Dr Nurlaila (Bab 17)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Taryan tertawa kebablasan. Cerita mengenai bujukan maut dua kuli bangunan dan Big boss membuatnya jatuh. Hilangnya pekerjaan Riang tak jua menyurutkan tawanya.

Riang kesal. Dari pada berakhir menjadi pertengkaran ia pejamkan mata. Lima menit kemudian ia tak mengingat apa-apa. Selang dua jam ia mimpi buang air besar. Ia bangun dan merasa seekor alien ada di dalam perutnya. Riang melesat menuju kamar mandi masjid jami. Balik dari sana ia lanjutkan tidur. Setengah jam kemudian ia bangun dalam keadaan tegang, merasa tertekan, mengalami perasaan terancam. Ia lari lagi. Malam itu, bulak baliknya Riang ke kamar mandi melebihi jumlah bulak-baliknya Adam dan Hawa dari Shafa menuju Marwa.

Ketika tak ada lagi yang bisa dikeluarkan perutnya, Riang tertidur. Bangunnya ia temukan dua pil pereda sakit perut, juga nasi hangat dan lauk-pauknya. Lebih dari itu, ia menemukan uang receh di sakunya. Riang bersyukur sebab sisa upahnya kemarin, hanya cukup untuk sekali makan. Hari ini Riang habiskan waktunya di dalam tenda.

SORE HARI. Taryan datang dari balik tikungan. Ia bawakan Riang satu lembar celana panjang dan jaket tentara. Acuh-tak acuh ia lempar celana dan jaket berpenutup kepala itu ke arah sahabatnya.

“Pake!” Taryan melempar. ”Persediaan celanamu habis. Untuk sementara pakai dulu yang kubeli!”
”Maaf nyusahin situ!” Hati Riang serasa di gosok batu. Ia terharu.
Taryan menghela nafas, “Yang? ... kau ingat waktu pertama kali kita bertemu?”
Riang anggukan kepala.
“Sekarang saatnya aku balas kebaikanmu!”
Mereka diam.
”Yang?”
Riang masih diam.
“Kita akan saling menjaga!”

Mata Riang buram. Ia mengangguk pelan. Ia sandarkan badan dan limpangkan jaket di dengkulnya. Taryan merasa canggung melihat Riang seperti itu. Menggunakan alasan: belum shalat ashar, ia pergi, tetapi baru beberapa langkah berjalan Taryan tertawa kemudian berbalik.

“Nih seadanya!” Ia melemparkan sebuah kantung plastik lagi. Taryan melangkah kembali menuju masjid.

Riang membuka bungkusan yang dilemparkan. Ia menemukan kerupuk lepek dan sebungkus nasi di dalamnya. Meski tanpa lauk-pauk Riang merasa nikmat. Air yang memburami matanya merembes, mengalir melewati hidung, menetes dan menjadi kuah yang menggarami nasi bungkusnya.

Satu jam setelah makan berselang, sakit Riang bertambah parah. Riang berak di celana. Ia pikir Taryan berniat membunuhnya.

TARYAN YANG DATANG saat udara magrib diisi kesejukan, terkejut saat menemukan Riang yang tengah kelojotan. Kalau terus menerus begini temannya bisa mati. Maka di bawanya Riang menuju warung Aplatun.

”Sebaiknya kau bawa Riang ke dokter Nurlaila.” Aplatun memberi saran.
”Tak punya uang Ton!” Mendengar kata dokter Taryan ketakutan.
”Coba kamu ke sana!Dia bukan dokter matre!”

Bukan dokter matre berarti menjadi idola di kalangan tak berpunya. Menjadi idola di kalangan tak berpunya berarti sang dokter tidak memberi tarif gila, seperti dokter yang kerasukan mengejar setoran. Menjadi idola di kalangan tak punya adalah jaminan bahwa si dokter tidak akan mempengaruhi pasiennya untuk membeli obat mahal yang ditawarkan salesman pabrik farmasi, agar ia bisa pergi dua kali ke luar negeri setahun sekali.

