Bukan Bangkong

Posted: Selasa, 29 April 2008 by Divan Semesta in Label:
5

Jika terlalu dipikir,
revolusi akan terasa membebani,
membuatku gila dan teralienasi.

Aku fikir hidup harus berjalan apa adanya,
bukan saja membebaskan orang,
tapi yang terpenting membebaskan diri sendiri

Apa mau dikata?
di padang mahsyar itu,
yang bertanggung jawab terhadap diri,
ya kita sendiri.

Bukan bangkong.

(30 April menjelang Mei day)

READ MORE!

Aforism

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

"Keteraturan akan timbulkan penghargaan." Tolstoi

READ MORE!

Kristen Tidak Pernah Mengaku Muslim dan Muslim Tidak Pernah Mengaku Kristen

Posted: Senin, 28 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Dalam melakukan pembelaan terhadap jemaah Ahmadiyah, biasanya orang-orang menggunakan ilustrasi historis yang menunjukan bahwa segala macam protes mengenai jemaah Ahmadiyah seharusnya tidak dilakukan. Hal ini di landasi sejarah bahwa pada awalnya pun Kristen di intimidasi oleh Yahudi setelah agama tersebut keluarkan perjanjian baru (perjanjian ke dua antara manusia dan tuhan). Intimidasi pun terjadi atas nama agama Kristen ketika Islam mengeluarkan perjanjian baru ke tiga dalam bentuk Al Quran.

Landasan itulah yang menjadikan usaha Bakorpakem untuk mem-band jemaat Ahmadiyah menjadi sikap sekumpulan orang dungu yang dianggap tidak mempelajari sejarah. Intinya: dulu kita (muslim) tidak ingin diperlakukan demikian (di band), tapi kenapa sekarang kita (muslim) memperlakukan jemaat Ahmadiyah seperti halnya Kristen dan Yahudi ketika Islam muncul? Kalau tidak mau di seperti itukan (dulu), kenapa sekarang kita men-seperti itukan Ahmadiyah?

Statement seperti itu sebenarnya sudah salah di awal. Ilustrasi historis perkembangan agama-agama samawi di awal tidak bisa direlevansikan dengan perkembangan Ahmadiyah, sebab: di masa lalu Kristen tidak pernah mengaku sebagai agama Yahudi, dan Islam pun tidak pernah mengaku sebagai agama Kristen. Ahmadiyah berbeda. Jemaah ini bukan Islam karena pokok akidahnya berbeda dengan Islam, tetapi mengatasnamakan jemaatnya sebagai jemaat Islam.

Wajar jika banyak muslim yang menjadi brutal, padahal kalau Ahmadiyah mengklaim sebagai agama (baru) tentunya lain soal. Sikap brutal bisa di redam, dan Ahmadiyah sebagai agama bisa hidup tenteram, setidaknya di republik ini.

READ MORE!

Ngehe

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

Salman Al Farisi pernah protes karena Umar bin Khattab pernah memiliki dua jubah. Dalam khutbahnya ia bilang, tidak mau mendengar perkataan Umar. Sebabnya, ya itu tadi: Umar punya dua baju. Umar pun bilang: Hai abu abdullah, jangan terburu nafsu. Lalu 'singa' yang pernah ancam orang supaya takut istri ibu anaknya takut menjadi janda dan yatim ini meminta tolong anaknya untuk menjelaskan.

Di bawah sumpah, setelah anaknya berucap, Umar berkata, “Demi Allah, baju yang aku pakai ini adalah bajumu! (baju pemberian anaknya).

Melihat kondisi pejabat yang bener-benar ngehe, sepertinya sikap minimal kita ya seperti Salman al Faritsi itu: tidak mau dengarkan omongan mereka.
Apalagi di masa kampanye. Wah-wah

READ MORE!

Wahyu Lebah?

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

“Saya tak berani katakan bahwa wahyu sudah terhenti di tangan Muhammad. Di dalam Al Quran lebah di beri wahyu, dituntun wahyu Tuhan untuk membantu proses penyerbukan; membuat madu dan lain sebagainya. Lebah saja di beri wahyu, apalagi manusia.”
Ketika kasus kenabian Ghulam Mirza Ahmad salah satu argumentasi yang muncul macam demikian. Padahal, statement seperti itu tidak mengena, sebab wahyu di dalam Islam memiliki beberapa definisi. Sama halnya dengan ruh.
Dalam Quran ruh itu bisa di definisikan sebagai: Jibril (ruhul kudus), al-Quran itu sendiri, Isa binti Maryam, atau idraksillahbillah, yakni keterikatan, keterhubungan selalu antara hamba dengan Allahnya, juga ruh dalam pengertian ”sesuatu yang menggerakan manusia” yang biasa kita sebut jiwa atau Nyawa.
Wahyu dalam pengertian argumen di paragraph awal adalah hukum alam/mekanisme alamiah yang dilakukan oleh mahluk hidup. Dalam kasus lebah tadi, wahyu melingkupi tuntunan Allah kepada lebah dalam hal penyerbukan, pencarian bunga, kegiatan reproduksi dan lainnya. Tentu, wahyu dalam pengertian yang sakral/pengertian risalah kenabian/kerasulan tentu berbeda dengan wahyu dalam pengertian mekanisme alam lebah,
Wahyu di dalam pengertian yang sakral yakni risalah yang diberikan Allah kepada nabinya, sudahlah berakhir (di dalam Islam) karena dalam momentum haji wada Rasulullah pernah berkata bahwa tidak ada nabi dan rasul setelahku. Lantas Mirza Ghulam Ahmad siapa?

READ MORE!

Lelaki Pelompat

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

Saya memandangnya, dengan pandang kekaguman. Lelaki itu, dekil, kulit legam, badan kerontang, namun kelihatan sehat. Berusaha sampai di tempat saya biasa menunggu kereta, ia gunakan rel besi sebagai tumpuan. Hap! Satu hentakan membuatnya meloncat demikian tinggi, lalu mendarat di dekat tempat saya duduk.
Saya tak pernah mampu meloncat setinggi itu. Penumpang kereta yang lainnya pun tak pernah saya lihat mampu melakukannya. Biasanya kami lebih dahulu menjadikan tangan sebagai tumpuan untuk bisa sampai ke tempat kami duduk menunggu kereta. Jika ingin membayangkan lebih detail apa yang kami lakukan (supaya kami sampai di ruang terbuka tempat tunggu kereta), ibaratkan kami berpose maling yang kepergok (seperti dalam film atau malah seperti kambing yang nyangsang di atas tembok). Nah, pemuda itu tidak melakukan seperti yang kami lakukan. Dia punya style.
Tak berapa lama kereta datang menjemput, saya menelusup ke dalam. menyisip di antara ratusan penumpang lainnya. Setelah lewati beberapa stasiun, gerbong mulai sepi. Pemuda pelompat yang beberapa waktu lalu saya perhatikan datang. Ia membawa sapu. Sejak awal saya sudah menyangka pemuda itu menggantungkan hidupnya dari uang yang beredar di atas gerbong, di sepanjang rel kereta.
Saya sudah menyangkanya, yang saya tidak sangka justru wajah dia yang sehat, tiba-tiba (di atas gerbong) berubah mengharukan. Ia sapu kulit jeruk, sapu gelas plastik, debu dan bungkus permen sepanjang satu hingga dua meter, lalu meminta kepada penumpang yang terjaga atau pura-pura terjaga.
Di sepanjang bangku gerbong yang saya tempati, tak ada satu orang pun yang berikan dia uang, kecuali satu orang bapak. Si bapak ini beri lelaki itu recehan. Saya menyangka uang receh lima ratusan alumunium, ternyata bukan. Lelaki yang jago lompat itu merogoh bungkus permen relaxa, men-check uang yang diberi si bapak. Tiba-tiba Ia berdiri. Mimiknya tampakkan murka, lalu berjalan cepat. Di dekat sambungan gerbong dilemparnya uang recehan pemberian si bapak. Lelaki itu menghilang. Penumpang tercengang. Receh menggelinding tepat di bawah kaki saya. Receh dua ratus rupiah.
Saya tiba-tiba teringat senyum anak-anak kecil. Mendadak saya teringat pengamen dewasa, teringat pak ogah yang sering tersenyum mendapat uang meski seratus rupiah. Dalam pandangan saya sekarang, lelaki pelompat itu tidak tampak keren lagi.

READ MORE!

Pecahan Semangka

Posted: Kamis, 24 April 2008 by Divan Semesta in Label:
4

Sepuluh ribu lima ratus meter dpl

Awan yang tipis, terlihat tenang, berenang malas di angkasa yang terlihat biru dari permukaan. Lekukan lembah gunung mulai terlihat. Aliran sungai, berkelak-kelok menuju muara pembuangan segala macam kejernihan, yang menyatu dengan sampah kampung dan perkotaan. Angin membuat ia merasa dingin, tapi ia tidak menggigil. Burung-burung melayang, ia tidak bisa memastikan jenisnya apa. Beberapa saat lalu lelaki itu melihat dua ekor lebah. Ia pikir dengan ketinggian se-ekstrim itu pastilah yang dilihatnya seekor lebah madu betina, dan lebah jantan yang tengah melakukan apa yang disebut biologi sebagai usaha reproduksi. Ratu lebah madu memang memiliki keunikan ketika melakukan reproduksi, ia terbang melangit, sementara lebah jantan saling berlomba mengejar ketinggiannya. Makin tinggi satu demi satu pejantan gugur dan yang bertahanlah yang berhak membuahi sang ratu.

Lelaki itu jadi teringat proses persalinan yang baru saja ia tangani sebelum mengambil cuti. Di sebuah ruangan berwarna putih, lampu-lampu super terang berbentuk bulat raksasa, dan suasana yang tenang namun mencekam, seorang ibu melolong seakan ruangan itu hanya miliknya. Seonggok daging bernyawa keluar dari rahim melalui lubang kemaluannya. Lelaki itu mengambil gunting, memutuskan tali pusar bayi yang kemudian dibersihkan untuk diberikan, di-adzani dan di-iqomati oleh bapaknya.

Ia teringat dosennya, menjelaskan di hadapan kelas bagaimana kerja keras sel sperma, melakukan perjalanan berbahaya menuju sel telur ...hingga penjelasan mengenai retaknya tengkorak bayi semenjak di dalam rahim untuk mempermudah persalinan. Supaya kepalanya tak pecah karena tekanan.

Di akhir perkuliahan, wajah kawan-kawan lelaki itu, yang semula butek karena rumusan, berubah menjadi bercahaya. Mereka kagum oleh cara menghubungkan ilmu kedokteran dengan pemahaman mengenai keajaiban penciptaan, Kemahaluarbiasaan Sang Pencipta. Lelaki itu, mengingat bagaimana di akhir perkuliahan ia mendatangi dosennya, dan bertanya.

”Mengapa manusia tiba-tiba lahir ke dunia? Mengapa manusia tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan alam yang membingungkan? Manusia diciptakan seperti yang bapak katakan, lantas apa yang menjadi tujuan penciptaannya? Saya tiba-tiba saja ada di dunia ini tanpa diberi kesempatan untuk memilih ... untuk apa hidup ini? Hidup ini gelap bagi saya, terlampau suram untuk diketahui tujuannya.”

Dosen duduk kembali di bangkunya. Ia memandang lelaki itu.

”Siapa namamu?”

”Nyawa.”

”Alangkah bagus namamu.” sambil melihat wajah lelaki yang diliputi kerawanan, kegelisahan. Ia seakan paham dengan keadaan yang dialami mahasiswa di hadapannya, ”Nyawa... manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya ... hanya untuk beribadah saja. Bukan yang lainnya...”

Nyawa tidak puas, bukankah jawaban itu pernah didengarnya sebanyak ratusan ribu kali.

”Tapi saya tidak pernah memilih untuk diciptakan, hingga menyetujui melakukan konsekuensinya ketika saya sudah tercipta: beribadah. Tidak pernah ada yang mengajak saya rembug untuk urusan apa yang harus saya lakukan di dunia ini.”

”Nyawa ...” Dosen memandangnya bijak, ”Manusia pernah diberi pilihan di sebuah alam sebelum kelahirannya di dunia. Enam milyar manusia yang meramaikan bumi ini, sebelumnya telah memilih kehadirannya di dunia.”

Nyawa merasa aneh dengan jawaban itu, ”Kalau pernah diberi pilihan, kenapa saya tidak mengingatnya? Apa bapak pernah mengingatnya?”

Dosen itu diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Nyawa sebab ia memang tak pernah mengingat apa ia pernah ditanya, diberi pilihan untuk hidup atau mati sebelum menghirup udara bumi yang ia tahu semakin sumpek oleh polusi.

”Pak ... seandainya saya bisa memilih, saya lebih baik mati, ketimbang hidup di dunia yang sesak ini. Ketimbang keluyuran kesana-kemari, melangkah dan bekerja tanpa mengetahui arti yang saya lakukan. Saya lebih memilih tidak dilahirkan. Lebih baik memilih hilang, ketimbang mengalami kehampaan yang kekal, kehampaan yang bisa membuat saya gila.”

Dosen itu merasa bangku yang didudukinya direkatkan sedemikin rupa hingga ia tak mampu untuk bangkit selama beberapa detik. Ia hanya melihat punggung mahasiswa semester empat itu meninggalkan ruangan yang mulai berubah suram, karena awan yang berarak mulai membeku. Langkahnya gontai.

Delapan ribu lima belas meter dpl

Dingin. Kawan di sampingnya tertawa, mengacungkan jempol. Tak jauh di bawah, dua kawannya dari Selandia Baru bergaya. Salah seorang di antara merekalah yang empat tahun lalu menyuntiknya menggunakan dexter sewaktu tersesat di Mount Cook. Mereka berputar-putar sebagaimana bor berputar.

Nyawa telentang, membalikkan tubuhnya, ia terseret sejauh dua puluh meter, dan melihat tiga orang meluncur deras menyusul dirinya. Seorang pelatih angkatan udara yang baru dikenalnya di kapal, bergaya seperti kodok berenang. Hal itu membuatnya tertawa. Sejenak ia teringat petuah seorang general manager rumah sakit tempatnya kini bekerja. Petuah yang akhirnya mengantarkan dia untuk mengikuti kegiatan ekstrim semacam ini.

”Kalau benar-benar ingin sehat secara mental, jangan pernah injakan kakimu di rumah sakit, bahkan jangan pernah injakan ban mobilmu di tempat parkir, bengkel manusia ini.”

Nyawa tahu lelaki itu sangat jarang memperbincangkan sesuatu yang filosofis, namun hal itu menyentakkannya.

”Jangan-jangan sakit mental saya karena itu pak?” Nyawa tertawa lirih.

”Mungkin saja. Apa yang pernah kau lakukan untuk meredakan sakit mental itu?”

Nyawa ragu-ragu. Apa sih yang diketahuinya tentang penyakit mental? Namun ia tetap menjawabnya, tidak mengacuhkannya. Nyawa berpikir namun ia tidak menemukan jawabannya. Apa yang telah kulakukan?

”Berbagi dengan orang lain. Namun itu tak menyelesaikan permasalahanku. Capai aku dianggap gila.”

