Menggelandang (Bab 14)

Posted: Selasa, 09 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Waktu seperti trenggiling, berguling-guling di tanah menindas semut yang menjadi sisa makanannya. Demikian pula dengan Riang. Ia digulung waktu. Rencananya semula memburam tidak seenak mie ayam.

Selepas berangkat dari Thekelan menuju Yogya, Taryan tak menemukan lelaki yang dicari meski seluruh terminal Yogyakarta sudah ia hampiri. Ia semakin yakin Simbok Marmi atau Marmut, menipu dirinya. Seburuk-buruknya anak, --meski mengetahui anaknya melakukan kesalahan besar-- orang tua tetap akan bepikir berpuluh kali untuk memberikan informasi yang akan membahayakan anaknya. Peribahasa itu khusus untuk orang tua yang akal dan perilakunya pertengahan antara waras dan tidak. Peribahasa itu, tentunya tak berlaku untuk Mbok Marmi, duga Riang.

Riang tak putus asa. Ia terus menekuni apa yang dicarinya. Dan sebuah pribahasa lain dari negeri kita mengatakan bahwa sepandai-pandainya tupai buang gas akhirnya terendus juga, terbukti dalam kehidupan Riang. Informasi mengenai keberadaan Kardi, ia dengar melalui perbincangan di warung kopi.

”Nyeberang ke Kalimantan!” seorang tukang becak menerka.
” Genduruwo itu kabur ke Bandung!” yang lainnya menyanggah.
”Biar hidup wong gendheng itu tidak tenang! Biar modiar sekalian!” timpal penjual soto Lamongan

Informasi itu simpang siur di jalanan. Di bicarakan diam-diam namun dipenuhi dendam. Kebencian Riang adalah kebencian orang-orang itu juga dan informasi yang tak memiliki akurasi tersebut memancingnya untuk terus mengejar Kardi.

“Lain waktu bukan aku yang ke Thekelan. Lain waktu Riang yang akan ke tempatku.”

Keyakinan Fidel akan ucapan yang di sampaikannya di Kopeng, membuat Riang tak ragu pergi menuju kota pelarian itu. Sesampainya di Bandung kenyataan segera menghampiri. Ia menemukan kontrakan yang kosong.
”Fidel mangkat ka nu tebih,” jawab induk semangnya.

Mojang Priangan yang orisinil cantik itu menterjemahkan perkataan indungna, ibunya. ”Fidel pergi ke tempat yang jauh Kang.”

Mengenai jauhnya berapa kilometer, letaknya di mana, induk semang dan anaknya tak dapat menunjukkan. Mereka hanya menjawab, ”Fahan, fahan ... naon nya, apa ya, di tempat Sadam Husein sigana mah, sepertinya.”
”Irak?” Jawab Riang.
”Sigana! Mungkin!”
”Sugan We, bisa saja di Iran, nggak tahu lah, Kang.” Anaknya yang cantik memungkas.

Kedua orang itu tak dapat meyakinkan Riang. Harapan bertemu Fidel menjadi ampas. Tak ada tempat berteduh bagi Riang tetapi ia tak peduli jika harus menggelandang. Ia tak peduli meski harus menjalani hidup di jalan.

PAGI BUTA. Dingin akhir musim kemarau menjeruji kaki. Cahaya lampu hotel dan rumah mewah Dipati-Ukur memantul dari steinles stell pagar yang cerlang. Bintang pagi meremang. Subuh datang membuka hari. Bergulirlah kembali. Malam digilir pagi dan pagi digilir malam. Terus seperti itu hingga seisi semesta gulung tikar.

Berada ruang besar yang disanggah hukum alam, Riang meringkuk, berselimut kertas koran alas shalat jumat kemarin siang. Ia diami ghetto di bawah semesta nan rindang. Tempat kediaman itu ia dibuatnya menggunakan peti buah, spanduk curian dan terpal sobek yang ia jahit. Terpal dan spanduk ia jadikan sebagai atap sementara kayu peti buah yang di ikat tali rapia ia jadikan rangka. Tempat kediaman itu tak pantas disebut kediaman, sedikit lebih pantas jika disejajarkan dengan kandang.