Berbekal alamat dan teh pahit buatan Aplatun, Riang dan Taryan berjalan hingga terminal Kebun Kelapa. Di sana orang-orang berteriak menjual baju, menjual celana bekas dan baru. Tukang stiker menyingkir, menutup barang dagangannya dengan terpal biru. Tukang martabak dan gorengan dibanjiri cahaya neon. Suara minyak panci penggorengan mendesis-desis. Penjual buku memasukan buku pelajaran, tuntunan praktis bercocok tanam, komik sampai majalah porno ke dalam gerobak.

Dekat penjual kaset yang memakai anting di bibir, Riang dan Taryan masuk ke dalam angkutan kota yang gelap. Calo meminta jatah. Uang berpindah dan roda berputar beratus ribu kali hingga mereka sampai di pusat kota: Dago. Di sana orang-orang keluar seperti gerombolan kelelawar. Anak remaja pria dan wanita bergandengan tangan. Mereka masih muda. Masih murni, belum bau tanah. Selang-seling manusia berkerumun, masuk ke dalam pertokoan atau sekedar duduk-duduk di cafe. Cahaya benderang. Mesin mobil-mobil mewah hampir menempel di tanah. Suara bas menendang-nendang. Lampu merah menyala. Mobil berhenti. Bunga mawar putih yang dilapisi plastik transparan dijajakan Beberapa orang membeli tanpa meminta kembalian. Lampu hijau menyala, derum memekakan telinga. Beberapa mobil melesat cepat. Angkutan yang mereka tumpangi berjalan lambat, mengedut-ngendut.

Lampu merah lagi. Anak kecil memakai topi berwarna hijau dekil, masuk ke dalam. Tingginya kira-kira sedada Riang. Kakinya kanannya menjejak angkutan kota. Yang kiri, menjejak aspal. Ia memakai sendal jepit yang mereknya sama dengan yang Riang pakai. Swallow. Jemarinya kusam. Dari mulutnya yang bau, suara cericit keluar. Ia menyanyi. Suaranya sumbang.

Azan telah mengumandang (Tangannya berbunyi)
Di puncak menara tinggi.
Memanggil kaum muslimin dan muslimat, bergegas untuk bersembahyang.
Panggilan Tuhan yang Esa,
jangaaaanlah engkau abaikan. Lima kali sehari semalam,
la ... la ... la la ... (Ia lupa).

Anak itu membuka topi. Kepalanya plontos. Dijulurkannya topi itu ke arah Riang dan Taryan. Mereka memberi senyum pada si anak. Seorang wanita belia memasukan dua ratus rupiah. Anak kecil berbaju necis memberikan uangnya. Penjual suara bertubuh kecil turun dari angkutan kota. Dan lampu hijau pun menyala.

”Sampai di Simpang Dago,” Taryan bersuara. “Aku biasa mangkal di sana Yang!” Ia menunjuk warung buah-buahan yang ramai oleh warna. Ada jeruk --yang warna oranyenya bikin perut Riang melilit. Ada apel merah. Ada anggur yang membuat liur Taryan terbit dari kerongkongan.

“Di bawah triplek itu,” Taryan menujuk papan bertuliskan Jus Ngeunah ”aku meniipu mahasiswa ITB yang katanya pintar-pintar itu.”

“Orang yang pandai berakting, harusnya jadi bintang film.” Riang berkomentar lemas.
Taryan memukuli dadanya seperti kingkong.

Angkutan kota berhenti di depan sekolah bertingkat dua, saat Taryan berteriak ”Kiri”. Mereka menatap plang-plang, dan masuk ke dalam gang.

Dr. Umum Nurlaila
Praktik Dari Hari Senin – Sabtu
Pukul 17.30-21.00

Pas! Mereka masuk ke dalam ruang praktik. Warna cream dinding membuat mereka silau. Sebuah buku tulis terbuka di atas meja bertaplak putih. Seorang wanita muda tersenyum. Lampu membuat rambutnya yang panjang terlihat merah. Riang dan Taryan membalas senyumnya.