”Siapa yang gila? Jangan-jangan orang yang mengatakan dirimu itulah yang gila? Tak ada yang salah dengan berbagi, setidaknya mengurangi beban perasaan yang menghimpit hidupmu, tapi memang ... tergantung siapa yang kau ajak berbagi ... kalau kita salah memilih teman untuk itu, dan terus menerus seperti itu, kupikir lama-kelamaan kita bakalan menjadi skeptis. Skeptis yang baik bagus, tapi bagaimana jika kita malah menafikkan seluruh kepercayaan terhadap keterangan orang lain dan bukan sekedar menormalkan keterangan itu, untuk dipertimbangkan kebenarannya.”

Mendengar apa yang diutarakan lelaki itu, Nyawa merasa ada cahaya yang sudah sekian tahun meninggalkan dirinya. Yang ia tahu, semua yang ia pandang sore itu menjadi berbunga. Orang terlihat senantiasa tertawa, anak-anak tersenyum dan knalpot yang pada faktanya membuat bising, ia anggap sebagai sekedar sikap kekanak-kanakan. Ia memanfaatkan hari liburnya sebaik mungkin. Pergi menjelajah pesisiran, melihat dedaunan yang luruh di sebuah hutan, bahkan mencoba untuk menikmati keindahan bukan dari detail-detailnya.: terjun payung, melihat keadaan pegunungan, aliran sungai, hutan, secara keseluruhan, dari ketinggian.

Sayang, warna-warna cerah yang mulai mendominasi hati Nyawa hanya berlangsung sebentar. Lelaki yang ia harap meredakan kekalutan, menjadi dokter jiwanya, meninggal dunia. Di erangan nafas terakhirnya ia mendapat firasat bahwa dirinya bakal mengalami kekelaman yang tak berjangka, tak berwaktu.

Ada hikmahnya.

Empat ribu lima ratus meter dpl

Nyawa melihat laut berkilauan. Rumah-rumah yang terlihat bagai kesatuan ketika ia berada di ketinggian sepuluh ribu dpl, kini nampak memisahkan dirinya. Samar-samar ia dapat membedakan satu sama lainnya. membedakan gedung tinggi dan gubug-gubug kumuh yang menjamur di pinggiran kali, bianglala raksasa sebuah arena fantasi, mercusuar Onrust, pulau lambang kejayaan kolonialisme yang dilihatnya pada ketinggian sepuluh ribu sudah tak tampak lagi.

Satu kilometer di bawah tubuhnya, dua payung mengembang seperti jamur. Berulang-ulang melihatnya dalam ratusan kali penerjunan yang Nyawa lakukan, tidak membuat dia kehilangan apresiasi terhadapnya. Lepas dari sana, ia tahu bagaimana hentakan yang dirasakan ketika seseorang menarik tali, yang akan menahan terjun bebanya. Rasanya jantung seperti bakal lepas. Sensasi yang dirasakan hanya bisa Nyawa samakan ketika ia mencoba terjun menggunakan tali dinamic kernmentel di sebuah menara di Bali.

Sempat terpikir, rasanya mati, mungkin seperti itu. Metabolisme tubuh, peredaran darah dan asupan oksigen di otak yang tadinya berjalan normal, tiba-tiba mengalami kondisi radikal, tiba-tiba ketenangan yang membuat seseorang hilang kesadaran selama beberapa detik. Mungkin perbedaan kematian dengan hilang kesadaran ketika membuka payung dan hentakan bunggy jumping hanya durasi waktunya saja. Kematian adalah kekosongan yang kekal. Bedanya tipis.

Setelah cukup lama, bertahun-tahun melarikan diri dari permasalahannya dengan mendekati kematian melalui olahraga yang memacu adrenalin, Nyawa tetap tak menemukan apa yang diinginkannya. Ketenangan. materi yang telah ia dapatkan tak bisa ia gunakan untuk membeli ketenangan. Ia cemburu dengan seseorang yang wajahnya dihinggap pancaran kedamaian. Melihat imam-imam surau di daerah terpencil seolah memiliki kedamaian sempurna, seolah tidak memiliki beban kehidupan yang menghimpit, beban yang terus menerus mengancam untuk memecahkan kepalanya. Ia iri bagaimana ketika seorang pengayuh sampan yang mengantarkannya menuju hulu meander papua, tertawa lepas memancarkan kearifan di tengah keterbatasan materi.

”Apa materi telah menjerumuskanku sedemikian rupa?”

Salah seorang temannya, pekerja kantoran yang juga sama-sama menyukai petualangan berkata.

”Kenapa lo nyalahin materi, nyalahin uang, nyalahin mobil, nyalahin? Padahal materi nggak punya kehendak, nggak punya keinginan, nggak punya nafsu! Kenapa nyalahin sesuatu di luar diri lu?!”

Dia benar, Nyawa tahu dia benar. Kesalahan ada di dalam dirinya. Tapi, kesalahan macam apa?! Karena kadang dalam perenungannya, dalam kesendiriannya, Nyawa mengadu, ”Ya Tuhan tunjukanllah kesalahanku?! Apa kesalahanku!?” ia tersedu. Ia tak tahu. Ia tak menemukan jawaban. Ia kebingungan dengan dirinya sendiri. Ia seperti hilang di dalam rimba pikirannya. Masuk ke dalam labirin, dan labirin itu mendekap Nyawa erat hingga membuat dadanya sesak. Membuatnya retak.

”Buset! Kena penyakit hati kali lo! Bersihin!” kata temannya yang malas berpikir berat.

Kata-kata yang diucapkan sambil lalu itu membuatnya berpikir setengah-setengah. Jangan-jangan iya.

”Deterjen merek apa?!”

”Maksud lo?!”

”Kan kata lu gua kudu ngebersihin ati! Gua juga mau! Cuman deterjennya, mereka apa?”

”Omo, ngkali! Rinso!”

Sialan! Nyawa kira temannya sudah berubah sejak terakhir bertemu dengannya. Sama saja! Ia tidak bisa mengharap.

Mungkin ada yang bermasalah dengan masa laluku? Nyawa berusaha mencari akar penyebab kehampaan yang menudungi dirinya. Apa kenikmatan-kenikmatan yang mudah didapatkan semenjak muda membuatnya memiliki waktu luang untuk berpikiran seperti itu? Tapi teman-temannya yang bernasib sama, bahkan lebih dibandingkan dia tidak mengalami kejadian serupa. Mereka santai saja dengan hidupnya. Mereka sepertinya tidak pernah merasakan: apalagi yang harus kulakukan, sementara semua yang kuinginkan sudah kulakukan! Sudah kudapatkan!

”Cobalah memberikan arti pada sesama, dengan menolong orang di sekitarmu!” Ujar seorang psikolog agama dalam suatu seminar yang mengikut sertakan dirinya sebagai keynote sepaker dalam masalah penggunaan napza.

Namun percuma. Apa yang dikatakan psikolog itu seperti yang dikatakan dosennya, klasik. Ia bosan, sebab bukan saja telah menemukan jawaban tersebut di dalam dirinya, namun ia telah lama melaksanakannya. Menyekolahkan anak jalanan, membantu biaya seminar dan wisuda teman-temannya, berderma pada pasien yang tak mampu dengan mengratiskan biaya pengobatan. Semua sudah Nyawa lakukan.

”Aku sudah memberi arti pada hidup mereka. Tapi mereka tidak memberi arti pada hidupku. Aku tak mengetahui arti keberadaanku.”

Sejak saat itulah tak ada lagi yang mampu menghentikan kesuraman yang dialaminya. Sejak saat itulah tak ada lagi yang mampu menghentikan Nyawa. Awan datang membayang menghilangkan, bahkan bayangan dirinya. Nyawa berjalan tanpa bayangan. Seolah ia memang sudah tidak ada di dunia ini. Ia letih. Sudah bosan dengan keadan ini. Dan sebuah resolusi terakhir ia tuliskan usai mengajukan pengajuan cuti untuk tahun ini.

Malam hari itu, Nyawa membuka pintu operasi tanpa menimbulkan suara. Ia ingin lama di rumah sakit malam ini. Menikmati lampu putih yang terang di luar kamar operasi, mendengarkan alat bantu elektronik yang bunyinya lirih merayap di lorong tempat dia menghisap kopi usai melaksanakan operasi. Nyawa tersenyum pada perawat yang tengah mendorong pasien yang sudah lama mengalami koma.

Ia turun keluar menuju ruang depan dan menyapa costumer service laki-laki berwajah tampan dan ramah. Ia melangkah menuju tangga, turun hingga kakinya menjejak di aspal. Nyawa jongkok. Jemarinya dihangatkan cangkir kopi, ia memandang ke angkasa yang hitam. Yang akan dicurahi hujan. Cahaya terlihat di langit malam yang tak berbintang. Beberapa detik kemudian petir menggelegar. Nyawa tak merasa tegang. Biasa saja. Bahkan malam itu ia merasa bahagia sebab keputusan yang sudah semenjak lama ia tahankan, akan ia laksanakan.

Esok lusa ia sudah tidak mendapati dirinya tersiksa oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung ia temukan jawabannya. Ia tidak usah lagi merasakan gerakan cepat setiap memejamkan mata ketika hendak berangkat tidur.

Nyawa berdiri, seorang satpam menyapanya sambil lalu. Nyawa merogoh kantung. Bunyi bip bip terdengar dua kali. Saat melangkah menuju mobil, dari dalam rumah sakit istri dokter yang dulu menjadi dosennya memanggil.

”Mas Nyawa! Tasmu ketinggalan!”

Nyawa melihatnya mengangkat tas menggunakan tangan kanan, sementara anaknya yang masih kecil memegang jempol kiri.

Mesin yang sudah bekerja ia matikan. Membuka pintu, Nyawa turun.

”Halo Raina ...”

”Halo om” Ia tersenyum manis, dan merasakan tangan Nyawa hangat mencubit pipinya.

”Raina senang punya adik?” Nyawa jongkok.

”Senang om.”

Ibu Raina tersenyum. Ia mengelus perutnya yang besar dan bulat.

Nyawa mengalihkan perhatian, ”Kapan kepastian melahirkannya?”

”Sudah lewat. Mungkin malam ini. Mungkin lusa, entahlah.” Ia tersenyum.

Nyawa membalas, dan mengucap basa-basi doa keselamatan untuknya. Lalu ia berpaling, ”Ingat nggak, kalau kamu pernah diperut bunda? Gimana rasanya coba?” Nyawa menunjuk perut ibu Raina.

“Lasanya bagaimana ya?” Anak kecil itu berpikir cukup lama, alis matanya yang tebal hampir menyatu. Matanya menyempit. Dahinya berkerut. ”Rasanya, lupa om!”

Ibunya tertawa.

”Om ingat?”

”Om nanya, justru karena lupa...” Nyawa tersenyum bijak.

”Om ...?”

”Ya sayang?”

”Pernah inget waktu om masih bayi nggak?”

Nyawa bingung, ”Maksudnya?”

”Om masih inget pas kelual dali pelut bundanya om?”

”Ya nggak. Bagaimana mungkin ingat? Kejadiannya kan sudah lama sayang.”

”Jadi ... yang sudah lama nggak mungkin bisa diinget ya om?”

”Ya ... Bisa saja begitu.”

”Kok aneh ya om... kita nggak inget, padahal, waktu itu kita kan udah ada ya om? Waktu dipelut ...” Raina berpikir lagi, ”waktu di pelut bunda, Laina udah ada. Tapi Laina nggak inget! Om juga nggak inget! Tapi om ma Laina ada! Aneh ya om!”

Mendapati hal yang demikian, waktu-waktu Nyawa seperti dihentikan oleh sebuah keajaiban. Semua menjadi lambat, hingga ia mendengar suara mengingatkan.

”Raina sudah dulu nanya-nanya-nya ya? ... om Nyawa capai. Orang capai butuh apa?” Ibu Raina bertanya lembut.

“Istilahat!” Jawab Raina cepat.

“Kalau begitu, bunda kasih tasnya om ya?”

”Iya bunda.”

Nyawa masih tertegun. Ia tak sadar sudah mengucapkan terimakasih tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sewaktu kesadarannya pulih, ia melihat Raina, membalikkan badan. Anak manis itu melambaikan tangan.

Apa ini perpisahan? Nyawa membalasnya. Ia masuk ke dalam mobil lalu menyandarkan tubuhnya di jok. Satu menit kemudian ia nyalakan mesin mobil dengan kebahagiaan yang berlipat-lipat melebihi kebahagiaan ketika ia memutuskan untuk mati dalam penerjunan bebas keesokan harinya.

Dua ribu lima ratus meter dpl

Terpaan angin yang keras memaksa Nyawa tersenyum lebih lama. Ia mencium wangi garam. Kebahagiaan berlipat menguasai dirinya. Ke depannya hidup akan ia control. Tidak seperti sebelumnya.

Sepulang dari rumah sakit kemarin malam, ia melayang di atas ban mobilnya. Hujan datang membuat kaca berembun. Ia mengarahkan air conditioner ke arah kaca, tak lama kaca tebal mobilnya berubah menjadi jernih kembali. Ia mendengar hujan mengetuk kap dan atap mobilnya. Ketukan yang lembut, suara yang indah. Ia merasa paru-parunya lapang. Jok yang ia duduki terasa demikian empuk. Kepenatan dan keletihan dihapus kesadaran yang melingkupi diri. Seluruh panca inderanya terbuka.

Nyawa menangis, ia bernyanyi
♫ ..Don’t blow your head
Don’t blow your head

No, no, not alone
♫ …
♫ .. Every body heart sometimes
every body cry.
Every body heart sometimes
every body cry.
♫ …Just hold on
Hold on
Hold on

Entah mengapa, MP3 komputer sebuah radio memutar lagu lawas, REM.

Nyawa menyeka air mata. Selama bertahun-tahun, tak pernah lagi ia merasa lega semacam ini. Ia mencapai puncak ekstase malam itu.

Kebahagiaan berlipat yang ditemukan olehnya adalah kebahagiaan untuk terus melanjutkan hidup. Anak kecil yang manis itu benar, meski ia tidak sadar apa yang dikatakannya.

Nyawa berpikir ia tidak pernah sanggup mengingat, bagaimana dulu ia merasa hangat berada di dalam perut ibunya, bagaimana ia berenang-renang di dalam cairan ketuban ibunya. Betapapun keras usahanya ia tak bisa mengingat, bahkan rasa sakit ketika tali pusarnya di gunting, bahkan ketika jarum suntik imunisasi menginjeksi cairan melalui pantatnya. Nyawa tak bisa mengingat, namun ia bisa meyakinkan bahwa saat itu ia ada.

Meski masih dalam tahapan spekulasi Nyawa berpikir, ... mungkin manusia pernah membuat perjanjian dengan Tuhan, ketika ruh akan ditaruh ke daam tubuhnya. Mungkin perkataan itu ada benarnya.