Jam delapan. Toet-toet knalpot, ketepok ladam kuda dan tapak kaki sepasang manula memopor kesadarannya. Riang membuka mata. Lendir yang halangi pandangan, membuatnya berpikir tentang lendir yang bisa dijadikan lem perangko atau pengganti garam perangsang nafsu makan. Riang melihat ke kanan dan ke kirinya. Ia tak menemukan orang yang selama ini menemaninya di jalanan. Riang hany melihat seorang perempuan berambut kusut tengah jongkok tak jauh dari tempatnya, tertawa di dalam bak sampah.. Rambut kusut perempuan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya.

Baju Riang lusuh. Mulutnya bau septictank. Di kupingnya dedak kuning menumpuk. Di rongga hidungnya lendir hijau mulai mengerak. Rasa jijik pada diri sendiri membuatnya merasa bersalah.

Riang berniat mandi. Ia bangun dari conblock dan baru menyadari jika perempuan itu memperhatikannya. Perutnya perempuan itu bengkak. Riang tiba-tiba teringat kisah yang beberapa waktu lalu dianggapnya dongeng belaka.

”Ada seorang betina gila. Betina gila yang dicokok dari jalanan,” demikianlah Aplatun mengawali ceritanya. ”Betina gila itu di ambil sekelompok preman menggunakan mobil bak!” Pemilik warung indomie itu mulai mendesis. Ia mulai mendramatisir. ”Lalu, lalu perempuan gila itu dibawa ke sebuah tempat, sebuah tempat yang jumlah manusianya dalam satu kilometer hanya sejumlah rokok di dalam satu bos! Di tempat sepi itu, si perempuan gila di masukan ke dalam kali. Perempuan gila yang kulitnya bau kesemek busuk itu diberi sabun!” Aplatun mencermati benar wajah Riang dan Taryan. ”Orang gila mana ngerti yang namanya kebersihan.” Aplatun meringkik senyaring ringkikan kuda. ”Bukannya bersihin badan, eh ... eh dia malah nyipratin air orang-orang yang nunggu tontonan streaptease gratis di pinggir kali!”
”Streaptease apa Ton?” tanya Taryan antusias.
”Nari bugil, gaya ular kobra,” Aplatun mendongak, tertawa.
”Terus, terus?”
”Preman-preman itu gak sabar.”
”Sebabnya?”
”Perempuan gila itu ngulangin kegiatannya.”
”Ngulangin apa?”
”Nyiprat air!” Riang mencemooh kesal. ”Lanjut Ton!” ia tak sabar.
”Waktu si perempuan gila itu ’ngulang-ngulang kegiatannya’ preman-preman pada buat undian. Yang kalah harus mandiin, harus nyampoin perempuan gila itu di kali!”
”Yang undian siapa?”
”PREMAN!!” Riang membentak Taryan sebelum Aplatun menjawabnya.
Ada kemenangan yang muncul diketiak saat Taryan berhasil menjahili Riang. Ia tertawa.
”Setelah di mandiin gimana Ton?”
”Ya tentulah!”
”Tentulah apa?” Tanya Riang penasaran.
”Lelaki yang sudah mimpi basah harusnya bisa nebak!” Taryan balas berteriak membuat pekak. ”Disetrum Yang ... Disetrum!”
”Dan setelah disetrum, perempuan gila itu menjadi-jadi!” Aplatun menggambarkan seolah ia menggambarkan kebahagiaan Socrates dalam Phaedo sebelum filsuf Athena itu menenggak hemlok, racun.
”Menjadi apa?” Riang keracunan.
”Haus seks!” Aplatun tertawa penuh kebahagiaan.

Di sanalah cerita berakhir. Di sana pulalah Riang menganggap cerita Aplatun berlebihan. Terlalu banyak dramatisasi. Tetapi, lain soal ketika Riang perut perempuan gila di hadapannya melendung. Perempuan gila itu pertanda. Ia mulai memperhatikan perempuan gila yang tengah jongkok dan makan sepuasnya di dalam bak sampah. Dilihatnya mata perempuan itu berkeliling seperti komedi putar. Perempuan gila itu melihat makanan. Berkeliling melihat segala macam lalu melihat makanan. Lalu melihat Riang. Melihat makanan. Melihat Riang. Melihat makanan. Melihat Riang.

Perempuan gila cengar-cengir. Ia lempar makanan basi yang ada ditangannya. Badannya ngesot dan... horas bah! ... dimasukannya jari yang masih ditempeli nasi ke dalam kemaluan. Astaganaga bung Rhoma! Dia masturbasi! Hawa tubuh Riang mencapai titik panasnya! Riang gemetar! Baru sekali ia melihat kejadian live macam gini.

