Mancing As a Life Style

Posted: Kamis, 24 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Sewaktu Soeharto masih bugar dan tengah alami masa kejayaannya ia acapkali terlihat berdiri di atas yacht untuk melempar alat pancingnya. Dengan gaya merokok cerutunya yang mirip Churchil, Soeharto sesekali mengedut-edutkan alat pancing berteman topi, kaus dan celana putih serta kacamata rayban.

Di shoot kamera TVRI Soeharto tampak gaya. Mirip propaganda iklan mount blanc yang hampir selalu menggunakan model untuk mengesankan profesionalitas, santai dan gaya hidup, Soeharto membuat wabah mancing. Mancing dianggap naik pamor, menyamakan derajatnya dengan golf dan balapan. Mancing mulai diakui sebagai life style kalangan otokrat. Mancing naik pangkat. Dari kegiatan yang di Indonesia dianggap biasa kemudian menjadi lambang prestis.

Mancing adalah life style. Yang namanya life style tentu tidak hanya dimiliki kalangan tertentu. Dengan caranya sendiri masyarakat dari lapisan bawah menjadikan mancing sebagai gaya hidupnya.. Iyan, anggota lower class yang dijuluki mat Gondrong oleh komunitas pancingnya, kami temui untuk menggambarkan gaya hidup ini.

Di pinggir danau Unversitas Indonesia (UI) kami menemuinya saat ia tengah menambah air danau dengan air seni miliknya. Melihat kami duduk di bawah pohon, tepat di samping dua alat pacing yang ia geletakan mat Gondrong tampak curiga.
Berupaya hilangkan prasangka, kami lebih dulu menyapanya. Menggunakan speak basa yang basi, suasana cair, dan kami pun santai menjelaskan maksud kedatangan ini.

“Ah kagak ape-ape,” mat Gondrong mengizinkan.

Dia yang orang Jakarta asli, mengakui mengetahui benar kondisi danau UI “Dulu danau ini rawa-rawa,” jelasnya. “Penghuninya ular. Mangkanye, nggak heran kalau lagi mancing gua sering ngeliat uler.”

“Kalau penghuninya uler berarti ikan di sini ngontrak dong,” celetuk kami.

Dia ketawa. “Di sini banyaknya ikan gurame, kadang ade ikan nila, ikan gabus. Seringnya gua dapet ikan gurame, tapi sering juga apes dapetin ikan sapu-sapu.”

Sepertinya bukan hanya mat Gondrong saja yang mengatakan apes saat mendapat ikan sapu-sapu. Usai melakukan obrolan santai dengannya, kami memutari danau untuk menemui dan melihat orang-orang memancing. Di pinggiran, di jalan-jalan setapak, di balik rerumputan, lebih dari sepuluh bangkai ikan sapu-sapu tergeletak. Di sini ikan sapu-sapu dianggap tak berharga. Mereka tak berpikir untuk menjual ikan itu di toko akuarium air tawar. Atau mungkin ada diantara mereka yang berpikir ke arah sana, namun seperti halnya pemikir yang banyak mengetahui hal, mereka malas melaksanakan sesuatu yang muncul di kepalanya. Ah terlalu banyak kemungkinan. Terlalu banyak pemancing yang perlu di sensus jika memang kami serius untuk memastikan jawaban fenomena tersebut. Yang merupakan kepastian adalah bahwa mereka senang berada di sani. Sama halnya dengan mat Gondrong.

“Baru setaun lalu gua ke sini. Dulu pihak kampus cuman ngizinin mancing pas hari sabtu ma minggu doang. Sabtu pas sore, kalau minggu sepanjang hari. Asyik aja kalau mau sekarang tiap hari gua bisa mancing.” Tidak seperti dulu, lelaki dari Tebet ini tidak usah lagi pergi ke Tanggerang untuk menyalurkan hobinya. mat Gondrong senang.

Di dekat masjid kami melihat orang-orang berkerumun. Mereka terlihat bersenda gurau sambil menunggu umpan yang lemparkan di makan ikan. Cukup jauh dari tempat mereka mat Gondrong mancing sendiri.

“Katanya di sana banyak ikan?”

“Emang.”

“Kenapa nggak mancing di sana aja?”

“Ngapain. Di sini aje. Biar banyak ikan di sana panas. Males. Enakan di sini, adem.”

Tak banyak orang yang memilih wilayah sepi ikan di tempat ini. Kalau pun ada, pemilihan tempat ini dilakukan atas pertimbangan bahwa alat pancingnya bisa menjangkau bahkan hingga ke tengah danau. Anto, lajang yang kami temui tengah memasukan ikan ke dalam jaring memiliki alat pancing yang membantunya mengail ikan hingga jauh dari tempatnya berdiri.