Skeptisisme yang telah lama menyertai hidupnya, menyertakan kata mungkin. Yang berarti juga, ia harus mencobai kemungkinan lain untuk memperdalam apa yang pernah dikatakan dosennya dulu, bapaknya Raina. Bahwa, hidup manusia ialah untuk beribadah. Setidaknya, semangat Nyawa untuk hidup kini terbit. Setidaknya hati dia mulai dicerahi cahaya hangat, dan disaluri energi semangat yang berlimpah.

Di atas ketinggian itu Nyawa merasa lega. Merasa bahagia. Saatnya ia mengembangkan payung. Sebelum benar-benar menarik talinya, ia melihat ke atas. Dua payung yang dikenal coraknya, melayang ke arah tenggara. Lima buah payung lain, yang dimiliki penerjun yang belum seberapa ia kenal melayang-layang laksana elang. Nyawa menarik talinya. Tak ada hentakan yang menghentikan laju terjun bebas tubuhnya. Ia mencoba sekali lagi. Talinya tak berfungsi. Ya Allah, Nyawa menggigil. Ia panik. Ia berusaha lagi. Ditariknya tali sekuat tenaga. Tak juga terbuka. Ditariknya lagi berkali-kali! Tangannya berkeringat. Angin berkesiuran. Ya Allah! Nyawa kembali menyebut namaNya. Ia menarik untuk terakhir kalinya. Kekuatan yang entah datang dari mana membuat talinya lepas. Ranselnya robek. Nyawa meluncur deras. Ia tak mungkin selamat. Ya Allah, ya Tuhan.

Nyawa tiba-tiba teringat akan tujuannya terjun sebelum ia bertemu Raina. Aku tidak takut mengakhiri hidupku saat itu, mengapa kini aku takut? Nyawa sadar ia tak mungkin selamat. Ia sadar kematian bukan miliknya. Bukan keputusannya. Ada sesuatu di luar dirinya yang berkuasa penuh.

Nyawa menenangkan diri. Dilihatnya tanah semakin dekat. ”wahai Allah, inilah aku. Terimalah tubuhku.” Nyawa tersenyum tenang, bahkan hingga tubuhnya menjadi serpihan kecil seperti pecahan semangka...

READ MORE!

Jakarta O Jakarta Hoek

Posted: by Divan Semesta in Label:
5

Cahaya matahari menyentrong gerbong kereta, membuat catnya kusam seperti celana jeans yang belel. Roda-roda besinya berputar jutaan kali, mengilas dua ekor laba-laba yang sedang senggama, memipihkan dua keping uang logam 1992 yang hendak dijadikan cincin oleh seorang gelandangan, memuncratkan air seni dari dalam botol mineral kemudian menampar wajah lelaki yang subuh tadi berteriak girang karena satu ton bawangnya ludes terjual.

Kereta itu pengap. Kipas anginnya rusak. Di gerbong pertama seorang wanita mendekati bapak berkumis bertampang alim. Ia menggerakkan alis, meminta tolong ketika seorang lelaki kurus, berambut bau tengik menyilet tasnya. Di gerbong kedua seorang anak jongkok melamun di antara kangkangan kaki mahasiswa teknik kimia yang berbadan tegap. Sementara itu, di dekat toilet yang berbau bacin, Nizar menggenggam pipa panjang yang berfungsi untuk menjaga keeseimbangan. Ia merasa mual, hampir tak mampu menahan desakan bubur ayam yang sudah sampai di esophagusnya. Ia berusaha mensugesti, merapal-rapal kata-kata, ”Kuat kuat kuat.” Sewaktu kata kuat dirasakannya tak mempan ia mensugesti dengan kata, ”Lupa, lupa, lupa.” Ditambah, ”Sebentar lagi sampai, sebentar lagi sampai. Tahan, tahan, tahan!”

Kereta sebentar lagi sampai di stasiun. Stasiun yang ruwet, hampir sesesak gerbong kereta waktu orang-orang berangkat kerja. Sepuluh menit kemudian kereta melambat. Gerbongnya mengendut-endut seperti tali layangan yang ditarik bocah. Kemudian kereta berhenti sama sekali. Nizar terdorong ke depan, terombang-ambing oleh desakan bahu penumpang. Ia menggumam syukur manakala sepatu kulit seharga tiga puluh lima ribu, yang ia beli di Pasar Baru, menyentuh lantai stasiun. Ia tidak tahu jika kulit sepatunya terkena tetesan oli.

Nizar menengok ke arah kiri gerbong. Ada selaksa hiruk pikuk di sana. Suara buk bak, bik buk terdengar berentetan seperti pertandingan tinju. Seorang lelaki kurus menggunakan celana jeans lusuh, disaksikannya terhuyung-huyung setelah dilempar dari dalam gerbong. Lelaki itu jatuh membentur tiang. Ada darah mengucur di telinga. Ia bangkit hendak berlari. Namun, kerumunan orang yang kesal membuat langkah kakinya terhalang. Setiap kali hendak berlari setiap kali itu pula orang-orang menghalanginya. Kaus bergambar Kurt Cobainnya robek, sementara singlet merek swan yang ia kenakan molor dibetot-betot seorang bapak. Tubuh lelaki itu ditawur belasan orang. Ia meringkuk, memeluk kepala menggunakan tangan, menahan bogem dan tendangan. Silet yang ia gunakan hilang entah kemana. Korban usaha pencopetan merasa kasihan mendengar lelaki itu berteriak kesakitan. ”Auwh, akhw, uw!” Terlebih saat mendengar lelaki bau itu memohon,”ampun Om! Uh! ampun Om! Jangan dibakar Om!”

Jakarta! Nizar mendesah bertepatan dengan lenguh seorang lelaki yang selangkanganya disundul anak kecil di dalam gerbong kedua. Kereta berjalan. Bau sangit membumbung. Nizar berbalik. Ia tak ingin melihat kelojotan. Ia tak ingin peristiwa itu mengganggu tidurnya.

Jakarta memang bukan tempat yang baru bagi Nizar. Hampir seumur hidupnya ia habiskan di sana. Tak ada yang aneh. Justru, yang aneh adalah rasa aman. Ia berjalan, terus berjalan, menyalipi hiruk pikuk. Baru saja Nizar keluar dari mulut stasiun, seorang anak berambut merah menghampirinya. Wajah anak itu terlihat cekung. Perutnya cembung. Tangannya burik. ”Minta duit buat makan,” pintanya. Anak itu mengasongkan botol aqua yang sudah dikerat. ”Laper Tante!”

Nizar teringat investigasi media massa yang diturunkan dalam bentuk feature. Kebanyakan pengemis cilik yang melakukan ’gerilya’ di ruang publik, seperti lampu merah, trotoar, terminal dan stasiun, diorganisir oleh jaringan raksasa, yang memanfaatkan anak-anak sebagai alat untuk mendapat keuntungan dari wujud belas kasihan.

”Tante!” anak itu menyadarkan lamunan Nizar.

”Apa?” Agresif sekali anak ini! Nizar mulai kesal.

”Minta uang! Buat beli Indomie Tante!”

Nizar memberi sekeping uang recehan.
Anak itu menolak. Ia meminta lebih.

”Cepek!? Masa segini!? Cuma dapet kerupuk doang!” jari anak itu membentuk huruf ‘v’. “Dua ribu Tante!”

”Gak ada! Sana minta sama yang laen!”

”Ogah!”

Kalau kecilnya seperti itu, bagaimana kalau sudah besar? Bisa-bisa jadi kebiasaan nantinya! Nizar bergegas. Ia berjalan cepat, meninggalkannya. Meski ada rasa was-was yang menggerogoti jiwanya, ia berusaha tak memperdulikan. Ia menganggap apa yang dilakukannya sudah benar, bahwa tidak memberi merupakan usaha mendidik, agar kelak, si pengemis kecil tidak menjadikan ngemis sebagai profesi.

Nizar tidak tahu, pengemis kecil itu memandang sulur-sulur jilbabnya. Ia tidak tahu, jika hampir dua hari ini, si pengemis kecil tidak makan. Ia tidak tahu, jika saat ini, pengemis kecil itu, bukan merupakan bagian dari jaringan raksasa yang tentakelnya menyebar di seluruh kota Jakarta. Ia tidak tahu, jika si pengemis kecil itu dipisahkan dari orang tuanya. Pengemis kecil itu diculik, lalu dipelihara selama dua tahun di Jakarta. Sialnya, beberapa bulan yang lalu orang yang selama ini menjamin kehidupannya, tewas dalam perkelahian di salah satu terminal paling angker di seluruh Nusantara.

Nizar tidak tahu, jika si pengemis kecil, kini sendiri. Ia tidak bisa makan, sebab uangnya diambil gali. Semalaman perutnya mendecit-decit minta diisi. Tak ada yang bisa dimakan kecuali mencicit seperti cecurut. Pengemis kecil gigit jari.

Jam tujuhan, pengemis kecil mendatangi kios masakan padang. Tak ada yang ia dapat selain dampratan. Lima menit kemudian, ia mendatangi warung tegal. Tak ada yang ia bisa ia makan selain menelan caci dan gebahan. Selanjutnya, ia masuk ke dalam warung indomie. Pengemis kecil itu diperbolehkan. Ia gembira, tetapi si pemilik warung tertawa, ”Situ boleh makan, asal punya duit dua rebuan!” Pengemis kecil kecewa, maka memintalah ia ke sana ke mari. Mendapat lima ratus ia kembali.

”Ini gopek! Beli indomie gopek aja gak papa?”. Si ibu tertawa lagi.

”Mana ada indomie gopek?!” Ia mengambil uang lima ratus yang ada di tangan pengemis kecil.

”Sana! Cari seribu lima ratus! Kalo udah dapet, balik ke sini!”

Pengemis kecil hampir menangis. Ia berusaha menahannya kuat-kuat. Ia berputar-putar di sekitar stasiun. Pagi ini riskinya seret. Yang didapatkan cuma tambahan seratus perak dari wanita berjilbab yang sebelumnya ia harap dari kejauhan. Pengemis kecil kelaparan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi mencari makan. Ia bersandar di tiang. Ia belajar kabur dari kenyataan. Pengemis kecil terlelap di samping kaleng aica aibon milik gelandangan penghuni stasiun. Ia melupakan segalanya. Sejenak melupakan kebutuhan asasinya.

•••

Siang itu, Nizar berada di kios foto copy stasiun. Paper yang ia jinjing harus digandakan sebelum nanti sore diserahkan ke bosnya. Seharusnya Nizar bisa menggandakannya di kantor, namun hari ini mesin foto copy rusak. Meminta bantuan satpam? rasanya sungkan. Maklum, ia orang baru di kantornya.

Sambil menunggu, Nizar makan rendang, sembari menghadap cermin di kios masakan padang. Melalui cermin itulah, Nizar melihat anak kecil yang pagi hari tadi, membuatnya kesal. Jika pagi tadi Nizar merasa was-was, siang ini tidak. Ia tidak menyesal hanya memberi uang seratus perak, bukannya memberi selembar uang seribuan, yang dipikirnya, bakal dipergunakan itu anak untuk mabuk lem.

Setelah bunyi srot srot srot sedotan yang menandakan air jeruknya habis, Nizar menyelesaikan pembayaran. Ia menuju kios photo copy dan mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan. Baru saja, kantung plastik berisi poto copy paper setebal seratus halaman diterima, ia merasa roknya ditarik paksa. Nizar berbalik, menemukan pengemis kecil menengadahkan wajah. Tangan kiri pengemis kecil itu terulur.

”Tante minta duit Tante! Seribu lima ratus Tante”

Nizar mengelak. Ia berjalan cepat. Pengemis kecil itu memburunya.

”Lapar Tante. Beliin indomie Tante!”

Nizar tak peduli. Ia mempercepat langkah. Makin cepet, makin cepat, hingga tak sadar jika kecepatan kakinya sama dengan kecepatan kaki jawara dua lomba jalan cepat HUT DKI Jakarta. Lima menit kemudian ia sampai di depan pintu kaca kantornya. Ia masuki ruang ber-AC. Merebahkan diri di kursi kerja yang baru seminggu menahan bobot pantatnya.

Sore hari, seluruh kerjaan Nizar untuk minggu ini usai dikerjakan. Keluar dari lift, menuruni tangga, jam digital yang menempel di manset lengan kanan dia, bergetar oleh radiasi gelombang elektromagnetik telepon selularnya.

”Holla?”

Wanita di seberang sana langsung mencecar, ”Nie dimana?”

”Pocin! Baru keluar kantor.”

”Malem ini jadi kan?”

”Ya iya lah. Btw, mau kemana sih?”

”Kemana aja lah! Pokonya gue jemput di stasiun UI ya?” Tanpa dijawab pun, wanita itu tau kalau Nizar bakal mengatakan ya.

”Kayla?”

”Ya?”

”Kalau kadonya nyusul gak papa kan!?

Kayla tertawa, ”Alah pake basa-basi segala. Gua tau Lo kere!”

”Sialan!”

Tertawa lebih keras, ”Gak usah pake kado-kadoan. Ditunggu di UI! Segera!”

”Siap Bos! Sepuluh menit lagi sampe. Bye!”

Telepon selular dimasukkan ke dalam tas. Nizar menuju stasiun. Di sore hari, saat asap langit Jakarta kembali diserbu timbal knalpot, sebuah kejadian datang menyambar gledek kesadarannya. Dari kejauhan Nizar melihat orang-orang berkerumun. Semua kepala menoleh ke satu arah. Ada dengung pembicaraan yang mengingatkan pada dengungan tawon. ”Jangan-jangan!” Nafas Nizar memburu. Ia tembus ring-ring kerumunan. Terlalu rekat. Nizar mengalah. Di dekat pilar penyangga atap stasiun, ia mendapati seorang ibu tertegun. Tatapan matanya kosong, kehilangan isi.

”Bu...?” Sang ibu tesentak.

”Ada apa Bu?”

”I...i ...itu lo Mbak!” Ia menangis.

”Itu apa Bu?”

”Anak yang pagi tadi pagi minta indomie di warung saya... mati!

”Mati?”

”Bunuh diri pake baygon! Tu anak ngambil Baygon penjaga stasiun. Ditenggak Mbak?”

Ibu itu menggeleng-geleng.

”Nyesel! Nyeseeeeeeeee! Gustiiiiii! Nyeseeeeeeeeel!!!” Si ibu berteriak sembari memegang pipinya sendiri. ”Kalo tau kejadiannya begini, saya kasih indomie gratis Mbak.” kemudian teriakan histeris keluar dari mulutnya.

”Ya Allooooh, ya Alloooooh ampun. Gustiiiiiiiiiiiii!”

Tubuh ibu itu melorot ke bawah. Ia menangis menutupi wajahnya. Jantung Nizar ditambur bertalu-talu. Ada rasa cekam mengerudunginya. Ada semacam kelam yang berusaha disangkalnya. ”Jangan-jangan!” ia memaksa menembus kerumunan itu. Ia meringsek untuk memastikan. Betapa terkejutnya Nizar, ketika mendapati seorang anak lelaki tergeletak di atas lantai. Mulutnya meneteskan busa. Tubuhnya biru.

Nizar pusing. Ia kehilangan keseimbangannya. Lalu ... jatuh.

