Lelaki Pelompat

Posted: Senin, 28 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Saya memandangnya, dengan pandang kekaguman. Lelaki itu, dekil, kulit legam, badan kerontang, namun kelihatan sehat. Berusaha sampai di tempat saya biasa menunggu kereta, ia gunakan rel besi sebagai tumpuan. Hap! Satu hentakan membuatnya meloncat demikian tinggi, lalu mendarat di dekat tempat saya duduk.
Saya tak pernah mampu meloncat setinggi itu. Penumpang kereta yang lainnya pun tak pernah saya lihat mampu melakukannya. Biasanya kami lebih dahulu menjadikan tangan sebagai tumpuan untuk bisa sampai ke tempat kami duduk menunggu kereta. Jika ingin membayangkan lebih detail apa yang kami lakukan (supaya kami sampai di ruang terbuka tempat tunggu kereta), ibaratkan kami berpose maling yang kepergok (seperti dalam film atau malah seperti kambing yang nyangsang di atas tembok). Nah, pemuda itu tidak melakukan seperti yang kami lakukan. Dia punya style.
Tak berapa lama kereta datang menjemput, saya menelusup ke dalam. menyisip di antara ratusan penumpang lainnya. Setelah lewati beberapa stasiun, gerbong mulai sepi. Pemuda pelompat yang beberapa waktu lalu saya perhatikan datang. Ia membawa sapu. Sejak awal saya sudah menyangka pemuda itu menggantungkan hidupnya dari uang yang beredar di atas gerbong, di sepanjang rel kereta.
Saya sudah menyangkanya, yang saya tidak sangka justru wajah dia yang sehat, tiba-tiba (di atas gerbong) berubah mengharukan. Ia sapu kulit jeruk, sapu gelas plastik, debu dan bungkus permen sepanjang satu hingga dua meter, lalu meminta kepada penumpang yang terjaga atau pura-pura terjaga.
Di sepanjang bangku gerbong yang saya tempati, tak ada satu orang pun yang berikan dia uang, kecuali satu orang bapak. Si bapak ini beri lelaki itu recehan. Saya menyangka uang receh lima ratusan alumunium, ternyata bukan. Lelaki yang jago lompat itu merogoh bungkus permen relaxa, men-check uang yang diberi si bapak. Tiba-tiba Ia berdiri. Mimiknya tampakkan murka, lalu berjalan cepat. Di dekat sambungan gerbong dilemparnya uang recehan pemberian si bapak. Lelaki itu menghilang. Penumpang tercengang. Receh menggelinding tepat di bawah kaki saya. Receh dua ratus rupiah.
Saya tiba-tiba teringat senyum anak-anak kecil. Mendadak saya teringat pengamen dewasa, teringat pak ogah yang sering tersenyum mendapat uang meski seratus rupiah. Dalam pandangan saya sekarang, lelaki pelompat itu tidak tampak keren lagi.

0 komentar:

be responsible with your comment