Kejutan (Bab 28)

Posted: Jumat, 24 Juli 2009 by Divan Semesta in
7

Setelah kepergian mereka ke terminal, Riang dan Taryan kembali kepondokan. Mereka mengubur rapat apa yang telah mereka lakukan beberapa minggu yang lalu. Kedua orang itu menganggap penghuni pondokan tak mengetahui apa pun mengenai apa yang terjadi. Riang dan Taryan tidak mengetahui, keluasan jangkauan indera penghuni pondokan melebihi perkiraan yang mereka sangka.

DI ATAS PUNUK BUKIT, langlang burung pipit sibakan awan ikal layaknya bulu domba. Pipit itu membumbung tinggi di jalur bebas tanpa hambatan. Dari angkasa terlihat bebukitan yang berseni di arsir angin. Sebuah kotak terletak di tengah ruang hijau terbuka. Jauh dari kotak yang merupakan kompleks pondokan dan sanggar itu seliris garis putih yang merupakan air terjun tampak berasap
.
Pagi ini Riang dan Taryan akan meniti bebukitan, memotong susunan karang, melewati air terjun tersebut.

Ransum yang dimasukan Riang ke dalam tas terlau banyak. “Tidak usah terlalu banyak,” tegur Bentar. “Di sana banyak ikan, lagipula malam ini kita pulang.” Bentar menunjuk pepohonan yang bergerombol.“Di sana hutan kopi! Jangan dulu masuk ke dalamnya. Tunggu aku tepat di depan hutan kopi itu.”

Taryan masih mencari cacing di tanah gembur dekat sanggar, saat Riang menuruni tangga bata. Melihat Riang melangkah semakin jauh, ia segera mengikat daun talas menggunakan serat bambu. Geliat cacing yang berada di dalam lipatan daun membuat tangannya geli. Taryan berlari. Ia bersiul menikmati pagi yang bergizi.

Kawasan di luar pagar sanggar merupakan kawasan gelap, sebuah wilayah tera incognita bagi mereka yang tak pernah berjalan jauh semenjak hidup di pondokan. Matahari membuat pori-pori kedua orang itu hangat. Keringat bermunculan sekecil titik lalu membesar menjadi jentik-jentik dan menggembung sebesar biji jagung. Saat keringat di pori-pori meleleh Riang dan Taryan sampai di hutan kopi. Cuit, cuit suara burung dan kepak sayapnya terdengar jelas. Ada gemericik air. Suaranya tak begitu jauh. Riang istirahat di atas rumput, sementara Taryan lebih tertarik melihat aliran sungai. Ia menghilang.

Baru saja Riang menguap, sebuah teriakan histeris terdengar “Masya Allah Riang! Masya Allah!”

Riang melupakan kantuknya. Ia berlari searah dengan tempat menghilangnya Taryan. Ia melihat aliran sungai. Merah bertebaran di mana-mana. Taryan tergeletak, di dahan pohon. Riang memungut ranting. “Sialan!” umpatnya. Ia melemparkan ranting di tangannya kuat-kuat. Taryan mengikik. Ia membalasnya lemparan itu menggunakan jambu air yang menggunduk di dalam genggaman tangannya.

Pohon jambu air berbuah lebat. Buah-buahnya berjatuhan ke tanah. Ada yang busuk, namun sebagiannya yang masih segar membuat liur menetes. Riang tergoda untuk memanjat. Ada saja jambu yang jatuh ke sungai setiap Riang menggoyang dahannya. Kedua orang itu mengantungi dan memakan jambu air liar sampai puas.

Fred tiba lebih dulu di pelipiran hutan kopi. Ia berteriak. Teriakannya disambut Riang dan Taryan lalu ketiga orang itu menghabiskan hampir sebagian jambu air matang yang tumbuh di pohon. Setengah jam kemudian, Bentar dan Eva sampai di tepian hutan. Taryan menyambut mereka dengan tingkah laku monyet, menyorongkan jambu air yang ia masukan ke dalam serokan.

Memasuki hutan kopi perubahan terasa. Hawa menjadi segar. Hutan kopi yang mereka masuki adalah refrigerator alami. Pepohonan rapi berjejer. Tak ada biji-bijian yang menempel di dahannya. Hutan ini mandul, menopause, tak produktif lagi. Pohon kopi terlihat diselang selingi tepus, semacam obat alami pereda panas. Di tengah jalan, Riang yang berada di depan rombongan menemukan onggokan arang. Ada tiga batu mengepung kayu yang sudah mengitam. beberapa jam yang lalu beberapa orang melanjutkan mematikan bakaran, mematikannya dan meninggalkan hutan kopi. Mereka terus berjalan. Cahaya semakin terang di depan. Aliran air, --yang semenjak pertengahan hutan menghilang- -, terdengar kembali suaranya. Rombongan itu keluar dari hutan.

“Ini kebun, bukan hutan!” protes Riang. Wilayah itu hanyalah kebun kopi yang menyendiri memisahkan diri.

Bentar yang saat itu tengah mencabut tanaman rheumason tak mau ambil pusing. Didekatkanya akar tanaman pada Eva. Hidung perempuan itu blong. Suara guruh terdengar. Tebing batu basah. Percikan air tanah merayap di dinding lalu jatuh. Tebing batu itu ditumbuhi lumut dan didominasi tanaman yang lumrah dijadikan tanaman pagar yang merambat seperti jenggot. Tanaman itu tampak subur menutupi dinding selebar lima puluh meter. Tinggi tebing batu yang mereka lewati sulit diprediksi ketinggiannya.

Memasuki jalan batu yang licin berair, beberapa tanaman, merunduk menahan terpaan air. Pepohonan yang membusuk, tumbang di samping jalan. Tanaman-tanaman tropis bergoyang-goyang oleh angin deras yang menghempas dari arah selatan. Ada gemuruh dalam kesunyian, terkadang menjedar-jedar menakutkan.

Keluar dari tebing mereka masuk ke dalam ruangan terbuka. Ada raksasa di tempat itu. Sebuah air terjun yang megah tampak di hadapan. Air liurnya yang putih, menimpa bebatuan mengukir salah satu batu membentuk cincin-cincin besar. Di hadapan Raksasa putih mereka istirahat sementara Eva bergerak menaiki puing-puing bebatuan, menyeberangi aliran air, menuju sebuah pondok kayu. Bentar menyusulnya.

Air terjun itu pasti sudah ada sejak zaman purba, mungkin pernah dijadikan tempat minum stego dan tyranosaurus, menjadi tempat menggembleng kesaktian pendekar zaman dulu, dan pernah dibalikan oleh satu pukulan, seperti yang dilakukan Ryu dalam Saint Saiya yang sering Riang tonton di Yogya saat SMA. Air terjun itu memiliki panorama yang indah. Akar-akar yang kokoh dan pohon-pohon raksasa yang bergerombol mengelilingi air terju itu mengesankan penjara alam yang indah. Di beberapa sisi tebing, akar-akar yang kokoh, menjadikan bebatuan menjadi bongkahan. Di pertengahan tebing kiri, sebuah akar sebesar diameter phyton tiba-tiba bergerak, menjulur ke bawah. Seorang lelaki turun menggunakan akarnya. Baju lelaki itu berkibar. Sampai di bawah, lelaki itu masuk ke dalam kolam yang dingin. Badannya ditempa curahan air dari ketinggian puluhan meter. Riang tahu rasanya tubuh ditimpa air dari ketinggian belasan meter. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Wajahnya serasa ditampar sandal jepit. Riang melihat tubuh lelaki itu memerah, tetapi ia tak mendengar erang atau goyangan tubuh yang mengesankan lelaki itu kesakitan.

Riang tidak sadar, saat dirinya melihat lelaki itu wajah Fred mendadak berubah. Lelaki itu mencemari udara di sekitar dengan tatapan yang memangsa. Fred beringsut perlahan, mencari kesempatan. Suaranya mengalahkan deru air.

“Tahu tidak?” Fred mencolek tulang iga Riang, kasar.

Riang berpaling.

“Eva,” Fred menunjuk, “wanita itu tengah membuat feature mengenai keyakinan tradisional setempat untuk majalah luar. Kau tahu fokus tema yang diangkat dalam tulisan Eva?”

Riang tidak tahu.

“Mengenai pertemuan antara Adam dan Hawa.” Fidel mendekatkan mulutnya. “Kau tahu di mana nenek moyang manusia itu bertemu?”

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Muncul di saat yang tidak tepat. Riang ragu menjawabnya.

“Di Batu Jajar?” jawab Fred.

Adam bertemu Hawa di Arafah. Guru agama Riang yang mengatakannya.

“Kau tahu, Yang?” Fred menyoodorkan bibirnya yang berubah membentuk corong.
Riang mana tahu.

“Adam turun ke dunia tidak pakai kolor. Tidak pakai cangcut!”

Seperti seks, prostitusi, kondom, dan kelamin, maka cangcut dan kolor adalah sebuah kode. Menyebut salah satu di antaranya akan membukakan kolektif ingatan yang diterpakan koran kuning yang memiliki kelainan dan Chomsky menyebut cara yang sudah dipraktikan di Timur Tengah mengenai term terorisme dan radikalisme sebagai American Ideological system. Riang tidak seideologis itu. Pikirannya Riang merah jambu. Cabul Ideological system Riang berdering-dering. Ia berkhayal, jika Adam tidak menggunakan cawat bagaimana dengan Hawa?

“Kau tahu Yang?!” Fred mengejutkannya lagi. “Kolor Adam terbuat dari daun talas! Adam menggunakan kolor daun talas! Kau tahu?!”

Riang mengikik. Cabul ideological systemnya masih berbunyi. “Gatel dong!” katanya.

“Ya jelas! Bagian vitalnya Adam beruntusan.” Fred tertawa. “Tahu sendiri, pohon talas zaman purba sebesar apa. Getahnya ratusan kali lebih gatal ketimbang pohon tales zaman sekarang!”

Fred sorongkan mulutnya di daun telinga Riang. “Kau tahu siapa yang membuat anu Adam gatal?”

Dalam permasalahan seperti ini, Riang tangkas. “Daun talas!” katanya bahagia.

“Euhhh!” Fred kecewa. “Kan aku bilang siapa, bukan apa.”

Riang tampak harus kembali ke zaman SMA.

“Kau tahu siapa?!”

“Siapa?!”

“Yang…” Fred berahasia. “Yang buat titit Adam gatal-gatal itu Tuhan! Tuhan sekalian alam!”

Fred jadi tampak menakutkan. Ia terlihat berubah. Riang melihat giginya yang kuning bertambah. Kerongkongannya seolah berubah menjadi gua Selarong.

“Lu tahu Allah buat Adam pakai apa?” Fred menteror.

Riang yang masih terkejut, belum bisa menerima perubahan itu menjawab lurus. “Pake kun fayakun.” Riang teringat kembali guru SMA-nya. Ia belum sanggup menahan pertanyaan yang datang. Ia masih merasa pertanyaan itu seolah tak pernah ditanyakan. Ia merasa dirinya bermimpi.

“Salah! Mana ada kun fayakun! Adam diciptakan… ya… ya…” Fred meminta Riang untuk mendekatinya, “sini…sini Aku bisikin lagi!”

Riang memberikan kupingnya.

“Adam diciptakan dari sperma tuhan! AIR MANI ALLAH!”

Riang mental sepuluh meter. Membentur bongkahan batu besar. Ia seakan merasakan lelaki yang berada di bawah air terjun mencabut akar tumbuhan dan menggunakan akar itu untuk mencambuknya.

Riang step (lumpuh).

Dalam kondisi itu, Fred mengetahui pada saat seperti itu siapa pun sukar untuk memulihkan diri. Kesempatan itu ia gunakan benar. Fred mendongeng. “Waktu zaman Pleistosen dulu, tuhan sendiri. Setelah sekian tahun, ia tak tahan. Tuhan tak bisa menahan libido-nya! Ia menggesekkan kemaluannya ke batu karang. Digeseknya sampai bucat! Sperma-Nya muncrat! Dia puas. Tuhan puas! Ia yang maha mengetahui terbang ke angkasa. Di tengah-tengah perjalanan tuha pulang ke surga, seekor biawak betina datang. Si biawak ngaso di batu tempat sperma Tuhan keluar. Si biawak tidak sadar, jika sperma tuhan merangkak mendekati kelaminnya yang mangap-mangap! Biawak itu hamil! Tiba-tiba ………… seperti katanya penciptaan dunia, biawak itu hamil! Dan kau tahu siapa yang ada di perutnya?! Kau tahu siapa?! …. ADAM Yang!!! Cangkokan sperma tuhan itu berwujud Adam!” Fred tersenyum mengerikan. Ia mengambil kesimpulan. “Jadi… kalau ada yang bilang Adam datang dan tercipta tiba-tiba begitu saja turun ke dunia, itu salah! Salah total! Salah hu akbar! Bagaimana bisa Adam lahir dengan sendirinya?! Ibunya Adam itu biawak!!!”

Perkataan Fred membuat Riang ingin bunuh diri. Marah dan rasa tidak percaya jika Fred yang mengatakan itu, membuat Riang tak bisa berbuat apa-apa. Riang menggapai-gapai, melarikan pandangannya, dari pandangan yang memangsa.

Fred terus tancapkan keraguan di pikiran Riang.

Seperti halnya menghadapi gempuran perkataan Mahdi di Yogyakarta, Riang menutupi pendengarannya, tapi gempuran itu tidak serta merta hilang. Gempuran itu membekas di dalam pikiran.

Riang memaksa diri melihat Bentar dan Eva turun dari pondok kayu. Kedua orang itu mendekati lelaki di bawah air terjun tanpa mengganggu. Bentar membuka payung untuk menjaga lensa kamera dan Eva menembaknya. Mereka berjalan, menuju samping air terjun, menaiki akar lalu menggunakan isyarat tangan.

Riang melompat. Ia berjalan tak mempedulikan Fred. Sekitar sepuluh meter menjalari akar, Eva dan Bentar menghilang di telan bebatuan. Kedua orang itu masuk ke dalam lorong hijau dihiasi dedaunan dan bunga-bunga terompet berwarna ungu. Lorong yang cukup panjang dengan kemiringan tigapuluh derajat itu memudahkan seseorang untuk sampai di atas air terjun raksasa.

Riang menyusul Bentar dan Eva, ia tak menyadari jika Taryan meneriakinya. Riang terus melangkah. Sampai di lorong hijau, menuju ujungnya, lalu berbelok ke kanan dan menyibak dedaunan yang menutupi jalan. Riang menemukan Bentar dan Eva istirahat di sebuah kebun teh tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya..

“Di sekitar wilayah ini,” papar Eva, “ada sebuah masyarakat yang mengakulturasikan kepercayaannya dengan kekuatan alam.” Eva tersenyum pada Riang. “Kau melihat orang yang turun memanfaatkan akar Yang?”

Riang diam. Ia menyeka wajahnya.

“Butuh tenaga besar untuk turun dari sana. Apalagi jika harus menaikinya,” ujar Eva. “Lorong yang kita masuki tadi tersambung hingga ke atas air terjun. Di atasnya kita bisa menemukan sebuah arca yang dililiti akar pohon yang menjulur hingga ke dasar air terjun. Naik dan turunnya lelaki yang kau lihat di air tejun tadi adalah ritual peribadatan.” Eva sedikit bingung. Riang tidak memberinya respon.

Bentar melirik. Ia melanjutkan penjelasan. “Masyarakat yang bisa kita temui satu kilo ke arah tenggara dari tempat ini Yang … masyarakat di sana percaya, di bawah air tejun yang kita lewati tadi Adam dan Hawa bertemu!”

Dar! Mendengar pertemuan Adam dan Hawa halilintar menyambar! Pantat Riang hangus! Ke dua orang itu melihat hentakan tubuh Riang. Riang tak bisa ditanya. Ia mengasingkan dirinya dalam perjalanan. Ia diam. Perjalanan yang panjang jadi tak terasa saat konsentrasi pecah. Jalan setapak terus menanjak, menanjak dan menanjak hingga akhirnya Riang menyadari kakinya menginjak hamparan rumput Jepang. Tampak sejajar dengan matanya rumah mungil bergaya arsitektur Jepang berdiri. Jendela-jendela kotak mendominasi. Genting rumah terbuat dari rumbia hitam. Tak ada pagar, hanya rumput yang menandakan batasnya.