Tiga orang lelaki membopong tubuhnya keluar dari kerumunan. Seorang pencopet yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, mencuri dompet wanita pingsan, dihajar massa. Lima menit kemudian Nizar siuman. Ia merasa pening. Tidak sampai di situ saja. Ia merasa hatinya kelu. Ia dihakimi fikirannya. Kenapa tadi pagi aku tak membelikannya makanan? Kenapa tadi pagi aku tidak mempercayainya. O malangnya. O sengsaranya. Nizar menangis, Jakarta oo Jakarta! Namun kemudian ia teringat janjinya. Ia memaksa diri berjalan menuju stasiun UI, sambil menyeka leleran air yang sudah sampai di pipi.

•••

Lift berkapasitas maksimal dua ratus kilo gram itu membawa mereka menuju tingkat dua. Pintu lift terbuka. Permadani lembut warna merah marun membentang di seluruh ruangan, di seluruh lorong. Pintu bergagang stainless steel terbuka otomatis. Kamera pengawas bergerak. Ruangan semerbak oleh wangi roti, rempah-rempah dan juice buah-buahan yang segar. Alunan musik menetralisir rasa sumpek, orang-orang yang setiap hari merasai kacaunya Jakarta.

Nizar menghela nafas. Ia merasa rileks. Perasaannya menjadi semakin baik semenjak ia masuk ke dalam mobil Kayla. Di perjalanan itu, di dalam mobil yang menjadi padat oleh teman-teman wanitanya yang bertubuh padat juga, Nizar mendengar tawa, melihat lipstick yang melekat pada bibir yang menantang, mencium wangi parfum kendaraan bercampur parfum tubuh yang melenakan. Tapi, ia belum bisa melupakan. Ia terus membandingkan keadaannya dengan yang dialami pengemis kecil yang mati di luar sana.

O’ di balik kaca bening itu Nizar tenggelam di dalam dirinya. Ia terseret ke dalam palung lamunan. Jiwanya masih terseret peristiwa tragis yang terjadi di stasiun Pondok Cina. Jiwanya masih singgah di sana.

O’ Nizar teringat raungan histeris pemilik warung indomie. Alangkah menyedihkan. Alangkah meresahkan. O ia teringat cuplikan-cuplikan berita di media massa yang telah menghegemoni, membujuk dia untuk memukul rata bahwa semua yang ada di jalanan, sama.

“Nie!” sebuah teguran dari balik kemudi berusaha membantunya.

Nizar tergeragap.

”Dari tadi diem aja?”

Nizar menggeleng kepala. Tersenyum hambar, berusaha memupur wajahnya dengan senyuman.

”Cerita dong Nie?” desak Kayla sembari menekan kopling, memasukan gigi tiga.

”Gak apa-apa.”

Bukannya Nizar tak mau bercerita. Bukannya ia tak mau berbagi. Ia tidak mau kemurungan yang ada di dalam hatinya menular, di hari yang seharusnya membuat Kayla, pengemudi mobil itu bahagia. Hari ini ia tak mau merusak semuanya. Ia harus merepresi perasaannya.

•••

Teman-temannya sudah memesan makanan, sementara Kayla melihat, belum satu menu pun yang dipilih Nizar.

Nizar melamun. Kertas tebal berisi menu makanan itu menghalangi tatapan teman-temannya.

Kayla mengingatkan, ”Nie pesen apa?”

Nizar tergeragap. Ia memaksa diri untuk memperhatikan menu makanan. Ada desert ada dinner ada ... Ia memilih salah satu di antaranya. Ada minuman yang memabukkan. Ada sari buah-buahan yang menyegarkan. Ia memilih air mineral.

Kayla mencoret pesanan yang Nizar terakan di nota, ”Minumnya jangan yang biasa-biasa aja dong!” Dipilihnya minuman yang ia rasa bakal membuat lidah Nizar menjulur-julur hingga New Zealand. Juice buah kiwi. ”Supaya kulitmu halus,” tambahnya, bercanda.

Saat semua pesanan dihidangkan di meja. Nizar didaulat untuk memimpin doa sebelum bersantap. Didoakannya agar tahun menambah kedewasaan pemilik acara, Kayla Didoakannya agar tahun yang tersisa membawa berkah dan kebajikan untuk semua. Amin. Amin. Amin. Di atas meja berdentang-dentanglah bunyi peralatan makan.

Sejam berlalu, obrolan yang semula mengalir dalam satu aliran besar pembicaraan, kini sambung menyambung, berkelok-kelok menjadi meander pembicaraan yang sukar dirunut ujung pangkalnya. Dua jam berlalu, ada penambahan menu makanan dan minuman. Jika mulut semangat, perut perlu asupan yang setara, dan kerongkongan perlu pelumas yang tak sekedar tegukan ludah semata.

Di tengah melimpahnya makanan dan minuman, aliran sungai pembicaraan makin menganak. Ada kegembiraan, ada kebahagiaan yang diawali dari teka teki, tawa dan celetukan.

”Orang Indonesia itu aneh!” Kata teman Nizar.

”Aneh kenapa?”

”Kalau lapar galak kalau kenyang bego!”

Semua tertawa gak gak! Nizar pun demikian. Ia menganggap sudah bisa melupakan peristiwa tragis yang dialaminya sore tadi.

Jam menunjuk waktu penghabisan. Saat suasana ceria berubah menjadi stagnan, semua yang berkumpul merasa perlu perubahan untuk kembali menyegarkan. Maka, dipilihlah ajojing ria di lantai disco. Namun, Kayla sang empunya acara menyadari, bahwa Nizar tak mungkin memufakati usulan teman-temannya, maka pantai-lah yang dijadikan pengalihan. Mereka merapikan pakaian. Tiga orang masuk ke dalam toilet, menata kosmetikanya yang luntur. Nizar tak melakukan itu. Ia hanya perlu mengusap bibir yang dirasakan terlalu mengkilat. Ia memilih untuk mengantar Kayla. Sampai di depan meja yang terbuat dari marmer hitam, kasir restaurant tersenyum.

”Meja berapa Mbak?”

Meski Nizar bukan seorang pendendam ia membalas senyuman yang dilampirkan padanya, ”Tiga belas” katanya.

”Sebentar ...” ketak-ketik jemari kasir terdengar. Kayla mengambil brosur. Sementara Nizar merogoh dompet yang ada di dalam tas. Pikirnya, siapa tahu kurang.

Perhitungan selesai. Kasir lupa jika layar digital ditekuk ke sebelah kanan, konsumen tak bisa melihatnya. Kasir merobek kertas tagihan dan menyerahkannya pada wanita di samping Nizar. Kayla, menatap tagihan yang ada di tangan. Ia membuka dompet. Melongok uang yang ada di dalamnya. Ada tiga lembar uang seratus ribuan. Ia mengurungkan, kemudian mengambil kartu kredit dan menyerahkannya pada kasir.

”Berapa Kayl?” Nizar bertanya, sambil mengeluarkan dompet. ”Kalau tidak ada uang cash biar kutambahkan,” tambahnya.

”Dua empat.” Kayla tersenyum. ”Dua juta empat ratus ribu” wajah Kayla terlihat santai. Sangat-sangat santai.

Bulu kuduk Nizar tiba-tiba meremang. Ia memastikan ”Berapa?”

”Dua juta empat ratus ribu, sayaaang,” Kayla tersenyum. Ia berpaling saat kasir menyerahkan kartu kreditnya.

Nizar tercekat. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mendesak dari dalam perutnya. Ia melangkah menjauhi Kayla.

”Nie kenapa?” Kayla berbalik, setengah berteriak. Ia melihat Nizar melambaikan tangan tanpa membalikkan tubuhnya. Jalannya semakin cepat, setengah berlari. Sesuatu yang ada di dalam perutnya seperti ingin menyeruak. Di bawah papan lampu bertuliskan ladies, Nizar menubruk seorang temannya. Nizar menutup mulut.

”Nie kenapa?!” tanyanya.

Nizar tak mendengar. Ia masuk dan mendobrak pintu toilet. Dua orang temannya yang tengah memperbaiki alis dan maskara terkejut. ”Nie ada apa?!” serempak mereka bertanya.

Nie tak menjawab. Beberapa detik kemudian, sebuah suara menggelegak terdengar. Ada lava yang merayap di kerongkongannya. Leher Nie tegang. Tubuhnya melonjak lalu...

”Hoeeeeeeek! Hoeeeeeeek! Hoek!”

Nizar muntah. Tubuhnya lemas. Ia bersandar. Lunglai tak berdaya di hadapan mulut water closed. Air matanya tumpah ruah. Nizar terisak seperti kehilangan kesadaran akan lingkungan sekitarnya.

”Nie kenapa?!”

”Nie kenapa?!”

”Nie kenapa?!”

Sudah tiga orang bertanya. Mereka tidak tahu, jika jiwa Nizar mengalami pendarahan hebat. Mereka tidak tahu sewaktu Kayla mengatakan dua juta empat ratus, Nizar teringat.uang receh seratusan. Ia teringat stasiun Pondok Cina dan seorang pengemis kecil yang memaksanya untuk memberi uang seribu lima ratus. Saat parfum toilet masuk ke lubang penciumannya, Nizar tiba-tiba teringat wangi baygon yang menetes keluar dari mulut pengemis kecil yang malang. Ketika luber makanan bercampur asam lambung keluar dari perutnya, Nizar teringat kembali akan indomie yang memaksa pengemis kecil di Pondok Cina, menghiba.

”Ya Tuhan!” Isaknya.

Lalu... ”Hoeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!” berkepanjangan dan Nizar hilang kesadaran. Semaput.

•••

READ MORE!

Filosopi korong

Posted: by Divan Semesta in Label:
5

”Ada korong di setiap dimensi kehidupan”. Guru berkata, dan semua muridnya tertawa. Itu guru emang ekstrim!

”Apa maksudnya?” tanya dia di hadapan murid.

”Maksudnya...” seorang murid, duduk di bangku depan menunjuk wajah guru menggunakan jempol kanannya yang berkutil. ”itu pak!”

”Itu apa?” Sang Guru mendesak.

”Itu... ada korong nyempil di hidung Bapak!” Seisi kelas mengeluarkan bunyi. Yang cowok cekakak, yang cewek cekikik. Sang Guru meraba lubang hidungnya Dia cuek aja.

”Saya tahu Pak!” seorang siswa gemuk mengacungkan tangan. Pede. Seluruh siswa memperhatikan, menunggu jawaban jayus yang akan membuat geeerrr kelas untuk kesekian kalinya.

Sambil berdiri, si siswa menatap wajah sang guru. Mimiknya serius.

”Ada korong di setiap dimensi ke hidupan...”

”Ya?”

”Yaitu ... bahwa di setiap perjalanan yang manusia tempuh selalu ada nodanya Pak!”

”Apa nodanya?” sang Guru mencecar.

”Korong!” Jawab siswa lantang.

”Jadi apa maksudnya?” Sang Guru mengejar.

”Bahwa manusia akan selalu melakukan kesalahan, dan alangkah lebih baik kalau manusia terus menerus meloundri kesalahannya!” Siswa nyengir.

”Meloundri dengan apa?” tanya Sang Guru kemudian.

”Ngupil di setiap kesempatan!” dan cengiran ala bagal mengembang di wajah bertumbuh gemuk itu, sementara cengiran bapaknya bagal (alias kuda) terlihat lebar di wajah sang guru.

* * *

Siapa dia? Siapa lelaki yang seolah asal bicara tapi brilyan itu? Dia Giki. Seorang teman yang kini duduk di dekatku. Aku mengamatinya sambil mengunyah aci dimol-mol (cimol). Sejak wisuda kelulusan SMA, lelaki dekil tapi ganteng itu sudah hampir dua tahun tak bertemu denganku. Dan sekarang, di kota Paris Van Java ini, tanpa sengaja aku bertemu dengannya. Pertemuan yang mengingatkanku akan tanya jawab mengenai korong itu, berlangsung di monumen pancasila.

”Jadi Lu ngapain sekarang?” tanyaku pada Giki.

”Jadi ketua LSM” jawabnya tanpa memperhatikan.

”Gila... Hebat amat! LSM apaan?” tanyaku sembari meninju lengannya.

”Semangat amat make ninju segala!? Emang Lu mau gabung kalo gua jelasin?” tanya dia sambil menyeka minyak –menggunakan kerah baju-- yang terlihat mengkilat di area t wajahnya.

”LSM apaan dulu?” kilahku.

Giki cuma nyengir bagal lagi. Cengiran khas miliknya itu tak memberi jawaban apapun padaku. Dan aku hanya akan terus menebak-nebak LSM gila macam apa yang akan memilih Giki sebagai ketuanya.

Aku berjalan di sepanjang trotoar bersamanya. Memperhatikan wajah cewek-cewek Bandung yang tiap hari makin seksi, pakaiannya modis, warnanya kinclong, bodinya bujug buneng, menghiasi kota yang --saat ini-- sampahnya meluber kemana-mana.
Beberapa meter di depanku, sebuah gambar lingkaran putih tampak di tengah jalan. Seekor tikus raksasa dari dalam got, keluar, menyeberangi jalan protokol Juanda.

Aku menghampiri lingkaran itu. Sebuah lubang yang sekelilingnya dilingkari bulatan putih. Seseorang dengan sengaja melingkarinya menggunakan pilok putih. Di dekatnya terdapat tanda panah bertulis ’tempat kecing’ mengarah ke lubang.

”Iseng banget!”

”Iya! Aneh-aneh aja! Itu orang nggak ada kerjaan apa?” timpal Giki.

”Tauk!”

Kami menjauhi lingkaran putih itu. Beberapa belas meter kemudian, aku melihat ke belakang. Ternyata, banyak orang yang berhenti memperhatikan lingkarannya. Mereka menggelengkan kepala. Tertawa, bahkan ada dua orang turis mancanegara yang jongkok, mengambil photo di sampingnya.

Ternyata punya ternyata, Lingkaran yang kulihat bersama Giki bukanlah lingkaran satu-satunya yang kulihat di kota Bandung ini. Hampir di setiap jalan yang kulewati, lingkaran putih itu selalu menampakkan diri. Lingkaran putih itu memiliki ciri: melingkari lubang jalanan yang bopeng, dihias panah bertulis ’tempat kencing’ yang sama, di sampingnya.

Bandung kuakui adalah gudangnya orang-orang kreatif. Tapi kreativitas yang satu ini terlalu heboh! Sebuah surat kabar lokal memuat foto human interest mengenai ’Lingkaran Putih Misterius’. Akhirnya Lingkaran itu menuai kontra karena dianggap merusak keindahan jalan di kota Bandung. Satu minggu setelah foto dimuat, seorang wartawan koran nasional mengulik data dari rumah sakit ke rumah sakit, dari mulai Al Islam hingga Borromeus. Ia menemukan bahwa keberadaan lingkaran berhasil menekan korban kecelakaan lalu lintas terutama bagi pengguna kendaraan roda dua.

Satu minggu selanjutnya sebuah berita berjudul ’Lingkaran Toilet Pahlawan Kita’, muncul di koran nasional dalam bentuk feature. Koran itu memuat wawancara seorang yang terang-terangan bersyukur atas keberadaannya,

”Aduh, amun nu buleud-buleud bodas eta teu aya, bisa bisa si Joli tipalitek. (Waduh kalau buletan-buletan putih itu gak ada bisa-bisa si Joli keseleo)” Katanya.

