Orang Batak? (Bab 26)

Posted: Senin, 20 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Kehidupan berjalan apa adanya. Taryan merasa nyaman. Di kampus tempatnya bekerja, secara rutin atasan dia menularkan harga diri raja diraja pada manusia siapa pun juga.

”Asal kau profesional, pekerjaan apa pun tak perlu menjadikanmu seperti dubuk yang hobi mengangguk-angguk, menunduk-nunduk!”

Di antara anak buahnya ada yang tak mengetahui dubuk itu apa, tetapi si atasan tetap mengoceh mengenai harga diri yang tak ketulungan.

”Manusia itu sendiri yang tentukan harga dirinya.” Atasan Riang yang nyentrik ini benar-benar mempraktikkan apa yang ia omongkan. Si Junaedi, yang bertanggung jawab terhadap kebersihan langit pernah ia pergoki bersikap seperti dubuk.

”Jangan kayak gitu dong,” kata atasan Taryan menggunakan logat Jakarta. ”Kamu itu kerja! Bukan jadi budak! Tunduk-tunduk di hadapan orang udah nggak zaman. Kalau gitu di keraton atau di depan kiai mu, masih mungkin, tapi kamu di sini berkerja bukan untuk menjadi budak!

Junaedi diam, atasan melanjutkan. ”Kita nyari makan. Mereka yang kamu tunduk-tunduki itu nggak pernah kasi kita makan. Jangan malu! Jangan pernah merendahkan diri! Hargai diri!” katanya. ”Kalau kamu sendiri nggak ngehargain, siapa yang mau ngehargain?!”

Dibangunkannya harga diri si Junaedi hingga bangunan harga dirinya yang reot berubah menjadi bangunan kepercayaan yang gagah. Kepercayaan diri si pekerja bertambah, berlipat-lipat. Perlahan-lahan badan teman-teman Taryan tegap jika berhadapan dengan orang, dan mungkin juga jika mereka harus dihadapkan pada orang keraton atau pun kiai, karena yang dimaksud ’kiai dan keraton’ oleh atasannya, sebenarnya hanya sekedar pemanis kata-kata belaka. Situasi kerja seperti ini memiliki pengaruh besar terhadap keselamatan mental Taryan.

Situasi yang khas itu memang merupakan sebuah situasi yang tidak tiba-tiba terjadi. Jaringan pertemanan, solidaritas satu pemikiran membentangkan hubungan yang luas antara pondokkan dengan sahabat-sahabat di luar. Salah satunya adalah atasan Taryan. Jaringan itu terajut kuat, menyebar hingga batas-batas yang sukar untuk diperkirakan.

Di luar itu, perkerjaan dan kehidupan Taryan yang mulai ’mapan’ di pondokkan, akhirnya mendorong dia untuk menyurati Radia. Taryan tak lagi memiliki halangan psikologis untuk memberitahu kabar dirinya kepada sang istri. Ia bahkan menjelaskan panjang lebar bagaimana perjalananannya yang merana sebelum sampai di pondokkan. Surat-surat menyurat dengan kertas cap Harvest atau kertas-kertas warna norak berisi rayuan gombal di sertai bubuhan cap listik membombardir pondokan.

Bagi Riang surat Radia, mengisyaratkan kepulangan Taryan. Ia berusaha menjauhkan kekhawatiran itu dari pikirannya. Sejak saat itu ia mulai memupuk kesiapannya, berjuang untuk melepaskan Taryan jika saatnya tiba.

Semua orang butuh bahagia. Setiap manusia punya alur dan cara hidup yang berbeda. Riang percaya. Ia berjuang untuk itu, maka untuk melempangkan jalan sahabatnya, sekalipun Riang tidak pernah mengungkit kembali perihal pembalasan dendam yang pernah menjadikan Aplatun kalap.

