Balas Dendam (Bab 27)

Posted: Jumat, 24 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Ingatan mengenai Kubah

Kartu atm di telan mesin. Antrian memanjang di belakang pintu transparan saat penyangga sepeda motor Pepei di turunkan. Helm membuat rambut Riang kusut. Pagi tidak terasa dingin karena tempat itu tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketinggian Thekelan. Kedua orang itu membersihkan tangan dan kaki dialiran air keran.

Masuk ke dalam, suasana lengan. Ada kedamaian seperti yang biasa ditemukan di tempat peribadatan. Angin masuk dari bawah tangga, menjadikan ruangan segar, membuat lantai ruangan besar diseraki orang-orang yang terlelap istirahat. Ada yang memejamkan mata, ada yang baru saja bangun dan menguap.

Pepei mengajak Riang menuju tengah ruangan. Kubah masjid yang mereka jejak demikian besar, mungkin sebesar Aya Sophia, sebuah gereja yang dirubah menjadi masjid akibat pertempuran yang berlangsung lama di Konstantinopel.

“Lihatlah ke atas!” tunjuk Pepei.

Riang duduk. Ia berada di bawah lampu raksasa. Tepat berada di titik tengah, sesuatu menguasainya. Bukan mistis. Sesuatu yang dapat dirasionalkan, merambati perasaannya.

“Apa pendapatmu?” Pepei berbaring, tersenyum.

“Sukar untuk di katakan, aku merasa … aku merasa kecil...” Kesulitan menjabarkan lantas membuat Riang diam.

“Kau berada tepat di bawah kubah. Kau merasa kecil, merasa demikian mungil di bawah lingkaran yang kau pandang. Ada perasaan mengagungkan. Ada keindahan, ketakjuban, keinginan untuk tenggelam. Kau berhadapan dengan keagungan yang di buat oleh manusia.”

Riang tak mengerti penuh namun ia membenarkan. Riang takzim.

“Akal budi! Seni arsitektur kubah!” Pepei berbisik. Rombongan orang lewat, berhenti lalub berbaris dua saf, “membuat manusia yang berada di bawahnya merasa kecil. Melebur bersama semesta keagungan! Bentuk kubah di dalam bangunan-bangunan yang dianggap suci didesain: untuk mengingatkan manusia bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari alam semesta dan keagungan yang indah dan tak terbatas! Kubah merupakan lambang ketertundukan!”

Kedua orang itu melangkah keluar dari bangunan megah tersebut. Burung-burung mendarat di terpal, menyerbu kacang-kacangan yang jatuh tercecer dari sebuah kantung kertas yang bocor. Tangga masjid licin oleh tetesan air sisa wudlu. Di sisi belakang yang sepi dinding masjid terkelupas.

“Keberanian serupa dengan kubah!” ujar Pepei. Ia mengelap kaca motor yang kusam.
“Ketakutan memang alamiah, tetapi jika ketakutan bisa dikemudikan, seorang lelaki bertubuh kecil bisa menjelma jadi raksasa di hadapan orang yang memiliki kaki, tangan dan tubuh yang kokoh! Jiwalah yang menjadi penentu keberanian! Kau tak akan bisa menakut-nakuti, Kau tak akan bisa membuat orang lain segan, Kau tak akan bisa menjadikan lawanmu berpikir belasan kali, jika jiwamu Kau kerdilkan! Letak keberanian ada di sana.” Jarinya menunjuk ke arah kepala Taryan.

“Di kepala?”

“Di otakmu! Di akal pikiranmu! Dengannya Kau dapat menundukkan serigala! Menundukkan macan! Gunakan akalmu!”

Motor oleng ke arah kanan. Satu mesin berputar, menggerakan mesin yang lainnya. Ratusan kerja mekanik membuat besi beroda itu menjauhi masjid. Nomor serial sebuah rahasia terbuka. Memori memuatnya. Otak Riang menyimpannya.

