Mabuk Bab 16)

Posted: Sabtu, 13 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Sore hari, usai lempar ratusan batu-bata, bahu dan pergelangan tangan Riang terasa pegal. Dua kuli bangunan yang sejak awal jadi teman Riang bekerja mengajaknya pulihkan stamina.

”Kita minum Big Boss Yang.”
”Cape pegel ilang, badan jadi hangat. Ada lagi khasiat yang utama.” teman Riang sesama buruh bangunan tersenyum genit.

”Minuman apa itu?” tanya Riang, ”bagaimana dengan khasiatnya?”
”Bisa membuat lelaki seperti kita jadi banteng!”
”Ngamuk diranjang!” seru kuli yang satunya.
“Bukan cuma ngamuk, Yang. Nanduk-nanduk!”
“Kelojotan!”

Mereka tertawa dan Riang percaya. Maka setelah dua orang kuli itu shalat Isya, dibawanyalah Riang menuju penjual jamu. Sampai di sana salah seorang teman kerja Riang berteriak. “Biasa!” dan tersedialah tiga cangkir minuman bening warna kuning.

Riang membaui Big Boss. Ia curiga. “Akohol!?” tanyanya sambil mendelikan mata.
Dua kuli berpandangan. ”Emang pernah minum AO Yang?!”
“AO?!”
“Anggur Cap Orang Tua! Masak gak tau?”
“Ndak tahu itu!”
“Udah minum Topi Miring?”

Riang mengangkat bahu.

“Minuman beralkohol!” jelas kuli yang satunya, menengak seseloki air jeruk yang menemani Big Boss.
“Ndak pernah tapi waktu di SMA pernah hampir minum.”
Penjelasan ”hampir” menjadi bahan cemoohan.
“Eu maneh mah. Alah! Kamu itu! Nanya-nanya minuman alkohol, tapi teu nyaho, tapi nggak tau Topi Miring jeung sama AO!”

Ketidaktahuan merupakan kelemahan. Riang pun dibombardir oleh dua orang kuli mengenai khasiat Big Bos yang menggemparkan dan anak kemarin sore ini, akhirnya tertarik juga.

”Pahit!” Desis Riang saat mencoba.
”Pan, kan jamu!”
”Jamu kuat Yang!”

Ludeslah Big Boss yang ada tangan Riang. Minuman ditambah. Dua kuli menyoraki. Memberi semangat supaya Riang minum untuk yang keduakalinya. Satu menit setelah meletakan gelas ke dua, Riang merasa tubuhnya diayun. Badannya digoyang ke kiri ke kanan. Ia bakal hilang kesadaran. Ia tak kuat. Dunia yang lambat membuat tubuhnya terasa dicanteli gandulan besi. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya Riang mabuk berat.

Dua kuli bangunan tak menyangka, jika efek Big Boss sedemikian kuat untuk teman barunya itu. Usai habiskan minum mereka membawa Riang pulang menuju bedeng. Namun apa yang bisa diharapkan dari dua orang pemabuk? Keduanya putus asa. Setelah membopong cukup lama, Riang ditinggalkan di samping monumen Pancasila yang sakti mandraguna.

Pagi hari menjelang kembalinya matahari, Riang bangun. Ia mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ia menemukan. Riang mengumpat meski diakuinya benar khasiat Big Boss membuatnya bugar. Riang mulai merasa khawatir. Ia harus memastikan berada pada jam berapa hari ini, di dunia ini.

Ketegangan menyedot seperempat stamina tubuhnya.
”Sekarang jam berapa Mbak?” Ia bertanya pada seorang wanita.
Simbak yang seharusnya dipanggil teteh tak mendengar. Riang mengulang
”Maaf ... Mbak. Sekarang jam berapa?!”
Muka si Mbak pucat! Bulu -bulu halus di sekitar lehernya berdiri. si Mbak menarik kemeja birunya cepat-cepat.
”... jam 8.30.”
Jam 8.30 ... jam 8.30!!!
Plak! Riang menghantam jidat. Ia berteriak
”Mati aku!”

Mendengar kata mati, si teteh geulis gumelis terkejut. Ia lari, melolong-lolong. ”Toloooooooooooooooooooooong!” Sebuah angkutan kota yang bunyi knalpotnya menyerupai kentut berhenti menyelamatkannya.

Seharusnya Riang tertawa menyaksikan akibat yang ia perbuat. Kehawatiran membuat sense of humornya hilang. Menyadari dirinya terlambat, Riang terpekur. Ia mulai berpikir buruk mengenai nasibnya ke depan. Riang tak mau jadi pengemis seperti Taryan. Ia tidak mau menadahkan tangan sambil tidur-tiduran seperti binatang dabba, seakan reptil yang melata! Riang tidak mau. Ia lebih memilih jadi kuli karena tahu, menjadi pengemis itu susah menahan gengsi.

Tubuh Riang lemas, perutnya sakit! Cahaya matahari tak lagi terasa hangat. Muncul dingin di perutnya! Pengaruh cairan kekuningan Big Bos mengaduk perutnya. ”Sialan! Sialan!” Umpat Riang berulang-ulang.

Kata sialan tak pernah bisa merubah keadaan. Riang pun memberanikan diri menemui mandor di tempat kerjanya. Jujur ia jelaskan semua kejadan bahkan yang seharusnya tak ia ceritakan.

Mandor tak ambil pusing. Ia tak butuh alasan, terlebih jika alasan itu tak ia sukai. Bagi mandir mabuk merupakan perkara berat. Riang langsung divonis. Ia tidak bisa mengajukan banding. Keputusan telah di buat. Ia dipecat!

Dengan wajah yang lesu ia menuju warung Aplatun.
”Taryan kemana Ton?”

Antoni angkat bahu, bibirnya bergelayut. ”Mana kutahu. Malam tadi kusuruh tidur di sini. Dia tak mau.”
”Kenapa tak kerja?!”

Riang tak menjawab. Big Bos lebih dulu mencuri perhatiannya. Mengaduk-aduk perutnya. Perut Riang merilit. Ia menuju kamar mandi. ”Ikut buang air Ton!” Riang berlari, berteriak.

Antoni tidak bilang jika air PAM di warung tak mengalir deras. Riang keluar. Ia lari terbirit menuju WC perguruan tinggi. Riang mengejan cukup lama di sana. Ia merasa sakit perutnya merupaka siksaan terberat untuk umat manusia. Ia tak mengetahui bagaimana sakitnya seorang wanita saat melahirkan, pinggulnya serasa dijebol! Riang tak akan pernah mengetahui.

Selesai menuntaskan hajat, Riang berjalan menuju kediamannya semulanya yang berupa tenda darurat beratap terpal itu. Di jalan ia mengantungi kerikil sebagai berhala penangkal. Ia tak mau kapacirit, buang air di celana, di jalan raya.

0 komentar:

be responsible with your comment