Sepatu Rombeng (Bab 20)
Posted: Minggu, 28 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Apa yang Taryan katakan, ia dengar selewat. Riang dalam keadaan mabuk. Dalam kondisi kepayang. Penyesalannya saat memaksa Taryan mengingat pertolongan yang ia berikan hilang. Pertolongan yang pernah dilakukannya malah membuat Riang berkhayal dan mengasosiasikannya dengan kata-kata altruis yang canggih. Riang mengulang kembali kata yang pernah didengarnya. Altruis, altruis, altruis. Dalam pada itu, kejapan kata yang membuatnya bahagia mengingatkan dia akan dua orang pria: Fidel entah di mana, dan Pepei ... O, Riang sedih. Riang berusaha melupakan. Hari itu waktu mereka menghabiskan waktu dengan menggosipi apa saja yang menyangkut diri Aplatun, tentunya kisah perempuan gila yang Riang temui di jalanan, tak luput dari perhatian.
Pada akhirnya acara gosip itu membuat Riang dan Taryan akur. Perseteruan tak perlu dilanjutkan. Riang memilih waktu baik --yang entah kapan--, untuk membicarakan perihal balas dendam.
Di bawah atas kulit bumi, dibawah terpal, mereka bersila damai, padahal di sebuah ruangan, seorang pria gagah memberi instruksi. Orang-orang berseragam yang mengitari tubuhnya mengangguk-angguk, memperhitungkan jam yang tepat untuk melakukan gebrakan.
MALAM ITU, dalam diam Riang dan Taryan perhatikan keadaan sekeliling: voltase tak stabil membuat lampu masjid agung redup berkedip, seorang ibu mengarahkan pancuran air pipis balitanya menuju dinding tong sampah, seorang nenek memilih menyetop kuda ketimbang angkutan kota, di samping tenda darurat penjudi goblok tenggak minuman keras. Penjudi plus pemabuk itu kalah. Kalau sudah begini, malam dibuatnya menjadi berisik, membuat Riang dan Taryan kesulitan memejamkan mata. Kata-kata kasar yang dikeluarkan mulut pemabuk itu tak lucu. Hal ini berbeda dengan kawan-kawannya satu kubu kemaksiatan.
Riang dan Taryan hapal benar binatang apa yang paling sering penjud-penjudi itu teriakan sebagai umpatan, sebagai lakaran. Riang dan Taryan pasti rindukan lakaran itu. Merindukan kehadiran Bapak yang di kepalanya selalu bertengger kopeah haji. Bapak yang tak pernah langgar absensi di areal perjudian itu tentu bukan dalam rangka khutbah ittaqullah! Bertaqwalah kepada Allah, melainkan untuk menyemangati dan membandari judi kartu gaple dan remi.
Taryan yang suka shalat di masjid Agung tahu kalau bapak itu rajin shalat, meski gerakannya secepat pelatuk Woody Wood Packer. Taryan tahu bapak itu dzikirnya berabad, dan seharusnya ia sebal atas sikap munafik yang dipraktikan olehnya, namun tingkah laku dan kata-kata si bapak membuat Taryan merasa harus mengecualikan. Se-preman-premannya, sebejat-bejatnya, orang Sunda, mereka masih bisa menjadi Kabayan --dan tentunya—masih memiliki kesempatan mempersunting ’Nyai Iteung’ yang cantik jelita.
”Kumaha mun tarohanana iman Islam!? Gimana kalo tarohannya iman Islam” Kata si Bapak pada suatu waktu. “Mun tarohannana agama mah bosen! ’kalau taruhan agama sih bosen’ Ayeuna, anu tarohanana leuwih keren mah, sekarang taruhan yang paling mutakhir di antara yang mutakhir sih ... MATA SIA DICOLOK!!! MATA LU GUA COLOK! Wani teu! Berani gak!’”
Riang dan Taryan yang sedikitnya sudah paham bahasa Sunda tertawa hampir habis tenaga. Bapak itu memang edisi khusus yang tidak ada dua. Kalau kebanyakan penjudi ucapkan, ”ANYING! ’Anjing!’ di setiap kekalahan dan kemenangan yang didapatkan, si bapak yang acapkali dipanggil bos itu punya gaya beda. Kalau dia kalah yang pertama dilakukan nyanyi lagu bung Rhoma:
Judi!
(Judi! Teot!)
menjanjikan kemenangan
Judi!
(Judi! Teot!)
menjanjikan kekayaan
Bohong! Bohong!
(kata bohong sengaja ia teriakan
di kuping orang yang paling dekat dengannya)
Kalaupun kau menang,
itu awal dari kekalahan.
Bohong! Bohong!
Kalaupun kau kaya,
itu awal dari kemiskinan
Judi!
(Judi! Teot!)
meracuni kehidupan.
Judi!
(Judi! Teot!)
meracuni keimanan
Pasti! Pasti!
karna perjudian,
orang malas dibuai harapan
...