”Memang si Joli teh Saha Pak? (Memangnya si Joli itu siapa Pak?)” tanya si wartawan.

”Eta namina kuda sayah, Aden!. (Joli itu-- nama kuda saya Mas!)”

Sejak saat itulah, kini, hampir setiap jalan berlubang kota Bandung hampir pasti diperbaiki selang seminggu setelah Lingkaran Toilet muncul. Buset! Lingkaran Toilet dianggap pahlawan lalu lintas!?

***

Tengah malam di suatu hari yang sibuk, usai mengerjakan paper, aku berjalan pulang dari rental komputer menuju kosan. Jalanan lengang. Hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor yang lewat.

Hawa malam yang dingin membuatku merinding. Kutatap gedung sate berlatar angkasa dan dua buah sinar yang menyinarinya. Kelap-kelip kecil lampu pesawat menebas langit kelam. Sesekali bunyi salakan anjing kota yang biasanya budug terdengar.

Baru beberapa langkah meninggalkan gedung sate, berbelok ke kiri, tiba-tiba... aku melihat seseorang yang mencurigakan! Perawakannya yang sebesar perawakanku. Saat tubuhnya melewati lampu mercuri, ia mengeluarkan kupluk hitam dari balik sweater abu-abu yang kembung. Ngapain malem-malem gini orang itu sendirian? Aku mencurigainya padahal aku pun sendiri. Aku menimbang-nimbang untuk membuntuti atau tidak, sebab gerak gerik orang itu mencurigakan! Aku memberanikan diri, sebab dia cuma sendiri.

Memasuki jalan di samping hutan kota yang gelap, kuperhatikan tingkah laku orang itu makin aneh. Ia bersiul-siul. Lalu berhenti pada sebuah titik. Ia menengok ke belakang. Untung di dekatku ada pohon besar. Aku bersembunyi sambil mengintai di baliknya.

Kuperhatikan lelaki itu jongkok, dan mengeluarkan sesuatu dari sweater. Ia kembali melirik ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang lalu ... Ssszzzzssttt! Ssszzzsssst! Sssszzzzzsss! Sebuah bunyi yang kukenal terdengar. Itu kan bunyi pilok. Pikiranku berkerja. Samar-samar aku melihat bulatan putih muncul di permukaan jalan. Jangan-jangan ni orang pembuat Lingkaran Toilet yang mahsyur itu?

Pikirku ini penemuan langka! Seperti penemuan spesies baru serangga! Aku yakin dia orang baik, maka aku keluar dari balik pohon dan mendekatinya.

”Stt!” sahutku.

Lelaki yang tengah mengocok tabung pilok itu melirik. Ia terkejut. Kemudian berdiri. Ia berjalan.

”Mas?” ucapku setengah berbisik.

Ia mempercepat langkah. Dan aku berlari mengejarnya.

”Mas sebentar!”

Mendengar ketepak-ketepok kakiku, ia melirik ke belakang. Melihatku berlari, dia ikut berlari! Larinya lumayan cepat, tapi aku yakin sebentar lagi dia bakal tersusul olehku! Aku berlari melewati pepohonan besar dan bangku-bangku taman yang kehitaman. Sekitar lima puluh meter kemudian, suasana menjadi terang. Lelaki itu sampai di perempatan! Ia melihatku ke belakang, sementara tangannya terangkat (nampaknya ia sudah menemukan angkutan kota). Angkutan kota yang kosong berhenti.

Lha, rasanya aku kenal ma lelaki itu! Bukannya dia?! Bukannya dia ...?!

”Woi Giki! Ngapain Lu?” Aku berteriak, memastikan.

Lelaki itu terlihat menengok lehernya. Memastikan wajahku. Ia penasaran. Angkutan kota ia anggurkan. Dalam beberapa detik kemudian aku sampai di hadapannya. Ngos-ngosan!

Benar! Lelaki misterius yang membuat Lingkaran Toilet itu ternyata Giki!

”Teryata elu! Setan!” Aku tertawa. Dia geleng-geleng kepala.

”Heu! Ngagetin aja! Disangka mau digerebek!”

Angkutan kota mengklakson. Giki meminta maaf. Si sopir marah. Sambil menekan kopling dan mengkecot mobil carry warna hijaunya, dia pergi sambil memaki. ”Kehed siah! (Bangsat Lu!)”

Aku dan Giki tertawa. Kami lantas berjalan mencari warung indomie. Menemukannya, kami ngobrol sampe suara ayam yang baru pertama kali kudengar di kota ini, berkokok. Setelahnya, kami pun kembali ke habitatnya masing-masing.

***
Giki!

Itu anak emang gila! Laki-laki misterius yang buat Lingkaran Toilet itu emang dia. Kalau sudah dipergoki gitu gimana mau ngelak coba?! Tapi, masa itu anak Cuma bilang kalo apa yang dilakukannya karena kepengen doang!?

”Masak cuma karena pengen!? Nonsen Gi! Pasti ada sebabnya?”

”Eh dibilang kagak pecaya!”

” Babi Luh! Masa gitu doang alesannya?!”

Akhirnya setelah mengkol ke mana-mana dia bicara juga. Terus terang juga.

”Abis gua bosen ma cara orang ngeritik! Demo bosen! Buat surat pembaca bosen! Happening art bosen! Ya udahlah buat aja yang kayak gitu. Biar aneh sekalian!”

”Terus recana lanjutan Lu apa?”

”Ois… rahasia perusahaan dong!”

”Kupret Lu!” aku menepiskan tangan. ”Masa ama temen sendiri pake rahasia-rahasiaan?!”

”Asal rahasianya nggak merugikan, ya nggak apa-apa! Tapi ...” ia mengerling padaku.

”Asal Lu mau jadi anggota LSM ni .... asal Lu mau ... semua rencana gua kasih tau!” Giki memainkan cangkir kopinya.

Aku menimbang-nimbang. Nggak apa-apa kali, jadi anak buah si Diki. Lagian kalau di tengah jalan ada yang aneh keluar aja. Si Giki ini yang jadi ketua! Nggak masalah! Aku menyentuh gelas kopi Giki dengan gelas air putihku. Tring! Meletakannya, kemudian menjabat tangannya.

”Oke! Gua mau jadi anggota LSM Lu! Tapi jangan-jangan pake biaya segala!? Lu tau sendiri kan?!”

”Kagak! Cuma patungan buat beli peralatan doang! ... Kayak pilok … cat, atau apa lah…”

“O, jadinya gerakan Lu, gerakan sporadis ya?!”

”Iya! Lha emang!?”

”Jangan-jangan, LSM Lu nggak ada akta pendiriannya!?”

”Alaaah pake akta segala” sambarnya monyong! ” Asal bener. Independent gak papa! Yang ada aktanya aja banyak yang nipu! Mending gak buat akta sekalian!”

”Kalo nggak ada aktanya berarti bukan LSM, nyaho! Jangan-jangan ...,” aku mulai mencurigainya. Tapi dia malah gak peduli!

”Jangan-jangan apanya! Sabodo amat! Mau dibilang LSM ato bukan kek! Kalau kata gua LSM ya berarti LSM!”

”Anggotanya ada berapa Gi?!”

Dengan santainya Giki bilang, ”Baru ada dua!”

”Hah?!! Dikit amat! Anggotanya Gua ama siapa lagi!?”

”Hah heh hoh! Hah heh hoh! Ya Elu doang. Kan baru tadi perekrutannya!”

”Samber gledek! Gampang amat bikin LSM. Oke, oke … terserah pala lu aja deh! By the way, nama LSM kita apa?”

“L.F.I..S,” ia mengejanya. “Artinya, Liberation frOm opreSsor”

Aku mengerutkan kening. Mencoba mengaitkan singkatan huruf-hurufnya.

“L untuk Liberation! O untuk From!” aku mengkerutkan kening. ”I? ... untuk apa kalo O untuk Opressor! I nya singkatan apa Gi?!”

”I untuk Idiih” Gi nyengir.

”Lho?” Aku protes, ”Udah keren-keren kok pake idih?!”

Dan Giki pun mengeluarkan seluruh perbendaharaan kosa katanya. ”Pembebasan dari opresi yang ’idih’ maksudnya, usaha pembebasan manusia dari opresi atau penindasan atau tekanan, atau pengalienisasian, atau usaha memarjinalkan, kreatifitas dari subjek agressor di luar diri kita!” Lantas, dia jelaskan mengenai banyak hal! mengenai stagnasi kritisi! mengenai mampetnya birokrasi!

Aku tak begitu mengerti dengan yang dijelaskan Giki. Otak kanan dia memang lancar dalam hal yang begituan. Aaaah, pokok nya, hampir sama dengan yang dilakukan kebanyakan mahasiswa. Dan L.F.I.S menyampaikannya dengan cara yang berbeda. Karenanya aku cuma bilang ”Terserah Lu aja dah!”

Itu anak emang lain dari pada yang lain! Dibilang weirdo, bukan! Dianggap creep, nggak juga! Tapi itu anak emang brilyan! Malem itu, di warung indomie itu dia maparin kalau ke depannya mau ngejejerin plastik cimol di pager kampus-kampus. Pasalnya, kata dia, anak-anak mahasiswa sekarang suka buang bungkus cimol sembarangan.

”Biar tau rasa! Biar pada mikir!,” katanya.

Meski lumayan kreatif, kupikir ide begitu nggak terlalu spektakuler kayak Lingkaran Toilet. Paling paling isunya cuma beredar di kampus. Pikirku, Masa Giki cuma segini doang? Ternyata bener aja. Yang ada dipikirannya nggak cuma itu.

”Kita bakalan nempelin kertas di tempat sampah-tempat sampah yang ada di Bandung. Tulisan di kertasnya, ”Hanya Pajangan” atau ”Cuma Pameran!”

”Maksudnya apa?”

Rupanya dia sebel sama orang-orang yang buang sampah sembarangan, mulai dari pengendara sendal capit sampai pengendara mobil mentereng.

”Mereka nganggap tempat sampah itu cuma pajangan! Emang tempat sampah itu instalasi di tempat pameran apa?!”

Dan misi ketiga (setelah jejeran plastik cimol serta penempelan kertas terlaksana) adalah misi yang kupikir bisa menyaingi isu Lingkaran Toilet! bahkan mungkin, gentanya bakal lebih hebat lagi. Mudah-mudahan menginternasional dah!

Mimpi!

* * *

Dua misi sudah terlaksana satu bulan yang lalu. Banyak perubahan yang terjadi. Di beberapa kampus. Kantung plastik cimol sudah tidak terlihat berceceran lagi. Namun, seperti yang sudah kami perkirakan, yang memberitakan fenomena jejeran plastik cimol ternyata, hanya media kampus saja. Fenomena kantung plastik cimol tidak ditangkap oleh koran lokal. Gak papa. Betapapun kecilnya yang kami lakukan, perubahan tetap ada.

Berbeda, dengan misi yang pertama, misi yang kedua diberitakan di media massa lokal dengan format --yang sama dengan-- foto human interest Lingkaran Toilet. Biar foto kali ini tidak ditanggapi media nasional, akan tetapi surat kabar lokal --yang memang wartawannya suka mengkait-kaitkan sesuatu--, berusaha menafsirkan bahwa tulisan yang diterakan di tong sampah, merupakan sindiran bagi warga kota, yang tidak memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan teratur!

Yes! Oke, saatnya misi yang ketiga dilaksanakan!

Sore. Aku meminjam motor teman kosan. Aku jemput Giki di sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurusannya (HMJ). Ia nampak bersemangat sewaktu kubonceng. Keluar dari kampusnya, kami melihat reklame dari yang kecil hingga raksasa menghiasi kota. Gambarnya bermacam-macam ada lelaki yang bertelanjang dada sambil menenggak minuman bersoda; ada iklan rokok gambar kursi dengan tulisan khas yang selalu membuat orang bertanya-tanya; ada iklan handphone dihias seorang wanita cantik, berambut panjang berkibar.

Survei selesai. Di atas motor kami sama-sama terkekeh. Menunggangi motor CB, kami menyusuri jalan Juanda kembali. Jalanan macet. Ada apa sih?

Setelah melenggak-lenggok di antara kendaraan lain, kami lihat tujuh berhenti, di dekat rumah sakit Borromeus. Salah satu bis yang berada paling depan mogok. Bannya meledak!

”Lho, bukannya itu pak Joned?” sahut Giki dari belakang.

”Mana?”

Giki menunjuk orang yang berada di balik kaca bus yang mogok

”Mata lu burem!? Bukan ah!”

* * *

Malam harinya, kami mulai bergerilya. Dia atas motor ini aku kejatuhan kotoran kelelawar. Di atas motor CB ini, kulihat kertas koran melayang diterbangkan angin lalu tenggelam di dalam genangan. Pamflet dan leafleat nampak berdesak-desakkan, saling menimpa satu sama lainnya. Gelandangan rebah di depan rollingdoor sebuah minimarket yang sepi. Rintik-rintik hujan mulai turun.

”Walah gimana ini Gi?!” tanyaku. ”Jadi nggak?”

”Jadi dong!! Kalo hujan orang-orang pada males keluar! Kan jadinya aman!?”

Bener juga

Sekitar satu kilometer kemudian, reklame yang sudah kami tandai terlihat. Deg degan rasanya! Bagaimana kalau ketauan!? Uh, apa Giki merasakan hal yang sama (seperti yang kurasakan) sewaktu dia membuat Lingkaran Toilet di jalan!? Hhh aku berusaha menenangkan diri.

Motor berhenti. Aku membuka ransel.

Giki menunjuk toko kelontong dan tembok di sekitar.

”Yang itu pake spidol”

”Sip Bos!”

Giki menunjuk reklame sebesar setengah bodi trailer. ”Kalau yang pake kuas itu ... biar aku yang kerjakan!”

Maka kami pun melakukannya!

Aku mengkumisi wajah wanita-wanita seksi yang tengah berpose menantang di poster!

”Kumisnya, kumis Stalin aja!” kata Giki. Tapi, aku menganggapnya bukan kumis Stalin. Aku membayangkan kumis pak Raden atau kumis Marsose, Kumpeni.!

Sambil terus menggambar, aku melihat Giki menaiki tiang penyangga papan reklame. Nekat juga itu anak!

Memegang tiang menggunakan tangan kiri sementara tangan kananya memegang kuas, Giki mengkumisi wajah wanita dan lelaki yang ada di papan. Ia tak puas, dada lelaki ia lukisi bikini.

Perkerjaan selesai. Giki turun, mukanya merah. Melihat hasil pekerjaannya dari jauh, aku ngakak! Dia pun ngakak! Dan waktu menjejakkan kaki ke tangah ... tiba-tiba ..muncullah masalah!

Aku melihat seorang lelaki berjalan menuju papan reklame menghampiri Giki. Gawat!

”Ki buruan cabut!”

Giki lari. Tapi lelaki itu mengikuti kami. Ia berteriak, ”Giki hei!!!”