Lelaki dari Tegal yang sudah tujuh tahun menetap di Jakarta itu bilang, bahwa untuk mendapatkan alat pancing seperti ini, ia hanya mengeluarkan seratus empat puluh lima ribu, lengkap dengan benang dan rol untuk memutar benang. “Murah,” ungkapnya. Apalagi jika melihat daya jangkaunya yang bisa mengail ikan hingga jarak lima puluh meter atau lebih. “Tak perlu menggunakan umpan,” cukup mengkedut-kedutkan pancing kemudian menggulung benang. Jika beruntung, hap, ikan sebesar tangan di dapatkannya.

Alat mancing Anto bukan saingan alatnya mat Gondrong yang harganya cuma empat puluh ribu/empat meter (itu pun dibagi tiga). Seakan membenarkan anggapan yang sering kita dengar bahwa semakin mahal barang semakin baik kualitasnya, seperti itulah alat pancing dia. “Itu sih pancingan garong,” mat Gondrong berseloroh.

Lelaki yang umurnya empat puluh satu itu tak perlu disembuhkan dengan Ihyanya al Ghazaly. Selorohnya tidak bersumber dari hati yang dengki, sebab Anto si pemilik pancing garong pun mengakui penjulukan pancing yang digunakannya.

Pancing garong adalah pancing yang memiliki banyak kail. Jika dihitung mungkin ada lebih dari 10 kail dan setiap kail memiliki empat jarum (pancing mat Gondrong hanya memiliki satu kail). Teknik pancing garong pun berbeda dengan yang biasa. Jika mendapat ikan besar, pemancing harus mengerahkan tekniknya. Untuk itu Anto pernah menghabiskan waktu setengah jam demi mendapat ikan berbobot enam kilo untuk sampai di tempatnya. Terasa lama, tapi itu harus dilakukan jika ingin mendapat kepuasan.

“Kalau langsung ditarik, ikannya bisa sobek, terus lari. Ikannya perlu dibuat cape Mas. Di biarin dulu, muter kemana-mana. Kalau dia sudah cape gampang.” Urai Anto memaparkan penguasaan tekniknya.

Pancingan mat Gondrong bukan saingan pancingan garong. Jika ikan diibaratkan pendapatan, bisa jadi pendapatan mat gondrong pas-pasan sesuai dengan upah minimun regional buruh-proletar di Indonesia, kasihan.

Mat Gondrong memang seadanya. Lelaki yang tidak memiliki perkerjaan tetap ini didorong kondisi untuk meminimalisir modal demi menjalankan kesukaannya. Bila pancing yang dipegangnya adalah pancing yang murah, maka untuk umpan ikan ia tidak perlu mengeluarkan modal.

“Umpannya pake ulat belimbing,” kata dia sambil memperlihatkan puluhan ulat belimbing yang disekap di dalam botol mineral. “Nggak perlu umpan yang aneh-aneh. Cukup ini aja.”

Seperti Air dan Api adalah lagu yang dibawakan dengan baik oleh David Naif untuk kisahkan perbedaan kepribadian antara dua kekasih, seperti itu pula umpan andalan mat Gondrong ketika dia menjelaskan umpan yang digunakan dalam sebuah pertandingan.

“Paling nggak harus keluar Rp. 50.000,- 200.000,- buat umpannya.”

“Mahal amat?”

“Ya iya bahannya aje keju, telur, susu ubi, jagung manis, terus pake cairan wangi pandan.” Mat Gondrong menjelaskan panjang lebar, “Pake bau amis daging tuna. Cairannya ada 6 jenis. Ngegunain cairannya harus ditakar pake suntikan. Nggak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit. Makanya harus pake suntikan. Udah gitu di belender kayak buat kue. Ada juga nyampurin make telur semut terus diseduh supaya nggak basi.”

“Aneh aja. Apa nggak cukup pake roti?”

Mat Gondrong ketawa, “Kalo niatan menang lomba harus gitu! Kalau make roti mana bisa menang? Kalau umpanya udah bagus, ngolahnya pas yang ikut lomba bisa dapet banyak ikan. Biasanya dari jam 08.00-16.00 dia bisa depet 20-40 kilo!”

“Tetep aja mahal.”

“Namanya juga ngejar hadiah.”

“Segitunya. Emang hadiahnya apa?”

“Mancem-macem. Lomba yang terakhir gua lliat, juara I dapet mobil Juara II mobil juga. Juara III mobil juga.”

“Pantes. Terus, gimana nentuin juaranya?”

“Biasanya juara satu buat yang ngedapetin ikan 10-15 kiloan. Juara dua, yang paling banyak dapet ikan. Juara tiga gitu juga. Ikannya dikiloin.”

Tiket lombanya di atas gaji kasir bank lulusan S1, “dua juta setengah,” kata mat Gondrong. Pesertanya mencapai ratusan orang. Jadi wajar saja jika hadiahnya wah, dan sedikit ‘wajar’ pula kalau pesertanya menggunakan dukun untuk membantu kemenangannya.