Di samping rumah mungil itu, ratusan mentimun mengintip siap petik. Bunga kol merekah, warnanya hijau tua. Ada kolam air deras pinggir lahannya. Pada muara kolam itu ditaruh roda besar. Bunyi gerakannya memecah hening. Sebuah kabel disambungkan ke dalam rumah. Roda itu dijadikan pembangkit liistrik oleh pemiliknya. Rombongan orang dari pondokan berjalan menuju pintu utama rumah. Tiga buah kursi, satu meja dan sebuah kursi malas, bergoyang-goyang. Seseorang baru saja duduk di atasnya.

Bentar mengenal baik rumah kayu ini. Ia mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Tiga kali ia rasakan cukup. Bentar masuk ke dalam dan tidak menemukan seorang pun di sana. Tak berapa lama kemudian suara gebrakan terdengar. Dua buah keranjang yang dipenuhi wortel dan beberapa tomat jatuh di atas papan kayu.

Seorang berbadan besar menunduk, wajahnya ditutupi caping. Sebilah clurit tergantung di pinggangnya. Ia mengangkat kepala. Waluh! Lelaki gagah itu terkapar di atas lantai. Ia lagsung mengambil air pada botol yang terletak di tengah tubuh Taryan dan Eva, tanpa meminta izin.

“Lelaki itu itu di mana?” Tanpa basa-basi Bentar langsung bertanya padanya.

“Masih di kolam!” jawab Bentar padat.

“Di hulu sungai?”

“Kemarin air meluap. Ada kemungkinan bendungan di hulu roboh. Dia pulang jika bendungan sudah dibenahi.”

Bentar tersenyum. “Mudah-mudahan anak ini bahagia!”

Anak ini? Siapa yang dimaksud anak ini?

Obrolan berakhir. Maknanya hanya diketahui beberapa orang. Waluh lantas mengambil beberapa buah wortel. Ia mencucinya di dalam kolam. Eva masuk ke dalam rumah kayu menyiapkan makanan, sementara Riang dan Taryan mengitari kolam dan halaman luas yang digunakan Waluh mensupport Sup Not Bomb. Jika tanah ini tidak menghasilkan ia mendatangkan bahan makanan dari lahan lainnya di Lembang atau Pangalengan. Waluh mengelola lahan, mengkomersilkan ke swalayan untuk mensubsidi pasokan bahan makanan dan kegiatan dan membuat jaringan antar pemilik lahan. Jaringan itu ia gunakan untuk menjamin distribusi makanan dari pemilik lahan bagi yang membutuhkan.

“Satu kilo ke arah tenggara ada lahan seluas tiga hektar milik Sup not Bomb. Jika kalian jalan lagi sekitar dua kilo kalian akan menemukan lahan pertanian yang luasnya enam kali lapangan bola.” Tunjuk Bentar pada Taryan dan Riang. “Pemilik lahan itu petani tua dari Jakarta. Dia pendukung berat SNB. Coba lihat titik cahaya di bawah sana,” Bentar menunjuk ke arah lembah, “itu cahaya rumah petani miskin yang juga mendermakan hasil pertanian yang tak seberapa untuk panjangkan usia saudara kita.”

KETIKA SORE JEMBATANI MALAM Riang sudah membenahi denyut nadinya. Ia menjauhi Fred untuk sementara. Setelah maghrib lewat beberapa orang memasuki rumah. Tiga orang wanita seusia Eva. Sisanya laki-laki semua.

Beberapa saat kemudian, anggota kumpulan itu bertambah. Seorang lelaki jangkung datang. Dari perawakan, rambut, wajah, dan bola matanya, jelas ia bukan berasal dari ras yang sama dengan orang-orang yang berkumpul sebelumnya. Ada sesuatu yang menyatukan mereka di sini.

Lelaki jangkung itu memperkenalkan diri. Dia datang sembunyi-sembunyi, menggunakan paspor untuk wisata ke Bali, menyeberang dan akhirnya sampai ke tempat ini. Eve menterjemahkan. Chris berharap kedatangannya bisa diterima.

“Di Inggris saya bertemu dengan Eva. Saya sempat berdiskusi mengenai keadaan politik Indonesia. Saya di sini bukan ingin ikut campur. Saya datang, hanya ingin berbagi. Saya yakin Your’e experiences beyond mine, pengalaman kalian jauh melampaui pengalaman saya. In this spot kita bisa saling memahami, berbincang, mengisi.” Chris diam merumuskan apa yang hendak ia sampaikan. “Kita sama-sama memahami, saat ini politik Indonesia tengah memanas. Suasana di negeri ini keruh. Eva bilang, pemerintah akan menindak siapa pun, yang dianggap berusaha menggulingkan pemerintahan .... maaf… di mana pun saya berkunjung, aparat pemerintah dunia ketiga selalu menjadi antek kapitalisme global. Perusahaan transnasional yang dibangun pemilik modal dunia, melakukan kerjasama dengan pemerintah negara ketiga. Mereka adalah penguasa yang sesungguhnya.”

”Mengatas namakan stabilitas penanaman modal, mereka membuat kebijakan yang menghantam gerakan-gerakan bawah tanah. Mereka takut pada jaringan-jaringan kecil yang satu saat nanti akan membesar menjadi rival yang menakutkan. Jaringan-jaringan itu mereka putus menggunakan cara yang halus hingga represi. Entah sudah berapa ribu anak muda hilang karenanya…”

“Saya mendengar, saya ikut bersimpati. Kita kehilangan kontak akibat kehilangan terlalu banyak pemuda-pemuda yang memahami kekuatan informasi. Komunikasi harus kembali di bangun. Teman-teman di luar berusaha membantu. Di Filipina, Australia, Singapura, Malaysia, Amerika, mereka mensupport kegiatan yang kalian lakukan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kalian tidak sendiri saat ini.”

Seseorang menjelaskan keadaan. Bahasa Inggrisnya terpatah-patah.

“Gerakan-gerakan Leninis mencuri start. Organisasi-organisasi underbow mereka lebih dulu turun. Gerakan-gerakan pembangkangan yang di organisir secara terselubung, mulai bergerak. Kita mendengar di Garut, di Cianjur selatan, Sukabumi, di Tapos, muncul demonstrasi-demonstrasi kecil. Mahasiswa-mahasiswa pun, sudah mendesas-desuskan munculnya revolusi di Jakarta. Mereka percaya, rekayasa sosial berawal dari kerjasama antar gerakan, yang meski memiliki landasan berbeda tapi untuk saat ini memiliki tujuan yang sama. Gerakan mahasiswa dan gerakan Marxis memiliki common enemy yang sama: tumbangkan rezim yang telah lama berkuasa. Apa kita masih harus tinggal diam?”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka!” Tegas yang lainnya.

Chris tak mau mendominasi pembicaraan. Ia menyadari, disini, ia tidak datang untuk menyetir apa yang seharusnya dilakukan. Ia hanya seorang tamu saja. Tak lebih dari itu.

“Untuk saat ini, kita tidak akan bergabung dengan mereka.” Kali ini Waluh yang bicara.“Kawan-kawan mahasiswa dan gerakan Stalinis belum memiliki dasar yang kuat untuk menggantikan sistem. Terlalu cepat jika revolusi sistemik terjadi.”

“Jika bersikukuh, yang nanti terjadi, revolusi prematur seperti peristiwa Prambanan. Revolusi seperti itu mudah dimatikan antek-antek kapitalis. Revolusi terlalu dini akan tumpas. Pikiran masyarakat belum berpihak secara sadar mendukung revolusi. Mereka hanya faham kalau mereka disusahkan. Tak lebih dari itu. Masyarakat hanya memamah propaganda.” Waluh melirik,” bagaiman telaah kolektif anarki di tempatmu?”

“In England our movement running by methodology of education. Tak ada propaganda, jika propaganda itu hanya dilakukan sekedar membakar amarah. Rakyat akan bersimpati dan tidak akan balik menyerang, suatu saat kami yakin masyarakat akan bergerak atas pemahaman, bukan propaganda. Proses pendidikan harus dijalankan. Kami menganggap satu-satunya cara berubah adalah pendidikan. Revolusi dan propaganda, cara pintas pendidikan jalanan, tidak akan menggantikan apa pun selain kekacauan. Kami tidak bergabung dengan gerakan seperti itu. Kami anarki pasifis.”

“Tak ada yang dikhwatirkan,” seseorang menambahkan, “lagipula yang hanya mereka siapkan hanya atap bukan bangunan berpikir yang kokoh. Mereka masih lemah. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kekuatan mereka bahkan belum samai kekuatan, kala mereka menyetir Soekarno.”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka kan?” Seorang wanita memastikan.

“Untuk apa?” Waluh mengambil ancang-ancang, “hanya sekedar untuk memamerkan dan berkata bahwa kita bergerak? Tidak, kita tidak akan tercebur dalam kolam kejatuhan yang sama. Dulu, dalam Revolusi Jerman 1918, ide-ide anti-negara telah diletakkan ke dalam praktiknya. Berbagai anarkosindikalisme didirikan dan dideklarasikan, bahwa mereka independen dan memiliki otonomi penuh. Tapi kemudian otonomi ini dihancurkan aliansi pemerintah komunis bersama milisi-milisi fasis yang pro negara dan kaum sayap kanan. Semua bersatu menghancurkan anarkosindikailis.”

“Pada tahun 1921 ketika pelaut Petrograd bersama kaum buruh menduduki kota Kronstad, kita dibantai habis-habisan oleh Tentara Merah Bolshevijk dan Trotsky dengan angkuhnya berkata, pada akhirnya pemerintah Soviet, dengan tangan besi, telah membawa Russia lepas dari anarkisme! Padahal, dulu, seolah-olah mereka mendukung kita dalam tuntutan-tuntutan revolusinya. Saat ini kita memahami yang terjadi. Tetap di tempatnya. Kita tetap melakukan hal yang biasa kita lakukan! Kita tak akan melakukan kekerasan, sebab kekerasan adalah sebuah bentuk penguasaan dan pemaksaan! Kekerasan pun hanya akan menyebabkan perbudakan,” Waluh mulai mempersuasi. “Mungkin diantara kita ada yang memiliki prinsip yang berbeda. Tapi tolong, kita harus stigma yang telah di bakukan Kapitalisme terhadap Anarkisme!”

Ada kemelompongan di dalam. Eva kemudian mengajak mereka semua untuk mendengarkan Chris kembali. Lelaki itu menceritakan secara detail bagaimana kegiatan-kegiatan yang dia lakukan bersama gerakannya untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Ia mengambarkan bagaimana langkah yang dilakukan teman-teman di Inggris untuk memperkuat masyarakat dan komunitas menggunakan konsep anarkisme. Untuk menciptakan sebuah dunia dimana orang-orang datang bersama-sama membentuk tatanan masyarakat baru, yang bebas. maka kita harus melakukan hal-hal yang alamiah. Anarki adalah kegiatan membangun diri dalam bentuk paling sederhana: menolong tetangga disekitar, menanam sendiri makanan, mendukung aksi-aksi pemogokan, hingga demonstrasi di dimana pun juga sebagai upaya penentangan terhadap konfrensi WTO; sebagai tanggapan atas diberlakukannya kebijakan-kebijakan pasar bebas, menolong menjagakan anak, menjawab apabila ditanya, hingga tidak menjadi tipikal seseorang yang diharapkan oleh sistem. Anarki adalah kerjasama yang saling menguntungkan, ko-operasi dan tidak menyerahkan hidupmu pada orang lain untuk mengaturnya.

“We trying to keep our tradition. Do it yur self. D. I. Y.” ujar Chris. “Saya berbangga ketika melihat teman-teman berhasil melakukan hal kecil seperti SNB tetapi berarti besar atau seperti yang dilakukan petani-petani di Brazil. Ratusan dari ribuan petani yang mengorganisir diri dalam MST (organisasi gerakan para petani hamba) menduduki lahan-lahan pertanian untuk kemudian mengolah Lahan secara kolektif. Tahun 1994 lalu, kaum Zapatista memapankan zona otonomi di berbagai desa di daerah Chiapas, Meksiko. Kami berpikir, untuk terus tularkan tradisi resistensi dan perlawanan. Mereka mengangkat senjata. Kita mungkin berbeda pemahaman dalam mengartikan anarkisme tetapi kolektif Chiapas menjalankan tradisi pendidikan dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Saya pikir kita semua faham bagaimana anarkisme diwujudkan.”

Riang dan Taryan tak bisa ikuti perbincangan itu. Keterbatasan berbahasa dan kurangnya informasi menjadikan mereka seperti selada yang kesepian teronggok di pasar swalayan. Mereka tak perlu berharap mengerti sebab inti kedatangan mereka bukan untuk mendengarkan Chris, si bule anglosaxon itu membicarakan ideologi otonomi. Kedua orang itu merasa tak berguna. Ingin keluar dari ruangan rasanya tidak nyaman karena harus meminta izin memotong pembicaraan.

Taryan melihat kegelapan yang ada di balik jendela. Angin dingin masuk ke dalam ruangan melalui pintu. Riang mencuri-curi pandang memperhatikan Fred yang seolah-olah tengah merekam seisi ruangan dengan matanya.

Saat perbincangan mulai melonggar, dari kejauhan suara motor trail terdengar memecah konsentrasi. Situasi yang semula hangat berubah menjadi tegang. Hanya Bentar Eva dan Waluh yang tidak terganggu. Mereka mengenal suara knallpot motor trail itu. Mesin motor berhenti. Langkah sepatu boots beradu dengan tanah. Beban jatuh di lantai. Langkahnya terdengar berat. Pintu dibuka. Cahaya lampu menegur wajahnya kala lelaki itu memasuki rumah kayu.

“Hai Chris,” sapanya. “Di sini terlalu gerah ya,” lelaki itu tersenyum, memandang persatu. “Bagaimana kalau kita santap malam di luar.” Ia membujuk. Dan wajah lelaki itu tiba-tiba menukik. Tatap matanya menyambar ke arah Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!” sambutnya ramah. Bahagia mengerjap di matanya.

Suara itu hanya dikeluarkannya sekali, tetapi resonansinya terasa lambat bagi Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!”

“Riang Merapi … Lama tak bersua,
Selamat datang di gubug kecilku kawan!.”
“Riang Merapi … lama tak bersua,
Selamat datang di gubug kecilku kawan!.
Suara itu?
Suara itu?!




..
.
“Fidel!”

Riang bangun dari duduknya. Ia setengah berlari. Sebelum menubruknya, Fidel mengulurkan tangannya yang hangat di bahu Riang. Dipeluknya rekat. Riang tak kuasa menahan haru. Ia menangis. “Mas Fidel ada disini?”

Fidel melepaskan pelukan, ”ceritanya panjang” Ia meminta izin keluar rumah. Riang mengikutinya. Taryan menyusul berjingkat jingkat padahal tak semestinya ia begitu sebab orang-orang ikut berhamburan keluar, mengambil gelembung plastik dan arang yang ada di gudang belakang.

Bentar menghampiri. Ia meninju pangkal lengan Fidel.

“Hai Petir,” sapa Fidel “Bandrek pesananmu ada di dalam tasku!”

Keakraban itu menimbulkan kecurigaan. “Mas kenal Kang Bentar?!” Tanya Riang.

“Menurutmu?”

Riang diam.

“Lebih dari sekedar kenal,” Fidel menjelaskan. “Dia teman baikku.”

“Kalau Mas kenal, kalau begitu, be…berarti Mas tahu aku ada di Bandung?”

“Sabar,” Fidel tertawa. “Episode kita masih panjang Mas!”

“Panggil aku Riang saja, Mas.”

“Begitu halnya denganku!” Perkataan Riang di makannya. “Jangan panggil aku Mas. Panggil seperti teman-teman biasa memanggilku.”

“Oh ya … Mas … eh Del … eh Mas saja ya?”

Fidel terseyum. “Terserahlah mau panggil aku apa.”

Riang senggol Taryan. “Ini temanku!”

“Mas ini siapanya Riang?” sederhana sekali Taryan bertanya.

Riang sebal dengan pertanyaan itu, tapi siapakah Fidel baginya? Ia hanya bertemu dengannya sekali tetapi pengalamannya bersama Fidel seakan pengalaman seseorang yang hidup dan berteman selama bertahun-tahun. Riang tak bisa menjelaskan. Fidel pun kesusahan dibuatnya.

“Saya? Siapanya Riang?”

Sulit untuk menjawabnya.
Waktu di sandera. Over hang selama beberapa detik.