Berbagai kejadian silih berganti mendatangi, seolah tidak memiliki keterkaitan dengan tujuan awal keberangkatan Riang. Apa yang Riang inginkan belum kesampaian. Ihwal pembalasan dendam atas kematian Pepei, ihwal kesokheroikannya Riang pun terpaksa diredam, namun, hal ini tidak untuk selamanya berlangsung, karena sebuah kejadian lain menyambungkannya kembali di saat libur hari keagamaan datang.

SAAT ITU TAK ADA YANG MEMULAI hari dengan cara tak wajar, kecuali pertanyaan seorang bapak berumur lima puluh tahunan yang diarahkan pada Bentar.

“Aya teu Kang, pernah ada tidak Kang, orang yang pernah kemasukan Allah?”

Mendengar pertanyaan itu semua orang hampir mengeluarkan liur, tertawa.

Bentar tak bisa menjawabnya. Tak ada yang bisa menjawabnya. Pertanyaan itu mengarungi kekosongan. Si Bapak ikut tertawa. Ia yang bertanya sebenarnya tidak benar-benar ingin menemukan jawaban. Dia hanya ingin meramaikan. Dia merasa puas jika orang-orang disekelilingnya tertawa. Di dalam dirinya tidak ada guncangan pemikiran. Tidak ada yang menggoyahkan keimanan. Pertanyaan itu berlalu begitu saja.

Semula Riang tertarik dengan pertanyaan si Bapak, namun ketertarikannya tersedot oleh tingkah laku seorang lelaki yang berdiam diri tatkala orang lain tertawa. Lelaki aneh itu menggunakan topi hijau berlambang perhutani. Topinya dimiringkan, --hingga-- lidah topinya membuat bayangan hitam yang menyebabkan wajah orang itu tersamarkan.

Sedari awal Riang memperhatikan ia meyudut di pinggiran. Gerak-gerik tubuhnya mencurigakan. Di kepala Riang menari-nari godaan untuk menuduhnya maling sandal hingga tukang kutil kutang. Inti dari semua buruk sangka itu, Riang tidak menyukai gerak-gerik lelaki tersebut. Bagaimana tidak curiga, ketika orang tertawa lelaki itu malah diam. Ketika orang lain diam, ia malah menambah kadar diamnya. Ketika Waluh mempersilahkan lelaki itu bicara, ia menunduk, kemudian menyodorkan tangan dan mempersilahkan orang lain untuk bicara. Kecurigaan Riang bertambah. Setiap Riang menatap matanya, setiap kali pula lelaki itu menunduk. Mata lelaki itu seolah berlari sprint menjauhi palang papan berbentuk mata Riang.

Di pertengahan obrolan, Riang melihat orang itu menjalin komunikasi dengan Fred yang ada di sampingnya. Setiap kali mereka bicara Fred selalu melihat ke arah Riang.

Riang berpikir, mungkin ia kenalan Fred dan Fred seperti berpikir sebaliknya, seperti halnya dua orang pengantin yang tengah mereka-reka tamu asing yang hadir dalam resepsi pernikahan mereka.

Riang gelisah. Ia ingin memastikan. Ketika pembicaraan selesai, Riang berusaha menghampirinya. Aneh! Semakin dekat jarak Riang dengannya, semakin ekstrim lelaki itu membenamkan wajah menggunakan topi yang ia kenakan. Saat Riang hampir menyentuhnya, lelaki itu berdiri, lalu mundur beberapa langkah dan berhenti karena tubuhnya membentur tembok. Lelaki itu segera berbalik arah, berjalan cepat, seolah baru saja bertemu dedemit.

Riang membiarkankannya melangkah hati-hati melewati jembatan. Ia mulai merasa tak nyaman atas perbuatannya.

”Teman?” Fred datang memegang bahu Riang meminta penjelasan.

Mendengar pertanyaan itu, Riang langsung berlari. Ia memanggil. Lelaki itu tak mau menoleh. Langkahnya dipergegas. Semakin cepat… semakin cepat! Ia berlari kecil. Dari kejauhan lelaki itu menoleh ke belakang, melihat Riang membuntutinya. Ia menyiapkan ancang-ancang! Lelaki itu melesat!