Apapun namanya bentuk judi
itu perbuatan Keji!
…
Selesai nyanyi si Bos selalu ingatkan, ”UANG JUDI NAJIS! TIADA BERKAH! APAPUN NAMANYA BENTUK JUDI!!” tidak puas di sana. Ia kemudian bercerita tentang penjudi-penjudi yang bakal digosongkan menggunakan setrika sebesar traktor di neraka Saqor!
Cerita tidak buat penjudi lainnya takut. Mereka tak peduli dengan neraka dan cerita seseram apapun mengenainya. Mereka tak kuat tahan tawa. Riang bahkan pernah melihat buih keluar dari mulut mereka.
Si Bos berkopeah haji itu memang hebat. Ia bukan saja mampu teriak, berkata melainkan juga bernyanyi demi kepentingannya. Kalau ia menang di putarbalikannya lirik bung Rhoma. Ia bernyanyi: "Uang judi memang penuh berkah! Itulah berkahnya judi! ... Judi teot! ... dan seterusnya.
Riang dan Taryan boleh tertawa oleh perilaku sesat itu, tetapi seorang ustad muda di masjid jami tidak! Ustad muda itu kesal. Ia tak sanggup melihat munculnya manusia yang mainkan kesakralan surga dan neraka, memainkannya seolah tempat yang indah dan seram itu tidak ada! Wajar jika pada satu waktu, usai shalat Isya, ustad muda itu menziarahi, dengan niat menasehati para penjudi.
Bukannya sadar mereka malah balas khotbah sang ustad dengan olokan. Apa mau di kata, maksud baik sang ustad muda dimutilasi oleh si Bos penjudi-penjudi gila. “Maneh teh lemet keneh. Nyaho naon heh!? ’Lu tuh masih ingusan heh! Tau apa kamu tentang kehidupan?!’ Mun maneh geus boga kaluarga, karak nyaho!, Kalau Lu dah punya keluarga, baru tau!”
“Heeuh! ’Iya, benar!’” Penjudi yang mengelilingi si Bos kompak bersuara.
Lantas apa yang menjadi bantahan sang ustad muda?
“HARAM!!! Ini dosa benar! Sekali dosa besar tetap dosa besar!!” ia berkacak pinggang.
Di hadapan anak buah, si Bos pantang mengalah.
“He … he … Dosa?! Ku aing di sunat siah! ’Hei hei, dosa?! Gua sunat luh! Sia kudu nyaho kana kaayaan beul! ’Elu harus tau keadaan, bebal!’ Mun sia jadi aing, mun anak sia di imah congor na ngangap-ngangap menta kadaharan, istri gering rek ngajuru, maneh ngaharap ti mana?!m Kalau Elu jadi gua, kalau anak Elu di rumah, mulutnya ngangap-ngangap minta makan, istri sakit mau melahirkan, mau ngeharap dari mana?’ Pamarentah?! Cuiih! Pemerintah?! Cih!” Ia meludah. “Ti iraha pamarentah ngurusan aing sakaluarga?! ’Sejak kapan pemerintah ngurus keluarga gua?! Anak aing paeh ge teu paduli. Cuih! Anak gua modar aja nggak peduli. Cuih!”
Ustad muda diam, lalu balik pulang. Dan perjudian pun berlanjutlah. Namun keesokan malamnya, di jam-jam ketika perjudian tengah ramai, sang ustad datang bawa batu sekepal tangan. Ia lempar batu itu! Melayang ...! Kopeah haji tersambar! Si bos jungkal sekaligus dengan badan! Pingsan! Dari kepala si bos keluar darah. Arena judi kacau balau! Penjudi-penjudi marah! Kartu remi dan gaple mereka lempar ke tanah. Mereka berdiri, mengambil ancang-ancang. Mereka kejar itu ustad.
Ustad lari karena jumlah yang mengejar dirinya terlampau banyak. Bukan main! Larinya cepat sekali! Dia berkelat-kelit, meliak-liuk gesit. Sayang! batu yang ia lempar datangkan sial. Batu itu dilempar balik, menyerempet muka si ustad sampai pipinya codet! Ustad terhuyung-huyung! Dan habislah badan dia dipukuli sampai sekarat.
Taryan dan Riang ingin membantu. Namun keinginan mereka hanya sampai bab niat. Mereka hanya bisa doakan agar sang ustad tidak mati. Kalaupun mati mudah-mudahan matinya syahid. Masuk surga!
Setelah para penjudi puas memukuli si ustad, barulah Riang dan Taryan mendatangi got tempat ustad malang itu njompret. Ajal belum datang. Nafas sang ustad masih ada. Itulah mengapa, sejak kejadian tragis itu tak ada satu orang pun yang mau menjadi martir. Perjudian tak mungkin bubar hingga sebuah kejadian melakukannya.