Riang palingkan pandangan. Di balik kaca belakang angkutan kota, anak-anak SMA tertawa. Orang-orang melihat ke arah Riang, lalu melihat si perempuan gila. Riang dan dia. Dia dan Riang. Uh malu! Riang lekas menjauh. Ia benar-benar insyap.
Semua rencana yang dipikirkannya pagi itu buyar. Ia bergegas menjumpai Taryan.
”Cerita Aplatun benar!”

Lalu peristiwa penting melebihi perang Paregreg bahkan perang tiga tahun di Stalingard itu membuat kedua lelaki aneh itu rela berjalan selama seperempat jam, tergopoh-gopoh menuju warung sekaligus pemilik radio penyebar informasi amatir.

Aplatun yang tengah menabur merica di atas telur setengah matang melihat ke dua orang ini berjalan ke arahnya, masuk ke dalam warungnya, terengah-engah menceritakan apa yang dialami Riang pagi itu.

”Orang gila yang Kamu lihat itu korban kejadian sebelumnya.” Komentar Aplatun santai. Ia malah menjerumuskan ke dua orang aneh di hadapannya pada cerita lain yang tak kalah menjijikan.

Riang dan Taryan menukar pandangan. ”Sebelumnya berarti ada yang ...”

”Tidak, tidak!” Aplatun memang jago menimbulkan pertanyaan dan angan-angan yang kebablasan. ”Tidak ada perempuan gila lagi dalam ceritaku! Cerita ini lebih keren lagi.” Katanya.

”Ayo Ton... Ayo Ton!” Riang dan Taryan menyemangati.
Lantas diceritakannyalah, ditanamnya belati di dalam dubur aki-aki, kakek-kakek.
”Dan tahukah kalian?”
”Apa wahai begawan?” Riang tertawa.
”Belati yang ditanam di dubur adalah hasil cocok tanam ’belati tumpul’ si aki waktu muda!”

Di neraka dunia tempat Riang menjebloskan diri, sudah tak terhitung preman menanam belati tumpul di dubur anak jalanan. Kalau anak-anak malang berteriak kesakitan ”Wuah! Akh! Ampun!” si preman malah teriak. ”O Yeah! Yeah,” kerasukan setan kenikmatan. Kebiasaan umat nabi Luth itu dilakukan hingga si anak jadi terbiasa dan karna terbiasa, kejadian ini menjadi siklus. Anak-anak kecil yang dulu di tanam balik balas menanam di dubur anak kecil yang tak berani melawan. Tapi tidak semuanya begitu.

Ada seorang anak yang tidak malang melintang di dunia sodom dan gomoroh. Setelah disodom, ia menunggu kesempatan. Ia memendam amarahnya. Ia tunggu perhitungan dengan orang yang pernah menyodomnya. Setelah dewasa. Setelah menjadi penguasa lahan parkir di Cileunyi dubur aki-aki yang di masa lalu pernah mempraktikan kesesatan itu ditikamnya. Lalu, munculah pertaubatan besar akhir zaman. Jalanan sepi kasus penyodoman. Preman-preman dewasa mulai mencari jalan aman penyalur kebutuhan biologisnya. WTS dan orang gilalah yang terkena getahnya. Perempuan gila yang Riang temui, salah satunya.

Taryan gelengkan kepala. Riang tidak. Ia hanya menggeleng setengah. Riang teringat danau Merbabu. Ia teringat bagaimana cara Pepei dan Fidel membangun sebuah kepercayaan dalam dirinya. Ia ragu lagi pada Aplatun. Cerita dia tidak pernah Riang lihat dengan matanya sendiri. Keberadaan perempuan gila memang bisa menjadi bukti, tetapi bisa jadi bukan. Cerita penanaman belati yang terrlalu ekstrim itu membuat Riang merasa perlu menambahkan melihat perempuan gila disetubuhi. Dipikirnya lagi Aplatun bisa saja mengarang bebas.