KEBERANIAN PASANG DAN SURUT. Keberanian ada di otak manusia. Kekhawatiran yang datang Riang lemahkan. Keragu-raguan ia tikam. Diingatnya kembali situasi gerbang kuburan ketika Kardi dan gerombolannya berbalik arah menuju hutan Merbabu kala api keberanian penduduk Thekelan tumbuh menyatu. Diingatnya kembali mitos yang ia tebarkan.

Kepalan Riang menggebrak lantai kayu pondokkan yang sepi.

“Akan kuciptakan kubah!” Teriak Riang gegap gempita. Ketika otak memunculkan eureka dan aha elebernis, segala sesuatu menjadi jernih seperti wahyu yang baru saja turun.

“Kubah?!” Taryan melongo. Dianggapnya Riang kesurupan arwah kuli bangunan.

“Mari menanam!”

Terbayang bercocok tanam dalam pikiran Taryan.

“Mari menabur!”

Anak itu gila! Kawannya kemasukan setan kuburan!

Riang kemasukan, tapi bukan kemasukan setan. Di dalam otaknya bergentayangan informasi. Ingatan silih ganti, bertumbukkan, saling berciuman. Diendapkannya, diheningkannya. Riang menemukan sistematika mengenai awalan berperang yang jauh dimulai sebelum era Sun Tzu.

Riang meneliti informasi mengenai Kardi agar pembalasan dendamnya terlaksana serapih gerakan Janitsar Otsmani mengangkut gelondongan kayu yang diperintahkan Al Fatih demi menyulap bukit menjadi bahtera untuk menggempur dinding Byzantium. Riang merahasiakan apa yang akan diperbuat. Ia tak ingin apa yang nanti dilakukan menjadi getah yang menempel di tubuh penghuni pondok. Ia tak ingin menyusahkan dan membawa persoalan yang memungkinkan pondokkan diporandakkan.

Semula Riang ingin menanggung semuanya sendiri, tetapi Taryan adalah teman senasib. Ia bersumpah untuk membantu Riang. Tak ada rencana yang berubah ketika Taryan membantu. Semua berjalan dengan semestinya. Sembah sujudnya Sekarmadji mereka awali sebagai modal. Bapak yang bertanya mengenai kerasukan Allah, yang menjadikan gunjingan sebagai sifat yang menyimpang, menyebarkan informasi kemaha besaran Riang secara sukarela tanpa perlu diminta, tanpa perlu diberitahukan rencananya apa. Inilah perang urat syaraf dan pemanfaatan yang dipelajari ahli strategi di Pentagon sana.

Cerita-cerita heroik di bakar. Kemenyannya merebak ke mana-mana. Asap, asap dusta menelusup ke pelipiran, dibicarakan anak-anak, disebarluaskan si Ongki anaknya kang Nurdin pada pamannya, ujang Eboh yang tengah mencuci sandal. Ibu-ibu tak luput terkena godaan. Mulut-mulut saling tular menular hingga sampai di kuping pemuda-pemuda pengangguran yang punya keahlian orisinil menerbangkan burung merpati. Mulut klub Japati, klub yang memiliki puluhan burung merpati pos, menerbangkan informasi itu pada nenek enam orang anak yang makin membuat kisah Riang semakin seru. Makin berkepul-kepul cerita, makin dahsyat ilmu kibul mengkibul yang diperantarai Hermes bernama Taryan.

Minggu pertama itu Riang diceritakan menjadi perambah hutan. Gergaji mesin yang pertama kali ia pergunakan bukan untuk menebang kayu tetapi membelah kaki Jagawana. Saat peluru Jagawana meleset memecahkan sebongkah batu, Riang mengambil kesempatan. Suara mengerikan kemudian mendominasi seluruh suara di hutan melebihi auman macan. Groah! Akh!

