Solidaritas (19)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Taryan belum bisa membujuk Riang. Selogis apapun alasan yang Riang beri, ia tetap tak setuju atas keputusan Riang. Kampung Rambutan, masa lalunya di Jakarta merupakan salah satu pengalaman terbaik bagi Taryan. Pengalaman yang membuat giginya tanggal, uang di kancut, serta Leonard dan anak muda sipit yang menurut kajian ilmu antropologi tidak menyiratkan ciri-ciri fisiknya berasal dari tanah Tuanku Rao dan Sisingamangaraja itu, menanamkan sikap skeptis padanya. Pagi ini, sebelum sore hari mereka menemui Bentar di Dago elos, Taryan terus berpikir, mencari cara agar Riang mau mengikuti sarannya.

Warung Aplatun tampak di depan mata. Dari kejauhan mereka melihat tangan pemilik warung melambai. Aplatun butuh receh. Ia tahu kepada siapa uang besar harus dipecah.

Kantung Taryan tak lagi memberatkannya, uang logam di ganti uang kertas yang ringan, yang semua ekonom mengetahui bahwa nilai yang tertera di permukaannya hanyalah dusta, Aplatun mulai menggosip: mengenai IP pelanggannya tadi yang turun, tentang wajah drop outnya, tentang kuliahnya di sastra jurusan basket karena kuliahnya dihabiskan di lapangan basket.

Aplatun melucu. Riang, Taryan dan seorang pelanggan lain tak ingin humor Aplatun disia-siakan. Mereka pun memberi Aplatun tawa kemanusiaan.

”Sekarang anak itu malah kecanduan game.” Aplatun memulai lagi. ”Tak tahulah apa jadinya! Tak ada urusan!”

Pelanggan yang sebelumnya ikut tertawa bersama Riang dan Taryan menyelesaikan makannya. Ia memberikan uang pas lalu melenggang keluar dan menyalakan mesin motornya yang berplat merah.
”Kalau dia,” Aplatun menunjuk keluar, ”anak yang barusan tadi kuliahnya di jurusan peternakan gigi!”
”Jurusan apa itu?” Taryan kebingungan.
”Lha giginya maju!”Aplatun tertawa. Riang diam tak timpali. Biar dia dari desa, dari udik Riang tetap tidak suka gurauan tak berperadaban semacam itu. Aplatun merasa tidak nyaman. Merasa salah dengan ucapannya, larilah si bujang mencuci mangkuk dan gelas yang sudah menumpuk, meninggalkan Riang dan Taryan yang tengah menikmati sarapan paginya.

Di sana Taryan kembali membujuk Riang. Ia terus menerus membicarakan perihal yang haram di bicarakan karena mengandung bahasan SARA. Riang tak peduli. Sejak bertemu Bentar dan memperhatikan betul wajah serta kepribadiannya, ia sudah memutuskan. Kekeraskepalaan Riang membuat Taryan yang kesal, meminta bantuan. ”Ton,” Taryan berteriak, menyindir, ”... masa dia mau percaya sama orang yang baru dikenal!”

Orang yang dimintai bantuan sadar diri. Aplatun baru saja keluar, menghindari perang dinginnya dengan Riang. Ia belum mau mengomentari. Ia menunggu apa yang bakal Riang katakan.
”Yan, mungkin situ ada benarnya,” Riang berniat membalikan, ”tapi kalau pikiranku begitu terus, mencurigai setiap orang terus, apa situ pikir kita bakal bertemu, menjadi teman?”

Taryan butuh waktu untuk mencerna, menggambarkan bagaimana dulu Riang membopongnya sewaktu tengkurap di jalan. Membopong dirinya, orang yang sama sekali tidak Riang kenal.
”Tapi, waktu itu situ yang nolong aku, bukan orang lain.” Taryan bersikukuh.
Riang mengambil nafas. ”Banyak orang jahat, tapi tidak semua orang jahat kan?” Tanya Riang.

Taryan kalah telak. Ia tahu Riang benar, bahkan sejak alasan awal alasan bahwa dirinya tak punya uang. Riang pun tahu, apa yang dilakukan sahabatnya --berusaha membalikan pikirannya-- adalah sebentuk solidaritas serupa dengan pengorbanan Taryan untuk tetap bersamanya di jalan, meski ia tahu uang yang dimiliki Taryan dari mengemis, sebenarnya bisa digunakan untuk membeli tiket kereta. Alasan mengapa Taryan tidak melakukannya adalah sebentuk rahasia. Riang malas menanyakannya. Ia hanya menanam keyakinan, bahwa suatu saat nanti Taryan bakalan pulang. Riang berusaha berpikir jernih bahwa yang dilakukan sahabatnya adalah –pula-- sedikit dari usaha dia untuk melindunginya. Sampai di titik itu, Riang menyesal mengungkit kebaikan yang pernah ia lakukan, untuk membalikan keadaan.