Riang memutuskan. “Ia penyelamatku di Merbabu. Sudah berapa kali kita bicarakan ini. Kau lupa?!.”

“Temennya Mas Pepei itu?”

“Tepat! Riang itu …” Fidel masih sulit mendevinisikan. “Ya, Riang-ku!” Fidel sedikit lega.

Usai menyeduh minuman hangat, Bentar datang menggoda. Uap bandrek dam kopi membuat orang-orang melupakan tua. Bentar menarik kursi malasnya. “Fidel itu sepupuku.” Ia mengakuinya santai.

“Fidel yang memberitahukan keberadaan dirimu di kota ini.” Bentar pasang tampang tak bersalah. “Sebelum ia pergi ke Isfahan, aku di wajibkannya mencarimu. Taruhannya, nyawa.” Katanya serius. “Kalau aku tak menemukan dirimu…” ia menunjuk Riang, “bisa-bisa aku digergaji olehnya!”

Fidel tertawa.

“Kenapa tak memberitahu kalau mas Bentar kenal mas Fidel sejak lama?” Riang menuntut.

“Itu asyiknya!”

“Asyik darimana!?”

“Asyik pikirkan cara supaya Kau betah di pondokan! Supaya tak balik ke jalan! Aku khawatir kau akan pulang ke Thekelan. Kau hanya akan ke pondokan, seandainya Fidel pulang.”

“Dari mana mas mengetahui wajahku?”

“Memangnya tidak ada kamera foto apa? Waktu kau antar Fidel dan Pepei di Merbabu kau kan di foto!”

Penjelasan itu masuk akal, tapi Riang tetap merasa janggal. “Mas tahu dari siapa aku di Bandung?” Riang menuntut memperkarakan Fidel. Dalam pikiran dia, tak mungkin orang tahu segalanya.

“Aku bertemu orang tuamu di Thekelan.” Fidel menjawab.

“Bertemu orang tuaku?”

“Bukan hanya itu. Aku bertemu bapaknya Kardi.”

“Sekarmadji pernah datang ke pondokan, Mas tahu juga tentang itu?”

“Bentar yang menceritakannya padaku. Itu kebetulan yang luar biasa.”

Bentar menegur. “Yang!”

Riang bingung dengan setelan suara Bentar.

“Maksudmu menyebarkan desas-desus di sekitar pondokan itu, apa?!”

Riang tak siap menjawab. Ia tak memahami, mengapa hampir seluruh perbuatannya diketahui dua orang yang ada dihadapannya. Riang bingung. Wajahnya matang.

Bla…blap…blup, Bentar menjelaskan detail peristiwa yang terjadi pada sepupunya. Fidel tertawa. Ia pun menceritakan bagaimana mitos Merbabu mendongkrak pandangan orang terhadap pemuda yang ada di hadapan mereka.

“Ia membuka hijab informasi!” Fidel menjelaskan pada Bentar. “Ia berhasil memanfaatkan informasi!”

Bentar bersandiwara. Ia marah pada Riang. “Jadi pembelajaran yang kau dapatkan digunakan untuk menipu penduduk di sekitar pondokan?! Jahat kau, Yang!”

Riang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tertawa, dan Taryan, selaku asisten dalam persekongkolan di terminal Dago berusaha membelanya.

“Jahat tapi hebat!” ucap Taryan bersemangat.

Riang bengkak. Wajahnya yang sudah matang dipepes menjadi merah dan kalau sudah gede rasa sebaiknya diam.

Eva dan dua orang wanita lainnya memotong perbincangan. Mereka membawa mangkuk-mangkuk kecap berikut racikan jahe beberapa siung bawang merah dan tomat. Chris ikut menebas daun pisang, melemaskannya menggunakan api bersama yang lainnya. Suasana gembira tiba. Nasi bercampur bumbu-bumbu ikan baker dihidangkan. Chris diberi kesempatan pertama untuk mencicipi ikan bakar. Nasi dan lauk yang dihidangkan itu menyatukan ras. Rasa menghubungkan bangsa. Inilah persaudaraan yang terjalin karena makanan.

DINI HARI, Chris dan beberapa kawan-kawan yang lainnya pulang. Taryan, tak sanggup lagi melanjutkan obrolan. Ia mendengkur pelan sewaktu Riang melanjutka pembicaraannya dengan Fidel.

Riang menumpahkan isi hatinya.

“Aku hampir gila mas,” jelasnya. “Sejak Mas dan Mas Pepei datang ke desa, aku jadi seperti ini…”

Fidel tersenyum. “Kau hendak menuntutku karena itu?”

Riang tiba-tiba mengingat ucapan Fred. “Aku gelisah!” ucapnya.

Fidel mengetahui kegelisahan macam apa yang ada di kepala Riang. Ia hanya menjawab.“Kau sedang mengandung, Yang!” Senyumnya mencair lagi. “Kelahiranmu sudah dekat! Kau akan melompat, melompat jauh ke depan!”

“Apa yang saat ini kau fikirkan menunjukkan eksistensimu! Bahwa kau manusia yang sedang berfikir, manusia yang tengah berusaha menggali makna kehidupannya sendiri!”

“Ada keputusasaan di kala Kau merasa tak mampu menyelesaikannya, ada kegelisahan yang harus ditebus karenanya. Kau tahu Yang … kegelisahan itu ibarat sebuah canopy trail, ibarat sebuah jembatan yang menguatkan arah hidup manusia. Kegelisahan adalah jembatan. Dan jembatan --seperti yang kita ketahui-- bukan tempat kediaman yang nyaman … Tempat kediaman yang nyaman adalah tempat akhir, di mana kita tak perlu lagi menanyakan apa tujuan penciptaan manusia”

“Tapi kegelisahanku?” Riang merajuk. Wajahnya memerah.

“Tidak boleh tidak …” Fidel menunjuk, “manusia, aku, kamu, kita haru melewati jembatan tersebut! Hanya dengan melaluinya kita dapat mencapai tingkatan demi tingkatan di dalam kehidupan! Ketika manusia ingin mendaki tingkatan itu, ia akan menghadapi bermacam ujian! Jika seseorang yang ingin naik tingkat dalam beladiri, ia diharuskan bertanding, menahan pukulan, mengelitkan tendangan. Ia memerlukan kecemasan untuk sampai pada tingkatan, pada sabuk selanjutnya! Jika ujian itu diselesaikan dengan baik, naik tingkatlah ia. Tetapi jika tidak, ia akan terus menerus berada di tempat yang sama! Inilah hakikat dari ujian. Hakikat dari kecemasan dan kegelisahan yang kau alami!”

Fidel menghirup sepertiga udara yang mampu ia tampung. Menghisap dan melepaskannya dengan santai.

“Kegelisahan adalah jembatan menuju kesempurnaan dirimu sebagai manusia… Percayalah Yang! Kau akan melompat jauh! Tinggal menunggu momentum, Kau akan terbang meninggalkan orang-orang disekelilingmu! Kau memiliki potensi yang besar untuk itu! Kau wajib meyakininya! Yakini dalam hatimu! Yakini itu di dalam! Jangan ragukan!”

Ucapan itu membuat Riang adem. Rasanya pas.

“Mas tidak takut gila? Pernahkah mengalaminya?”

Fidel tersenyum.

“Mas ngin terlihat misterius ya?”

Fidel tertawa. Pertanyaan itu tepat sasaran. Fidel menerawang “Ya … aku pernah mengalami ketakutan. Aku tahu rasanya saat kita sudah tidak bisa lagi mengkontrol pemikiran kita sendiri. Aku mengerti bagaimana kecemasan itu membuat pikiran terlalu berdenyar hingga kita merasa direpotkan, bagaimana mencicipi kekhawatiran yang berdentang-dentang, kala kita berada di atas tempat tidur, kala mata kita tertutup… merasa tersiksa dan kita mengharapkan tak akan bangun keesokan harinya …Kadang kita berandai-andai bahwa kehidupan adalah stop kontak yang tinggal kita tekan tombol off. … clik … jika ingin mematikannya, gelaplah semua! Tapi, adakalanya di saat-saat seperti itu kita menjadi takut menghadapi pertanyaan: adakah kehidupan setelah kematian, akankah kita mati dan mati saja menghilang karena tak ada kehidupan lain selain di dunia. Kita tak yakin! Kita merasa tak mampu meyelesaikannya! Kita merasa menyesal dan merasa harus mengutuki diri kita sendiri! …. Inilah …inilah titik kritis. Inilah ambang batas saat kita akan menjadi gila! Tinggal satu langkah. Dan saat ini Riang mungkin sedang berada di ambang batas itu!”

Benderang sekali. Kenyamanan akan terasa jika seseorang mengetahui bahwa dirinya dipahami.

“Yang kau alami itu memang berat Yang… dan semakin diperberat sewaktu lingkungan menvonis kamu! Memvonis bahwa kau tidak memiliki keimanan! … Kau di hakimi! Kau dibeliungi! Kau dipermalukan di hadapan orang lain dan dirimu sendiri! …Mereka jahat! Mereka belum pernah mengalami kegelisahan, tetapi mereka menjatuhkan persangsian pada kita! Mereka bukan mengobati. Mereka tak sadar, jika apa yang mereka lakukan membuat seseorang yang membutuhkan jawaban, menjadi pendiam, menjadi malas untuk membincangkan apa yang ada di dalam kepala karena khawatir orang-orang yang akan kita temui, bakal menghantam kita kembali, menyakiti kita kembali! … Semakin dalam kegelisahan itu datang, semakin tak ada teman untuk berbagi, maka tahukah Kamu apa yang terjadi ketika hal itu terjadi pada orang yang mengalami kegelisahan?!”

Riang menggelengkan kepala. Ia masih inginkan terang.

“Gelisah akan mengeruhi pikiran, menumbuhkan prasangka, saat orang menyalahkan! Betapa menyakitkan saat mendengar mereka menghakimimu, membeliungimu, mengeratmu hingga serpih! Mereka adalah orang yang belum pernah mengalami essensi keimanan yang harus dilalui melalui pergulatan pemikiran! Mereka masih S.D. Dan –mungkin-- selamanya akan menjadi anak S.D.”

Fidel memandang Riang dengan tatapan sayang.

“Kau berbeda! Kau adalah manusia yang berani menjalani kegelisahan itu! Kelasmu tidak akan mentok di sekolah dasar saja. Teruslah naik kelas, sampai ijazah kematian di lekatkan waktu untuk dirimu!”

Fidel tiba-tiba mentertawakan dirinya sendiri. Secangkir kopi tumpah. Apa yang ia katakan terlalu panjang. Penjelasannya terlalu meluber. Terlalu semangat, membuat dia merasakan terlalu berlebihan.

“Mas mengerti diriku.” Riang tak peduli, ia terkesima.

Fidel bernafas lega. “Hanya manusia yang pernah mengalami keggilaaanlah yang mengerti bagaimana rasanya menjadi gila! Dan hanya orang yang pernah gilalah, yang mengetahui siapa yang memiliki potensi menjadi gila!” Fidel berderai.

“Mudah-mudahan kita tidak, ya Mas?”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia.” Fidel bersikukuh.

“Ya … ya! Mas benar!” Riang sok tahu. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia karena Adam pun ada dari ketidakmungkinan, dari ketiadaan!”

“Kau mulai berfilsafat?” Fidel berpikir, “Yang?!”

“Ya?”

“Duluan telur … duluan ayam?”

“Kok jadi main teka-teki?” protesnya.

“Jawab dulu saja.”

”Nyerah Mas!”

“Kok langsung nyerah?”

“Aku tidak menemukan jawabannya. Sudah kupikirkan dari dulu.” Riang ganti bertanya, “kalau begitu jawabannya apa?”

Tanpa rasa bersalah, Fidel mengatakan tidak tahu.

“Masak yang mengajak main tidak tahu jawabannya?!” Riang menuntut.

“Kapan aturannya kalau yang mengajak teka-teki harus tahu jawaban?”

Rian diam. Dia kehabisan ucapan.

“Kukatakan tidak tahu, karena saat itu, saat ayam pertama muncul di dunia, aku belum ada.” Fidel menjelaskan. “Aku tidak menemukan informasi berkenaan dengan siapa yang lebih dulu, ayam atau telur dulu kah, dari sumber informasi yang aku percayai.” Fidel mengungkit sebuah peristiwa. “Kau masih mengingat sumber informasi yang dulu pernah kita bicarakan?”

“Yang kita bicarakan di danau Merbabu lalu?” Riang menggali ingatannya. Tapi ia tidak bisa mengkaitkannya.

“Dalam masalah telur dan ayam aku tidak menemukan sumber informasi yang kupercayai.”

“Masa teka-teki jawabannya seperti itu! Tidak seru!” Riang mencela.

Fidel tertawa. “Kalau mau ramai bolehlah aku berspekulasi. Kemungkinan besar … ayam ada lebih dulu sebelum telur.”

“Mengapa?”

“Adam pengulu manusia berawal dari seorang anak. Begitu halnya dengan ayam. Seperti halnya Adam, nenek moyang ayam bukanlah telur. Tetapi ayam itu sendiri?! Bener!”

“Aku ndak ngerti!”

“Sudahlah.”

Suasana sepi. Trilunan bintang mengkerlip di atas sana. Tiba-tiba langit membuka diri.

Riang menunjuk. “Mas ada meteor…!”

Sambil melihat angkasa ia Fidel berkata.“Sebentar lagi hijabmu akan terbuka!”
Riang melirik ke arahnya. Fidel terus menyenteri angkasa.
Meteor berjatuhan.
Tidak satu.
Banyak sekali.
Ini hujan meteor!
Sebuah kejadian langka.
“Mas … aku ingin menjadi meteor!”
“Bercahaya sebelum meredup. Menjadi seperti mereka!”
“Dalam sekali ucapan Mas.”
“Ya, inilah bahasa batin antar orang gila. Tak perlu lagi penjelasan. Satu kata akan menjelaskan yang menyamudera.”
“Aku mengerti. Aku memahami!.”
“Aku tak meragukan kemampuanmu. Tak usah Kaukatakan itu!”
“Mas?”
“Apa?.”
….
“Apa?.”
“Ndak ...”
“Sudahlah … tidur sana.”
“Aku belum mengantuk.”
“Ya sudah …” Fidel berjalan meninggalkannya.
“Mas … mau kemana?”
“Aku harus memeriksa generator!”
“Aku ikut.”
“Kau tidur saja. Hari-hari kita masih panjang.”

KATA-KATANYA ADALAH HARAPAN. Riang berdiri untuk mengakhiri. Ia ingin berkata bahwa ia senang bertemu dengannya. Bahwa Fidel adalah anugerah. Bahwa dialah yang merupakan satu-satunya harapan. Riang ingin mengucapkan terimakasih padanya. Entah mengapa, Riang ingin mengatakan ia sangat menyayanginya, tetapi hal itu urung dilakukan. Mengatakan rasa sayang pada seorang lelaki memang mengerikan!

Pertengahan malam itu hati Riang meluas … tak bertapal batas … Pikirannya menjadi fluida, meleleh. Tubuhnya menjadi ringan, bersatu dengan alam. Ia merasa ingin terbang.

READ MORE!

Balas Dendam (Bab 27)

Posted: by Divan Semesta in
0

Ingatan mengenai Kubah

Kartu atm di telan mesin. Antrian memanjang di belakang pintu transparan saat penyangga sepeda motor Pepei di turunkan. Helm membuat rambut Riang kusut. Pagi tidak terasa dingin karena tempat itu tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketinggian Thekelan. Kedua orang itu membersihkan tangan dan kaki dialiran air keran.

Masuk ke dalam, suasana lengan. Ada kedamaian seperti yang biasa ditemukan di tempat peribadatan. Angin masuk dari bawah tangga, menjadikan ruangan segar, membuat lantai ruangan besar diseraki orang-orang yang terlelap istirahat. Ada yang memejamkan mata, ada yang baru saja bangun dan menguap.

Pepei mengajak Riang menuju tengah ruangan. Kubah masjid yang mereka jejak demikian besar, mungkin sebesar Aya Sophia, sebuah gereja yang dirubah menjadi masjid akibat pertempuran yang berlangsung lama di Konstantinopel.

“Lihatlah ke atas!” tunjuk Pepei.

Riang duduk. Ia berada di bawah lampu raksasa. Tepat berada di titik tengah, sesuatu menguasainya. Bukan mistis. Sesuatu yang dapat dirasionalkan, merambati perasaannya.