“Hei jangan lari… mau kemana?!” Riang mengejar sekuat tenaga sambil berteriak.

Penduduk sekitar sanggar dan beberapa orang yang entah dari mana, menganggap lelaki itu melakukan kejahatan. Kini ia diuber banyak orang. Waluh ikut berlari. Larinya cepat. Ia menyusul Riang.

”Berhenti!” Waluh ikut memperingatkan.

Lelaki itu tak mau, ia terus berlari hingga beberapa detik kemudian kausnya berada dalam cengkraman. Bunyi kaus sobek terdengar dari kejauhan! Lelaki itu terus berusaha melepaskan diri, terus berusaha berlari, namun kekuatan Waluh menjadikan tenaga dan laju kakinya tak berarti. Waluh tak melakukan apa pun. Ia tidak memukul atau menendang. Ia hanya menangkap dan memeluk lelaki itu kuat. Waluh sepenuhnya sadar, tubuh dan tangannya yang liat adalah penjara bagi siapa pun yang berada di dalamnya. Waluh menjadi kantung semar dan lelaki itu menjadi lalat.

Gerakan perlawanan menjadi sekedar guncangan yang justru membuat topi terjatuh. Saat topi lelaki itu lepas, pengalaman pahit tentang diri Riang di rewind. Tanjakan setan, parang-parang yang berkilauan, berita di radio, pekuburan, ancaman matanya, sahabatnya yang mati ditusuk berbayang-bayang di benak Riang. Tapi … mengapa lelaki itu merungkut selemah rumput Mengapa tubuhnya sedemikian kurus. Astaga, matanya nampak cekung, mukanya tampak ketakutan menawarkan gencatan, memohon perdamaian. Riang sungguh tak tahu apa yang harus dilakukan hingga orang-orang berdatangan.

Penduduk yang berlari dari sanggar sampai di lokasi kejadian. Beberapa orang berteriak-teriak menanyakan keberadaan maling, namun setelah mendekat, mereka malah diam dan menyelinap mundur di balik punggung orang-orang yang datang kemudian. Beberapa orang balik ke sanggar. Beberapa yang lainnya menyaksikan bagaimana keberadaan Riang mengintimidasi lelaki yang penduduk ingin gebuki sampai rubuh berkalang tanah.

Masih berada di kantung semar lelaki itu menyembah Riang. O’ dimana lelaki brewok yang dulu berkuasa? Dimana kegarangan dirinya? Riang tak sampai hati. Ia mulai mengasihaninya. Riang melihat siksa yang menjadi deterjen pembilas dosa di matanya. Riang melihat kemurnian lelaki itu. Ia merasakan batin yang meraung-raung dilindas penyesalan. Ia merasa iba melihat tubuh lelaki itu menyusut/

”Sudah sudah!” bujuk Riang saat melihat lelaki itu mencucurkan air mata.

Tangis lelaki itu tidak juga mau berhenti. Ia malah bersujud. Ia menghamba sahayakan diri, mengikhlaskan tubuhnya didera hukuman.

“Sudahlah …. Jangan mempermalukan diri mu seperti itu!” Riang mengambil bahu dan lelaki itu malah menyungkurkan diri, memeluk kakinya.

Melihat peristiwa yang menggoncangkan itu, Waluh beranggapan bahwa lelaki lelaki yang saat itu telah ia lepaskan, memiliki sangkut paut pribadi dengan Riang. Ia tak mau ikut campur, padahal, sesungguhnya lelaki itu pernah berurusan dengan dirinya. Waluh tak tahu, karenanya, ia pun pergi meninggalkan pondokan menggunakan motor trailnya.