Aplatun masuk ke dalam warung membawa gelas dan mangkuk yang masih bercucuran. Dari luar terdengar desis pipa PAM yang bocor. Ia mengambil plastik dan tali yang terbuat dari karet ban. Aplatun kembali keluar.
”Situ harusnya ambil pelajaran!”

Taryan yang sudah tidak bisa menggunakan pikirannya. Taryan membuat Riang bosan. Ia tidak mungkin mempan. Ia biarkan Taryan mengulang-ulang membicarakan pengalamannya. Taryan hanya tidak ingin kehilangan harga diri usai argumentasinya dikalahkan.

”Situ dengar ndak aku bicara? Situ dengar Yang?! Jangan sampai Situ nyesel! Orang batak yang kutemui, si Leonard itu itu gila! Yang di Kampung Rambutan awalnya baik! Sok-sokan baik! Orang yang satunya lagi yang aku kira benar ternyata begajul juga! Apalagi orang kemarin kutemui di dekat BIP, orang yang pernah buat aku babak belur, yang ampil dompet temuan itu... sama juga!”

Riang teringat ketika Taryan menawarinya main cewek dan membelikannya makanan usai menemukan sebuah dompet.
”Hah!” Riang tak sadar jika ia berdiri.
Taryan hentikan kicauannya. Ia tertegun.
”Di mana tadi!? Di BIP kau bilang?!” Riang memaksa.

Suasana tiba-tiba berbalik. Taryan bingung. Marahnya padam. Ia tidak menemukan kata untuk menjelaskan.

”Di mana?” Riang menekan. ”Di BIP?!” Ia memastikan.

Taryan tidak punya maksud mengungkit sial yang pernah orang lain timpakkan, tetapi ia kadung bicara.

“Yang, aku sudah ndak mikirin itu.” Taryan berubah dingin. Panas lima puluh sembilan derajat yang beberapa detik lalu dicapainya, berubah menjadi dua derajat selsius.
“Yan!?”
”Sudah. Aku malas bahas itu.” Taryan reflek meminum es teh sisa pelanggan yang masih teronggok di meja.
”Kalau malas, kenapa Situ bilang lihat preman yang buat Situ bengep?!”
“Kalau tahu sikapmu bakal begini, mustahil aku cerita.” Jawab Riang asal. ”Aku cerita bukan supaya Situ ngamuk.”
”Siapa yang ngamuk!?”
”Situ! Lha, aku cerita supaya situ jangan percayai ... siapa itu namanya ... siapa?!”
Riang tak menjawab pertanyaan Taryan.
”Ceritaku bukan untuk balas dendam.” Taryan mematenkan.

Riang berpikir cepat. “Ini bukan masalah balas dendam!” Keahliannya yang terpendam ia gunakan, ia keluarkan ”Ini masalah mengingatkan! Kalau preman itu didiamkan apa yang terjadi?”
Taryan tak peduli. Ia menerawang ke depan. Tangannya, mengetuk-etuk gelas.
“Yan, ... bagaimana mereka mau sadar kalau ndak ada yang mengingatkan? Mereka bakal terus jahati orang! Nodong orang! Nakutin orang! Bener kan?!”
Riang haluskan suaranya. ”Yan ... kalau semua orang kayak Situ, di dunia ini tidak bakal ada nabi!”
Taryan menjauhi mata Riang namun ia mulai tertarik karena Riang menyebut-nyebut nabi.
”Kamu fikir nabi Musa diturunkan untuk apa?!”
“Untuk umatnya.”
“Sungguh tepat untuk umatnya! Tapi bukan itu maksudku! Musa diturunkan untuk mengingatkan! ... Isa diturunkan untuk apa?”
“Untuk mengingatkan seperti mau mu itu!”
“Bukan mauku! Situ cinta Muhammad ndak!?”
Taryan diam.
Riang menemukan celah.
“Muhammad diturunkan untuk apa?”
“Mengingatkan!.”
“Benar!” Taryan didesaknya hingga ke pojok. ”Sekarang, agamamu apa?”
“Dari dulu juga Situ tahu!”
“… Kalau agamamu Islam, Kamu ndak mau mengiikuti nabimu? Apa Situ
tidak mau peringatkan orang lain supaya tidak kembali melakukan kejahatan lagi?”

