Melintasi Kompi Easy

Posted: Jumat, 26 Juni 2009 by Divan Semesta in
2

Saat media massa pertama kali memberitakan munculnya Tsunami di Aceh, sambil merokok sy melihat televisi dengan santai. Di kepala sy muncul bisikan. O korbannya puluhan orang. O baru seratusan. Dan seiring pertambahan waktu korban terus bertambah, dan sy mulai terhenyak saat hitungan kematian bergerak ke angka ribuan, kemudian berlanjut ke puluhan ribu, dan sesaknya tak tertahan ketika angka itu mencapai ratusan ribu.

Dan saya menyimpulkan: inilah sesak yang dihasilkan oleh statistic.
Anehnya sekitar tahun 2000-an, sy pernah datang ke kampus membawa potongan gambar
(gambarnya sy laminating). Hari itu mata saya sembab. Sy melihat tubuh bocah Palestina di di bolongi peluru tentara Zionis. Photo tragis Muhammad al Durra dan Babanya, lantas saya perlihatkan ke teman-teman satu jurusan. Reaksi mereka biasa-biasa saja. Sy sedih. Mengapa hanya saya yang menangis? (sepertinya).

Sy menyepi di bawah tangga kampus, sambil sesekali melihat photo itu. Sy melihat wajah ayah yang bersaha melindungi anaknya. Sy melihat kekhawatiran. Sy melihat bagaimana Ayahnya berusaha melindungi al Durra di punggungnya. Sy melihat perasaan menyesal dan putus asa.

Di dalam dada ini ada yang bergemuruh. Rasa geram, ketidakmampuan, kebencian kemudian menuntun sy untuk bersujud. Dan dalam sujud itu sy menangis sepuasnya. Allah maha besar. Sy benar-benar yakin, benar-benar mengetahui bahwa doa yang terlantun pada saat itu merupakan salah satu doa terikhlas, terkhidmat yang pernah saya keluhkan ke Allah.

Fakta yang pernah terjadi beberapa tahun sebelum Tsunami di Aceh muncul itu, membuat keyakinan sy sedikit terpupus. Bahwa kematian --dalam pandangan sy-- hanyalah statistik tidak sepenuhnya benar.

Pemaknaan terhadap kematian memang tergantung pada pasang-surutnya keimanan.

* * *

Jumat sekitar satu bulan yang lalu, saat saya tengah mendengar Walk the Line-nya Rufio, Ira memberikan kabar. Fardan, anak sepupu meninggal dunia. Anak yang umurnya hampir tiga tahun itu ditemukan mengambang, di halaman belakang, disebuah kolam ikan..

Kami tak pernah menyangka, apalagi sebelumnya (pada hari minggu) saya pernah mentertawakan rambut Fardan (di sebuah foto) yang potongannya mirip potongan rambut Lee Naruto atau seperti gaya si Qibil Changchuters.

Saya tak pernah menyangka.

Memang, Fardan bukan anak sy. Itu baru anak sepupu. Bagaimana jika yang mengalami musibah adalah kakak atau adik, atau ... anak sy? Duh, bahkan hanya berandai-andai hal itu terjadi pun sy merasa tidak sanggup. Sy yakin pasti lebih sakit ketimbang mendengar kematian Fardan.

Di sinilah saya sampai pada asumsi: bahwa kadang. kita tak merasa --atau dengan kejam tak mempedulikan-- bila kematian itu terjadi di sebuah tempat yang jauh, di sebuah lokasi yang kita tak memiliki keterikatan persahabatan atau kekerabatan.

Kadang pada situasi seperti itu kematian menjadi statistic. Dan mungkin, kita baru bisa menyesap getirnya kematian apabila kematian itu dekat dengan kehidupan kita.

Dulu, Rasulullah pernah menyampaikan bahwa setiap muslim adalah bersaudara. Kita diikatkan oleh ikatan keyakinan sehingga ketika satu orang menderita maka derita itu memang harus terasa benar di dalam diri kita.

Maka seharusnya kita semua nyesak, manakala menyaksikan keajaiban teknologi persenjataan menjadi kotak Pandora yang dari boxnya melompat aneka macam pembantaian dan pembunuhan keji. Harusnya kita pun nyesak ketika menyaksikan aneka bencana di monitor computer, hp, atau layar televisi. Dan setelelah sesak, --atau bahkan sebelum kita benar-benar sesak--, seharusnya kita mengantisipasi, entah dengan mengalokasikan zakat untuk mensuport dana perang, memberikan bantuan pengobatan… doa dan ada seribu satu macam cara sebagai cara untuk merasakan penderitaan.

Saya cemas. Benar benar cemas. Jika kita memang kita tidak memiliki hati yang mudah terketuk maka Allah akan menurunkan bencana ‘genosida,’ kelumpuhan, keterlantaran, kefakiran tepat dihadapan mata, hanya untuk menyadarkan bahwa saudara kita disana pernah mengalami hal yang sama. Dan terkutuknya, tangan kita tidak pernah berada di pundak mereka. Jangankan tangan, pikiran pun tidak.

Disinilah salah satu ujian keimanan berada karena keimanan adalah sebuah ikatan. Melebihi ikatan persahabatan dalam kompi Easy. Melebihi ikatan pernikahan, menerabas melankolisnya ikatan kemanusiaan, klan dan kebangsaan.

2 komentar:

  1. jika mmg kematian di sudut nan jauh disana tak mempengaruhi kita,,maka sprti halnya sebuah berita yang tak melengkapi kelayakan yang ditlh ditetapkan oleh kode etik jurnalistik....

  1. terimakasih journalis :)

be responsible with your comment