“Apa pendapatmu?” Pepei berbaring, tersenyum.

“Sukar untuk di katakan, aku merasa … aku merasa kecil...” Kesulitan menjabarkan lantas membuat Riang diam.

“Kau berada tepat di bawah kubah. Kau merasa kecil, merasa demikian mungil di bawah lingkaran yang kau pandang. Ada perasaan mengagungkan. Ada keindahan, ketakjuban, keinginan untuk tenggelam. Kau berhadapan dengan keagungan yang di buat oleh manusia.”

Riang tak mengerti penuh namun ia membenarkan. Riang takzim.

“Akal budi! Seni arsitektur kubah!” Pepei berbisik. Rombongan orang lewat, berhenti lalub berbaris dua saf, “membuat manusia yang berada di bawahnya merasa kecil. Melebur bersama semesta keagungan! Bentuk kubah di dalam bangunan-bangunan yang dianggap suci didesain: untuk mengingatkan manusia bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari alam semesta dan keagungan yang indah dan tak terbatas! Kubah merupakan lambang ketertundukan!”

Kedua orang itu melangkah keluar dari bangunan megah tersebut. Burung-burung mendarat di terpal, menyerbu kacang-kacangan yang jatuh tercecer dari sebuah kantung kertas yang bocor. Tangga masjid licin oleh tetesan air sisa wudlu. Di sisi belakang yang sepi dinding masjid terkelupas.

“Keberanian serupa dengan kubah!” ujar Pepei. Ia mengelap kaca motor yang kusam.
“Ketakutan memang alamiah, tetapi jika ketakutan bisa dikemudikan, seorang lelaki bertubuh kecil bisa menjelma jadi raksasa di hadapan orang yang memiliki kaki, tangan dan tubuh yang kokoh! Jiwalah yang menjadi penentu keberanian! Kau tak akan bisa menakut-nakuti, Kau tak akan bisa membuat orang lain segan, Kau tak akan bisa menjadikan lawanmu berpikir belasan kali, jika jiwamu Kau kerdilkan! Letak keberanian ada di sana.” Jarinya menunjuk ke arah kepala Taryan.

“Di kepala?”

“Di otakmu! Di akal pikiranmu! Dengannya Kau dapat menundukkan serigala! Menundukkan macan! Gunakan akalmu!”

Motor oleng ke arah kanan. Satu mesin berputar, menggerakan mesin yang lainnya. Ratusan kerja mekanik membuat besi beroda itu menjauhi masjid. Nomor serial sebuah rahasia terbuka. Memori memuatnya. Otak Riang menyimpannya.

KEBERANIAN PASANG DAN SURUT. Keberanian ada di otak manusia. Kekhawatiran yang datang Riang lemahkan. Keragu-raguan ia tikam. Diingatnya kembali situasi gerbang kuburan ketika Kardi dan gerombolannya berbalik arah menuju hutan Merbabu kala api keberanian penduduk Thekelan tumbuh menyatu. Diingatnya kembali mitos yang ia tebarkan.

Kepalan Riang menggebrak lantai kayu pondokkan yang sepi.

“Akan kuciptakan kubah!” Teriak Riang gegap gempita. Ketika otak memunculkan eureka dan aha elebernis, segala sesuatu menjadi jernih seperti wahyu yang baru saja turun.

“Kubah?!” Taryan melongo. Dianggapnya Riang kesurupan arwah kuli bangunan.

“Mari menanam!”

Terbayang bercocok tanam dalam pikiran Taryan.

“Mari menabur!”

Anak itu gila! Kawannya kemasukan setan kuburan!

Riang kemasukan, tapi bukan kemasukan setan. Di dalam otaknya bergentayangan informasi. Ingatan silih ganti, bertumbukkan, saling berciuman. Diendapkannya, diheningkannya. Riang menemukan sistematika mengenai awalan berperang yang jauh dimulai sebelum era Sun Tzu.

Riang meneliti informasi mengenai Kardi agar pembalasan dendamnya terlaksana serapih gerakan Janitsar Otsmani mengangkut gelondongan kayu yang diperintahkan Al Fatih demi menyulap bukit menjadi bahtera untuk menggempur dinding Byzantium. Riang merahasiakan apa yang akan diperbuat. Ia tak ingin apa yang nanti dilakukan menjadi getah yang menempel di tubuh penghuni pondok. Ia tak ingin menyusahkan dan membawa persoalan yang memungkinkan pondokkan diporandakkan.

Semula Riang ingin menanggung semuanya sendiri, tetapi Taryan adalah teman senasib. Ia bersumpah untuk membantu Riang. Tak ada rencana yang berubah ketika Taryan membantu. Semua berjalan dengan semestinya. Sembah sujudnya Sekarmadji mereka awali sebagai modal. Bapak yang bertanya mengenai kerasukan Allah, yang menjadikan gunjingan sebagai sifat yang menyimpang, menyebarkan informasi kemaha besaran Riang secara sukarela tanpa perlu diminta, tanpa perlu diberitahukan rencananya apa. Inilah perang urat syaraf dan pemanfaatan yang dipelajari ahli strategi di Pentagon sana.

Cerita-cerita heroik di bakar. Kemenyannya merebak ke mana-mana. Asap, asap dusta menelusup ke pelipiran, dibicarakan anak-anak, disebarluaskan si Ongki anaknya kang Nurdin pada pamannya, ujang Eboh yang tengah mencuci sandal. Ibu-ibu tak luput terkena godaan. Mulut-mulut saling tular menular hingga sampai di kuping pemuda-pemuda pengangguran yang punya keahlian orisinil menerbangkan burung merpati. Mulut klub Japati, klub yang memiliki puluhan burung merpati pos, menerbangkan informasi itu pada nenek enam orang anak yang makin membuat kisah Riang semakin seru. Makin berkepul-kepul cerita, makin dahsyat ilmu kibul mengkibul yang diperantarai Hermes bernama Taryan.

Minggu pertama itu Riang diceritakan menjadi perambah hutan. Gergaji mesin yang pertama kali ia pergunakan bukan untuk menebang kayu tetapi membelah kaki Jagawana. Saat peluru Jagawana meleset memecahkan sebongkah batu, Riang mengambil kesempatan. Suara mengerikan kemudian mendominasi seluruh suara di hutan melebihi auman macan. Groah! Akh!

Riang lari ke perbatasan Malaysia lantas membantu menyelundupkan batu bara. Tak betah di sana, ia pergi ke Jawa menuju stasiun Senen. Baru beberapa bulan bergaul dengan lingkungan keras Jakarta, Riang sudah berbuat onar, menjadi penyebab huru-hara antara orang Batak dan Palembang. Riang yang berada di pihak jemo Palembang menusuk seorang preman sampai mati; satu di leher; lima di dada. Kerusuhan terjadi selama tiga hari. Polisi datang bertruk-truk. Riang si pemain baru dalam dunia kriminal--, dinobatkan sebagai buronan. Ia disebut-sebut dengan nama mat Kater. Sebuah julukan yang berawal dari perbuatannya menusukkan pisau cutter lalu mematahkan pisaunya di dalam tubuh korban.

Riang kabur, hidupnya dari todong sana-todong sini, hampir perkosa tapi tak tega, ia hantamkan balok jati pada pinggang tukang sate Madura, ia ambil cincin emas anak orang China. Ia lakukan apa saja untuk bertahan. Ia terus mengembara hingga dalam perjalanan itu ia bertemu abah Sharun pensiunan perbaikan tower PLN yang profesinya setinggi ilmu agamanya.

Babak ke dua, pada minggu selanjutnya, cerita mengenai kekebalan tubuh Riang dari proyektil dan tusukan mengepul. Mengetahui Riang melakukan tindakan dianggap lebih buruk dari merampok, Abah Sharun mengingatkan, “Cabut susukmu Riang! Sirik itu mengerikan!”

Riang ingin taubat sempurna, tetapi ia tak bisa mencabutnya bahkan hingga saat ini. Ilmu nomor satu yang ditanam tanam di tubuh Riang menjadikan hanya sedikit orang pintar yang memiliki kemampuan menetralisirnya. Susuk itu tidur di dalam tubuh Riang. Susuk itu seperti kekuatan yang bersemayan di dalam tubuh mahluk hijau Hulk. Kekuatan mengerikannya bisa muncul apabila pemiliknya membutuhkan.

Berita tersebar dari mulut ke telinga. Riang berharap preman tanggung di sekeliling Kardi akan berpikir dua kali jika waktu pembalasan dendam yang direncanakan tiba.

Merdu nyanyian dan tebar kibulan itu memang dirasakan Riang. Saat ia jalan di bibir gang, beberapa pemuda pengangguran menegurnya sopan.

“Kamana ’Aa? Mau kemana Kak?” sapa mereka. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah begitu. Atau, pas Riang mencari geretan, seseorang pengamen yang juga berprofesi sebagai preman tiba-tiba menawarkan bantuan. “Bade ngisep ’Aa! Mau merokok Mas?”

Dahsyat! Hebat! Durga! Sensasi kelas tinggi! Riang makin yakin manusia dapat dipengaruhi informasi. Segala persiapan kemudian diselesaikan. Untuk mempertahankan diri, tak mungkin Riang meminjam lagi golok Aplatun. Ia mengeluarkan uang membeli pisau di pasar. Riang berusaha menjauhkan Riang, memisahkan temannya agar Taryan tak mengikuti langkah terakhir yang akan Riang lakukan.

Taryan menolak. Ia tak mau hanya menanti. Ia ingin ikut menikmati benih informasi yang ia bantu tanam sebelumnya. Taryan menyadari konsekuensinya. Taryan ingin melihat orang yang pernah mengkepruk kepalanya, meski ia yakin tak bakalan tega membalas perlakuannya dengan kadar yang sama.

Menjelang H-1 pembalasan tiba, Taryan mendatangi terminal Dago. Ia ingin mengetahui sejauh mana mitos mengembang. Ia ingin memastikan siapa yang mereka incar. Juru parkir memberi telunjuk, memberi tahu wajah Kardi. Taryan terkesima. Lelaki yang menjadi musuh kawannya adalah benar, lelaki yang juga pernah membuat kepalanya ternoda oleh darah.

Taryan mengenalinya baik. Lelaki itu yang membuat ia tidak dapat pulang menemui Radia. Lelaki itu yang membuatnya tidak bisa membawakan lagi makanan enak untuk Riang. Pulang ke pondokkan, kepercayaan diri Taryan menjadi bulat. Tekadnya menjadi kuat!

MALAM JUMAT yang keramat.

Tak satupun, harapan yang mampir di benak Riang dan Taryan selain menyelesaikan urusan. Mungkin, ini malam terakhir mereka di Bandung dan pondokan. Sebuah surat sudah mereka persiapkan.Terimakasih dan permintaan maaf terkait kepergian yang tiba-tiba mereka tumpahkan. Riang dan Taryan memilih menghilang begitu saja. Menjadi ingatan yang tak ada satu orang pun mampu memastikan realitanya. Biarlah semua berlalu seperti bakaran kapas, menjadi serat-serat rapuh dalam penghabisan, diterbangkan angin hingga tak tersisa.

Riang dan Taryan memperhatikan sanggar yang menyenangkan. Merekam baik-baik keadaan serta pegalaman yang membuat sel-sel otak mereka berdenyar lancar. Mata mereka kuyu, sayu. Mereka menghormati Bentar dan Eva. Mereka mengharap kedua orang itu sanggup memaafkan apa yang mereka lakukan. Pondokan akan tinggal kenangan.

Melalui jalan potong, mereka menuju terminal, menyibak alang-alang yang runcing dan melewati beberapa buah pancuran. Jalan raya di depan. Riang dan Taryan tak lagi bicara. Keadaan menjadi tegang. Tak ada keraguan. Jika kalah, kalahlah! Mati-matilah! Sekarat-sekaratlah! Riang tak peduli. Ia hanya ingin menuntaskan siksa dan kutukan. Ia berniat habis-habisan. Dendam tak akan membuatnya bersikap fair. Ada dibelakang atau dihadapan Kardi, ia akan tetap menikamnya sampai mati! Ia tak musti adil! Jahannam itu yang lebih dulu tidak fair terhadap Pepei! Ini adalah pembalasan dendam bukan usaha untuk menjadi jagoan dan pahlawan!

Terminal. Kijang-kijang angkutan kota dan colt berwarna hijau berbaris sesuai dengan jurusannya. Ada oli yang berceceran, puntung rokok bergeletakan beberapa di antaranya masih terbakar Sampah-sampah terserak meski tongnya baru terisi setengah. Sebuah truk diparkir di depan sebuah toko beras yang tutup. Dahak truk yang batuk pada knalpotnya mencemari paru-paru bayi berumur satu bulan yang lengket di pelukan ibunya. Gambar lelaki berkumis ala Hitler menghias kios mie ayam. Lelaki berkumis itu berkata, Ojolali! sambil mengacungkan jempol yang lebih besar dari kepalanya. Seorang pengendara motor masuk ke dalam terminal. Selempang yang terjulur ke bawah dagu menyelimuti mulut dan hidungnya. Masih banyak orang-orang yang berteriak. Masih ada yang sekedar menggerutu. Bising mengintervensi.

Riang bertanya pada calo angkutan kemudian menuju ke belakang terminal tempat Kardi mangkal. Saat kritis itu tiba. Tak ada gelembung ketakutan. Bulatan-bulatan yang semula menganggu pecah. Jika Edison menemukan lampu dan membuat manusia tak lari lagi dari monster kegelapan, Riang menemukan bahwa dendam telah membuka terangnya jalan yang menihilkan rasa takutnya. Ia menemukan penyanggah yang Pepei sampaikan mengenai Kubah. Ia beriman pada informasi yang Taryan sebarkan.

Di bawah lapak yang siang hari tadi menjadi depot es, beberapa bilah kayu di pasang menjadi dipan yang nyaman untuk istirahat. Ada bantal yang mengesankan Kardi dan teman-temannya sudah menganggap terminal ini sebagai tempat kediaman. Lima orang tampak duduk-duduk dan melemparkan jejaring pandangan. Mereka bisu. Riang memperbaiki langkahnya. Ia masuk ke dalam bayangan atap. Taryan yang berada di sampingnya gemetar.

Tak ada suara. Hanya tatapan dan aura yang pesing yang mengganggu kenyamanan! Lima pria bangkit. Kutub negative dan kutub negatif lainnya akan bertumbukan! Resonansi! Seakan tujuh ekor cupang, pertempuran antar mata terjadi. Ada pertempuran di dalam kegelapan!

Ke lima orang itu tak terpengaruh! Riang mulai khawatir akan keberhasilan informasi yang diceritakan Taryan. Dengan kecerdasan yang melintas Taryan menyalakan rokok yang terselip di mulut Riang. Muka Riang jelas terlihat, benderang, meredup, lalu menghilang. Wajah Riang terekam dengan baik meski hanya beberapa detik.

Alarm berbunyi! Hoy! inilah mitos itu. Inilah wajah lelaki yang memiliki wajah dua dimensi. Wajah kegelapan dan cahaya. Seperti Ahura Mazda. Akulah pemberi surga dan neraka! Akulah api yang menggado laron menjadi lalapan!

“Eh, … tos timana ‘Aa? Dari mana Mas?”

Awalan yang baik.

Awalan yang baik. Rasa nyaman tercipta. Pemuda yang tadi bertanya menyalakan korek api tepat di wajahnya. Pria itu membakar korek api untuk yang kedua kalinya. “Di, pang meulikeun lilin, belikan lilin!” ujarnya.

Orang yang disuruh, tergopoh membusanakan kakinya yang telanjang menggunakan sandal. Ia berlari. Meloncat-loncat dan balik lagi membawa sebuah lilin. Dinyalakannya lilin itu.

Satu persatu senyum berkelap-kelip memperhatikan wajah Riang.

“Bade milarian saha Aa? Mencari siapa Mas?”

“Main,” jawab Riang singkat.

“Meuni kitu si A’a mah. Kalo maen mah mending ka Gasibu, pan keur aya nu manggung, dangdutan. Suka begitu si Mas ini. Kalau mau main mending ke Gasibu. Kan sekarang ada yang manggung, dangdutan.”

“Kardi kemana? Aku ada perlu dengannya.” Riang mengalihkan pertanyaan.