Taryan gamang. Disaat itulah Aplatun masuk. Teriakan Taryan di awal-awal pembicaraan membangkitkan naluri alaminya Wajahnya merah padam. Ia seakan menahan benda besar yang hendak keluar dari tubuhnya.
”Aku dengar sedari tadi! Siapa mau kelahi?!” Aplatun meminta penjelasan yang sebenarnya sudah jelas baginya.

Mulut Riang terbuka, hendak menjelaskan semuanya, namun mendadak Taryan mennyalipnya untuk menyederhanakan permasalahan. Penyederhanaan ini malah memanjang. Kepanjangan inilah yang justru membuka selubung pengunci mahluk yang bersemayam di tubuh Aplatun.
“KAMPANG!” Hidung Aplatun mendadak kembang kempis Ia marah. Nafasnya menghembus-hembus! ”Orang Batak itu suaranya saja yang besar!!! Kalau ditantang kelahi pakai pisau, kabur semua!!! KAMPANG!!! Biar ku tujah mereka! Biar! Biar mereka tahu kalau berurusan dengan temannya siapa!!!”

Ghuarg! Awan tabrakan. Suara petirnya melabrak rongga pendengaran. Suara Aplatun sungguh menakutkan! Tidak cukup, Ia gebrak triplek putih. Gelas yang ada di atasnya berajojing meloncat setengah senti.
“Aku ikut kelahi dengan kalian!!!” Blar! Petir ganas menyambar! “Kurus-kurus begini, aku pernah jadi pemimpin bajing luncat!” Dan mengucur deraslah cerita menakutkan dari keran mulut Aplatun.
Diceritakanlah bagaimana dulu, ia menyengajakan diri menumpang bis eksekutif menuju Bengkulu. Manakala bus sampai di Jerambah Kawat, manakala orang masih terlelap, Aplatun menyiram lantai bus pakai bensin. Aplatun teriak, menggertak! Suaranya bangunkan semua penumpang! Diperintahnya orang-orang preteli hiasan dan dompet. Di perintahnya supir bus berhenti injak pedal gas. Kalau tidak, Aplatun ancam: bus itu bakal dia bakar!

Bus berhenti. Teman-teman --yang memang sudah menunggu di Jerambah Kawat--, naik. Tidak ada satu penumpang pun yang berani melawan, kecuali satu orang lelaki yang perawakannya mirip tentara. Aplatun kalap. “Kau mau jadi pahlawan hah!?” Ia teriak! Maka di bacoknya kepala orang itu sampai mati! Wanita yang ada di dalam bis ringsut. Tak ada yang teriak kecuali seorang lelaki yang dandan ala banci.

Penumpang bus sadar. Mereka tidak bisa melawan. Maka, beberapa wanita menjadi sukarelawan: mempreteli anting-anting, gelang, tusuk konde emas, cicin tunangan, walkman dan dompet milik sendiri, untuk dimasukan ke dalam karung goni.

Aplatun, merasa harus yakinkan Riang dan Taryan. Cerita yang tak kalah seram ditambahkan.“Dulu, aku pernah masuk Angkatan Darat di Palembang. Di sana aku ketemu komandan brengsek, yang kalau aku salah sedikit dia selalu ngancam kalau aku bakal dipecat! Kerjanya maen perintah seolah aku ini hewan! Aku melawan! Komandanku marah! Aku digamparnya! Maka aku matikan saja dia!”

Bukannya si komandan yang memecat, malah Aplatun yang memecat sang komandan dari kehidupan di dunia. Si komandan dipersonanongratakan dari alam manusia menuju alam baka! Perbuatan ini sebabkan Aplatun masuk berita koran-koran besar. Akibatnya lahan hidup dia di Palembang menyempit. Aplatun lari ke Jakarta. Di waktu-waktu ke depannya, ia jadi tangan kanan preman nomor satu di Kampung Rambutan.

Riang dan Taryan tak habis pikir. Dia ... Aplatun yang kerempeng itu... Aplatun yang banyak omong itu ... punya masa yang kelam, punya cerita seram yang bisa buat manusia biasa keriput.