MALAM ITU UDARA MENGHANGAT. Sebentar lagi hujan. Riang lupa ia ia harus pergi ke rumah Bentar. Gosip mengenai Aplatun membuat dirinya hilang ingatan. Menjelang tengah malam, Riang mulai merasa tidak enak dengan Bentar. Ia jadi takut membayangkan Bentar menolak kedatangannya. Ia teringat atas apa yang dilakukan mandor terhadapnya. Riang dipecat karena terlambat, karena bangun kesiangan. Ia takut kesempatannya kali ini pupus akibat alpa.
Berulang kali Riang melihat Taryan yang tengah tidur pulas. Melihat lelaki yang tidak ia ketahui merasa senang karena berhasil mengalihkan pikirannya ke arah Bentar. Taryan terlihat letih. Belakangan ini, temannya itu acapkali bangun malam. Taryan merahasiakan apa yang dilakukannya. Yang Riang tahu, Taryan selalu menggoyang kakinya, pura-pura bertanya, “Sudah tidur Yang?,” Kalau Riang mengguman ia merebahkan badannya kembali. Kalau Riang tak keluarkan reaksi, Taryan menyegerakan diri berjingkat keluar.
Riang sempat berpikir kalau sahabatnya tak punya pertahanan diri. Ia tidak tahan karena dipikirnya Taryan sudah pernah ’mencoba’ dan dari obrolan masa remajanya, Riang mendengar bahwa orang yang sudah ‘mencoba’ suka kecanduan. Pikiran buruk berusaha Riang tepiskan, toh, setiap Taryan pulang, Riang tidak pernah mencium parfum perempuan bergincu tebal yang sering berpapasan dengan Riang di jalanan. Hingga saat ini, kelakuan Taryan masih menjadi misteri baginya.
Riang ikut rebahkan diri. Kesadarannya melarut. Tidurnya satu manusia lagi, mebuat bumi semakin sepi. Deru mobil sesekali terdengar. Para penjudi sudah ditinggalkan begitu banyak keramaian. Hanya tinggal mereka yang tersisa.
Tak jauh dari tempat itu, orang-orang berseragam yang di waktu sore mengangguk, telah tentukan siasat dan jam. Beberapa puluh orang mereka datangkan dari suatu tempat untuk lakukan penggarukan. Di malam yang gerah itu, suara sirine merayap di udara. Suaranya belum sampai ke tempat Riang dan Taryan. Orang-orang berlari.
Desas-desus menyebar mengembang di udara. Penjudi kasak-kusuk. Puluhan orang berseragam datang dari arah Dago. Mereka sampai di belakang masjid besar alun-alun. Suara sirine mulai terdengar. Sayup. Orang berlarian dari arah masjid. Suara teriakan terdengar.
”Aparat! Aparat!”
Suara hingar bingar. Serombongan orang datang membawa kayu, membawa pentungan! Mereka ’garuk’ warung dan gelandangan yang membuat Pemkot ’geli’. Penjudi-penjudi di samping tenda bukannya malah melarikan diri. Mereka yang mabuk lempari petugas Kamtibmas menggunakan botol dan gelas. ”Prang! Prang!” Beling pecah membentur aspal. Tak satu pun petugas yang cedera.
Petugas masygul! Mereka mendatangi kumpulan penjudi. Pentungan membuat para penjudi, akhirnya kocar-kacir melarikan diri. Beberapa orang yang tertangkap, dipukuli, lalu dilempar ke dalam truk, sementara itu otak judi –si bos berkopeah haji selamat, sebab waktu kejadian berlangsung si bos itulah yang lebih dulu melarikan diri.
Riang bangun. Keriuhan terdengar. Ia tak melihat Taryan di sampingnya. Riang keluar. Ia melongo, menggaruk kepalanya menyaksikan Kamtibmas melancarkan operasi penggarukan. Dari kejauhan, dari balik pengkolan seseorang berlari seperti orang liar. ”Yang kabur! Kabur,” katanya. Riang sadar. Ia ambil harta yang tersisa. Ke dua orang itu tak sempat mempreteli bahan bangunan rongsok yang mereka curi dan temukan. Riang dan Taryan terus berlari, menyembunyikan diri. Di balik kegelapan mereka menyaksikan terpal, spanduk dan kayu-kayu penyangga tenda darurat diterjang. Satu-satunya tempat kediaman bagi mereka dirubuhkan. Sedih mendatangi seperti ubi jalar. Sedih membuat mereka tersesak. Tak ada yang bisa dilakukan. Kedua orang ini gontai, berjalan meninggalkan kenangan.
Malam menua. Hujan tak jadi datang. Tak ada bulan dan bintang. Yang ada hanya cahaya buatan manusia sinari jalan. Dari jendela angkutan kota, pohon-pohong, dinding bangunan dan tiang-tiang berlari. Semua yang usang harus ditinggalkan. Malam ini ... kehidupan layaknya sepatu rombeng!