Riang membutuhkan ketenangan untuk membicarakan banyak hal dengan lelaki itu. Ia merasa membutuhkan tempat yang aman dari pendengaran banyak orang. Eva memberi tempat yang lapang, di sebuah kebun, tepat di belakang podokan. Taryan dibiarkan mengikutinya. Mereka pun duduk di bangku yang terbuat dari akar tanaman teh.

“Sampeyan bukan orang Batak?” Taryan yang duduk di belakang punggung Riang tiba-tiba bertanya.

Lelaki itu menunduk. Taryan terus memperhatikan.

“Sampeyan pernah kepruk kepala orang pakai bata?!”

Lelaki itu mengangkat kepala. Ia sering melakukannya, namun di kota ini, yang pernah melakukan itu hanya temannya.

Taryan meneliti wajah lelaki itu benar-benar. Usai perampasan --dompet yang sebelumnya Taryan temukan-- terjadi, ia mem-pelat-i wajah orang-orang yang pernah membuat kepalanya berdarah. Taryan merasa terang. Penglihatannya terasa benderang.

“Sampeyan yang waktu itu ambil uang di dompetku! Sampeyan temannya preman yang mukul kepalaku! Ayo ngaku!”

Lelaki itu terpojok. “Yang mana?! Preman yang mana?!”

Ada ruang kosong, hanya antara Riang dan Taryan sementara lelaki itu kembali bergulat di dalam ruangannya sendiri.

“Di kota ini, beberapa bulan lalu, temanmu pernah rampas uang orang! Dan kau ada di sampingnya.” Riang terinfeksi perkataan Taryan untuk menginterogasinya.

Lelaki itu lemas. Ia mengaku.

Taryan memandangnya. Dilihat tubuh lelaki itu kuyu di-shower-i ketakutan. Lelaki itu terpecah belah. Ia lunglai tak bisa memaknai keberadaan dirinya. Jiwanya seolah dicerabut paksa oleh tang yang kasat mata. Ia makin merunduk, terus merunduk, melingakar seperti keong yang bersembunyi di dalam cangkangnya. Lelaki itu meminta ampun, meminta maaf, meminta penyucian.

Taryan belum pernah mengalami kejadian semacam ini. Ia tersedak, tak mampu, tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.

Lelaki itu terus berulang-ulang meminta maaf seakan dirinya didesain seperti sebuah program yang salah copy. Lelaki itu terus meminta maaf, meminta Riang untuk memasukannya ke dalam purgatory. Ia tak lagi mampu mengingat dosanya di masa lalu. Ketakutannya membuat dia histeria, menjadikannya bimbang menyerupakan gila.

“Ampuni! Ampuni! Ampuni aku!” lelaki itu mengerang.

Siapa yang tahan dengan erangan itu. Tidak Riang. Tidak pula Taryan, yang segera memutuskan untuk melupakan benar, sesuatu yang sesungguhnya memang ingin ia lupakan dan pernah ia sarankan pada Riang. Taryan tidak ingin menuntut pembalasan, ia malah ingin menyelamatkan. Dosa lelaki itu harus ditimbun.

“Sudahlah…” sebatas itu yang bisa Taryan ucapkan. Rengkuhan pada bahu lelaki tersebut mewakili seluruh permufakatan untuk memaafkan.

Riang terharu dengan perbuatan Taryan, namun masih ada satu lagi yang menahannya. Ia harus membereskan persoalan, ada yang masih harus dituntaskan, di khatamkan.

“Siapa yang membunuh sahabatku?!” tanya Riang.

Lelaki itu mengangkat lehernya. “Bu… bu… bukan aku Mas! Aku hanya memberitahu!” Ia takut, semakin takut. “Yang melakukan itu bukan aku! ... Aku … aku hanya memberitahu. Kardi! … Kardi Mas!” Lelaki itu tergeragap. Lututnya lemas. Ia terisak. Semakin lama, isakannya makin kentara. Ia menangis.

