Takdir (15)

Posted: Sabtu, 13 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Mencurigai adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang. Beberapa bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’ itu menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan pulang ke desa. Lelaki itu tahu bahwa permasalahan yang tidak dapat dipastikan kesudahannya, bisa membuat dia masuk ke lubang yang sama berbahaya dengan kehidupan di Jakarta.

Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui pihak yang berwajib. Naiklah ia di kereta kelas kambing. Ia duduk di depan ruangan, di mana jutaan penumpang mengeluarkan seni. Belama-lama di dekat tempat sebau itu, tentu tidak membuat apresiasi seni si lelaki makin tinggi. Manusia perlu udara bersih. Lelaki itu pun demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat waktu itu menghentikan perjalanannya.

Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di gerbong kereta. Karena tak punya karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk ditempel, lalu disalam-salam, lelaki itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir.

Ia berjalan sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak salah, karena yang salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak tentu arah. Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin. Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri. Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh.

Orang-orang di trotoar mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat menyalip dengan cepat. Kalau diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin kecepatan salipnya mencapai 20 km/jam. Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia hampiri, ia bangunkan, ia silangkan lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu menuju warung tempatnya makan. Lelaki itu diberi pemilik warung indomie segelas teh panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan lelaki itu, sejak saat itu pula, Riang mendapat dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Antoni, si pemilik warung indomie dan seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan.

Sebagai teman, Antoni memiliki perbedaan dengan Taryan. Jika Antoni selalu memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban untuk Riang, Buruk-buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi ’asuransi’ apabila ia ditimpa kecelakaan di masa mendatang. Ini tidak berlangsung lama. Apa yang dilakukannya untuk Taryan dianggapnya sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan pertemanan mereka. Di saat Riang benar-benar tak memiliki uang, ’asurani’ yang sudah dihapus dari pikirannya datang. Hal ini pun tak disangka sebab ia tahu jika hari yang lalu itu, Taryan tidak dapat uang sepeser setelah mengemis. Yang ia tahu tiba-tiba Taryan datang membawa dua bos rokok, dua bungkus pecel lele.

Kejadian macam begini pun jauh dari dugaan Taryan, karena lapar setelah mengemis dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, Taryan terjongkang di bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon, Taryan mohon pada Tuhan dikasih makan. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan curut bakar. Permohonan itu tak pernah terkabul. Tuhan tak pernah menawar –sekedar—nasi bungkus untuk dimakan. Namun, apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan menemukan dompet abu, di genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan menganggapnya ya.

Taryan bersorak, berhuray ada uang banyak di dalamnya. Tak seperti kali pertama kala ia merasa dosa mengambil uang keropak, dan berniat mengembalikannya. Kali ini Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet ia punya di kepalanya. Dompet berikut kartu pengenal yang ada di dalam dompet Taryan buang. Uangnya ia masukan ke dalam celana setelah di gulung menggunakan karet gelang.

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.
”Dapat uang dari mana?” tanyanya.
Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan. ”Laper kan?” katanya.

Ya jelas, Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah standar pas-pasan.
”Situ nyuri ya?!”

Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.

”Tanya- tanya segala! Mending makan aja. Nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun segera ia insyapi. Sebab, bagi gelandangan, makan tentu lebih utama dari penasaran.

Secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah Irian, secepat itu pula Riang makan. Perutnya kembung.

Taryan menepuk perut Riang.
”Enak?”
”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.
Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar biasanya ia tawarkan cewek.

”Mau disetrum atau nyetrum Yang?”

Taryan llagak. Riang tahu, Taryan tidak punya keberanian untuk itu. Sepengetahuannya shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu makan apa, besoknya Taryan mengemis sambil puasa. Keganjilan itu membuat Riang kehabisan pikir.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya perepet juga, maka rahasia uang yang dimiliki Taryan terkuak. Bengep-bengep di wajah dan noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia.