“Umpannya dibacain.” Mat Gondrong nyelonong, “tapi gua kagak percaya gituan. Mancing untung-untungan! Kalau juara ya juara kalau apes ya apes.”

“Kalau ada yang make dukun, berarti ada yang ngegangguin orang supaya gak menang lomba dong? Pernah ada berantem?”

”Gua gak pernah ngeliat yang lomba berantem. Panitianya udah matok. Ada lapaknya. Semua dibagi-bagi. Lu mancing di sini, lu mancing di sono.”

Lomba yang pernah diikuti mat Gondrong tentunya bukan lomba selevel itu. Dengan pendapatan yang tidak pasti, bisa dikatakan edan kalau dia ikut serta. Karenanya, mat Gondrong cukup puas dengan memancing di danau. Berlomba dengan dirinya sendiri. Dan kalau dia suntuk, mat Gondrong pergi ke naiki kereta menuju kolam pemancingan di Bogor. Di sana ia nongkrong seharian di depan kolam.

“Bayar?”

“Cuma lima belas ribu. Nggak rugi. Gua bisa dapet ikan banyak.”

“Bayarnya nggak pas udah selesai mancing? Ikannya dikiloin baru bayar?”

“Kalau gitu ngapain? Rugi! Mending beli ikan di pasar.”

“Kan nggak ada seninya?”

Mat Gondrong tertawa mengiyakan. Lalu obrolan pun berlajut. Ia mengeluh mengenai ikan yang di dapatkannya akhir-akhir ini.

“Di sini (di danau UI) kalau malem suka ada yang ngejaring ikan. Gua pernah liat, empat atau lima orang ngejaring. Dapet puluhan kilo. Kalo gini terus gimana?”

“Nggak di marahin satpam?”

Mat Godrong gelengkan kepala. Ia tidak tahu siapa yang melakukannya, namun menurut pemancing yang tak mau disebut namanya, “Yang ambil ikan pake jaring anggota, marinir Mas!”

Kalau urusannya memang benar dengan pemilik senjata, pantas jika penjaga keamanan tidak berkutik. Kami pun berusaha memancing mulut mat Gondrong.

“Wah, kalau gitu mending ikutan-ikutan nangkep ikan pake jaring!”

“Ngapain?” mat Gondrong lugas bertanya. “Kalau gua sih mancing buat seneng-seneng. Kalau mereka (dia tidak mengetahui siapa yang menjaring) buat nyari uang.”

Jawaban itu menguatkan statement mat Gondrong saat ditanya mengapa ia tidak mengikuti cara penduduk sekitar kampus: mengikat tong besar (empat buah) dengan tambang dan kayu untuk mencari ikan di tengah danau.

Ia tidak tertarik untuk melakukannya. “Malas. Panas!” kilahnya. Bagi mat Gondrong memancing hanya sekedar hoby. Kegiatan itu bahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan suplai protein rumah tangganya. Ikan yang di dapat biasanya ia bakar bersama kawan-kawannya. Di samping mengikat hubungan perkawanan, dengan memancing mat Gondrong mengaku mendapat kesabaran. Katanya, ia jadi tidak gampang marah kalau ada orang yang membuat masalah. Namun apakah ia bisa menahan emosi, mengandalkan kesabaran ketika berhadapan dengan istri yang tidak menyukai hobinya itu?

Kita tidak tahu, yang jelas, apa pun kekurangan mat Gondrong, setidaknya ia melihat sisi positif atas kegiatan yang dilakukannya. Setidaknya ia menjadikan sisi positif itu sebagai alat untuk hadapi hidup yang semakin hari semakin gersang.

Menghampiri akhir tulisan ini, di tengah-tengah harga kebutuhan pokok dan suplai protein kedelai yang tinggi dengan cadangan yang tipis sementara uang sangu kiriman tak begitu bisa diandalkan, nampaknya kau bisa ikut memancing, temani mat Gondrong sambil menunggu ikan untuk kau makan.

Jika kau merasa tersinggung karena kau memiliki uang bulanan yang dianggap unlimited, tak terbatas, maaf saja, jangan diambil hati. Tapi, demi kebaikanmu cobalah untuk habiskan waktu luang, memancing di tepi danau sana. Siapa tau kegiatan murah meriah ini bisa menggantikan kencanmu yang semakin tidak sehat, atau mungkin memancing bisa kau jadikan pengalih kecanduan terhadap game online yang membuatmu gelisah. Atau siapa tau saat memancing kau yang berasal dari fakultas MIPA UI bisa seperti Archimides yang usai berhubungan dengan air menemukan rumus sambil mengatakan insight eureka! atau bahkan menemukan kedamaian jiwa: mendapatkan ‘moksa’ meraih hakikat dan makrifat tanpa harus meninggalkan syariat.

Mungkin saja. Bisa saja.

0 komentar:

be responsible with your comment