“Baru kesini?” Tanya wanita itu ramah
“Iya. Nganter teman!” Taryan antarkan Riang menuju sofa. ”Sebentar ya Mbak.”
“Namanya siapa?”
“Saya Taryan!”

Wanita itu tidak memakai lipstik tapi warna bibirnya merah jambu mengkilat ditimpa cahaya lampu. Ia keluarkan karton hijau bergaris.
”Akang, sakit apa?”

Taryan menunjuk. “Yang sakit bukan saya. Itu ...”

“Jadi yang sakit bukan Akangnya.” Wanita itu mengambil tip ex. “Nama teman Mas siapa?”
“Riang?”

Taryan kebingungan. Wanita itu melihat ke arah Riang, meminta nama panjangnya.

“Riang Merapi!” Riang menyahut dari tempat duduknya, kemudian mengenakan penutup kepala, memperhatikan wanita itu, namanya Milea. Ia mengingat baik-baik huruf yang menempel di dada wanita itu. Melihat Milea membuat sakit perutnya berkurang. Selesai menulis nama, Milea masuk ke dalam sebuah ruangan. Tak lama, pintu dibuka. Pasien wanita berpakaian seronok muncul. Mukanya lesu. Sekarang, giliran Riang dan Taryan masuk ke dalam.

Seorang wanita tua berwajah keibuan duduk di sana. Umur nya sekitar 50 tahunan. Ia persilahkan si pasien duduk dan menceritakan keluhan. Setelahnya Riang berbaring di ranjang.

Dokter menekan perutnya. “Sakit atau tidak?”
“Sakit!”
“Asal dari mana?” Dokter Nurlaela memasang stetoskop.
“Thekelan Jawa Tengah Bu.”
“Disini kerja?”
“Jadi kuli bangunan di Kebun Kelapa.” Riang berbohong. Ia malu mengakui statusnya sekarang.
“Di Bandung ada keluarga?”
“Ndak ada!”

Pemeriksaan selesai. Ada tanda tanya di wajah dokter. Riang memakai baju dan jaketnya.

“Terakhir mengkonsumsi apa?” tanya dokter sembari mencuci tangan di keran.
Hampir saja Riang bilang Big Boss. Kerudung yang dikenakan dokter Nurlaila membuatnya tak tega berterus terang.
”Tongkol” yang terucap dari mulut Riang.
”Untuk sementara makan bubur saja.” Dokter mengambil kertas. ” Selama dua hari ini, jangan makan yang keras-keras.”

Riang menyenggol dengkul Taryan.

Taryan memasukan tangan ke dalam kantung celana. “Biayanya berapa Bu?”
“Sebentar,” Dokter menulis resep di kertas. “Apotik ada di samping.” Katanya.

Taryan mengulang pertanyaan, “Maaf Bu ... berapa biaya berobatnya?”
“Tidak usah.”
“Jangan!” Teriak Riang dan Taryan hampir bersamaan.
“Tak apa. Uangnya dibelikan obat saja”.
”Jangan Bu!”

Dokter Nurlaila tersenyum melihat bolong di gigi Taryan. Tak perlu lagi ada percakapan mengenai biaya, sebab keputusannya sudah final.

Riang dan Taryan pamit berdiri. Taryan mengambil tangan dokter Nurlaila. Dahinya ia letakan di atas lengannya. Dokter kebingungan. Mereka pun keluar. Saat pintu hampir tertutup, dokter keluar dari ruangannya. Kali ini suaranya terdengar hangat. “Lekas sembuh ya Nak!” Hari ini hati kedua orang itu dipenuhi bunga. Dokter Nurlaila membuat bahagia. Mereka memetik pelajaran bahwa tak selamanya orang yang kelihatan dingin tak mempunyai kepedulian.

Malam itu di bawah temaramnya bintang Taryan bermimpi bertemu mertuanya. Riang lain lagi. Ia bermimpi bertemu Milea. Dalam mimpinya, Milea mencoreng morengi wajah Riang dengan arang. Dalam tidurnya Riang tertawa. Subuh harinya, ia sudah bisa kentuti wajah Taryan.

0 komentar:

be responsible with your comment