Riang mengetahui asal muasal uang temannya dan mengetahui pula kemana uang itu amblas. Uang Taryan beralih ke tangan preman. Apapun yang terjadi, bagi Riang, Taryan telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka berjalan Sejak itu tak ada lagi hitung-hitungan asuransi di kepalanya. Teman adalah teman.

Setelah dua orang itu kehabisan uang, lantas apa yang terjadi?

Taryan tak bisa mengharapkan dari hasil mengemis, pasalnya kemudaan diri dia membuat orang, sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada yang memberi, itu lebih dikarenakan mencari aman. Uang simpanan Riang pun ludes. Semua jerih payah dan pemberian Bapaknya habis. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Antoni. Tangan mereka tak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Antoni adalah manusia yang menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka.

Diberi makan, Riang dan Taryan semangat mencari uang. Mereka berpencar mencari peluang. Peluang pertama menjumpai Riang saat sebuah kecelakaan terjadi. Riang melihat kerumunan. Kasak-kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari ketinggian. Katanya tiga kepal batu jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang penyangga.

Batu pertama jatuh merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur helm dua orang pekerja pememanggul pipa Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang mereka kenakan jadi tidak begitu berfungsi apalagi fungsi menyelamatkan kerja mereka.

Dua buruh bangunan pingsan. Segera celah sempit yang melebihi sempitnya celah Keiber itu dimasuki sang pencari peluang. Riang meliuk-liuk di antara kerumunan. Ia bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan.

Satu jam kemudian, dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari kemampuan buruh bangunan, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakannya. Dalam keadaan biasa, siapa yang bakal percaya, dan mau memperkerjakan orang yang datang tiba-tiba? Tapi bukankan keadaan di dunia, tidak selamanya merupakan keadaan biasa? Mandor memutuskan. Riang dipekerjakan.

Takar-menakar di kepala mandor yang akhirnya menghasilkan keputusan itu lataran ia diburu atasan, dan atasan mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Selesai menyepakati draft kontrak, Riang semangat lari demi memberitahu Taryan. Pikirnya ada pekerjaan kasar yang bisa Taryan lakukan. Sayang, keinginan Riang tak kesampaian.

Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi sangat diperlukan. Memang, mandor butuh pekerja, akan tetapi akal sehatnya menuntut dia untuk mempekerjakan orang yang memiliki selembar kartu sebagai jaminan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan Taryan

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Siapa yang nanti temani Taryan?, pikirnya. Riang perlu jalan keluar.

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”
”Sudah ku ajak Ton.”
”Tidak bisa? ”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”
”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”
“Jadi hanya karna KTP?”
”Pasti karena itu!”
“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”
“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan, tapi mandor nolak!”
“Sekarang apa yang dia perbuat?”
”Taryan?”
”Ya.”
“Tidak tahu! Dia tidak bilang waktu tadi pergi. Aku kasihan padanya....”
Antoni merasakan kesedihan itu.
”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”

Antoni menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.

”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau Kau mau tidur, tidur di sini saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Demi solidaritas antar teman yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah beban Riang. Ia tidak merasa dosa saat Taryan menemuinya di warung indomie.

Taryan menjinjing kantung kresek. Isinya segepok gajih kambing.
”Apa yang kau bawa?” tanya Antoni.
”Nanti kau tahu. Ton ... sekarang pinjami aku uang.” Taryan cengegesan.
“Untuk apa?”
“Beli obat merah.”

Antoni membuka laci harta karunnya. Diberikannya beberapa lembar uang berwarna merah.
”Besok ku ganti Ton.”
”Tak usah! Amal!”

Antoni tahu apa yang dilakukannya. Gaji kambing itu digunakan Taryan membantunya mengemis. Alhasil, setiap hari, puluhan uang receh masuk berdenting-denting ke dalam plastik biru deterjen milik Taryan.

Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Tak lama lagi, profesi inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua hari, Taryan kembali membuktikan eratnya hubungan timbal balik antar mereka.

0 komentar:

be responsible with your comment