“Abdi tos lami teu pependak. Sudah lama nggak ketemu.” Pria itu berpikir. ”Kardi teh rerencanganana Akang? Kardi temennya Mas?!”

Aha edan! Dia mengetahui nama Riang. Managemen mitos Riang berhasil. Iklan! Taryan piawai membuat iklan! Ia pantas diikutsertakan dalam tim sukses Pilkada!

”Kardi teh babaturan akang zamen bareto. Zaman aki-aki disunatan pake tambang, zaman nini-nini di tumpakan kuda, sanes? Sekarmadji itu temennya Mas Riang zaman dulu? Zaman pas kakek-kakek di sunatin pake tambang, pas nenek-nenek ditunggangi kuda, bukan?” Pria itu tertawa. Ia berusaha melucu.

Dehidrasi. Ia sadar Riang tak suka. Pria itu memperbaiki sikapnya.

“Kehuelanya ’Aa. (sebentar ya Mas).” Ia bertanya pada pemuda yang tadi membawakan lilin. Pemuda itu berlari lagi, lalu balik membawa seseorang yang menyengajakan diri untuk menyampaikan informasi mengenai Kardi.

Saat klimaks datang, tiba-tiba takdir berbelok begitu saja. Kardi hilang dijemput Jeep berwarna merah. Lelaki sialan itu hilang, menguap! Riang kecewa! Harus sampai kapan ia berada di kota ini?

Nasib manusia benar-benar tidak dapat diprediksi. Nasib Riang seperti dipimpongkan entah oleh siapa. Ping di lambungkan … pong … di smash sintir dan menukik. Pong yang mengecewakan pada waktunya akan menjadi ping kebahagiaan hanya dalam hitungan hari.

READ MORE!

My Latest Invention

Posted: Kamis, 23 Juli 2009 by Divan Semesta in Label:
0

Penemuan ini tidak sebanding dengan penemuan radium-nya Marie Curie, atau penemuan daerah-daerah eksotis terra incognita masa penjelajahan lampau. Tapi sy menganggap penemuan ini sebagai salah satu penemuan terbesar di seluruh galaksi.

Begini, tahukah kamu teh tarik? Asik kan... enak kan?
Well, baru-baru ini sy menemukan racikan bagaimana membuat teh tarik tanpa harus menggunakan telur dan tentunya tanpa mengeluarkan uang Rp.5000-15.000-an.
Cobalah cari satu sachet kopi nescafe di warung tempat kamu ngutang rokok.
Campur sesachet nescafe itu dengan secangkir teh pekat.



Nah, kalau kamu sudah mempraktikannya, jangan pernah lupakan saya ya.

Ehm.

READ MORE!

Terbang

Posted: Senin, 20 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Ayo ke tebing, katanya
Mereka bilang: "Kami Takut!"

Ayo ke tebing, katanya.
Mereka mendekat.
Ia mendorong mereka
dan mereka pun
.....
terbang!

(Gullaume Apollinairire)

READ MORE!

Eldorado

Posted: by Divan Semesta in
2

Just because im loosing
doesnt meant i am (we re) lost!
(Lost. Cold Play)
Kami memanggilnya Kuya. Lazimnya sebuah nama sebutan atas nama Surya. Ya seperti halnya nama panggilan Japra untuk Fajar.

Seminggu yang lalu ia menghubungi saya. Kami pun bertemu di Orchard Walk. Berbincang mengenai apa yang tengah dilakukannya dan tentu saja cerita-cerita mengenai masa lalu.

Sy kadang tergelitik kalau mengingat hubungan kami. Jika saja dulu kami tidak pernah berbicara dari hati, mungkin saya masih menganggapnya Kuya yang super kikir dan sebaliknya, ia pun akan menganggap sy sarua keneh begog-na, sama saja.

Dulu, sy pernah meminta tolong pada Kuya untuk membantu memasukan melodi dalam sebuah lagu yang akan sy tampilkan di sebuah acara. Saya masih mengingat bagaimana ketika acara selesai, sy menghitung uang yang telah saya keluarkan supaya jurig Kuya mengembalikan apa yang telah saya keluarkan.

Seperti yang sering saya singgung dalam tulisan yang lalu-lalu, Pada dasarnya saya bukanlah orang yang kopet alias pelit, aliat kikir. Menghitung-hitung supaya orang mengembalikan uang recehan yang saya keluarkan rasanya bagaimana, yah rasanya memalukan. Tapi, untuk si Kuya itu, limaratus rupiah pun saya tak sudi. Saya tidak rela mengeluarkan, bahkan limaratus rupiah pun. Bukan hanya pada kejadian saat itu saja. Saya bahkan pernah berhitung-hitung lebih ekstrim dari uang limaratus perak. Saya pernah mengharuskan dia untuk mengganti uang duaratus rupiah karena ia menggunakan uang saya untuk membeli kerupuk. Saya tak sudi. Benar-benar sudi najis! Saya kadung dendam padanya. Si Kuya yang kikir itu harus dibalas dengan kekikiran yang serupa. Biar tau rasa!

Dan… pada sebuah malam tiba-tiba si Kuya itu datang ke kamar saya. Engah bagaimana awalnya, dia tiba-tiba duduk di dekat computer saya, dan saya mau saja medengarkan cerita mengenai kehidupan dia dan sahabat-sahabatnya di Serang.
Setelah dia cerita saya mulai meragukan diri saya sendiri. Saya menimbang-nimbang, jangan-jangan sifat dasar si Kuya tidaklah senegatif yang saya kira. Sifat asli Kuya sebenarnya baik. Ia bukanlah orang yang kikir. Dalam cerita dia tampak royal untuk sahabat-sahabatnya. Dan di malam-malam berikutnya kalau kami mebicarakan tentang hubungan persahabatan, berulang-ulang kali saya menemukan bahwa dia sebenarnya orang yang sangat baik, tidak kikir.

Ini menjadi PR buat saya. Hal itu mengganggu pikiran hingga saya berusaha menggali mengapa kok dia nampak kikir, dan ternyata –kekikiran itu—bukan untuk saya saja melainkan ia timpakkan pada teman-teman di kosan juga.

Saya pun mengkonfirmasikan apa yang saya dapatkan mengenai dirinya. Dan di malam yang saya tak ingat malam apa, Kuya pun menganggap saya sama kikirnya. Dan ia pun mengaku tak bisa mendeskripsikan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Semuanya tampak otomatis. Ia tidak tahu mengapa ia sampai pada tahapan yang demikian. Mengapa ia sampai pada derajat kekikiran yang sungguh sangat menyebalkan.

Bagi Kuya, hubungan pertemanan, relasi yang ia temukan di lingkungan baru sangat jauh dengan lingkungan masa SMA-nya. Jika dulu solidaritas di utamakan sekarang individualisme yang diusung tinggi-tinggi. Ia tidak mendapati persahabatan, kekuatan ikatan kala dia membutuhkan hal itu dari orang-orang sekitarnya (terutama orang di kampus). Hingga tak sadar sampai pada titik yang ia tidak mampu menjabarkan mengapa terjadinya, mengapa sifat itu melekat dalam dirinya. Ia pun menjadi indvidualis, dan orang-oang sepertui teman di kampusnya dan saya pun mengambil tongkat estafet yang ia berikan saya melanjutkan siklus vendetta, siklus pembalasan dendam. Padahal, sesungguhnya Kuya tidak demikian. Padahal sesunggunya banyak diantara kita entah Kuya, saya atau kalian sebenanya memiliki sikap solider dan ketulusan sebagai sifat bawaan.

Keterbukaan di malam-malam yang itu membuat kami saling mengerti mengenai siapa kami sebenarnya.Baik Kuya maupun saya menjadi malu atas apa yang pernah kami lakukan.

Sikap kikir, minimnya solidaritas memang merupakan sikap yang memuakan. Ujian antara kami berdua telah terselesaikan, dalam artian hingga pertemuan terakhir di Orchardwalk itu, kami sudah tidak main hitungan dalam melakukan hal-hal yang remeh. Dan kami menyadari bahwa jian lainnya adalah ketika kami harus berhadapan dengan orang-orang. Apakah kami akan menerapkan kekikiran –dengan orang-orang tertentu—dengan melibatkan kesadaran? Jawabannya tentu akan terlihat dari aksi yang kami lakukan, bukan hanya sekedar tulisan atau ucapan.

Setidaknya, kami bersyukur bahwa pada malam-malam yang lalu sebuah pemahaman telah terbuka: bahwa orang yang kelihatannya kikir, bisa jadi pada dasarnya tidak demikian. Dan tahukah kalian bahwa pengetahuan tentang bagaimana mengembalikan sifat asli seseorang adalah sebuah usaha kemanusiaan yang sangatlah indah. Jika hal itu bisa kita pecahkan maka hubungan antar manusia akan menjadi hubungan spiritual yang susah untuk ditakar dengan sesuatu yang bersifat material.

* * *


Malang merupakan sebuah wilayah yang saya anggap sebagai surga. Ira pun menganggapnya demikian. Bagaimana sulitnya kehidupan kami di sana (karena toko buku bangkrut, karena pekerjaan saya sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga) kami merasa kota itu menimbulkan perasaan tenang.

Di sana, hidup kami begitu mengalir, seperti tidak ada beban.

“Statement itu sangat membosankan!” Kata seseorang yang membaca tulisan ini. “Ya, seperti halnya sebuah tetabuhan philosofi yang sering diungkapkan sehingga menjadi pasaran,” ejeknya.

Oke-oke. Terserah kamu sajalah menilai.

Oke-oke saya akan menghentikan racauan yang kamu anggap membosankan, tetapi saya akan menceritakan hal ihwal, atau asbabun nuzul turunnya cerita ini.

Lusa, malam lalu, ketika Ira mengatakan lagi kangen sama malang, saya bertanya “Karena apa?” sambil memijat telapak kakinya yang pegal. Lalu cerita mengalunlah.

Tadi siang siang, Ira ikut melibatkan diri dalam perbincangan dengan teman-teman barunya usai pengajian. Pembicaraannya sederhana: mengenai kerudung dan jilbab yang dijual oleh anggota pengajian. Waktu itu ia melihat wajah teman-teman barunya gembira, padahal apa yang mereka pegang, apa yang mereka katakan bagus hanyalah kerudung yang harganya duapuluh lima sampai tigapuluh ribu rupiah. Dengannya Ira kembali teringat akan kesederhanaan lingkungan kosannya. Ia teringat akan dirinya sendiri ketika tidak memikirkan berapa harga barang maupun nama mereknya. Selama barang itu nyaman dan mereka suka maka tidak ada satu orang pun yang bisa merampas kebahagiaan mereka.

Tapi, di sini semuanya menjadi berbeda. Kesederhanaan itu tidak lagi ia rasakan. Bukan… bukan karena hidup kami tidak sederhana dan kami tergiur menggunakan barang barang mewah yang kadang tak ada perlunya.

Hidup kami di sini biasa saja, akan tetapi perubahan lingkunganlah yang terjadi. Jika di Malang, Ira atau saya membeli barang yang kami suka dengan harga murah, maka tidak ada teman-teman yang berusaha membandingkan. Tetapi di sini, persoalannya menjadi lain. Misal: ketika ia ingin makan mie ayam di pinggir jalan, ia menjadi minder karena ucapan “Idih, apaan….akan di pingir jalan ! Paling daging bumbunya juga dari jeroan.” Atau, ketika mengenakan kerudung yang ia beli di pasar Sempur, pasar mingguan, ada-ada saja ungkapan yang muncul. “Kalau barang murah sih keliatan. Bordir ma payetnya beda.”


Lingkungan memang hebat. Kadang dalam kasus kasus yang negative sy ingin menyebutnya bajingan. Lingkungan bukan saja mempengaruhi diri Ira atau Saya tapi bisa juga mempengaruhi diri kalian, atau orang sekitar.

Saya mempelajari benar dari kehidupan saya. Waktu kecil saya masih mengingat saya suka nyemplung bersama-sama anak kampung Blok Armin, sekedar mencari benteur, ikan kecil, atau buang air bersama-sama di kali yang waktu itu tidak terlalu kotor. Dan saya masih mengingat pula bagaiman ibu saya masih suka meminjam di warung mang Yanto: entah untuk meminjam beras atau sekedar menyempurnakan makan sehari-hari dengan kerupuk.

Dulu, rasanya tidak ada jarak yang berarti antara warga kampung dengan keluarga kami. Namun, semenjak kondisi keluarga kami berubah cepat: rumah terbesar dan termegah di kampung, garasi, penambahan mobil, perlahan saya merasakan bagaimana warga mulai tidak memandang kami apa adanya: ketika kami berpapasan ada semacam sikap yang sukar dikatakan. Mungkin perasaan segan ketika kami harus berpapasan atau bertegur sapa…

Perasaan segan yang mengerikan itu saya pikir salah kita semua. Salah saya, salah keluarga kami (secara tidak angsung) salah orang-orang di sekitar dalam memandang kondisi keluarga kami. Dan apa yang dilakukan tetangga adalah sebagai sebuah kewajaran dalam tanda kutip, karena saya pun pernah merasakan perubahan sikap ketika saya bertemu dengan seorang kawan baru dan ternyata ia memiliki kelebihan dari sudut material ketimbang yang saya miliki. Pada saat itu sikap saya menjadi tidak apa adanya.

Orang mungkin tidak menjabarkan, tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka rasakan, tapi bagaimanapun juga perasaan semacam itu benar-benar menjijikkan. Saya tidak mau seseorang bersikap karena penampakan yang melekat di diri. Menjadi sangat mengerikan jika kita tidak dinilai dari kualitas spiritual yang kita miliki melainkan dari barang-barang yang melekat di diri kita, atau bahkan di keluarga kita. Dan apabila hal itu terjadi sy pikir hubungan antar manusia akhirnya hanya berlaku pada level-level yang sama: orang dari kalangan berpunya hanya berkumpul dengan kalangan berpunya karena mereka tidak nyaman berhubungan dengan orang biasa saja. Demikian sebaliknya, orang yang kehidupannya sederhana menjadi silau, menjadi segan tak berdasar karena atribut-atribut yang menempel dan jurang antar hubungan manusia menjadi semakin dalam.

Di sela-sela teriakan dan ringisannya, Ira sempat-sempatnya mengatakan bahwa jika satu saat Allah memberi kami rizki lebih untuk bisa melakukan apapun (karena kami dilimpahi materi yang lebih dari mencukupi) maka ia hanya menginginkan rumah biasa. Rumah yang tidak seperti istana. Ia hanya menginginkan kendaraan yang baik untuk keluarga kami, bukan kendaraan yang harganya wah dan bisa-dipamer-pamer. Dan ia akan menjauhkan diri dari penggunaan perhiasan layaknya perhiasan Thutankamen atau perhiasan yang sering di pakai para Firaun.

Sy sih setuju saja. Karena hal itu bukan hanya baik untuk dirinya. Kesederhanaan baik untuk siapa saja karena rena kesederhanaan merupakan kekayaan melebihi kekayaan yang dapat di nilai seandainya eldorado itu memang ada.

READ MORE!

Orang Batak? (Bab 26)

Posted: by Divan Semesta in
0

Kehidupan berjalan apa adanya. Taryan merasa nyaman. Di kampus tempatnya bekerja, secara rutin atasan dia menularkan harga diri raja diraja pada manusia siapa pun juga.

”Asal kau profesional, pekerjaan apa pun tak perlu menjadikanmu seperti dubuk yang hobi mengangguk-angguk, menunduk-nunduk!”

Di antara anak buahnya ada yang tak mengetahui dubuk itu apa, tetapi si atasan tetap mengoceh mengenai harga diri yang tak ketulungan.

”Manusia itu sendiri yang tentukan harga dirinya.” Atasan Riang yang nyentrik ini benar-benar mempraktikkan apa yang ia omongkan. Si Junaedi, yang bertanggung jawab terhadap kebersihan langit pernah ia pergoki bersikap seperti dubuk.

”Jangan kayak gitu dong,” kata atasan Taryan menggunakan logat Jakarta. ”Kamu itu kerja! Bukan jadi budak! Tunduk-tunduk di hadapan orang udah nggak zaman. Kalau gitu di keraton atau di depan kiai mu, masih mungkin, tapi kamu di sini berkerja bukan untuk menjadi budak!