Riang merasa kelu. Lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya adalah lelaki yang sama, yang dulu dipergokinya memancurkan air seninya di sela-sela pepohonan, sambil berteriak menanyakan Kardi yang tengah mengincar ayam jantannya, si Percik di Thekelan.

Lelaki yang kini terpekur seperti burung yang disiram air panas di hadapannya itu adalah lelaki berewokan yang menyergapnya saat turun dari Merbabu bersama Fidel dan Pepei. Lelaki itu Sekarmadji, seorang yang bertampang seram, kejam, tetapi sungguh hatinya tidak sekeras intan sejak dirinya memungut tas coklat Pepei yang membuatnya bimbang.

Riang merasa digulati perasaan kelu. Ia mendesahkan nafasnya, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir dia menghirup oksigen di dunia. Kebencian Riang kini tak terbagi. Dendamnya Riang, kini hanya untuk Kardi.

Di sela-sela tangisannya Sekarmadji menggapai-gapai. Suaranya terputus.

“Tas mas, … tas…tas…”

Riang ia teringat akan tas Pepei yang dibawa Kardi sewaktu melarikan diri, menghindari keroyokan penduduk desa Thekelan.

“Tasnya aku simpan di rumah,” jelas Sekarmadji. “Tak ada sesuatu pun di sana kecuali dua buah buku dan alat tulis. Di dalamnya hanya terdapat uang lima puluh ribu rupiah. Sungguh …aku tak mengambil apa pun darinya. Sungguh aku tidak berbohong!”

“Untuk sementara,” Sekarmadji membuka dompet,” ini uangnya teman Mas.” “Tasnya dan isinya menyusul,” tambahnya.

Riang menolak.

Sekarmadji berkaca-kaca,

“Ada yang lebih penting dari sekedar uang dan tas!”

Sekarmadji tak memberi respon. Ia menunduk.

“Mas jangan menyembunyikan! …. di mana Kardi?!”

Wajah Riang panas. Degup jantungnya berubah mendentum seperti meriam setelah Sekarmadji memberinya informasi. Riang hampir tak percaya. Kardi tak jauh dengan pondokkan. Riang muskil untuk percaya, ia masih butuh untuk memastikan. “Di terminal Dago?!”

Berulang untuk memastikan. Dan berulang-ulang pula Sekarmadji mengatakan ‘ya’.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi di stasiun Yogyakarta memaksa mereka menyembunyikan diri. Toto yang meminta Gendon mengutus Sekarmadji dan Kardi untuk mencederai Pepei tak mengetahui urusan yang sebelumnya terjadi antara Pepei dan Kardi di kuburan Thekelan. Ia hanya mengetahui bahwa Kardi dan Sekarmadji bisa menjadi anjing yang buas terhadap orang lain namun berprilaku ramah terhadap manjikan jika mereka memeliharanya.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi merupakan semacam teskes. Apa yang terjadi melebihi sesuatu yang ia harapkan. Menyadari itu, setelah kejadian Toto segera meminta Gendon untuk menghubungi rekannya di Bandung,

“Sebelum sampai di Bandung, Kardi lebih dahulu pergi menuju kediamanku …” Sekarmadji ragu-ragu mengaku. Ia melihat berkeliling, mencari lelaki yang sebelumnya membekuk setelah mengulati dirinya. Sekarmadji tidak melihat Waluh di sekitar pondokkan, namun ia memilih untuk tak melanjutkan. Sekarmadji memilih untuk memutuskan kalimatnya.

Riang tak menangkap keraguan itu. Fokusnya hanya pada Kardi. Ia tak mau tahu siapa yang disebut Gendon dan Toto oleh Sekarmadji.

“O, mas…” Riang menyaksikan Sekarmadji merintih lagi.

“O Apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa ini?!” Sekarmadji menangis. “Apa yang harus kulakukan?! Aku malu di hadapan Alloh! Aku tak memiliki harga lagi di hadapan-Nya! Oh, dengan apa aku harus menebus dosaku?! Ya Alloh…”

Riang merasa kasihan, tetapi tangisan dan keluh pertaubatan yang terus berulang itu, akhirnya membuat Riang risih.