Giki bimbang. Ia berpaling.

”Giki aku gurumu. Pak Joned!”

Giki beku.

Benar! Itu pak Joned. Apa yang harus kami jawab seandainya beliau bertanya? Terengah aku menghampiri mereka, dan mendengar samar percakapan antara Giki dengannya.

”Ngapain kamu?!”

”Maaf ...” Giki cengengesan. ”Bapak sendiri ngapain?!”

”Cari udara segar!” ia kemudian berpaling ke arahku. ”Lho kamu kan Deon!? Ngapain juga kamu sama si Giki?!”

Pak Joned melihat papan reklame. Ia terlihat berusaha menahan senyum.

”Ngapain kamu ngumisin papan reklame!? Nggak ada kerjaan aja!”

Apa yang harus kami jawab? Namun, beberapa saat kemudian Giki memberi isyarat. Ia mengedipkan mata padaku. Pertanyaan Pak Joned dijawabnya tuntas.

”Apa yang kami lakukan adalah bentuk filosofi yang bapak ajarkan!”

”Lha filosofi macam mana!?”

”Bahwa ada korong di setiap dimensi kehidupan!”

Pak Joned tidak mengerti. Tetapi ia terbahak bahak seperti orang kemasukan! Kami pun ikut tertawa. Giki emang gila!

Dasar!


“Speak to me, when all you got to keep is strong
Move along, move along like I know you do
And even when your hope is gone
Move along, move along just to make it through
Move along
Move along.”

(The All American Reject)

Banyak perubahan terjadi ...
Hanya untuk Tuhannya, Fat_Gie

READ MORE!

O Dhaneeta

Posted: by Divan Semesta in Label:
2

Di naungan angkasa biru, sebuah balon gas besar hasil kretivitas departement advertising sebuah perusahaan rokok menyemarakkan langit kota yang di zaman kolonial disebut Paris van Java. Balon itu mengingatkanku pada balon impian Hindenburg yang jauh terbang menuju angkasa namun akhirnya terbakar, menghancurkan popularitas Zeppelin sang penciptanya. Begitupun dengan diriku yang menciptakan balon impian. O’ betapa malangnya ia yang kubawa terbang tinggi menggunakan mimpi-mimpi kini selalu kupergoki termenung setelah masa pernikahan kami mulai beranjak menuju tahun yang kedua.

Uang tabungan kami semakin menipis, kini bahkan untuk membeli keperluan sehari-hari pun aku tak mampu membantunya. Pekerjaanku sepenuhnya bergantung pada harapan, menunggu-nunggu datangnya honor dari tulisan-tulisan yang sebulan sekali belum tentu dimuat oleh media masa nasional bahkan lokal. Mengharap-harap datangnya keajaiban ketika sebuah penerbitan mengirimkan draft kerjasama untuk meroketkan kumpulan novel dan essai yang akan membantu keuangan keluargaku.

Uh, tidak bisa seperti ini terus. Aku harus berusaha, setidaknya bekerja dengan keahlian kasar fikirku. Aku menscan poster lowongan perkerjaan yang menempel di kampus. Ada lowongan menjadi dentist, memegang kepala divisi informatika sebuah rumah sakit besar, menjadi surveyor geologi sebuah perusahaan perminyakan, atau calon peneliti di lembaga penelitian yang paling diminati di Indonesia. Uh, tak ada satu pun yang memerlukan sarjana humaniora terlebih bagi lulusan D3 yang bidang studinya relative aneh dan pendiriannya berawal pada tahun ketika aku masuk kedalamnya.

Aku menepis nafas, berat dan ada kekecewaan yang mengendap. Aku mulai mengalami delusi yang mengatakan, menyalahkan, menyudutkan bahwa aku sebagai seorang kepala rumah tangga, adalah lelaki ringkih yang tak mungkin mampu menanggung beban keluarga. Kalsium keyakinanku mulai menipis, rapuh dan menunggu ambrukan rangkanya.

“Maafkan aku De,” aku tak tega memandang wajahnya.

Ia nampak berusaha mengalihkan, “Maafkan untuk apa?” sahutnya. Aku tahu ia berusaha menampar kekecewaannya.

Aku menghela nafas, “Uh, seandainya ada lowongan jadi pasukan kuning, mungkin aku akan melamarnya.”

Ia menatapku sayu, menadah daguku menggunakan sepuluh jari-jemarinya yang lembut, “Jangan terlalu difikirkan. Hidup ini kadang naik kadang turun. Aku yakin, nanti akan ada sebuah keajaiban.” Digamitnya tanganku, “Yuk!” katanya mengajakku meninggalkan poser-poster yang menjadi sandaran harapan itu.

Sebelum kami benar-benar melangkah, aku menarik tangannya. Ia menoleh.

“Ada apa?”

“Aku memohon, untuk yang kedua kali semenjak pernikahan Kita. Seandainya suatu saat nanti Kita benar-benar kekurangan, bahkan lebih dari kekurangan yang Kita alami saat ini, jangan mengajukan tuntutan perceraian ya?”

De tertegun, dirinya menjadi patung kriya, hanya matanya yang berkata-kata, berkaca-kace, membulir, lalu jatuh di atas conblock berwarna abu. Tak kuasa, aku melihatnya begitu, selalu tak tega maka tak kulanjutkan perkataan itu. Ku ajak dia pergi. Sayup-sayup kudengar suaranya, yang kurasa, berubah menjadi basah, “Aku wanita yang setia dalam suka dan dukamu! Jangan pernah lagi Aa’ berkata seperti itu.”

Aku sungguh mempercayai kata-katanya. Aku mengangguk.

***

Ia datang begitu saja, seperti berkah dari langit. Dia datang saat aku menyelesaikan lembaran akhir Monte Christo, terlihat di antara sela-sela jemari kaki yang kutaruh di atas meja. Kulihat ia menggunakan baju longgar merah marun, baju yang cocok dengan rok hitam bertekstur yang dikenakannya. Menghisap air dari botol kaca bersoda, ia mengelilingi meja besar yang ada di toko bukuku. Menelisik satu persatu, mebolak-balik buku-buku yang nampaknya menarik perhatiannya.

Aku melemparkan buku di meja tempat kakiku bersandar. Perhatiannya pada buku terusik. Ia menoleh. Sebuah ekspresi murni terproyeksi di wajahnya.

“Oalah,” serunya. “Mas kan!? Benar kan?”

Aku pura-pura tak pernah mengenalnya, “Lho mas yang mana? Benar yang seperti apa?” tapi dia tahu kalau aku mencandainya, lalu kami tertawa.

Sebenarnya perkenalanku dengannya, jauh-jauh hari sebelum dia datang ke toko ini. Sewaktu menyeberangi zebra cross alun-alun kota, aku melihatnya dikemas kaca, duduk di bangku mobil yang entah mereknya apa. Waktu itu, ia kulihat membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya sedikit terpejam. Ia menguap cukup panjang. Radiasinya menyeruak dan tanpa sadar aku ikut menguap.

Di balik kemudi, seorang bapak disampingya tertawa kemudian menepuk bahunya dan menunjukku menggunakan gerak kepalanya. Sewaktu melihatku menguap wanita ini tertawa. Kami sama-sama tertawa. Dan sore itu menjadi salah satu sore terindah dalam hidupku.

“Senang bertemu Kau kembali. Sudah berapa lama di kota ini?”

Keningnya berkerenyit, “Lho, bisa tahu kalau aku bukan orang sini?”

“Ya tahu, plat nomor mobilmu F. Bogor?”

“Ya,” Ia tersenyum.

Aku mengulurkan tangan. “Oh ya, namaku Dhani? Nama mu?”

“Sama!”

“Oh Sama!”

Setelah perkenalan itu Kami mulai membuka-buka satu topik. Ia bertanya tentang buku yang kubaca. Aku menceritakan hikmah yang dikandung bukunya, bertutur panjang lebar tentang Alexandre Dumas. Lalu obrolan berkembang menjadi berpanjang-panjang: menyinggung musik, membahas dan memberi saran film apa yang haram jika tidak diapresiasi, juga berbincang tentang impiannya menjadi penulis ternama.

Di dalam toko dengan dia sebagai pengunjungnya, dua jam setengah dipress menjadi pertemuan singkat yang tak terasa lama. Meski masih ingin berbincang denganku ia mengharuskan untuk unjuk diri.

“Dhani, terima kasih pembicaraan penuh maknanya!”

“Terimakasih tak terkira juga. Kalau ke kota ini lagi jangan lupa singgah!”

Ia tersenyum, “Aku takkan kembali ke Bogor. Kami sekeluarga baru saja pindah. Mungkin kedepannya, seminggu tiga kali aku akan ke sini, bertukar fikiran karena Aku adalah manusia sesat yang butuh bimbingan seorang sahabat.”

“Kalau begitu kutunggu kedatanganmu!”

Ia kemudian melipat kertas pembungkus buku yang baru di belinya. Sebelum ia benar-benar menghilang ditelan arus kendaraan, aku memanggilnya, “Hei Sama!”

Ia berbalik, kemudian menunjuk dadanya dengan telunjuk, “Namaku bukan Sama!”

“Tadi Kau bilang namamu Sama?”

“Maksudnya sama, namaku sama dengan namamu. Namaku Dhani, ditambah embel-embel Nita. Dha..nee..ta!” ia mengeja.

Aku menepuk jidatku. Kami tertawa lagi.

Tertawa memang sebuah awalan yang baik dalam sebuah perkenalan. Tertawa akan menjadi prasasti terkuat sebuah perkenalan, lebih dari itu ternyata waktu merekatkan tawa kami dalam hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan.

***

Dalam bincang-bincang tiga kali seminggu yang dijanjikannya, hubungan kami tak terasa semakin dekat dan semakin dekat, hingga akhirnya kami merasa sulit dipisahkan satu sama lainnya. Sama sama merindu, sepakat untuk mengangeni dan tersiksa apabila tak bersua. Roman-roman mulai terbentuk dan mimpi-mimpi Dhanita berkembang untuk terbang. Kemudian pada satu waktu, menjelang tokoku tutup, kukatakan padanya, “Aku ingin bertanggung jawab! Aku ingin menjadikanmu hanya satu-satunya kamu dalam hidupku! Aku mencintaimu dan ingin membahagiakanmu! Menikahlah denganku, hanya dengaku, sebab Kau tak mungkin, mutlak tak akan hidup berlimpah kebahagian jika menafikan untuk hidup bersamaku!”

Tak perlu kujelaskan bagaimana cara dia menjawab lamaranku yang aneh itu. Yang pasti, sebulan kemudian tanpa persiapan kami lantas menikah, dan hengkang menuju sebuah kota di ujung timur Pulau Jawa. Kami membuka sebuah toko buku di kota Malang. Menjalani kehidupan pernikahan dengan aku sebagai seorang lelaki, yang terus menerus menjadi mentor Dhaneeta dalam menemukan makna kebahagiaan. Dan indikasi keberhasilan itu semakin dekat ketika, satu saat aku mengetengahkan sebuah percakapan, “De seandainya Kita memiliki ribuan keping uang emas, kemudian Kita pergi menggembol kepingan-kepingannya ke dalam hutan, sementara Kita tidak membawa makanan. Lantas, apa Kita bakal memakannya seandainya Kita lapar?.”

“Mana mungkin? Kita tak mungkin memakannya!”

Kemudian aku bertanya pada Dhaneeta, “Lalu kebahagiaan itu apa? Jangan-jangan kebahagiaan itu, punya banyak makanan. Ternyata tidak juga kan? Banyak orang yang memiliki makanan, tapi hidupnya resah, gelisah. Jiwanya seperti berada di balik jeruji. Hidupnya seperti terpenjara. Sebenarnya, aku sendiri bingung untuk mendefinisikan kebahagiaan itu apa. Tapi, aku pernah membaca lirik-liriknya penyair Persia bernama Sa’adi. Dia berkata: Aku menangis karena aku tak memiliki sepatu dan aku berhenti menangis saat aku melihat orang yang tak memiliki kaki.”

“Kebahagiaan itu ada manakala kita menggunakan kaus kaki dan memiliki sepatu atau manakala kita memiliki kaki!” ia menjawabnya tetapi kemudian, langsung membatahnya, “Rasanya tidak. Banyak orang yang punya kaki tapi tidak bahagia. Ia kemudian tertawa.

“Apa yang De tertawakan?”

“Dulu, aku sering sekali naik mobil pribadi meski mobil pribadi itu milik Bapakku. Sekarang waktu Mas Dhani mengajakku mengembara, Kita tidak memiliki kendaraan pribadi. Motor tidak, sepeda tidak, bahkan kuda pun tidak,” humornya. Ia kemudian melanjutkan.

“Sekarang seringnya jalan kaki dari kontrakan menuju toko buku tempat Mas kerja. Dan satu waktu Aku pernah merasa capai, tak kuat untuk jalan jauh lagi. Akhirnya, waktu toko tutup, kita menyetop angkot. Dan di dalam kendaraan yang mirip box itu aku merasa gembira. Ah, nggak jalan kaki itu enak juga rupanya.” Ia tertawa, setelah tawanya sirna, di dalam angkutan kota itu Dhaneeta menyimpulkan kebahagiaan dalam versinya. Setelahnya, angkutan kota menjadi sunyi dan aku bahagia karena merasa berhasil membimbingnya.

***

Tapi, kebahagiaan di dalam hatiku perlahan pudar. Usaha toko bukuku gagal. Kesalahan analisis minat baca di kota ini membuat usahaku terpuruk. Kota tempat Kami tinggal memang bukan kota dengan budaya wacana filsafat yang kental seperti Yogyakarta. Kota tempat kami tinggal lebih kental dengan budaya baca yang terkait dengan wacana pop. Itulah sebabnya, setelah dirata-rata selama tujuh bulan, penghasilan kotor tokoku hanya berada dalam kisaran ratusan ribu per bulan. Itupun belum dikurangi uang yang harus kusetorkan pada penerbit setiap bulannya. Penghasilan seminim itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, sementara penghasilan Dhaneeta sebagai guru tidak tetap (GTT) tidak begitu bisa diharapkan.

Ada keinginan untuk mengganti dan sedikit kompromi dengan segment toko bukuku ini, tapi rasanya aku kesulitan. Penerbit buku-buku popular hampir semuanya tidak berkenan melakukan kerjasama dengan sistem konsinyasi. Sistem beli putus dan kredit membuatku kehilangan nyali. Oke sebaiknya aku hentikan saja usaha ini, banting setir! Tapi kearah mana setir ini akan kubanting? Aku kebingungan.

Uh aku stress dengan permasalahan ini. Semakin jauh dari pernikahan kami kebahagiaan seolah-olah menjadi pudar. Mengapa? O’ Aku tak ingin membuat Dhaneeta menyesal telah memilihku. Aku tak ingin memergokinya termangu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Kegelisahan membuatku hilang kebahagiaan, Lalu kemana konsep kebahagiaan yang berusaha kuajarkan berbuih-buih padanya?”

