biologisnya. WTS dan orang gilalah yang terkena getahnya. Perempuan gila yang Riang temui, salah satunya.

Taryan gelengkan kepala. Riang tidak. Ia hanya menggeleng setengah. Riang teringat danau Merbabu. Ia teringat bagaimana cara Pepei dan Fidel membangun sebuah kepercayaan dalam dirinya. Ia ragu lagi pada Aplatun. Cerita dia tidak pernah Riang lihat dengan matanya sendiri. Keberadaan perempuan gila memang bisa menjadi bukti, tetapi bisa jadi bukan. Cerita penanaman belati yang terrlalu ekstrim itu membuat Riang merasa perlu menambahkan melihat perempuan gila disetubuhi. Dipikirnya lagi Aplatun bisa saja mengarang bebas.

”Cerita itu berasal dari mana? Dari siapa?”
Mata Aplatun yang sipit makin menyipit. Senyumnya yang melar membuatnya nampak misterius. Senyum Aplatun msenimbulkan spekulasi. Bisa jadi anaknya! Yang ada di dalam perut perempuan gila itu anaknya! Aplatun tega khianati keluarganya! Tapi masa? Riang yang bertanya, dan Riang pun yang membantah, Lha berkeluarga itu bisa saja karangan dia. Aslinya Aplatun jangan-jangan! Jangan-jangan?

Riang meragukan Aplatun. Ia mulai mengingat, mengkaitkan segala sesuatunya, termasuk tawaran bertubi agar ia dan temannya tidur di warung Indomie milik Aplatun. Riang mulai terjangkiti. Ia mulai khawatir jika sebilah belati tumpul ditanam di lubang belakangnya.

Untuk sementara kekhawatiran mengidap di dalam diri Riang. Tak lama keraguan itu hilang sebab niatan Aplatun memang tulus. Di luar apa yang dikhawatirkan Riang, sesungguhnya rasa curiga yang dimiliki Riang tatkala hidup dijalan sudahlah benar. Jalanan itu keras seperti kehidupan zaman purba saat tyranosaurus jadi raja. Asal punya power, punya kekuatan, semua seakan sah jadi kanibal. Sah --diangkat tanpa surat pengangkatan-- jadi tukang kadal, tukang bunuh, tukang sodom. Di jalananlah awal mula seleksi alam manusia terjadi. Karenanya jika mau survive seseorang harus benar-benar mempercayai setelah melewati proses mencurigai.

MENCURIGAI adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang. Beberapa bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’ itu menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan pulang ke desa.Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui pihak yang berwajib.

Duduk di depan ruangan, di mana jutaan penumpang mengeluarkan air seni. Manusia perlu udara bersih. Lelaki itu pun demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat waktu, menghentikan perjalanannya. Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di gerbong kereta. Karena tak punya karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk ditempel lalu disalam-salam, lelaki itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir. Ia berjalan sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak salah karena yang salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak tentu arah. Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin. Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri. Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh. Orang-orang di trotoar mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat menyalip dengan cepat. Kalau diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin kecepatan salipnya mencapai 20 km/jam.

Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia hampiri, ia bangunkan, ia silangkan lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu menuju warung tempatnya makan. Lelaki itu diberi pemilik warung Indomie segelas teh panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan, sejak saat itu pula, Riang mendapat dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Aplatun, si pemilik warung indomie dan seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan!

Sebagai teman, Aplatun memiliki perbedaan dengan teman Riang yang lamanya dia di tempat orang buang air seni itu ternyata tidak membuat apresiasi seninya semakin tinggi. Jika Aplatun selalu memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban untuk Riang. Buruk-buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi ’asuransi’ apabila ia ditimpa kecelakaan di masa mendatang dan tentu, apa yang dilakukannya ia anggap sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan mereka. Di saat Riang sudah lama menghapus asuransi yang di tanamnya sejak lama, hal yang tak di duga-duga datang ketika Taryan yang di pagi harinya ia tahu tidak memiliki uang sepeser pun tiba-tiba datang membawa dua bos rokok, dua bungkus pecel lele. Jangankan Riang, Taryan sendiri tidak menduga karena setelah mengemis dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, ia terjongkang di bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon Taryan memohon pada Tuhan dikasih nasi bungkus untuk dimakan. Permohonan itu di rendahkan tingkatannya. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan cecurut bakar. Permohonan itu tak pernah terkabul, namun apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan menemukan dompet abu di genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan menganggapnya ya. Ia menahan senyum melihat banyaknya uang di dalam dompet.

