Binatang Aplatun (Bab 25)

Posted: Senin, 20 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Biar tak punya kaki, langkah SNB untuk yang kesekian kalinya berjalan lancar. Panci-panci yang pada ujungnya menempel lemak kini melompong. Air panas di dalam jerigen menjadi dingin dan menggenang. Sayur-sayur yang berceceran, dan remah-remah nasi dibersihkan. Pick up yang diparkir di belakang monumen menggerung. SNB bulan ini selesai.

Riang menjinjing kantung plastik transparan sementara Taryan membawa sebungkus nasi dalam genggaman. Mereka tak membawa kantung hitam untuk menyamarkan pemberian yang ingin mereka persembahkan pada Aplatun. Mereka berjalan setelah menemukan cukup alasan.

Dari kejauhan warung Aplatun kini tampak terlihat segar. Catnya yang mengelotok ditimpa cahaya kuning matahari, berpendar menyilaukan. Warung itu tampak sehat dan segar.

”Ada sesuatu yang berubah...” Kata-kata Riang lebih dimaksudkan bukan secara fisik, melainkan secara spiritual. Secara spiritual warung Aplatun berubah. Ada sesuatu yang membuatnya bersinar.

Taryan tak mengerti. Ia hanya mengerti bahwa kenyataannya warung itu memang telah berubah.

”Ton.... Ton!?” Tanpa basa-basi dan lupa mengucapkan salam, kedua orang itu berteriak riuh rendah.

Tak ada jawaban, seorang wanita terlihat tergopoh-gopoh berlari dari pinggir jalan. Wanita itu membenahi rambut yang menyempil dari kerudungnya.

”Aplatun ada?” Riang dan Taryan curiga.

Wanita itu memperhatikan wajah Riang dan Taryan. Ia mengingat ciri-ciri wajah seperti yang pernah diceritakan. Ia berpikir lambat. Lima detik kemudian jarum ingatan yang sedari tadi dicari dalam tumpukan jerami pikiran ditemukan. ”Mas Riang?” jempolnya menunjuk. Lengan bajunya bergeser Pergelangan tangannya terlihat putih, bersih.

Riang dan Taryan belum bisa menerima kenyataan jika di warung Aplatun terdapat seorang wanita berwajah sopan dan mengembirakan. Mereka kebingungan.

”Bang Aplatun selalu membicarakan kalian,” wanita itu menjelaskan. Air panas dituang. Keretak gelas tipis terdengar. Bubuk hitam dibubuhkan ke dalamnya. Harum mendatangi hidung Riang dan Taryan.

”Mas Masnya sudah lama tidak datang ke warung ini?” Wanita itu menuntut. ”Bang Aplatun selalu menunggu setiap malam. Bang Aplatun selalu bilang, di Bandung cuma kalian temannya.”

Riang dan Taryan tidak menjawab.

”Maaf ... teteh jangan marah,” ujar Riang.

”Marah untuk apa?”

”Teteh siapanya Aplatun?”

Wanita itu tesenyum. ”Menurut Mas Mas, saya siapanya bang Ap?”.

Riang berharap dia adiknya, tapi mulutnya malah menjawab, ”Jangan-jangan istrinya?”
Wanita itu tersenyum anggun. Jawaban itu mengambang. Wanita itu masih tampak bagaikan misteri.

”Beberapa minggu yang lalu, bang Ap, muter-muter di terminal, mencari Mas-Masnya. Ia bertemu pedagang asongan yang bilang kalau kalian sudah tidak di Kebun Kelapa. Bang Aplatun pikir, Mas Mas nya sudah kembali, ternyata masih di sini. Bang Ap pasti gembira. Alhamdulillah!”

”Sekarang orang yang akan bergembira ada di mana?” Tanya Riang tertawa.

”Jualan kaus di belakang gedung sate. Pulangnya sehabis Dzuhur. Mas Masnya tunggu di sini saja.”

Wanita itu menyajikan kopi. Dibenahinya mangkuk dan gelas yang membuat warung berantakan. Ia meminta izin ke belakang.

Riang dan Taryan mencecap, merasakan kopi itu istimewa, padahal, sesungguhnya ramuan yang dibuat istri Aplatun tak ada beda. Riang dan Taryan lalu membicarakan hal yang tak berguna. Agak lama di warung Aplatun membuat dua orang itu merasa bosan.

”Mba?” Riang merogoh uang.

Wanita itu masuk tergopoh-gopoh. Riang dan Taryan melihat sekilas keanehan pada perutnya. Ada kehidupan di dalam rahim dia. Riang dan Taryan saling menukar pandang. Taryan tiba-tiba mengucapkan, ”amin!”

”Amin?” istri Aplatun mencari jawaban.

Taryan yang reflek mengatakan mengucap amin, mengelak. ”Ya amin!” jawabnya tak nyambung. Lalu mereka pun berpamitan dan menitipkan pesan. Aplatun tak usah khawarir, tempat tinggal Riang dan Taryan, kini jauh baik ketimbang tempat tinggalnya dulu. Mereka lalu memberikan sup sisa SNB, meletakan uang pembayaran.

Istri Aplatun tidak menolak sup dan nasi yang diberikan, namun ia menolak bayaran atas apa yang ia ikhlaskan.

Dengan itu tak ada lagi hal unik yang bisa diceritakan tentang Aplatun dan istrinya. Riang dan Taryan tak ingin mengganggu kehidupan mereka. Riang mengingat bagaimana Aplatun memberinya golok dan garpu. Ia tak tega melihat kebahagiaan wanita itu sebab Riang berfirasat yang bukan-bukan. Ia takut jika sewaktu-waktu keberadaan dirinya dan Taryan akan menyeret Aplatun kembali menuju kehidupan masa lalunya. Riang kasihan pada keluarga dan bakal anak mereka. Mereka hanya akan datang ke tempat itu, sekali-kali untuk silaturahmi.

Beberapa meter setelah keluar dari warung, suara muntah terdengar.

”Amin!” Taryan mengusap wajahnya.

”Lho, amin apa?”

“Mudah-mudahan jadi anak yang soleh.”

”Amin sebelumnya apa?”

”Sama.”

Riang tersenyum. Ia membetulkan celana.

”Yan?”

”Ya?”

”Kalau seandainya istri Aplatun pawang binatang, yang dipawanginya binatang apa?”

Karena pola pikir Taryan seperti lensa konvergen, jawabannya tentu yang biasa. Taryab menjawab macam binatang yang sering diinderanya. Riang lain, ia berpikir jauh, membanding-bandingkan Aplatun dengan ikan tenggiri, babi rusa, kecebong, hingga ikan paus. Riang tak menemukan banyak persamaan antara Aplatun dengan binatang-binatang yang dipikirkannya, hingga akhirnya ia memutuskan jawaban yang paling benar. Baginya, Aplatun adalah manusia.
Ia dan Taryan pun manusia.
Binatang yang sama.
Mamalia yang radik!

0 komentar:

be responsible with your comment