Dukungan Aplatun, dengan skill tersendiri yang seharusnya membuat Riang bahagia. Cerita masa lalu Aplatun tidak membuatnya senang. Ia malah berpikir: bagaimana jika preman itu dipecat Aplatun dari nikmatnya kehidupan di dunia?

Pemukulan dan perampasan harus di balas dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi balasan yang setimpal itu bukan dibunuh!

Di antara waktu jeda, Riang berpikir..
“Aku senang kau punya itikad baik. Siapa yang tidak senang Ton ... tapi maaf, kali ini jangan!” Ia temukan alasan.
“Jadi kau …?!” Ada kata-kata yang tak mampu kelur dari mulut Aplatun.

Riang khawatir Aplatun merasa disepelekan. “Bukan! Bukan aku sangsi keberanianmu, tapi sekarang ini Kau sudah hidup tenang. Sudah hidup baik-baik! Kalau ikut kami, tusuk sana tusuk ini, apa yang terjadi?”
“Tak peduli! Aku tak peduli. Pantang kata kutarik lagi. Pantang! Tak mungkin takut. Nenek moyang ini tak pernah takuti apa! Aku bunuh orang-orang itu!”
“Bukan! Bukan begitu … ,” Riang rendahkan suaranya, “Aku tahu kau tidak takut kecuali takut pada Tuhan,” Riang sengaja sebut nama Tuhan. Nama Tuhan biasanya mujarab redakan marah. “Aku tahu Ton… aku tahu… tapi masalah tidak semudah yang dibayangkan. Kalau kau menujah, yang ditujah mati, apa selesai? Tidak. Kau bakal dicari, bukan cuma dicari segelintir orang Batak. Bakal orang-orang Batak se-Bandung!”
“Kalau semua uber aku, tidak takut aku! Nenek moyang ini, sejak kemerdekaan berjuang demi tegaknya UUD 45! Aku tahu, biar mereka bajingan tapi bajingan untuk Belanda! Nenek moyangku, kakekku, arwah kakekku Mat Kancil bakal malu kalau lihat keturunannya, aku Aplatun tidak turun tangan! Ikut bela kawan! Tidak perlu satu! Seribu orang Batak, aku lawan mereka! Sepulau Samosir, aku tujah satu persatu!”

Riang berusaha kesankan dirinya berani. Kesankan kalau ia dan Taryan bisa selesaikan masalah sendiri, “Demi Tuhan Ton ... jangan dipotong dulu perkataanku ... Ton … kalau aku dan Taryan ndak apa–apa tujah sana-sini Habis beri pelajaran, habis bunuh itu preman, bisa pergi semau kita. Bagaimana dengan mu? Kau pasti rugi. Mau dikemanakan warung yang kau bangun? Mau kau bawa? Warung tak mungkin digendong. Membangun warung baru butuh modal, butuh uang, perlu biaya dan masalah tidak mungkin selesai di situ saja! Kalau warung Kau tutup, bagaimana nasib istrimu?”

Kehidupan istri, keluarga yang disayang, adalah salah satu cobaan terberat sepanjang sejarah manusia. Wajar jika Aplatun goyah. “Tapi!... Tapi!...,” Aplatun masih berusaha menyangkal, namun pikiran menghambatnya. Pengaruh Riang sampai di kepalanya. Sebelum Aplatun mendapat celah, Riang menyudahi.

“ ... Terimakasih! Aku dan Taryan hargai keberanianmu. Solidaritas sudah cukup. Lebih dari cukup! Aku bangga punya teman sepertimu! Aku gembira, di zaman seperti ini tersisa manusia yang pentingkan orang lain ketimbang dirinya. Inilah yang dinamakan altruis Kamu preman shalih Ton. Kau pemberani. Kau tak usah libatkan diri. Aku janji, bilang padamu, kalau temui masalah. Aku yakin, ini bisa diselesaikan,” Riang menyikut perut Taryan.

Aplatun tak bicara lagi. Ia masuk ke dalam sekat triplek, mengambil golok panjang berkarat. Diberikannya benda berbahaya itu, ”Buat jaga-jaga,” katanya. Riang tak menolak. Untuk sementara golok itu akan disimpannya ditempat yang aman. Serah terima berlangsung baik, aman dan terkendali. Untuk Taryan, Aplatun mengambil garpu. Ia bengkokan hingga gagangnya dapat dikepal. Dua ruas tengah garpu tajam dibengkokkan menggunakan jempol. Dua ruas itu bisa dijadikan senjata, menusuk orang. Suk!

0 komentar:

be responsible with your comment