Tak seperti pertama kali kala ia merasa dosa mengambil uang keropak kemudian berniat mengembalikannya, kali ini Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet memuaskan isi kepalanya. Dompet berikut kartu pengenal yang ada di dalam dompet ia buang. Taryan menggulung uang yang ada di dalam dompet menggunakan karet gelang. Di belinya nasi bungkus dan bahan untuk ngelepus

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.
”Dapat uang dari mana?” Riang menginterogasi.
Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan. ”Laper kan?” katanya.
Ya jelas Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah pas-pasan.
”Situ nyuri ya?!”
Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.
”Tanya- tanya segala! Makan saja nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun ia sadari, bagi gelandangan, makan tentu lebih utama dari rasa penasaran, maka secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah Irian, secepat itu pula Riang makan. Perutnya kembung.
”Enak?” Taryan mengelus perut Riang.
”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.
Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar biasanya ia ngomong begini: ”Mau disetrum atau nyetrum Yang?” Taryan memasang tampang serius.

Taryan lagak. Riang tahu, temannya itu tidak punya keberanian. Sepengetahuannya shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu besoknya makan apa, Taryan mengemis sambil puasa. Keganjilan itu membuat pikiran Riang habis.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya perepet juga maka rahasia uang yang dimiliki Taryan pun terkuak. Bengep-bengep di wajah dan noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia. Uang Taryan beralih ke tangan preman. Cerita selanjutnya tidak perlu dikisahkan. Apapun yang terjadi, bagi Riang, Taryan telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka berjalan Sejak itu hitung-hitungan asuransi di kepala Riang benar benar hilang. Teman adalah teman.

HARI ITU, ketika Riang bertemu perempuan gila, semua jerih payah dan pemberian Bapaknya habis. Taryan pun tak bisa mengharap uang bercucuran dari upaya dia mengemis, pasalnya kemudaan diri dia membuat orang sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada yang memberi, itu lebih dikarenakan mencari aman.. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Aplatun.

Mereka tidak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Aplatun adalah manusia yang menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka. Makanan yang diberi Aplatun di hari ini membuat Riang dan Taryan semangat mencari uang. Mereka berpencar. Di sebuah lokasi pembangunan Riang menemukan kerumunan. Kasak-kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari ketinggian. Tiga kepal batu jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang penyangga. Batu pertama jatuh merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur helm dua orang pekerja pemanggul pipa. Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang mereka kenakan tidak begitu berfungsi. Dua buruh bangunan pingsan. Bukan sulap bukan sihir, celah sempit yang melebihi sempitnya titian rambut dibagi tujuh itu dimasuki Riang. Ia meliuk di antara kerumunan. Ia bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan. Satu jam kemudian, mandor tidak saja ditemui olehnya. Dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari kemampuan kaum buruh dan tani, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakan dia. Mandor memutuskan. Riang dipekerjakan lataran sang mandor diburu atasan, dan atasan mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Riang pun semangat berlari, usai menyelesaikan draft kontrak kerja, demi memberitahu kebahagiaan itu pada Taryan. Ada informasi perkerjaan yang juga bisa Taryan dapatkan namun pada akhirnya keinginan Riang tak kesampaian. Mandor memang butuh pekerja, akan tetapi akal sehat menuntut dia untuk mempekerjakan orang yang memiliki selembar kartu sebagai jaminan. Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi sangat diperlukan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan setiap orang.

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Ia bingung siapa yang nanti temani Taryan.

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”
”Sudah ku ajak Ton.” jawab Riang pada Aplatun yang panggilan kecilnya Ton.
”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”
”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”
“Jadi hanya karna KTP?”
”Pasti karena itu!”
“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”
“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan tapi mandor menolak!”
“Sekarang apa yang dia perbuat?”
”Taryan?”
”Ya.”
“Dia tidak bilang waktu tadi pergi.” Riang mengembungkan paru-parunya. Ia mengela nafas. ”Aku kasihan padanya....”
Aplatun merasakan kesedihan itu.
”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”
Aplatun menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.
”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau mau tidur itu sepele! Tidur di sini saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Untuk Taryan juga! Demi solidaritas antar teman yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah satu beban. Riang merasa ringan saat melihat Taryan mendatanginya sambil menjinjing kantung kresek yang dipenuhi segepok gajih kambing.
”Menjijikan yang Kau bawa!”
”Pinjami aku uang, Ton.” Taryan cengegesan.
“Untuk apa?” Aplatun memencet hidungnya.
“Beli obat merah.”

Aplatun membuka laci harta karunn. Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah.
”Besok ku ganti Ton.”
”Tak usah! Amal!”

Aplatun tahu apa yang akan dilakukan Taryan. Gaji kambing itu akan membantunya mengemis. Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Setiap hari, puluhan uang receh masuk berdenting-denting ke dalam plastik biru deterjen miliknya. Selang dua hari kemudian, profesi inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua hari ke depan, Taryan kembali membuktikan eratnya siklus simbiosis parasitisme dan mutualisme antara dirinya dengan mahluk biologis yang satunya, kawannya yang tak ada dua: Riang.

READ MORE!