“Mas pulang saja,” bujuk Riang.

Sekarmadji sengguk. Ia tak habis pikir. Apa yang dikatakan Riang keluar dari prakiraan cuaca pikirannya.

“Tapi … Mas… Oo…”

Riang memotong, sebelum Sekarmadji meneruskan rintihannya.

“Sudahlah… Mas tutupi lembaran lalu! Jalani yang ada di depan, dan Mas haramkan untuk menengok ke belakang! Mas jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Terus melaju! Buka lembaran baru!”

“Tapi dosa ini …” Sekarmadji merintih lagi.

Taryan mengehela nafasnya/ “Kalau pun teringat kesalahan, jadikan saja kesalahan itu sebagai pelajaran, tapi, Mas tetap jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Semua manusia pasti pernah melakukan dosa! Dan semua manusia diberi waktu untuk memperbaiki diri! Mas memiliki kesempatan itu…”

”Syarat utamanya dimulai dari satu: mulailah mengampuni diri dan jangan melakukan perbuatan jahat lagi! Jangan pernah melakukan perbuatan yang pernah Mas timpakan pada kami ke orang lain!”

Sekarmadji ragu.

Entah bagaimana Riang bisa se-agung itu. Kata-kata Pepei dan Fidel saat Riang menyesatkan kedua orang itu di Merbabu, membantunya.

“Sebaiknya Mas pulang,” bujuk Riang.

Sekarmadji tak tahu harus berkata apa. Ia berdiri. Menunduk, lalu memeluk pemuda di hadapannya, rekat. Riang membiarkan pundaknya basah.

Sekarmadji berpamitan. Ia berjalan semakin cepat, semakin cepat. Ia alpa bahwa tujuannya semula adalah untuk meminta maaf pada orang yang membekuknya sewaktu melarikan diri dari kejaran Riang. Ia datang untuk mencari Waluh, lelaki yang membuatkan kandang ayam, membantu menanam sayuran di pekarangan rumah keluarganya. Terkadang emosi menjadikan seseorang hilang ingatan.

Sebelum tubuh Sekarmadji menghilang, ia membalikan badan, mengelap pipi menggunakan punggung lengannya. “Mas orang baik … terima kasih!”.

Bertepatan dengan teriakan singkat Sekarmadji, Eva keluar membawa segelas susu yang dikirim Fred untuk pondokkan.

Hilangnya Sekarmadji, tentu membuat wanita itu kecewa.

DUA MINGGU SETELAH MABUK tangisan dan senggukan, buku harian Pepei sampai di pondokkan. Tas berisi buku catatan perenungan Pepei itulah yang merubah kehidupan Sekarmadji. Riang tersenyum membacanya. Ia teringat kembali akan kesegaran udara sewaktu dirinya berhadapan dengan atheis yang santun. Atheis yang sangat baik padanya --dan Riang yakin, ia baik pula terhadap orang lain.

Riang bersyukur sempat mengenali Pepei, sempat mengenal sesosok lelaki tegar yang konsisten menjalani keyakinan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan, namun memiliki kebaikan hati yang berbanding terbalik dengan informasi yang sering disampaikan guru-guru melalui pendidikan moral di sekolanya.

”Seandainya banyak orang seperti Pepei, tentu bumi ini bakal awet selama-lamanya.” Riang kembali melontarkan kata-kata yang sama saat bus Yogya menderum hendak berangkat menuju Thekelan.

Buku harian yang ditulis Pepei --sebelum menjadi atheis--, menggoyang hidup Sekarmadji hingga ke sendi-sendi. Riang tersenyum kala menyadari seorang atheis mampu mengantarkan seorang durjana untuk mengingat kematian dan juga mengimani kembali, hari pembalasan.

Riang menangis.

0 komentar:

be responsible with your comment