***

Langit masih biru, sementara hatiku disepuhi kelabu. Kami kembali berjalan, melangkah, menapaki trotoar jalanan, melewati jajar pepohonan di pinggir jalan. Tukang tahu petis, buah seribu tiga, pedagang rokok asongan. Uh, berjayalah kalian yang telah berusaha. Berjayalah kalian yang tak mengenal kata malu, menundukkan ego dalam menyambung hidup! Melihat mereka kekagumanku muncul meski bisa jadi mereka melakukannya hanya karena tidak mempunyai pilihan. Satu saat, waktu bisa membuatku seperti mereka. Dan aku nampaknya harus menyiapkan diri.

Kami meniti tangga, memegangi stainless steel, memasuki sebuah bangunan yang menyediakan mimpi. Swalayan yang selalu membuat gelisah jika berada di dalamnya. Bangunan yang selalu membuatku berfikir, berhitung, berapa sisa uang tabungan kami.

Kami diantarkan escalator menuju lantai kedua. Aku masuk dan meringkuk di dalam diriku. Dalam pada itu, Dhaneeta tak mengatakan apa-apa. perkataanku tadi nampaknya masih berbekas di hatinya. Beberapa saat kemudian, bunyi yang khas, tiba-tiba mengejutkannya. Telepon selularku berbunyi. Kutekan tombol pembicaraan. Di seberang sana seorang wanita menanyakan Dhaneeta. Kutanya dari siapa? Dia menjelaskannya dan aku terkejut. Manakala handphone kuberikan padanya aku mulai berdoa. Wajah Dhaneeta kelihatan tegang. Aku terus berdoa. Semakin doaku panjang semakin wajahnya berubah: menjadi merah, menjadi semakin ekspresif. Matanya membesar, dan mulai berkaca-kaca. Hampir-hampir kaca-kacanya pecah. Aku mendengar Ia mengatakan: oh iya, kalau boleh tahu yang keberapa Mbak? tanggal berapa penyerahannya? nanti nomernya akan kami kirimkan. Telepon ditutup. Dhani memandang diriku. Nampaknya ia diselimuti kebahagiaan yang akan ia tularkan.

“A’ kita diundang ke Jogja!”

“Untuk apa?”

“Novelku menang. Juara dua!” Ia kemudian memelukku. Aku pun memeluknya di tengah keramaian, mengangkat tubuh mungilnya, memutarkannya beberapa kali. Orang-orang melihat kami keheranan. Mereka tahu kalau kami bahagia. Kami langsung keluar dari swalayan, menuju ATM terdekat. Wah betapa bahagianya. untuk sementara kami bisa berbelanja barang kebutuhan yang diinginkan.

Langit masih membiru, balon gas yang mengiklankan rokok merek terbaru masih menggantung di atas sana. Aku melihatnya dan Dhaneeta balas melihatku, “A?”

“Ya?”

“Allah memang maha Aneh ya?” Ia melihat angkasa.

Aku tersenyum, “Mungkin ia mengintip di batas atmosfer sana.” Aku menunjuk angkasa, berteriak pada-Nya “Hei, sebaiknya asmaul husna Kau tambah jadi seratus saja!” beberapa detik aku terdiam, kemudian takzim kuucapkan, “Terima kasih ya Tuhan!” Dhani mengangguk menyetujui apa yang kuungkapkan. Ia kemudian merangkul tanganku. Kami keluar dari swalayan, dan akan kembali berbelanja beberapa menit kemudian.

Ah aku mendapat pelajaran berharga. Nampaknya kali ini akulah yang tidak benar-benar memahami arti kebahagiaan. Nampaknya, sore ini ego masa laluku sebagai seorang lelaki yang ingin membimbing untuk menyelami makna kebahagiaan, ingin menjadi tonggak selamanya, ingin meluruskan seolah-olah Dhaneeta adalah tulang bengkok yang harus diluruskan nampaknya sirna.. Berharganya O Dia. Betapa berharganya O Dhaneeta.

Kami memang ditakdirkan untuk menjalani hidup bersama, bergandengan tangan. Aku, sang lelaki hadir bukan untuk membimbingnya. Aku sang lelaki harus sama-sama belajar untuk saling mengisi, saling membimbing ketika salah seorang di antara kami bimbang. Secara formal laki-lakilah yang memimpin kehidupan keluarga, namun saat berjalan maka tidak ada yang memimpin dan wanita yang dipimpin, jika kepemimpinan itu dilakukan untuk memperbudak salah satu pihak. Yang ada hanya manusia yang sama! Manusia yang terus menerus belajar untuk menyempurnakan dirinya, menggapai impian-impian yang ternyata ada di dalam hati dan dadanya. Menggapai kedamaian jiwa

Sore hari ini kebahagiaan kembali datang saat aku mengingat kesungguhan ucapan yang diperdengarkannya di dalam sebuah angkutan kota,

“Aku tau kebahagiaan itu apa!.”

“Ya apa?”

“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang dapat didefinisikan. Kebahagiaan itu ada di kedalaman hati!?”

Aku tunjuk dadanya. “Berdomisili di sana?”

Dan dengan mantap Dhaneeta mengatakan, “Ya!”

READ MORE!

Ganja

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

Di telapak kaki Pegunungan Himalaya dan Vindhya. Kunang-kunang statis kota Hardwar berkedip menemani alunan air yang membawa satu juta ton endapan. Gemericik sungai menusuk organ keong pada rongga telinga. Yang bening tak berjiwa maju merontokan kerikil, pasir dan tanah lapuk di tepian. Mematuhi hukum alam. Pasrah mengalir dari puncak menuju jurang yang dalam. Membelah bukit hingga kota suci. Menebarkan hikmah kesuburan seusai banjir melanda. Dini. Jam 4.34 subuh. Di tanah alluvial berwarna coklat kekuningan. Jutaan manusia berbeda kasta berkendara peraduan. Melanglang. Terbang. Berderai. Menyeringai! Penanam padi mimpi! Petak garapannya rimbun. Perut sekembung ikan buntal. Makan segala kelezatan. Mencicipi kenikmatan. Dalam tujuh atau delapan jam. Dalam ketidaksadaran mimpi yang cukup mengobati kesunyian hati Paria dan Sudra.

6000 meter di bawah atap dunia. Gigi serta jemari puluhan lelaki gemeretak. Melawan 5 derajat celcius. Kalau bukan tugas, berbalut selimut wol dan melumat istri yang empuk merupakan pilihan tepat. Karena masih pagi. Tentu! rerumputan masih basah oleh jilatan kabut. Embun diarak perlahan oleh angin. Bunga, ranting dan antropoda menerima tetes demi tetes. Sukacita!. Ranting pohon yang terinjak teriak. Jangkrik ikut-ikutan berisik manakala angin berkoar-koar melibas dan mengusik cuping telinga. Mereka!. Lelaki-lelaki itu!. Tak terusik! Konsentrasi terpusat menuju garis setapak yang curam. Terkadang bolong dan berkubang.

Seorang penulis freelance berkasta Sudra menyelip. Namanya Sanjay. Tubuhnya kecil. Kulitnya coklat dengan kumis melintang. Sanjay berasal dari Kota Patna. Sebuah wilayah negara bagian Bihar. Profesi wartawan baru dijalani selama setahun. Beberapa hari lalu, sepupunya --seorang inspektur kepolisian Hardwar-- bernama Vijay Memberi kesempatan. Meliput penggerebegan ladang ganja terbesar selama 30 tahun terakhir. Peliputan ini sangat fenomenal. Dan setelah menyelesaikan tugas, Sanjay berharap honor peliputan sanggup memuaskan perut kembang kempisnya. Ambisi yg sederhana memang!

Kontur tanah merapat. Denyut nadi beringas! Minimnya suplai oksigen memaksa jantung berkerja ekstra. Setelah bukit dijalani. Terbentanglah! dataran hijau lumut dan juga Kaliandra yang menahan oranye matahari, melilit kompleks batuan. Sanjay bersandar di batu sebesar anak gorila. Segera diperiksa kamera pas pistol dikokang. "Ckreek…ckreek!. Menyadari ladang ganja sebentar lagi melumuri pandang mata. Sanjay memutar leher. Perlahan. Kalem. Slow motion! searah laras pistol yang dikokang..

“Apapun yang terjadi anda harus tetap di belakang kami”. Lelaki berambut rata-rata sama. Cepak! Memperingatkan.

“Okey !” Berusaha menunjukan keberanian. Sanjay mengkedipkan mata. Cukup sebelah.

***

Gubug kecil berukuran empat kali tiga menyendiri dalam gelap. Atapnya berteduh rumbia. Tak berlentera. Tidak ada cahaya mendagorin puluhan pasang mata. Hanya sinar matahari pagi diatas bukit yang menerangi suram. Detik dipergelangan tangan mendekati angka penentu. Tali kamera melilit dileher. Serasa jarum. Angin makin dingin menusuk tulang. Jam menunjuk ke enam tepat!

“Serbu!” Aba-aba bergaung memantul. Seluruh inteligen tak berseragam menyerbu. Mereka berlari menuju gubug. Dan Sanjay menyambangi langkah. Menggocek!

Seluruh personil berlindung pada benda yang mampu memuntahkan, meredam dan meng-hokcaykan peluru. Pohon dan batu pilihan akurat. Sanjay paling belakang. Ia berlindung di batu sebesar moyang gorila.. Tiba-tiba! Suara keras bergema.

“Kalian sudah terkepung. Keluar! dan angkat tangan!…ngan …ngan”. Hening tak berbalas.

“Sekali lagi kami peringatkan. Jangan coba melawan! Wan...wan..wan. Silahkan keluar!. Atau kami yang akan masuk kedalam..lam…lam…lam…”. Pantulan mengejek.

Tak ada jawaban. Inspektur semakin garang. “Awas! jangan main-main … kami akan masuk dengan paksa”. Hitungan mundur dimulai “Empat..3..2..satu…Serang!”

Orang yang beberapa saat lalu mengokang senjata di hadapan Sanjay menyeruak. Dari balik belukar. Sepatu lars berlumuran tanah. Menerjang!. “Brak !”. Daun pintu belum dobrak. Ditendang sekali lagi “Brak!” Belum juga.

"Bruaak ... Krekek!”. Hampir terdobrak.

"Dobrak sekali lagi!" Sahut inspektur. "Arghhhhhhhhhh... grusak... BRUACKKEBOOOOMMM!". Pintu dobol berderak!

Sorot cahaya menjelajah lekuk ruangan. Intel memanggil inspektur Vijay. Inspektur memanggil Sanjay. “kemari !” Sanjay berlari. Jari kelingking dan sepatu boots kiri sudah berada di gubug hangat. Ketika tubuh masuk sempurna. Hidung Sanjay mekar bereaksi “Hua… Hua”. “HUASYIM !”

Serakan ganja kering terbang menunggu promosi.

***

Sisa pembayaran berita penggerebekan dua hari lagi habis. Beberapa rupe tersisa. Perut kembang kempis. Hanya linting rokok yg setia menemani. “Sialan!" Sanjay memaki. “Ketika menerima amplop, seluruh tetangga tertawa. Teman-teman tersenyum bangga.Mereka menyanjung setinggi cemara. Ketika dompet tdk terasa mengganjal pantat. Kegembiraan sirna. Plash!. Hilang. Sepi kelabu. Tdk ada tepuk tangan. Tdk ada rayuan tetangga yang mukanya seperti Kajol."

"Sialan!". Dihisapnya rokok sedikit demi sedikit. Sayang. Pus …pus…

Matahari menyeret air menyatukanya dengan mendung. Awan belum menangis. Seorang penunggang sepeda masuk ke halaman rumah Sanjay. Surat dimasukan ke mulut kotak pos. Meski tak ada tahi merpati yang menggunduk. Tapi tahi cecak ada segunduk. Kotak pos tetap mirip sarang merpati. Tidak mirip sarang cecak. Lelaki meluncur begitu saja. Segelas kopi dihabiskan. Sanjay melangkahkan kaki. Berharap-harap cemas. “Mudah mudahan rezeki.”

Rintik-rintik hujan tiba. Beberapa huruf Time New Romans pada surat mulai memudar. Awan menangis. Seperti memirit gaple. Satu persatu huruf dieja. Hati-hati sekali. Bait kata terangkai. Membentuk mimik terkesima. “Perayaan pemusnahan 100 kilogram ganja di kantor kepolisian Hardwar.” Di bolak-balik kop surat melihat tanggal yang tertera. Jangan-jangan kadaluarsa. “15 Juli ... hmmm. Esok hari.”

“Hore !… hurai !…Horei !” . Tawa membahana. Minim pengeras suara, seluruh penjuru desa tahu bahwa di rumah yg sederhana, wartawan freelance Sanjay Vinjali kebanjiran rezeki. Kuping penagih hutang meruncing. Perawan tetangga yg mirip Kajol mulai bersolek. Warga mempersiapkan teks sorak sorai agar Sanjay mentraktir martabak sebagaimana mestinya.

***

Lapangan ini cukup luas. Sedikit lubang disana-sini. Wajar!. Disamping kiri, hidangan prasmanan tersedia. Di depan tenda, tepat ditengahnya, podium dipersiapkan. Khusus inspektur berbicara. Tenda berwarna biru. Sesaat penuh sesak. Pejabat-pejabat daerah memakai baju tebaik. Tak lupa kacamata hitam. Rayban!. Superstar hari ini sungguh bersahaja. Seragam rapih disesuaikan rambut kelimis yang disisir kebelakang.

“Ting..tong!” Inspektur Vijay dipersilahkan memberikan secuil kalimat”. Moderator berpatah kata.

“Salam sejahtera!. Yang belum sejahtera, sejahterakan segera sendiri. Selamat siang!. Siang hari ini kita selamatan”. Ia berbicara panjang lebar tentang tetek bengek penangkapan. Selama satu setengah jam pidato selesai. Akhirnya upacara pemusnahan dimulai. Hadirin bertepuk tangan. Inspektur mengambil obor yang disediakan panitia. Brr.. angin datang tak tentu arah. Asap hitam berputar di udara. Sebelum api mencium tumpukan ganja, inspektur bertutur.

“Kita basmi kejahatan di bumi India, hidup Sri Rama!” Api menjilat seluruh bongkahan ganja. Cepat!

Salah sorang audiens berdiri mengacungkan tangan “Hidup inspektur Vijay!”

“Hidup !” seluruh hadirin berteriak. Tak lupa mengepalkan tangan keatas.

“Hidup inspektur Vijay” Kembali bergelora.

Seluruh hadirin menyuarakan yel-yel yang sama. Tak terkecuali Sanjay. Seperti film Bollywood yang sering diputar di TV Nasional kiranya.

“Kratak...trak…tak”. Ratusan kilo Ganja terbakar. Asap melayang, dipermainkan angin. Ke utara.

"Serr!". Mampir di penciuman Brahmana.

"Serr!". Mampir di kerongkongan pendeta.

"Seer!". Membuat kesat mata.

Sgroooooook! Ngiuk-ngiuk!” dihisap bersama. Asap menggoda ke selatan tenda. Asap keluar seperti cendawan pabrik.