”Cerita itu berasal dari mana? Dari siapa?”
Mata Aplatun yang sipit makin menyipit. Senyumnya yang melar membuatnya nampak misterius. Senyum Aplatun msenimbulkan spekulasi. Bisa jadi anaknya! Yang ada di dalam perut perempuan gila itu anaknya! Aplatun tega khianati keluarganya! Tapi masa? Riang yang bertanya, dan Riang pun yang membantah, Lha berkeluarga itu bisa saja karangan dia. Aslinya Aplatun jangan-jangan! Jangan-jangan?

Riang meragukan Aplatun. Ia mulai mengingat, mengkaitkan segala sesuatunya, termasuk tawaran bertubi agar ia dan temannya tidur di warung Indomie milik Aplatun. Riang mulai terjangkiti. Ia mulai khawatir jika sebilah belati tumpul ditanam di lubang belakangnya.

Untuk sementara kekhawatiran mengidap di dalam diri Riang. Tak lama keraguan itu hilang sebab niatan Aplatun memang tulus. Di luar apa yang dikhawatirkan Riang, sesungguhnya rasa curiga yang dimiliki Riang tatkala hidup dijalan sudahlah benar. Jalanan itu keras seperti kehidupan zaman purba saat tyranosaurus jadi raja. Asal punya power, punya kekuatan, semua seakan sah jadi kanibal. Sah --diangkat tanpa surat pengangkatan-- jadi tukang kadal, tukang bunuh, tukang sodom. Di jalananlah awal mula seleksi alam manusia terjadi. Karenanya jika mau survive seseorang harus benar-benar mempercayai setelah melewati proses mencurigai.

MENCURIGAI adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang. Beberapa bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’ itu menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan pulang ke desa.Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui pihak yang berwajib.

Duduk di depan ruangan, di mana jutaan penumpang mengeluarkan air seni. Manusia perlu udara bersih. Lelaki itu pun demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat waktu, menghentikan perjalanannya. Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di gerbong kereta. Karena tak punya karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk ditempel lalu disalam-salam, lelaki itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir. Ia berjalan sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak salah karena yang salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak tentu arah. Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin. Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri. Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh. Orang-orang di trotoar mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat menyalip dengan cepat. Kalau diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin kecepatan salipnya mencapai 20 km/jam.

Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia hampiri, ia bangunkan, ia silangkan lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu menuju warung tempatnya makan. Lelaki itu diberi pemilik warung Indomie segelas teh panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan, sejak saat itu pula, Riang mendapat dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Aplatun, si pemilik warung indomie dan seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan!

Sebagai teman, Aplatun memiliki perbedaan dengan teman Riang yang lamanya dia di tempat orang buang air seni itu ternyata tidak membuat apresiasi seninya semakin tinggi. Jika Aplatun selalu memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban untuk Riang. Buruk-buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi ’asuransi’ apabila ia ditimpa kecelakaan di masa mendatang dan tentu, apa yang dilakukannya ia anggap sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan mereka. Di saat Riang sudah lama menghapus asuransi yang di tanamnya sejak lama, hal yang tak di duga-duga datang ketika Taryan yang di pagi harinya ia tahu tidak memiliki uang sepeser pun tiba-tiba datang membawa dua bos rokok, dua bungkus pecel lele. Jangankan Riang, Taryan sendiri tidak menduga karena setelah mengemis dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, ia terjongkang di bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon Taryan memohon pada Tuhan dikasih nasi bungkus untuk dimakan. Permohonan itu di rendahkan tingkatannya. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan cecurut bakar. Permohonan itu tak pernah terkabul, namun apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan menemukan dompet abu di genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan menganggapnya ya. Ia menahan senyum melihat banyaknya uang di dalam dompet.

Tak seperti pertama kali kala ia merasa dosa mengambil uang keropak kemudian berniat mengembalikannya, kali ini Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet memuaskan isi kepalanya. Dompet berikut kartu pengenal yang ada di dalam dompet ia buang. Taryan menggulung uang yang ada di dalam dompet menggunakan karet gelang. Di belinya nasi bungkus dan bahan untuk ngelepus

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.
”Dapat uang dari mana?” Riang menginterogasi.
Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan. ”Laper kan?” katanya.
Ya jelas Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah pas-pasan.
”Situ nyuri ya?!”
Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.
”Tanya- tanya segala! Makan saja nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun ia sadari, bagi gelandangan, makan tentu lebih utama dari rasa penasaran, maka secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah Irian, secepat itu pula Riang makan. Perutnya kembung.
”Enak?” Taryan mengelus perut Riang.
”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.
Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar biasanya ia ngomong begini: ”Mau disetrum atau nyetrum Yang?” Taryan memasang tampang serius.