Riang lari ke perbatasan Malaysia lantas membantu menyelundupkan batu bara. Tak betah di sana, ia pergi ke Jawa menuju stasiun Senen. Baru beberapa bulan bergaul dengan lingkungan keras Jakarta, Riang sudah berbuat onar, menjadi penyebab huru-hara antara orang Batak dan Palembang. Riang yang berada di pihak jemo Palembang menusuk seorang preman sampai mati; satu di leher; lima di dada. Kerusuhan terjadi selama tiga hari. Polisi datang bertruk-truk. Riang si pemain baru dalam dunia kriminal--, dinobatkan sebagai buronan. Ia disebut-sebut dengan nama mat Kater. Sebuah julukan yang berawal dari perbuatannya menusukkan pisau cutter lalu mematahkan pisaunya di dalam tubuh korban.

Riang kabur, hidupnya dari todong sana-todong sini, hampir perkosa tapi tak tega, ia hantamkan balok jati pada pinggang tukang sate Madura, ia ambil cincin emas anak orang China. Ia lakukan apa saja untuk bertahan. Ia terus mengembara hingga dalam perjalanan itu ia bertemu abah Sharun pensiunan perbaikan tower PLN yang profesinya setinggi ilmu agamanya.

Babak ke dua, pada minggu selanjutnya, cerita mengenai kekebalan tubuh Riang dari proyektil dan tusukan mengepul. Mengetahui Riang melakukan tindakan dianggap lebih buruk dari merampok, Abah Sharun mengingatkan, “Cabut susukmu Riang! Sirik itu mengerikan!”

Riang ingin taubat sempurna, tetapi ia tak bisa mencabutnya bahkan hingga saat ini. Ilmu nomor satu yang ditanam tanam di tubuh Riang menjadikan hanya sedikit orang pintar yang memiliki kemampuan menetralisirnya. Susuk itu tidur di dalam tubuh Riang. Susuk itu seperti kekuatan yang bersemayan di dalam tubuh mahluk hijau Hulk. Kekuatan mengerikannya bisa muncul apabila pemiliknya membutuhkan.

Berita tersebar dari mulut ke telinga. Riang berharap preman tanggung di sekeliling Kardi akan berpikir dua kali jika waktu pembalasan dendam yang direncanakan tiba.

Merdu nyanyian dan tebar kibulan itu memang dirasakan Riang. Saat ia jalan di bibir gang, beberapa pemuda pengangguran menegurnya sopan.

“Kamana ’Aa? Mau kemana Kak?” sapa mereka. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah begitu. Atau, pas Riang mencari geretan, seseorang pengamen yang juga berprofesi sebagai preman tiba-tiba menawarkan bantuan. “Bade ngisep ’Aa! Mau merokok Mas?”

Dahsyat! Hebat! Durga! Sensasi kelas tinggi! Riang makin yakin manusia dapat dipengaruhi informasi. Segala persiapan kemudian diselesaikan. Untuk mempertahankan diri, tak mungkin Riang meminjam lagi golok Aplatun. Ia mengeluarkan uang membeli pisau di pasar. Riang berusaha menjauhkan Riang, memisahkan temannya agar Taryan tak mengikuti langkah terakhir yang akan Riang lakukan.

Taryan menolak. Ia tak mau hanya menanti. Ia ingin ikut menikmati benih informasi yang ia bantu tanam sebelumnya. Taryan menyadari konsekuensinya. Taryan ingin melihat orang yang pernah mengkepruk kepalanya, meski ia yakin tak bakalan tega membalas perlakuannya dengan kadar yang sama.

Menjelang H-1 pembalasan tiba, Taryan mendatangi terminal Dago. Ia ingin mengetahui sejauh mana mitos mengembang. Ia ingin memastikan siapa yang mereka incar. Juru parkir memberi telunjuk, memberi tahu wajah Kardi. Taryan terkesima. Lelaki yang menjadi musuh kawannya adalah benar, lelaki yang juga pernah membuat kepalanya ternoda oleh darah.

Taryan mengenalinya baik. Lelaki itu yang membuat ia tidak dapat pulang menemui Radia. Lelaki itu yang membuatnya tidak bisa membawakan lagi makanan enak untuk Riang. Pulang ke pondokkan, kepercayaan diri Taryan menjadi bulat. Tekadnya menjadi kuat!