"Serr!" Menelusup ke kolong meja. Hitungan satu menit seluruh hadirin tersenyum. Sanjay menyadari janggal. Ia menyumbat pernafasan dengan saputangan. Asap putih mengepung. Memenjarakan. Asap menggelitik lubang hidung.

“Hatsyii!”. Memenuhi paru-paru.

“hmmm.. hmmmm…”. Menyepuh otak.

“Hmm…”. Bibir melebar.

“Ha..haa..ha”. Sanjay ikut terawa. Semua orang yang hadir bercanda. Kantun mata mereka berair.

Inspektur menahan wibawa.“Hhmmmph ..”. Mulutnya menggelembung. Mata memerah. Semua dibawa terbang kebatas cakrawala. Kisah pemusnahan ratusan kilo mariyuana berakhir saat semua tertawa. Semua cekakak. Semua cekikik kemudian berkata “wuasoy!”. Wuenak. Wuenak dan … WUENAK!

PS : Mengapa memusnahkan ganja dengan dibakar?

READ MORE!

Mancing As a Life Style

Posted: by Divan Semesta in Label:
0

Sewaktu Soeharto masih bugar dan tengah alami masa kejayaannya ia acapkali terlihat berdiri di atas yacht untuk melempar alat pancingnya. Dengan gaya merokok cerutunya yang mirip Churchil, Soeharto sesekali mengedut-edutkan alat pancing berteman topi, kaus dan celana putih serta kacamata rayban.

Di shoot kamera TVRI Soeharto tampak gaya. Mirip propaganda iklan mount blanc yang hampir selalu menggunakan model untuk mengesankan profesionalitas, santai dan gaya hidup, Soeharto membuat wabah mancing. Mancing dianggap naik pamor, menyamakan derajatnya dengan golf dan balapan. Mancing mulai diakui sebagai life style kalangan otokrat. Mancing naik pangkat. Dari kegiatan yang di Indonesia dianggap biasa kemudian menjadi lambang prestis.

Mancing adalah life style. Yang namanya life style tentu tidak hanya dimiliki kalangan tertentu. Dengan caranya sendiri masyarakat dari lapisan bawah menjadikan mancing sebagai gaya hidupnya.. Iyan, anggota lower class yang dijuluki mat Gondrong oleh komunitas pancingnya, kami temui untuk menggambarkan gaya hidup ini.

Di pinggir danau Unversitas Indonesia (UI) kami menemuinya saat ia tengah menambah air danau dengan air seni miliknya. Melihat kami duduk di bawah pohon, tepat di samping dua alat pacing yang ia geletakan mat Gondrong tampak curiga.
Berupaya hilangkan prasangka, kami lebih dulu menyapanya. Menggunakan speak basa yang basi, suasana cair, dan kami pun santai menjelaskan maksud kedatangan ini.

“Ah kagak ape-ape,” mat Gondrong mengizinkan.

Dia yang orang Jakarta asli, mengakui mengetahui benar kondisi danau UI “Dulu danau ini rawa-rawa,” jelasnya. “Penghuninya ular. Mangkanye, nggak heran kalau lagi mancing gua sering ngeliat uler.”

“Kalau penghuninya uler berarti ikan di sini ngontrak dong,” celetuk kami.

Dia ketawa. “Di sini banyaknya ikan gurame, kadang ade ikan nila, ikan gabus. Seringnya gua dapet ikan gurame, tapi sering juga apes dapetin ikan sapu-sapu.”

Sepertinya bukan hanya mat Gondrong saja yang mengatakan apes saat mendapat ikan sapu-sapu. Usai melakukan obrolan santai dengannya, kami memutari danau untuk menemui dan melihat orang-orang memancing. Di pinggiran, di jalan-jalan setapak, di balik rerumputan, lebih dari sepuluh bangkai ikan sapu-sapu tergeletak. Di sini ikan sapu-sapu dianggap tak berharga. Mereka tak berpikir untuk menjual ikan itu di toko akuarium air tawar. Atau mungkin ada diantara mereka yang berpikir ke arah sana, namun seperti halnya pemikir yang banyak mengetahui hal, mereka malas melaksanakan sesuatu yang muncul di kepalanya. Ah terlalu banyak kemungkinan. Terlalu banyak pemancing yang perlu di sensus jika memang kami serius untuk memastikan jawaban fenomena tersebut. Yang merupakan kepastian adalah bahwa mereka senang berada di sani. Sama halnya dengan mat Gondrong.

“Baru setaun lalu gua ke sini. Dulu pihak kampus cuman ngizinin mancing pas hari sabtu ma minggu doang. Sabtu pas sore, kalau minggu sepanjang hari. Asyik aja kalau mau sekarang tiap hari gua bisa mancing.” Tidak seperti dulu, lelaki dari Tebet ini tidak usah lagi pergi ke Tanggerang untuk menyalurkan hobinya. mat Gondrong senang.

Di dekat masjid kami melihat orang-orang berkerumun. Mereka terlihat bersenda gurau sambil menunggu umpan yang lemparkan di makan ikan. Cukup jauh dari tempat mereka mat Gondrong mancing sendiri.

“Katanya di sana banyak ikan?”

“Emang.”

“Kenapa nggak mancing di sana aja?”

“Ngapain. Di sini aje. Biar banyak ikan di sana panas. Males. Enakan di sini, adem.”

Tak banyak orang yang memilih wilayah sepi ikan di tempat ini. Kalau pun ada, pemilihan tempat ini dilakukan atas pertimbangan bahwa alat pancingnya bisa menjangkau bahkan hingga ke tengah danau. Anto, lajang yang kami temui tengah memasukan ikan ke dalam jaring memiliki alat pancing yang membantunya mengail ikan hingga jauh dari tempatnya berdiri.

Lelaki dari Tegal yang sudah tujuh tahun menetap di Jakarta itu bilang, bahwa untuk mendapatkan alat pancing seperti ini, ia hanya mengeluarkan seratus empat puluh lima ribu, lengkap dengan benang dan rol untuk memutar benang. “Murah,” ungkapnya. Apalagi jika melihat daya jangkaunya yang bisa mengail ikan hingga jarak lima puluh meter atau lebih. “Tak perlu menggunakan umpan,” cukup mengkedut-kedutkan pancing kemudian menggulung benang. Jika beruntung, hap, ikan sebesar tangan di dapatkannya.

Alat mancing Anto bukan saingan alatnya mat Gondrong yang harganya cuma empat puluh ribu/empat meter (itu pun dibagi tiga). Seakan membenarkan anggapan yang sering kita dengar bahwa semakin mahal barang semakin baik kualitasnya, seperti itulah alat pancing dia. “Itu sih pancingan garong,” mat Gondrong berseloroh.

Lelaki yang umurnya empat puluh satu itu tak perlu disembuhkan dengan Ihyanya al Ghazaly. Selorohnya tidak bersumber dari hati yang dengki, sebab Anto si pemilik pancing garong pun mengakui penjulukan pancing yang digunakannya.

Pancing garong adalah pancing yang memiliki banyak kail. Jika dihitung mungkin ada lebih dari 10 kail dan setiap kail memiliki empat jarum (pancing mat Gondrong hanya memiliki satu kail). Teknik pancing garong pun berbeda dengan yang biasa. Jika mendapat ikan besar, pemancing harus mengerahkan tekniknya. Untuk itu Anto pernah menghabiskan waktu setengah jam demi mendapat ikan berbobot enam kilo untuk sampai di tempatnya. Terasa lama, tapi itu harus dilakukan jika ingin mendapat kepuasan.

“Kalau langsung ditarik, ikannya bisa sobek, terus lari. Ikannya perlu dibuat cape Mas. Di biarin dulu, muter kemana-mana. Kalau dia sudah cape gampang.” Urai Anto memaparkan penguasaan tekniknya.

Pancingan mat Gondrong bukan saingan pancingan garong. Jika ikan diibaratkan pendapatan, bisa jadi pendapatan mat gondrong pas-pasan sesuai dengan upah minimun regional buruh-proletar di Indonesia, kasihan.

Mat Gondrong memang seadanya. Lelaki yang tidak memiliki perkerjaan tetap ini didorong kondisi untuk meminimalisir modal demi menjalankan kesukaannya. Bila pancing yang dipegangnya adalah pancing yang murah, maka untuk umpan ikan ia tidak perlu mengeluarkan modal.

“Umpannya pake ulat belimbing,” kata dia sambil memperlihatkan puluhan ulat belimbing yang disekap di dalam botol mineral. “Nggak perlu umpan yang aneh-aneh. Cukup ini aja.”

Seperti Air dan Api adalah lagu yang dibawakan dengan baik oleh David Naif untuk kisahkan perbedaan kepribadian antara dua kekasih, seperti itu pula umpan andalan mat Gondrong ketika dia menjelaskan umpan yang digunakan dalam sebuah pertandingan.

“Paling nggak harus keluar Rp. 50.000,- 200.000,- buat umpannya.”

“Mahal amat?”

“Ya iya bahannya aje keju, telur, susu ubi, jagung manis, terus pake cairan wangi pandan.” Mat Gondrong menjelaskan panjang lebar, “Pake bau amis daging tuna. Cairannya ada 6 jenis. Ngegunain cairannya harus ditakar pake suntikan. Nggak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit. Makanya harus pake suntikan. Udah gitu di belender kayak buat kue. Ada juga nyampurin make telur semut terus diseduh supaya nggak basi.”

“Aneh aja. Apa nggak cukup pake roti?”

Mat Gondrong ketawa, “Kalo niatan menang lomba harus gitu! Kalau make roti mana bisa menang? Kalau umpanya udah bagus, ngolahnya pas yang ikut lomba bisa dapet banyak ikan. Biasanya dari jam 08.00-16.00 dia bisa depet 20-40 kilo!”

“Tetep aja mahal.”

“Namanya juga ngejar hadiah.”

“Segitunya. Emang hadiahnya apa?”

“Mancem-macem. Lomba yang terakhir gua lliat, juara I dapet mobil Juara II mobil juga. Juara III mobil juga.”

“Pantes. Terus, gimana nentuin juaranya?”

“Biasanya juara satu buat yang ngedapetin ikan 10-15 kiloan. Juara dua, yang paling banyak dapet ikan. Juara tiga gitu juga. Ikannya dikiloin.”

Tiket lombanya di atas gaji kasir bank lulusan S1, “dua juta setengah,” kata mat Gondrong. Pesertanya mencapai ratusan orang. Jadi wajar saja jika hadiahnya wah, dan sedikit ‘wajar’ pula kalau pesertanya menggunakan dukun untuk membantu kemenangannya.

“Umpannya dibacain.” Mat Gondrong nyelonong, “tapi gua kagak percaya gituan. Mancing untung-untungan! Kalau juara ya juara kalau apes ya apes.”

“Kalau ada yang make dukun, berarti ada yang ngegangguin orang supaya gak menang lomba dong? Pernah ada berantem?”

”Gua gak pernah ngeliat yang lomba berantem. Panitianya udah matok. Ada lapaknya. Semua dibagi-bagi. Lu mancing di sini, lu mancing di sono.”

Lomba yang pernah diikuti mat Gondrong tentunya bukan lomba selevel itu. Dengan pendapatan yang tidak pasti, bisa dikatakan edan kalau dia ikut serta. Karenanya, mat Gondrong cukup puas dengan memancing di danau. Berlomba dengan dirinya sendiri. Dan kalau dia suntuk, mat Gondrong pergi ke naiki kereta menuju kolam pemancingan di Bogor. Di sana ia nongkrong seharian di depan kolam.

“Bayar?”

“Cuma lima belas ribu. Nggak rugi. Gua bisa dapet ikan banyak.”

“Bayarnya nggak pas udah selesai mancing? Ikannya dikiloin baru bayar?”

“Kalau gitu ngapain? Rugi! Mending beli ikan di pasar.”

“Kan nggak ada seninya?”

Mat Gondrong tertawa mengiyakan. Lalu obrolan pun berlajut. Ia mengeluh mengenai ikan yang di dapatkannya akhir-akhir ini.

“Di sini (di danau UI) kalau malem suka ada yang ngejaring ikan. Gua pernah liat, empat atau lima orang ngejaring. Dapet puluhan kilo. Kalo gini terus gimana?”

“Nggak di marahin satpam?”

Mat Godrong gelengkan kepala. Ia tidak tahu siapa yang melakukannya, namun menurut pemancing yang tak mau disebut namanya, “Yang ambil ikan pake jaring anggota, marinir Mas!”

Kalau urusannya memang benar dengan pemilik senjata, pantas jika penjaga keamanan tidak berkutik. Kami pun berusaha memancing mulut mat Gondrong.

“Wah, kalau gitu mending ikutan-ikutan nangkep ikan pake jaring!”

“Ngapain?” mat Gondrong lugas bertanya. “Kalau gua sih mancing buat seneng-seneng. Kalau mereka (dia tidak mengetahui siapa yang menjaring) buat nyari uang.”

Jawaban itu menguatkan statement mat Gondrong saat ditanya mengapa ia tidak mengikuti cara penduduk sekitar kampus: mengikat tong besar (empat buah) dengan tambang dan kayu untuk mencari ikan di tengah danau.

Ia tidak tertarik untuk melakukannya. “Malas. Panas!” kilahnya. Bagi mat Gondrong memancing hanya sekedar hoby. Kegiatan itu bahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan suplai protein rumah tangganya. Ikan yang di dapat biasanya ia bakar bersama kawan-kawannya. Di samping mengikat hubungan perkawanan, dengan memancing mat Gondrong mengaku mendapat kesabaran. Katanya, ia jadi tidak gampang marah kalau ada orang yang membuat masalah. Namun apakah ia bisa menahan emosi, mengandalkan kesabaran ketika berhadapan dengan istri yang tidak menyukai hobinya itu?

Kita tidak tahu, yang jelas, apa pun kekurangan mat Gondrong, setidaknya ia melihat sisi positif atas kegiatan yang dilakukannya. Setidaknya ia menjadikan sisi positif itu sebagai alat untuk hadapi hidup yang semakin hari semakin gersang.

Menghampiri akhir tulisan ini, di tengah-tengah harga kebutuhan pokok dan suplai protein kedelai yang tinggi dengan cadangan yang tipis sementara uang sangu kiriman tak begitu bisa diandalkan, nampaknya kau bisa ikut memancing, temani mat Gondrong sambil menunggu ikan untuk kau makan.

Jika kau merasa tersinggung karena kau memiliki uang bulanan yang dianggap unlimited, tak terbatas, maaf saja, jangan diambil hati. Tapi, demi kebaikanmu cobalah untuk habiskan waktu luang, memancing di tepi danau sana. Siapa tau kegiatan murah meriah ini bisa menggantikan kencanmu yang semakin tidak sehat, atau mungkin memancing bisa kau jadikan pengalih kecanduan terhadap game online yang membuatmu gelisah. Atau siapa tau saat memancing kau yang berasal dari fakultas MIPA UI bisa seperti Archimides yang usai berhubungan dengan air menemukan rumus sambil mengatakan insight eureka! atau bahkan menemukan kedamaian jiwa: mendapatkan ‘moksa’ meraih hakikat dan makrifat tanpa harus meninggalkan syariat.

Mungkin saja. Bisa saja.

READ MORE!