Taryan lagak. Riang tahu, temannya itu tidak punya keberanian. Sepengetahuannya shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu besoknya makan apa, Taryan mengemis sambil puasa. Keganjilan itu membuat pikiran Riang habis.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya perepet juga maka rahasia uang yang dimiliki Taryan pun terkuak. Bengep-bengep di wajah dan noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia. Uang Taryan beralih ke tangan preman. Cerita selanjutnya tidak perlu dikisahkan. Apapun yang terjadi, bagi Riang, Taryan telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka berjalan Sejak itu hitung-hitungan asuransi di kepala Riang benar benar hilang. Teman adalah teman.

HARI ITU, ketika Riang bertemu perempuan gila, semua jerih payah dan pemberian Bapaknya habis. Taryan pun tak bisa mengharap uang bercucuran dari upaya dia mengemis, pasalnya kemudaan diri dia membuat orang sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada yang memberi, itu lebih dikarenakan mencari aman.. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Aplatun.

Mereka tidak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Aplatun adalah manusia yang menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka. Makanan yang diberi Aplatun di hari ini membuat Riang dan Taryan semangat mencari uang. Mereka berpencar. Di sebuah lokasi pembangunan Riang menemukan kerumunan. Kasak-kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari ketinggian. Tiga kepal batu jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang penyangga. Batu pertama jatuh merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur helm dua orang pekerja pemanggul pipa. Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang mereka kenakan tidak begitu berfungsi. Dua buruh bangunan pingsan. Bukan sulap bukan sihir, celah sempit yang melebihi sempitnya titian rambut dibagi tujuh itu dimasuki Riang. Ia meliuk di antara kerumunan. Ia bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan. Satu jam kemudian, mandor tidak saja ditemui olehnya. Dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari kemampuan kaum buruh dan tani, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakan dia. Mandor memutuskan. Riang dipekerjakan lataran sang mandor diburu atasan, dan atasan mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Riang pun semangat berlari, usai menyelesaikan draft kontrak kerja, demi memberitahu kebahagiaan itu pada Taryan. Ada informasi perkerjaan yang juga bisa Taryan dapatkan namun pada akhirnya keinginan Riang tak kesampaian. Mandor memang butuh pekerja, akan tetapi akal sehat menuntut dia untuk mempekerjakan orang yang memiliki selembar kartu sebagai jaminan. Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi sangat diperlukan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan setiap orang.

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Ia bingung siapa yang nanti temani Taryan.

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”
”Sudah ku ajak Ton.” jawab Riang pada Aplatun yang panggilan kecilnya Ton.
”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”
”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”
“Jadi hanya karna KTP?”
”Pasti karena itu!”
“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”
“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan tapi mandor menolak!”
“Sekarang apa yang dia perbuat?”
”Taryan?”
”Ya.”
“Dia tidak bilang waktu tadi pergi.” Riang mengembungkan paru-parunya. Ia mengela nafas. ”Aku kasihan padanya....”
Aplatun merasakan kesedihan itu.
”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”
Aplatun menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.
”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau mau tidur itu sepele! Tidur di sini saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Untuk Taryan juga! Demi solidaritas antar teman yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah satu beban. Riang merasa ringan saat melihat Taryan mendatanginya sambil menjinjing kantung kresek yang dipenuhi segepok gajih kambing.
”Menjijikan yang Kau bawa!”
”Pinjami aku uang, Ton.” Taryan cengegesan.
“Untuk apa?” Aplatun memencet hidungnya.
“Beli obat merah.”

Aplatun membuka laci harta karunn. Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah.
”Besok ku ganti Ton.”
”Tak usah! Amal!”

Aplatun tahu apa yang akan dilakukan Taryan. Gaji kambing itu akan membantunya mengemis. Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Setiap hari, puluhan uang receh masuk berdenting-denting ke dalam plastik biru deterjen miliknya. Selang dua hari kemudian, profesi inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua hari ke depan, Taryan kembali membuktikan eratnya siklus simbiosis parasitisme dan mutualisme antara dirinya dengan mahluk biologis yang satunya, kawannya yang tak ada dua: Riang.

0 komentar:

be responsible with your comment