MALAM JUMAT yang keramat.

Tak satupun, harapan yang mampir di benak Riang dan Taryan selain menyelesaikan urusan. Mungkin, ini malam terakhir mereka di Bandung dan pondokan. Sebuah surat sudah mereka persiapkan.Terimakasih dan permintaan maaf terkait kepergian yang tiba-tiba mereka tumpahkan. Riang dan Taryan memilih menghilang begitu saja. Menjadi ingatan yang tak ada satu orang pun mampu memastikan realitanya. Biarlah semua berlalu seperti bakaran kapas, menjadi serat-serat rapuh dalam penghabisan, diterbangkan angin hingga tak tersisa.

Riang dan Taryan memperhatikan sanggar yang menyenangkan. Merekam baik-baik keadaan serta pegalaman yang membuat sel-sel otak mereka berdenyar lancar. Mata mereka kuyu, sayu. Mereka menghormati Bentar dan Eva. Mereka mengharap kedua orang itu sanggup memaafkan apa yang mereka lakukan. Pondokan akan tinggal kenangan.

Melalui jalan potong, mereka menuju terminal, menyibak alang-alang yang runcing dan melewati beberapa buah pancuran. Jalan raya di depan. Riang dan Taryan tak lagi bicara. Keadaan menjadi tegang. Tak ada keraguan. Jika kalah, kalahlah! Mati-matilah! Sekarat-sekaratlah! Riang tak peduli. Ia hanya ingin menuntaskan siksa dan kutukan. Ia berniat habis-habisan. Dendam tak akan membuatnya bersikap fair. Ada dibelakang atau dihadapan Kardi, ia akan tetap menikamnya sampai mati! Ia tak musti adil! Jahannam itu yang lebih dulu tidak fair terhadap Pepei! Ini adalah pembalasan dendam bukan usaha untuk menjadi jagoan dan pahlawan!

Terminal. Kijang-kijang angkutan kota dan colt berwarna hijau berbaris sesuai dengan jurusannya. Ada oli yang berceceran, puntung rokok bergeletakan beberapa di antaranya masih terbakar Sampah-sampah terserak meski tongnya baru terisi setengah. Sebuah truk diparkir di depan sebuah toko beras yang tutup. Dahak truk yang batuk pada knalpotnya mencemari paru-paru bayi berumur satu bulan yang lengket di pelukan ibunya. Gambar lelaki berkumis ala Hitler menghias kios mie ayam. Lelaki berkumis itu berkata, Ojolali! sambil mengacungkan jempol yang lebih besar dari kepalanya. Seorang pengendara motor masuk ke dalam terminal. Selempang yang terjulur ke bawah dagu menyelimuti mulut dan hidungnya. Masih banyak orang-orang yang berteriak. Masih ada yang sekedar menggerutu. Bising mengintervensi.

Riang bertanya pada calo angkutan kemudian menuju ke belakang terminal tempat Kardi mangkal. Saat kritis itu tiba. Tak ada gelembung ketakutan. Bulatan-bulatan yang semula menganggu pecah. Jika Edison menemukan lampu dan membuat manusia tak lari lagi dari monster kegelapan, Riang menemukan bahwa dendam telah membuka terangnya jalan yang menihilkan rasa takutnya. Ia menemukan penyanggah yang Pepei sampaikan mengenai Kubah. Ia beriman pada informasi yang Taryan sebarkan.

Di bawah lapak yang siang hari tadi menjadi depot es, beberapa bilah kayu di pasang menjadi dipan yang nyaman untuk istirahat. Ada bantal yang mengesankan Kardi dan teman-temannya sudah menganggap terminal ini sebagai tempat kediaman. Lima orang tampak duduk-duduk dan melemparkan jejaring pandangan. Mereka bisu. Riang memperbaiki langkahnya. Ia masuk ke dalam bayangan atap. Taryan yang berada di sampingnya gemetar.