Junaedi diam, atasan melanjutkan. ”Kita nyari makan. Mereka yang kamu tunduk-tunduki itu nggak pernah kasi kita makan. Jangan malu! Jangan pernah merendahkan diri! Hargai diri!” katanya. ”Kalau kamu sendiri nggak ngehargain, siapa yang mau ngehargain?!”

Dibangunkannya harga diri si Junaedi hingga bangunan harga dirinya yang reot berubah menjadi bangunan kepercayaan yang gagah. Kepercayaan diri si pekerja bertambah, berlipat-lipat. Perlahan-lahan badan teman-teman Taryan tegap jika berhadapan dengan orang, dan mungkin juga jika mereka harus dihadapkan pada orang keraton atau pun kiai, karena yang dimaksud ’kiai dan keraton’ oleh atasannya, sebenarnya hanya sekedar pemanis kata-kata belaka. Situasi kerja seperti ini memiliki pengaruh besar terhadap keselamatan mental Taryan.

Situasi yang khas itu memang merupakan sebuah situasi yang tidak tiba-tiba terjadi. Jaringan pertemanan, solidaritas satu pemikiran membentangkan hubungan yang luas antara pondokkan dengan sahabat-sahabat di luar. Salah satunya adalah atasan Taryan. Jaringan itu terajut kuat, menyebar hingga batas-batas yang sukar untuk diperkirakan.

Di luar itu, perkerjaan dan kehidupan Taryan yang mulai ’mapan’ di pondokkan, akhirnya mendorong dia untuk menyurati Radia. Taryan tak lagi memiliki halangan psikologis untuk memberitahu kabar dirinya kepada sang istri. Ia bahkan menjelaskan panjang lebar bagaimana perjalananannya yang merana sebelum sampai di pondokkan. Surat-surat menyurat dengan kertas cap Harvest atau kertas-kertas warna norak berisi rayuan gombal di sertai bubuhan cap listik membombardir pondokan.

Bagi Riang surat Radia, mengisyaratkan kepulangan Taryan. Ia berusaha menjauhkan kekhawatiran itu dari pikirannya. Sejak saat itu ia mulai memupuk kesiapannya, berjuang untuk melepaskan Taryan jika saatnya tiba.

Semua orang butuh bahagia. Setiap manusia punya alur dan cara hidup yang berbeda. Riang percaya. Ia berjuang untuk itu, maka untuk melempangkan jalan sahabatnya, sekalipun Riang tidak pernah mengungkit kembali perihal pembalasan dendam yang pernah menjadikan Aplatun kalap.

Berbagai kejadian silih berganti mendatangi, seolah tidak memiliki keterkaitan dengan tujuan awal keberangkatan Riang. Apa yang Riang inginkan belum kesampaian. Ihwal pembalasan dendam atas kematian Pepei, ihwal kesokheroikannya Riang pun terpaksa diredam, namun, hal ini tidak untuk selamanya berlangsung, karena sebuah kejadian lain menyambungkannya kembali di saat libur hari keagamaan datang.

SAAT ITU TAK ADA YANG MEMULAI hari dengan cara tak wajar, kecuali pertanyaan seorang bapak berumur lima puluh tahunan yang diarahkan pada Bentar.

“Aya teu Kang, pernah ada tidak Kang, orang yang pernah kemasukan Allah?”

Mendengar pertanyaan itu semua orang hampir mengeluarkan liur, tertawa.

Bentar tak bisa menjawabnya. Tak ada yang bisa menjawabnya. Pertanyaan itu mengarungi kekosongan. Si Bapak ikut tertawa. Ia yang bertanya sebenarnya tidak benar-benar ingin menemukan jawaban. Dia hanya ingin meramaikan. Dia merasa puas jika orang-orang disekelilingnya tertawa. Di dalam dirinya tidak ada guncangan pemikiran. Tidak ada yang menggoyahkan keimanan. Pertanyaan itu berlalu begitu saja.

Semula Riang tertarik dengan pertanyaan si Bapak, namun ketertarikannya tersedot oleh tingkah laku seorang lelaki yang berdiam diri tatkala orang lain tertawa. Lelaki aneh itu menggunakan topi hijau berlambang perhutani. Topinya dimiringkan, --hingga-- lidah topinya membuat bayangan hitam yang menyebabkan wajah orang itu tersamarkan.

Sedari awal Riang memperhatikan ia meyudut di pinggiran. Gerak-gerik tubuhnya mencurigakan. Di kepala Riang menari-nari godaan untuk menuduhnya maling sandal hingga tukang kutil kutang. Inti dari semua buruk sangka itu, Riang tidak menyukai gerak-gerik lelaki tersebut. Bagaimana tidak curiga, ketika orang tertawa lelaki itu malah diam. Ketika orang lain diam, ia malah menambah kadar diamnya. Ketika Waluh mempersilahkan lelaki itu bicara, ia menunduk, kemudian menyodorkan tangan dan mempersilahkan orang lain untuk bicara. Kecurigaan Riang bertambah. Setiap Riang menatap matanya, setiap kali pula lelaki itu menunduk. Mata lelaki itu seolah berlari sprint menjauhi palang papan berbentuk mata Riang.

Di pertengahan obrolan, Riang melihat orang itu menjalin komunikasi dengan Fred yang ada di sampingnya. Setiap kali mereka bicara Fred selalu melihat ke arah Riang.

Riang berpikir, mungkin ia kenalan Fred dan Fred seperti berpikir sebaliknya, seperti halnya dua orang pengantin yang tengah mereka-reka tamu asing yang hadir dalam resepsi pernikahan mereka.

Riang gelisah. Ia ingin memastikan. Ketika pembicaraan selesai, Riang berusaha menghampirinya. Aneh! Semakin dekat jarak Riang dengannya, semakin ekstrim lelaki itu membenamkan wajah menggunakan topi yang ia kenakan. Saat Riang hampir menyentuhnya, lelaki itu berdiri, lalu mundur beberapa langkah dan berhenti karena tubuhnya membentur tembok. Lelaki itu segera berbalik arah, berjalan cepat, seolah baru saja bertemu dedemit.

Riang membiarkankannya melangkah hati-hati melewati jembatan. Ia mulai merasa tak nyaman atas perbuatannya.

”Teman?” Fred datang memegang bahu Riang meminta penjelasan.

Mendengar pertanyaan itu, Riang langsung berlari. Ia memanggil. Lelaki itu tak mau menoleh. Langkahnya dipergegas. Semakin cepat… semakin cepat! Ia berlari kecil. Dari kejauhan lelaki itu menoleh ke belakang, melihat Riang membuntutinya. Ia menyiapkan ancang-ancang! Lelaki itu melesat!

“Hei jangan lari… mau kemana?!” Riang mengejar sekuat tenaga sambil berteriak.

Penduduk sekitar sanggar dan beberapa orang yang entah dari mana, menganggap lelaki itu melakukan kejahatan. Kini ia diuber banyak orang. Waluh ikut berlari. Larinya cepat. Ia menyusul Riang.

”Berhenti!” Waluh ikut memperingatkan.

Lelaki itu tak mau, ia terus berlari hingga beberapa detik kemudian kausnya berada dalam cengkraman. Bunyi kaus sobek terdengar dari kejauhan! Lelaki itu terus berusaha melepaskan diri, terus berusaha berlari, namun kekuatan Waluh menjadikan tenaga dan laju kakinya tak berarti. Waluh tak melakukan apa pun. Ia tidak memukul atau menendang. Ia hanya menangkap dan memeluk lelaki itu kuat. Waluh sepenuhnya sadar, tubuh dan tangannya yang liat adalah penjara bagi siapa pun yang berada di dalamnya. Waluh menjadi kantung semar dan lelaki itu menjadi lalat.

Gerakan perlawanan menjadi sekedar guncangan yang justru membuat topi terjatuh. Saat topi lelaki itu lepas, pengalaman pahit tentang diri Riang di rewind. Tanjakan setan, parang-parang yang berkilauan, berita di radio, pekuburan, ancaman matanya, sahabatnya yang mati ditusuk berbayang-bayang di benak Riang. Tapi … mengapa lelaki itu merungkut selemah rumput Mengapa tubuhnya sedemikian kurus. Astaga, matanya nampak cekung, mukanya tampak ketakutan menawarkan gencatan, memohon perdamaian. Riang sungguh tak tahu apa yang harus dilakukan hingga orang-orang berdatangan.

Penduduk yang berlari dari sanggar sampai di lokasi kejadian. Beberapa orang berteriak-teriak menanyakan keberadaan maling, namun setelah mendekat, mereka malah diam dan menyelinap mundur di balik punggung orang-orang yang datang kemudian. Beberapa orang balik ke sanggar. Beberapa yang lainnya menyaksikan bagaimana keberadaan Riang mengintimidasi lelaki yang penduduk ingin gebuki sampai rubuh berkalang tanah.

Masih berada di kantung semar lelaki itu menyembah Riang. O’ dimana lelaki brewok yang dulu berkuasa? Dimana kegarangan dirinya? Riang tak sampai hati. Ia mulai mengasihaninya. Riang melihat siksa yang menjadi deterjen pembilas dosa di matanya. Riang melihat kemurnian lelaki itu. Ia merasakan batin yang meraung-raung dilindas penyesalan. Ia merasa iba melihat tubuh lelaki itu menyusut/

”Sudah sudah!” bujuk Riang saat melihat lelaki itu mencucurkan air mata.

Tangis lelaki itu tidak juga mau berhenti. Ia malah bersujud. Ia menghamba sahayakan diri, mengikhlaskan tubuhnya didera hukuman.

“Sudahlah …. Jangan mempermalukan diri mu seperti itu!” Riang mengambil bahu dan lelaki itu malah menyungkurkan diri, memeluk kakinya.

Melihat peristiwa yang menggoncangkan itu, Waluh beranggapan bahwa lelaki lelaki yang saat itu telah ia lepaskan, memiliki sangkut paut pribadi dengan Riang. Ia tak mau ikut campur, padahal, sesungguhnya lelaki itu pernah berurusan dengan dirinya. Waluh tak tahu, karenanya, ia pun pergi meninggalkan pondokan menggunakan motor trailnya.

Riang membutuhkan ketenangan untuk membicarakan banyak hal dengan lelaki itu. Ia merasa membutuhkan tempat yang aman dari pendengaran banyak orang. Eva memberi tempat yang lapang, di sebuah kebun, tepat di belakang podokan. Taryan dibiarkan mengikutinya. Mereka pun duduk di bangku yang terbuat dari akar tanaman teh.

“Sampeyan bukan orang Batak?” Taryan yang duduk di belakang punggung Riang tiba-tiba bertanya.

Lelaki itu menunduk. Taryan terus memperhatikan.

“Sampeyan pernah kepruk kepala orang pakai bata?!”

Lelaki itu mengangkat kepala. Ia sering melakukannya, namun di kota ini, yang pernah melakukan itu hanya temannya.

Taryan meneliti wajah lelaki itu benar-benar. Usai perampasan --dompet yang sebelumnya Taryan temukan-- terjadi, ia mem-pelat-i wajah orang-orang yang pernah membuat kepalanya berdarah. Taryan merasa terang. Penglihatannya terasa benderang.

“Sampeyan yang waktu itu ambil uang di dompetku! Sampeyan temannya preman yang mukul kepalaku! Ayo ngaku!”

Lelaki itu terpojok. “Yang mana?! Preman yang mana?!”

Ada ruang kosong, hanya antara Riang dan Taryan sementara lelaki itu kembali bergulat di dalam ruangannya sendiri.

“Di kota ini, beberapa bulan lalu, temanmu pernah rampas uang orang! Dan kau ada di sampingnya.” Riang terinfeksi perkataan Taryan untuk menginterogasinya.

Lelaki itu lemas. Ia mengaku.

Taryan memandangnya. Dilihat tubuh lelaki itu kuyu di-shower-i ketakutan. Lelaki itu terpecah belah. Ia lunglai tak bisa memaknai keberadaan dirinya. Jiwanya seolah dicerabut paksa oleh tang yang kasat mata. Ia makin merunduk, terus merunduk, melingakar seperti keong yang bersembunyi di dalam cangkangnya. Lelaki itu meminta ampun, meminta maaf, meminta penyucian.

Taryan belum pernah mengalami kejadian semacam ini. Ia tersedak, tak mampu, tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.

Lelaki itu terus berulang-ulang meminta maaf seakan dirinya didesain seperti sebuah program yang salah copy. Lelaki itu terus meminta maaf, meminta Riang untuk memasukannya ke dalam purgatory. Ia tak lagi mampu mengingat dosanya di masa lalu. Ketakutannya membuat dia histeria, menjadikannya bimbang menyerupakan gila.

“Ampuni! Ampuni! Ampuni aku!” lelaki itu mengerang.

Siapa yang tahan dengan erangan itu. Tidak Riang. Tidak pula Taryan, yang segera memutuskan untuk melupakan benar, sesuatu yang sesungguhnya memang ingin ia lupakan dan pernah ia sarankan pada Riang. Taryan tidak ingin menuntut pembalasan, ia malah ingin menyelamatkan. Dosa lelaki itu harus ditimbun.

“Sudahlah…” sebatas itu yang bisa Taryan ucapkan. Rengkuhan pada bahu lelaki tersebut mewakili seluruh permufakatan untuk memaafkan.

Riang terharu dengan perbuatan Taryan, namun masih ada satu lagi yang menahannya. Ia harus membereskan persoalan, ada yang masih harus dituntaskan, di khatamkan.

“Siapa yang membunuh sahabatku?!” tanya Riang.

Lelaki itu mengangkat lehernya. “Bu… bu… bukan aku Mas! Aku hanya memberitahu!” Ia takut, semakin takut. “Yang melakukan itu bukan aku! ... Aku … aku hanya memberitahu. Kardi! … Kardi Mas!” Lelaki itu tergeragap. Lututnya lemas. Ia terisak. Semakin lama, isakannya makin kentara. Ia menangis.

Riang merasa kelu. Lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya adalah lelaki yang sama, yang dulu dipergokinya memancurkan air seninya di sela-sela pepohonan, sambil berteriak menanyakan Kardi yang tengah mengincar ayam jantannya, si Percik di Thekelan.

Lelaki yang kini terpekur seperti burung yang disiram air panas di hadapannya itu adalah lelaki berewokan yang menyergapnya saat turun dari Merbabu bersama Fidel dan Pepei. Lelaki itu Sekarmadji, seorang yang bertampang seram, kejam, tetapi sungguh hatinya tidak sekeras intan sejak dirinya memungut tas coklat Pepei yang membuatnya bimbang.

Riang merasa digulati perasaan kelu. Ia mendesahkan nafasnya, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir dia menghirup oksigen di dunia. Kebencian Riang kini tak terbagi. Dendamnya Riang, kini hanya untuk Kardi.

Di sela-sela tangisannya Sekarmadji menggapai-gapai. Suaranya terputus.

“Tas mas, … tas…tas…”

Riang ia teringat akan tas Pepei yang dibawa Kardi sewaktu melarikan diri, menghindari keroyokan penduduk desa Thekelan.

“Tasnya aku simpan di rumah,” jelas Sekarmadji. “Tak ada sesuatu pun di sana kecuali dua buah buku dan alat tulis. Di dalamnya hanya terdapat uang lima puluh ribu rupiah. Sungguh …aku tak mengambil apa pun darinya. Sungguh aku tidak berbohong!”

“Untuk sementara,” Sekarmadji membuka dompet,” ini uangnya teman Mas.” “Tasnya dan isinya menyusul,” tambahnya.

Riang menolak.

Sekarmadji berkaca-kaca,

“Ada yang lebih penting dari sekedar uang dan tas!”

Sekarmadji tak memberi respon. Ia menunduk.

“Mas jangan menyembunyikan! …. di mana Kardi?!”

Wajah Riang panas. Degup jantungnya berubah mendentum seperti meriam setelah Sekarmadji memberinya informasi. Riang hampir tak percaya. Kardi tak jauh dengan pondokkan. Riang muskil untuk percaya, ia masih butuh untuk memastikan. “Di terminal Dago?!”