Tak ada suara. Hanya tatapan dan aura yang pesing yang mengganggu kenyamanan! Lima pria bangkit. Kutub negative dan kutub negatif lainnya akan bertumbukan! Resonansi! Seakan tujuh ekor cupang, pertempuran antar mata terjadi. Ada pertempuran di dalam kegelapan!

Ke lima orang itu tak terpengaruh! Riang mulai khawatir akan keberhasilan informasi yang diceritakan Taryan. Dengan kecerdasan yang melintas Taryan menyalakan rokok yang terselip di mulut Riang. Muka Riang jelas terlihat, benderang, meredup, lalu menghilang. Wajah Riang terekam dengan baik meski hanya beberapa detik.

Alarm berbunyi! Hoy! inilah mitos itu. Inilah wajah lelaki yang memiliki wajah dua dimensi. Wajah kegelapan dan cahaya. Seperti Ahura Mazda. Akulah pemberi surga dan neraka! Akulah api yang menggado laron menjadi lalapan!

“Eh, … tos timana ‘Aa? Dari mana Mas?”

Awalan yang baik.

Awalan yang baik. Rasa nyaman tercipta. Pemuda yang tadi bertanya menyalakan korek api tepat di wajahnya. Pria itu membakar korek api untuk yang kedua kalinya. “Di, pang meulikeun lilin, belikan lilin!” ujarnya.

Orang yang disuruh, tergopoh membusanakan kakinya yang telanjang menggunakan sandal. Ia berlari. Meloncat-loncat dan balik lagi membawa sebuah lilin. Dinyalakannya lilin itu.

Satu persatu senyum berkelap-kelip memperhatikan wajah Riang.

“Bade milarian saha Aa? Mencari siapa Mas?”

“Main,” jawab Riang singkat.

“Meuni kitu si A’a mah. Kalo maen mah mending ka Gasibu, pan keur aya nu manggung, dangdutan. Suka begitu si Mas ini. Kalau mau main mending ke Gasibu. Kan sekarang ada yang manggung, dangdutan.”

“Kardi kemana? Aku ada perlu dengannya.” Riang mengalihkan pertanyaan.

“Abdi tos lami teu pependak. Sudah lama nggak ketemu.” Pria itu berpikir. ”Kardi teh rerencanganana Akang? Kardi temennya Mas?!”

Aha edan! Dia mengetahui nama Riang. Managemen mitos Riang berhasil. Iklan! Taryan piawai membuat iklan! Ia pantas diikutsertakan dalam tim sukses Pilkada!

”Kardi teh babaturan akang zamen bareto. Zaman aki-aki disunatan pake tambang, zaman nini-nini di tumpakan kuda, sanes? Sekarmadji itu temennya Mas Riang zaman dulu? Zaman pas kakek-kakek di sunatin pake tambang, pas nenek-nenek ditunggangi kuda, bukan?” Pria itu tertawa. Ia berusaha melucu.

Dehidrasi. Ia sadar Riang tak suka. Pria itu memperbaiki sikapnya.

“Kehuelanya ’Aa. (sebentar ya Mas).” Ia bertanya pada pemuda yang tadi membawakan lilin. Pemuda itu berlari lagi, lalu balik membawa seseorang yang menyengajakan diri untuk menyampaikan informasi mengenai Kardi.

Saat klimaks datang, tiba-tiba takdir berbelok begitu saja. Kardi hilang dijemput Jeep berwarna merah. Lelaki sialan itu hilang, menguap! Riang kecewa! Harus sampai kapan ia berada di kota ini?

Nasib manusia benar-benar tidak dapat diprediksi. Nasib Riang seperti dipimpongkan entah oleh siapa. Ping di lambungkan … pong … di smash sintir dan menukik. Pong yang mengecewakan pada waktunya akan menjadi ping kebahagiaan hanya dalam hitungan hari.

0 komentar:

be responsible with your comment