Berulang untuk memastikan. Dan berulang-ulang pula Sekarmadji mengatakan ‘ya’.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi di stasiun Yogyakarta memaksa mereka menyembunyikan diri. Toto yang meminta Gendon mengutus Sekarmadji dan Kardi untuk mencederai Pepei tak mengetahui urusan yang sebelumnya terjadi antara Pepei dan Kardi di kuburan Thekelan. Ia hanya mengetahui bahwa Kardi dan Sekarmadji bisa menjadi anjing yang buas terhadap orang lain namun berprilaku ramah terhadap manjikan jika mereka memeliharanya.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi merupakan semacam teskes. Apa yang terjadi melebihi sesuatu yang ia harapkan. Menyadari itu, setelah kejadian Toto segera meminta Gendon untuk menghubungi rekannya di Bandung,

“Sebelum sampai di Bandung, Kardi lebih dahulu pergi menuju kediamanku …” Sekarmadji ragu-ragu mengaku. Ia melihat berkeliling, mencari lelaki yang sebelumnya membekuk setelah mengulati dirinya. Sekarmadji tidak melihat Waluh di sekitar pondokkan, namun ia memilih untuk tak melanjutkan. Sekarmadji memilih untuk memutuskan kalimatnya.

Riang tak menangkap keraguan itu. Fokusnya hanya pada Kardi. Ia tak mau tahu siapa yang disebut Gendon dan Toto oleh Sekarmadji.

“O, mas…” Riang menyaksikan Sekarmadji merintih lagi.

“O Apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa ini?!” Sekarmadji menangis. “Apa yang harus kulakukan?! Aku malu di hadapan Alloh! Aku tak memiliki harga lagi di hadapan-Nya! Oh, dengan apa aku harus menebus dosaku?! Ya Alloh…”

Riang merasa kasihan, tetapi tangisan dan keluh pertaubatan yang terus berulang itu, akhirnya membuat Riang risih.

“Mas pulang saja,” bujuk Riang.

Sekarmadji sengguk. Ia tak habis pikir. Apa yang dikatakan Riang keluar dari prakiraan cuaca pikirannya.

“Tapi … Mas… Oo…”

Riang memotong, sebelum Sekarmadji meneruskan rintihannya.

“Sudahlah… Mas tutupi lembaran lalu! Jalani yang ada di depan, dan Mas haramkan untuk menengok ke belakang! Mas jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Terus melaju! Buka lembaran baru!”

“Tapi dosa ini …” Sekarmadji merintih lagi.

Taryan mengehela nafasnya/ “Kalau pun teringat kesalahan, jadikan saja kesalahan itu sebagai pelajaran, tapi, Mas tetap jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Semua manusia pasti pernah melakukan dosa! Dan semua manusia diberi waktu untuk memperbaiki diri! Mas memiliki kesempatan itu…”

”Syarat utamanya dimulai dari satu: mulailah mengampuni diri dan jangan melakukan perbuatan jahat lagi! Jangan pernah melakukan perbuatan yang pernah Mas timpakan pada kami ke orang lain!”

Sekarmadji ragu.

Entah bagaimana Riang bisa se-agung itu. Kata-kata Pepei dan Fidel saat Riang menyesatkan kedua orang itu di Merbabu, membantunya.

“Sebaiknya Mas pulang,” bujuk Riang.

Sekarmadji tak tahu harus berkata apa. Ia berdiri. Menunduk, lalu memeluk pemuda di hadapannya, rekat. Riang membiarkan pundaknya basah.

Sekarmadji berpamitan. Ia berjalan semakin cepat, semakin cepat. Ia alpa bahwa tujuannya semula adalah untuk meminta maaf pada orang yang membekuknya sewaktu melarikan diri dari kejaran Riang. Ia datang untuk mencari Waluh, lelaki yang membuatkan kandang ayam, membantu menanam sayuran di pekarangan rumah keluarganya. Terkadang emosi menjadikan seseorang hilang ingatan.

Sebelum tubuh Sekarmadji menghilang, ia membalikan badan, mengelap pipi menggunakan punggung lengannya. “Mas orang baik … terima kasih!”.

Bertepatan dengan teriakan singkat Sekarmadji, Eva keluar membawa segelas susu yang dikirim Fred untuk pondokkan.

Hilangnya Sekarmadji, tentu membuat wanita itu kecewa.

DUA MINGGU SETELAH MABUK tangisan dan senggukan, buku harian Pepei sampai di pondokkan. Tas berisi buku catatan perenungan Pepei itulah yang merubah kehidupan Sekarmadji. Riang tersenyum membacanya. Ia teringat kembali akan kesegaran udara sewaktu dirinya berhadapan dengan atheis yang santun. Atheis yang sangat baik padanya --dan Riang yakin, ia baik pula terhadap orang lain.

Riang bersyukur sempat mengenali Pepei, sempat mengenal sesosok lelaki tegar yang konsisten menjalani keyakinan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan, namun memiliki kebaikan hati yang berbanding terbalik dengan informasi yang sering disampaikan guru-guru melalui pendidikan moral di sekolanya.

”Seandainya banyak orang seperti Pepei, tentu bumi ini bakal awet selama-lamanya.” Riang kembali melontarkan kata-kata yang sama saat bus Yogya menderum hendak berangkat menuju Thekelan.

Buku harian yang ditulis Pepei --sebelum menjadi atheis--, menggoyang hidup Sekarmadji hingga ke sendi-sendi. Riang tersenyum kala menyadari seorang atheis mampu mengantarkan seorang durjana untuk mengingat kematian dan juga mengimani kembali, hari pembalasan.

Riang menangis.

READ MORE!

Binatang Aplatun (Bab 25)

Posted: by Divan Semesta in
0

Biar tak punya kaki, langkah SNB untuk yang kesekian kalinya berjalan lancar. Panci-panci yang pada ujungnya menempel lemak kini melompong. Air panas di dalam jerigen menjadi dingin dan menggenang. Sayur-sayur yang berceceran, dan remah-remah nasi dibersihkan. Pick up yang diparkir di belakang monumen menggerung. SNB bulan ini selesai.

Riang menjinjing kantung plastik transparan sementara Taryan membawa sebungkus nasi dalam genggaman. Mereka tak membawa kantung hitam untuk menyamarkan pemberian yang ingin mereka persembahkan pada Aplatun. Mereka berjalan setelah menemukan cukup alasan.

Dari kejauhan warung Aplatun kini tampak terlihat segar. Catnya yang mengelotok ditimpa cahaya kuning matahari, berpendar menyilaukan. Warung itu tampak sehat dan segar.

”Ada sesuatu yang berubah...” Kata-kata Riang lebih dimaksudkan bukan secara fisik, melainkan secara spiritual. Secara spiritual warung Aplatun berubah. Ada sesuatu yang membuatnya bersinar.

Taryan tak mengerti. Ia hanya mengerti bahwa kenyataannya warung itu memang telah berubah.

”Ton.... Ton!?” Tanpa basa-basi dan lupa mengucapkan salam, kedua orang itu berteriak riuh rendah.

Tak ada jawaban, seorang wanita terlihat tergopoh-gopoh berlari dari pinggir jalan. Wanita itu membenahi rambut yang menyempil dari kerudungnya.

”Aplatun ada?” Riang dan Taryan curiga.

Wanita itu memperhatikan wajah Riang dan Taryan. Ia mengingat ciri-ciri wajah seperti yang pernah diceritakan. Ia berpikir lambat. Lima detik kemudian jarum ingatan yang sedari tadi dicari dalam tumpukan jerami pikiran ditemukan. ”Mas Riang?” jempolnya menunjuk. Lengan bajunya bergeser Pergelangan tangannya terlihat putih, bersih.

Riang dan Taryan belum bisa menerima kenyataan jika di warung Aplatun terdapat seorang wanita berwajah sopan dan mengembirakan. Mereka kebingungan.

”Bang Aplatun selalu membicarakan kalian,” wanita itu menjelaskan. Air panas dituang. Keretak gelas tipis terdengar. Bubuk hitam dibubuhkan ke dalamnya. Harum mendatangi hidung Riang dan Taryan.

”Mas Masnya sudah lama tidak datang ke warung ini?” Wanita itu menuntut. ”Bang Aplatun selalu menunggu setiap malam. Bang Aplatun selalu bilang, di Bandung cuma kalian temannya.”

Riang dan Taryan tidak menjawab.

”Maaf ... teteh jangan marah,” ujar Riang.

”Marah untuk apa?”

”Teteh siapanya Aplatun?”

Wanita itu tesenyum. ”Menurut Mas Mas, saya siapanya bang Ap?”.

Riang berharap dia adiknya, tapi mulutnya malah menjawab, ”Jangan-jangan istrinya?”
Wanita itu tersenyum anggun. Jawaban itu mengambang. Wanita itu masih tampak bagaikan misteri.

”Beberapa minggu yang lalu, bang Ap, muter-muter di terminal, mencari Mas-Masnya. Ia bertemu pedagang asongan yang bilang kalau kalian sudah tidak di Kebun Kelapa. Bang Aplatun pikir, Mas Mas nya sudah kembali, ternyata masih di sini. Bang Ap pasti gembira. Alhamdulillah!”

”Sekarang orang yang akan bergembira ada di mana?” Tanya Riang tertawa.

”Jualan kaus di belakang gedung sate. Pulangnya sehabis Dzuhur. Mas Masnya tunggu di sini saja.”

Wanita itu menyajikan kopi. Dibenahinya mangkuk dan gelas yang membuat warung berantakan. Ia meminta izin ke belakang.

Riang dan Taryan mencecap, merasakan kopi itu istimewa, padahal, sesungguhnya ramuan yang dibuat istri Aplatun tak ada beda. Riang dan Taryan lalu membicarakan hal yang tak berguna. Agak lama di warung Aplatun membuat dua orang itu merasa bosan.

”Mba?” Riang merogoh uang.

Wanita itu masuk tergopoh-gopoh. Riang dan Taryan melihat sekilas keanehan pada perutnya. Ada kehidupan di dalam rahim dia. Riang dan Taryan saling menukar pandang. Taryan tiba-tiba mengucapkan, ”amin!”

”Amin?” istri Aplatun mencari jawaban.

Taryan yang reflek mengatakan mengucap amin, mengelak. ”Ya amin!” jawabnya tak nyambung. Lalu mereka pun berpamitan dan menitipkan pesan. Aplatun tak usah khawarir, tempat tinggal Riang dan Taryan, kini jauh baik ketimbang tempat tinggalnya dulu. Mereka lalu memberikan sup sisa SNB, meletakan uang pembayaran.

Istri Aplatun tidak menolak sup dan nasi yang diberikan, namun ia menolak bayaran atas apa yang ia ikhlaskan.

Dengan itu tak ada lagi hal unik yang bisa diceritakan tentang Aplatun dan istrinya. Riang dan Taryan tak ingin mengganggu kehidupan mereka. Riang mengingat bagaimana Aplatun memberinya golok dan garpu. Ia tak tega melihat kebahagiaan wanita itu sebab Riang berfirasat yang bukan-bukan. Ia takut jika sewaktu-waktu keberadaan dirinya dan Taryan akan menyeret Aplatun kembali menuju kehidupan masa lalunya. Riang kasihan pada keluarga dan bakal anak mereka. Mereka hanya akan datang ke tempat itu, sekali-kali untuk silaturahmi.

Beberapa meter setelah keluar dari warung, suara muntah terdengar.

”Amin!” Taryan mengusap wajahnya.

”Lho, amin apa?”

“Mudah-mudahan jadi anak yang soleh.”

”Amin sebelumnya apa?”

”Sama.”

Riang tersenyum. Ia membetulkan celana.

”Yan?”

”Ya?”

”Kalau seandainya istri Aplatun pawang binatang, yang dipawanginya binatang apa?”

Karena pola pikir Taryan seperti lensa konvergen, jawabannya tentu yang biasa. Taryab menjawab macam binatang yang sering diinderanya. Riang lain, ia berpikir jauh, membanding-bandingkan Aplatun dengan ikan tenggiri, babi rusa, kecebong, hingga ikan paus. Riang tak menemukan banyak persamaan antara Aplatun dengan binatang-binatang yang dipikirkannya, hingga akhirnya ia memutuskan jawaban yang paling benar. Baginya, Aplatun adalah manusia.
Ia dan Taryan pun manusia.
Binatang yang sama.
Mamalia yang radik!

READ MORE!

Sup Not Bomb (Bab 24)

Posted: Senin, 13 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Kesibukan tak bisa dijadikan alasan bagi manusia untuk mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan terkait eksistensi diri Riang. Kesibukan adalah perbuatan pragmatis yang mutlak dilakukan manusia untuk pemenuhan kebutuhan jasadinya. Tetapi pertanyaan mengenai eksistensi, mengenai darimana aku berasal, akan kemana setelah aku mati dan mau di bawa kemana hidup ini aku bawa, harus senantiasa dicari, harus senantiasa ditemukan. Jika dengan alasan sibuk, manusia menyiakan 18, 25 atau bahkan 80 tahun usianya tanpa menyempatkan diri merenung, mencari jawaban atas teka-teki yang mau tak mau harus dijawab rasanya manusia itu gila. Dan Riang memilih untuk tidak menjadi gila. Bahkan sebelum organ reproduksinya matang, Riang sudah memulai perjalanan dirinya ke dalam. Ia menelusuri jiwa dan pikirannya. Ia jatuh bangun dalam melakukan penelusuran ini. Jatuh oleh kebingungan, terbangun oleh kegelisahan. Terus menerus seperti itu. Jatuh oleh kebingungan, bangun kembali untuk melakukan pencarian. Kedua sahabat yang pernah ia temani di Merbabu: Pepei dan Fidel lah yang membangunkan dirinya setelah lama terjatuh, hampir tak bangun. Kedatangan mereka menjadikan keran pertanyaan yang ada di kepalanya mulai menetes kembali, kemudian menderas, memancar-mancar, lalu kehidupan berjalan dan pertanyaan itu di sumbat kesibukan di jalanan saat ia dan Taryan mengambil peran setengah gembel.

Kesibukan pertahankan diri, hanya pertahankan diri, hampir menyumbat perenungannya. Namun kini di pondokan, waktu luang dan minimnya kekhawatiran akan nafkah kehidupan membuat Riang kembali pikirkan eksistensi mengapa adanya. Hal ini tidak sungguh-sungguh berlangsung sewaktu ia masih berada di jalan. Meski pikiran, meski pertanyaan itu sempat melintas, namun dengan mudahnya pertanyaan itu ditindas. Kebutuhan akan makan, pekerjaan, jaminan akan hidup keesokan harinya adalah bos yang memerintahkan Riang untuk meminggirkan pertanyaan yang ada di alam pikirannya.

Berada di Pondokan menjadikan semuanya berbeda. Suplai makanan terus mengalir. ”Dari mana asalnya?” Di beri marsupilami? Tidak mungkin. Marsupilami hanya memberi makan anaknya. Marsupilami tidak bisa memberi makan manusia. Manusialah yang bisa memberi makan marsupilami. Bolak balik memikirkan marsupilami tentu tidak menjawab pertanyaan dan Sup Not Bombs (SNB) yang mengawali jawabannya.

Promotor SNB lah yang mengalirkan kebutuhan pokok, di samping –memang--, pengurus pondokan memiliki kantung cadangan untuk menghidupi orang-orang yang kebetulan tinggal di sana. Pagi itu, Riang dan Taryan melihat langsung bagaimana SNB dilaksanakan.

Suara motor trail terdengar dari kejauhan. Seiring berhentinya dua buah mesin motor di depan pondokan, kukuruyuk ayam menelusup hingga ke sanggar. Dua orang lelaki yang seminggu lalu Riang saksikan perseteruannya, mengangkat ayam-ayam yang terikat. Satu karung wortel, kentang, kol, berapa ikat seledri, serta daun bawang dijatuhkan dari pangkuan. ”Bruk!” Suara itu menjadi peresmian kegiatan yang akan dilakukan. Kuali-kuali besar di keluarkan dari pondokan. Eva mengambil baskom untuk mencuci sayuran. Bentar menguliti kentang dan wortel. Riang dan Taryan membantunya. Mereka semua bersuka cita atas apa yang akan mereka kerjakan.

Sup Not Bombs adalah duplikasi dari gerakan internasional yang lebih memilih menyumbangkan makanan ketimbang perang. Gerakan yang dinamakan Food Not Bombs (FNB) ini lahir di Cambridge, Massachusetts pada tahun 1980 oleh aktivis anti nuklir. Di kemudian hari gerakan ini memeriahkan dunia bersama gerakan anti globalisasi yang setidaknya tercatat di awali oleh gerakan Laskar Pelangi, Green Peace.

FNB merupakan gerakan otonom yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menjadi salah satu jaringan yang manivestonyanya selalu di bacakan ibarat mantra yang melingkupi sanggar saat kegiatan SNB di adakan.

Food Not Bombs!

Karena makanan adalah hak semua orang,
bukan hak istimewa segelintir orang saja!
Karena ada cukup makanan untuk semua orang d imana-mana!
Karena kekurangan bahan makanan pokok adalah bohong!
Karena disaat kita lapar atau kedinginan,
kita punya hak untuk mendapatkan,
apa yang kita inginkan dengan cara meminta, mengamen, atau menempati
bangunan-bangunan kosong!
Karena kapitalisme menjadikan makanan sebagai sumber keuntungan,
bukan sebagai sumber nutrisi!
Karena makanan tumbuh pada tanaman!
Karena kita butuh lingkungan bukan kendali!
Karena kita butuh rumah bukan penjara!
Karena kita butuh makanan bukan bom!

Sepertinya kekanak-kanakkan saat kita terus menerus mendengar manivesto tersebut dibacakan seolah mulut pesertanya berasal dari alat perekam, namun mereka yang datang ke sanggar bersungguh-sungguh untuk itu. Lagipula bagaimana bisa mengejek mereka jika Bentar mengucapkan perkataan seperti ini:

”Sup not Bomb bukanlah kegiatan amal! Bukan sekedar kegiatan yang memberi makanan tanpa menjelaskan mengapa seseorang tidak bisa makan! Bukan kegiatan amal yang membuat seseorang tertidur dan kenyang, bukan kegiatan yang rentan dimanfaatkan Kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaannya!”

”Kegiatan kami tidak untuk diikuti orang-orang yang moto hidupnya, kalau lapar galak tapi kalau kenyang bego! Kami berbeda! Kolektif ini berdiri agar kita semakin keras berteriak! Makanan yang kita konsumsi harus menjadi suplai energi! Teriakan yang semula lemah harus menjelma menjadi makian! Dari makian menjelma menjadi kebencian! Menjadi kemarahan yang akan membakar bangunan besar Kapitalisme! Menghancurkan kontrol kapitalisme terhadap makanan!”

SNB justru mengesankan sebaliknya. Mengesankan pembangkangan yang dibentuk oleh individu-individu otonom, yang memahami bahwa hidup harus senantiasa di rayakan dan semua manusia berhak untuk melakukannya.

ADALAH WALUH, seorang vegan, vegetarian radikal, anggota Food Not Bombs, yang memberi inspirasi mengenai pendirian dupilikat gerakan internasional tersebut. Lelaki yang tengah menurunkan sayuran dari motor trailnya itu, membenci jika binatang diperlakuan semena-mena. Binatang memiliki hak yang sama untuk hidup seperti manusia.

Bagaimana mungkin seorang vegan berkawan dengan Fred, lelaki yang memanggul beberapa ekor ayam di sampingnya. Lelaki yang dalam kegiatan tersebut memilih tugas sebagai tukang menyembelih ayam?

Perkawanan bukan tanpa cobaan. Perkawanan mereka diawali perseteruan. Di pantiki sebuah pertengkaran logika yang mengendurkan sikap keduanya.

“Kalau anak-anak vegan konsisten dengan hak hidup, seharusnya vegan tidak makan sayur. Kalau binatang memiliki hak hidup yang sama dengan manusia, kenapa sayur tidak memiliki hak hidup pula. Kenapa Kau memakan kol, membuat wortel menjadi jus, kacang kedelai kau tenggelamkan di baskom, kemudian kau peras hingga cairan tubuhnya mengalir hanya untuk dijadikan susu sebagai pengganti susu sapi?” tanya Fred menguji.

Waluh tak siap dengan pertanyaan itu. Seperti petualang yang terperangah menemukan peninggalan purbakala sebuah pemikiran, seperti itulah yang Waluh rasakan.

”Untuk menjamin hak hidup kenapa kita tidak membuat kesepakatan tidak makan saja?” desak Fred.

”Lantas apa yang manusia makan?" Tanya Waluh. "Bagaimana manusia bisa bertahan?"

”Kita bukan bicara apa yang manusia makan! Kita bicarakan hak hidup seperti yang sering kau propagandakan! Jika bicara hak hidup, makan sajalah batu, namun sebelumnya kau harus berpikir panjang lebih dulu, apakah batu memiliki jiwa atau tidak. Jangan-jangan batu memilikinya.”

”Jangan berandai-andai!”

”Siapa yang lebih dulu?! Kau sendiri dulu yang berandai-andai bahwa binatang pun memohon belas kasihan ketika disembelih untuk dijadikan makanan! Kau yang bertanya bagaimana jadinya jika alien menangkap manusia di gurun Nevada kemudian manusia mengui-uik sebelum disembelih meminta belas kasihan! Kau bilang Alien tak mengerti permohonan belas kasih manusia, dan hal itu sama saja dengan rengekan kambing saat akan disembelih. Sebenarnya binatang mengajak manusia berkomunikasi sebelum disembelih. Kita hanya tidak mengerti bahasa mereka, bukankah seperti itu yang Kau katakan?”

”Tapi!”

”Kalau berandai-andai tak usahlah makan sayur! Kasihan sayuran!”

Waluh tersentak dengan pembalikan pengandaian dari binatang menuju sayuran. Ia berusaha melawan ego di dalam dirinya. Ia bimbang dan mulai berpikir tentang apa yang ia bicarakan pada orang-orang selama ini. Ia mulai berpikir untuk berdamai membiarkan keyakinan orang namun ia tetap melaksanakan keyakinannya sediri.

Bimbang tertanam, lantas bertunas menjadi aktivitas. Waluh berubah tetapi ia tetap tidak mau mentolerir kebengisan terhadap binatang. Dia memang tak memiliki devinisi dan standarisasi kebengisan. Makna kebengisan dalam pemikirannya bukan undang-undang yang bisa diketatkan aturannya, akan tetapi kebengisan itu bisa ia rasakan ketika tingkah laku Fred terhadap binatang sudah sangat keterlaluan.

Beberapa waktu setelah ucapan Fred menetralkan agresifitasnya sebagai seorang vegan, Waluh melihat anak-anak pondokan mengelilingi Fred. Dilihatnya, lelaki itu mengambil salah satu ayam jantan, lalu menekan dengkul ayam tersebut dan meminta Agus untuk memegang lehernya. Darah mengalir! Ayam jantan menggelepar, lehernya lunglai. Ia yang disembelih, Fred lemparkan ke dalam kebun singkong.

Agus dan teman-temannya jongkok. Sesuatu yang mengerikan terjadi! Ayam jantan yang sebelumnya menggelepar berdiri dengan kepala yang hampir putus! Ayam jantan engambil ancang ancang. Ia yang mati berlari, berkeliling tak tentu arah karena matanya tidak bisa digunakan. Ayam itu terbang membentur tembok setelah menerobos semak-semak.

Sepuluh menit berlalu! Ayam jantan yang malang tak juga mati! Fred tertawa. Ketiga anak pondokkan tidak. Mereka ketakutan. Agus tak tahan. Ia menangkap ayam yang malang, mencengkram badannya dan memasukan ayam itu ke dalam bak sampah yang baru saja di bakar Eva.

”Kenapa dimasukan ke sana?!” Fred tertawa. ”Manggangnya bukan sekarang, nanti malam!”

Ayam malang jumpalitan di udara. Ia kehabisan tenaga. Terbakar. ”Kasian Kang!”

Fred berlari menyelamatkan makanannya. Lantas, Waluh bergerak cepat menyaingi laju kaki Fred. Pukulan mendarat di kening. Kaki Fred terbongkar dari tanah. Ia terjerembab oleh sebuah pukulan yang mantap.

“Anjing!” Waluh meraung. ”Matikan saja! Tapi jangan Kau permainkan mahluk bernyawa!" Diambilnya kerah Fred. ”Setan! Ini yang kau ajarkan pada anak pondokan!”

Fred terangkat. Waluh memakukan tatapannya. ”Jangan menyiksa binatang apa pun di hadapanku!” gertaknya.

”Menyiksa apa?!”

”Kau tahu itu! Kau menyiksa mahluk bernyawa!”

Keributan membuat pemilik pondokan keluar. Bentar melihat ayam jantan menggelepar dan terbakar sia-sia di dalam bak sampah. Ia melihat ada amarah yang meluap dan tumpah! Ia melerai.

Fred hanya ingin memperlihatkan pada anak-anak, bahwa menekan dengkul ayam sebelum menyembelihnya, entah bagaimana akan membuat ayam yang disembelih mampu bertahan lama sebelum ayam itu mati. Di luar perkiraannya, kejadian itu berubah menyeramkan saat Agus memasukan si ayam ke dalam bak sampah yang terbakar.

Fred berusaha memahami apa yang dilakukan Waluh, namun ia tetap tak bisa menerima, bagaimana mungkin darah seekor ayam demikian berharga ketimbang darah yang meleleh di hidungnya?

Kekesalan Fred hampir menyerupai dendam. Ia me-meti-es-kan kekesalannya untuk ia buka pada waktu yang tidak tepat. Ia tak sadar jika serangannya di kemudian hari ibarat membuka kotak pandora, ibarat mengundang taufan Katrina.

Pelampiasan kekesalan Fred pada Waluh terjadi pada saat Waluh tengah memaparkan apa yang ia yakini benar mengenai tindakan kembali ke alam yang meliputi penggunaan pupuk menggunakan kompos atau kotoran hewan di hadapan petani di sekitar pondokan dan sanggar.

Saat Waluh mulai bicara mengenai penyelamatan burung, sebagai imbas penggunaan pupuk alami, pada momentum itulah Fred menyela.

“Bicara menyelamatkan bumi? Bukannya kerjaanmu cuma ngasi makan burung?! Yang penting itu bukan menyelamatkan burung tapi menyelamatkan manusia. Manusia adalah pusatnya semesta!”

Fred sebenarnya faham sindiran tajamnya salah alamat, namun emosi yang ditabungnya sejak perselisihannya dengan Waluh, membuat dia kehilangan kontrol. Sindirannya merambah pada sesuatu yang seharusnya tak di rambah. Waluh tak mengomentari, ia membiarkan Bentar untuk menjawabnya. Ia memilih untuk diam.

Usai forum, saat Riang tengah malas-malasan karena kecapaian, taufan itu pun datang.

“Kalau kau bilang organisasi penyelamatan burung tak ada kerjaan, kalau Kau bilang mengurusi burung tidak ada manfaatya, kalau Kau anggap kami naif karena Kau tidak melihat organisasi penyelamatan burung mengurusi gepeng, mematikan koruptor yang buat negara ini bangkrut, sudah seharusnya Kau berpikir sistematis! Coba berpikir sistemik, anjing!”

”Setiap orang punya bidang garapannya masing-masing. Semua orang punya peran. Semua orang seharusnya saling menghargai. Petakanlah masalah, jadilah burung di langit, terbang melihat keterkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya!”

”Bergabung dengan organisasi pecinta burung, memberi pakan, menjaga burung—burung langka, mengembangbiakan untuk dilepas ke hutan tidak sesederhana seperti yang Kau liat! Berpikirlah sistematis, anjing! Burung habitatnya hutan! Belantara saat ini digergaji, dijadikan penyokong industri furnitur raksasa. Di tebangi untuk digantikan dengan rumah peristirahatan, villa, lapangan golf beratus hektar! Membela hak burung sama dengan menggalang isu untuk membongkar” rayap hutan” dan tikus birokrasi! Bersama isu perlindungan burung kami menyatakan perang terhadap illegal loging, pembabatan hutan yang bukan hanya sebabkan burung kehilangan tempat tinggal, tapi manusia pun juga! Suku-suku pedalaman yang terancam punah! Bersama isu penyelamatan burung terkait penggalangan suara untuk melawan pemerintah yang tidak ambil pelajaran dan bebal dalam permasalahan ini! Bersama isu penyelamatan burung, terkait juga isu penangkalan banjir!”

”Kau bisa lihat apa yang terjadi jika hutan dibabat, ruang hijau didesak mall dan pabrik! Banjir dibilang pemerintah karena sampah! Padahal hutan mereka bunuh! Liat Punclut! Lihat Dago Pakar! Malapetaka semua! Banjir di sukarno Hatta karena tak ada hutan! Tak ada tempat hidup untuk burung! Malapetaka untuk burung, malapetaka untuk manusia! Berpikir sistematis, anjing!”

Cobalah hitung makian anjing yang ditujukan Waluh untuk Fred. Kotak pandora itu telah terbuka. Badai Katrina itu telah datang terbangkan pepohonan, jamban tempat Taryan buang air di tengah malam, membuat Riang bergidik. Tak ada perlawanan yang dilakukan oleh Fred. Bersamaan datangnya badai yang mengerikan itu, terbang pula kesombongan di hati Fred.

Adakalanya kekerasan hati perlu dibenturkan dengan kekerasan bicara yang mengandung kekayaan argumentasi dan logika. Tidak semua manusia sama. Kekerasan bisa menjadi obat yang mujarab bagi manusia berbeda. Salah satu manusia itu adalah Fred.

Saat diam dipergilirkan, pikiran Fred bermetamorfosa menjadi ayakan logika. Perenungan datang. Ia memilah barang berharga miliknya yang dilemparkan badai ke udara. Ia berlari ke sana kemari, memunguti harta yang pernah dipendamnya: nuraninya.
Orang seperti inilah yang bisa diharapkan berpihak pada kebenaran. Fred bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ia fair merubah persepsi, dan tindakkannya. Dan tahukah apa yang terjadi dengan Riang?

Ia mengigil! Ada sesuatu yang mempesonanya. Waktu seolah break dance, jalan patah dan merangkak di pikirannya. Ada kekaguman yang membuat wajahnya yang semula tegang menjadi tenang. Ada sesuatu yang Riang pulungi dari keporak-porandaan yang dilihatnya.

Riang menambah kepekaannya, memperkaya afeksinya, mengubah alam bawah sadarnya dan mempercepat respon dua untuk melakukan tindakan di sebuah taman yang dinamakan orang Jurrasic Park. Sore menjadi saksi saat Riang memergoki empat orang anak SD mengendap-endap, mendekati tempatnya berada. Mereka menunjuk-nunjuk, memandang ke atas pohon.

Riang mengikuti arah pandang keempat anak itu. Ia melihat seekor burung kuning kecil bertengger di salah satu dahannya. Ia melihat dua di antara anak SD itu memungut kerikil. Mereka mengluarkan ketapel. Karet merah melar. Riang segera mengambil pasir yang ada di dekat jalan. Di lemparkannya pasir itu di antara rimbun dedaunan. Burung kecil terkejut. Dilentingkannya dahan kecil menjadi alas penerbangan. Burung melesat cepat.

“Yaaaaaaaah!” Anak-anak itu melihat ke arah Riang. Mereka kecewa.

Riang meminta maaf. Ia lantas, berkisah tentang tentang burung-burung kecil di Merbabu. Ia menyederhanakan kata, bagaimana burung-burung akan memiliki guna lebih bagi alam apabila dibiarkan terbang bebas di angkasa. Dijelaskannya pula keterkaitan dengan hutan dan bunga, bagaimana dengan bantuan paruh dan kakinya, putik sari tersebar dan perkawinan antar bunga terjadi. Dengan bantuan burung dunia kita menjadi indah, menjadi berwarna. ”Burung kecil itu salah satunya,” jelas Riang.

”Yang membuat dunia dipenuhi bunga?” tanya seorang anak.

Riang mengangguk. Si anak yang bertanya mengucapkan terima kasih. Tak berapa lama berselang ketiga anak lainnya serempak mengucapkan kata yang sama.

”Terima kasih om!”

Aduh! Aduh! Mendengarnya hidung Riang meler-meler. Aduh aduh wajahnya menjadi merah. Empat anak itu mengerjap-erjap. Kekecewaan mereka punah hanya dalam sekejap.

* * *

PRIIIIT! Suara peluit terdengar. Kini saatnya Riang bertugas. Ia harus memastikan agar wortel, daging, kentang, dan bahan-bahan lain yang sedang berenang di dalam sup matang merata. Tak lama Riang berteriak, ”Sup mataaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!”

Sup yang masih mendidih di dalam kuali besar, diangkut ke atas pick up. Kompor minyak tanah dimasukan bersama dengan tikar, terpal dan meja. Pukul enam lewat beberapa menit, belasan orang bersuka cita. Mobil bergerak. Dua motor trail milik Fred dan Waluh berjalan mesra, beriringan.

READ MORE!