Sup Not Bomb (Bab 24)

Posted: Senin, 13 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Kesibukan tak bisa dijadikan alasan bagi manusia untuk mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan terkait eksistensi diri Riang. Kesibukan adalah perbuatan pragmatis yang mutlak dilakukan manusia untuk pemenuhan kebutuhan jasadinya. Tetapi pertanyaan mengenai eksistensi, mengenai darimana aku berasal, akan kemana setelah aku mati dan mau di bawa kemana hidup ini aku bawa, harus senantiasa dicari, harus senantiasa ditemukan. Jika dengan alasan sibuk, manusia menyiakan 18, 25 atau bahkan 80 tahun usianya tanpa menyempatkan diri merenung, mencari jawaban atas teka-teki yang mau tak mau harus dijawab rasanya manusia itu gila. Dan Riang memilih untuk tidak menjadi gila. Bahkan sebelum organ reproduksinya matang, Riang sudah memulai perjalanan dirinya ke dalam. Ia menelusuri jiwa dan pikirannya. Ia jatuh bangun dalam melakukan penelusuran ini. Jatuh oleh kebingungan, terbangun oleh kegelisahan. Terus menerus seperti itu. Jatuh oleh kebingungan, bangun kembali untuk melakukan pencarian. Kedua sahabat yang pernah ia temani di Merbabu: Pepei dan Fidel lah yang membangunkan dirinya setelah lama terjatuh, hampir tak bangun. Kedatangan mereka menjadikan keran pertanyaan yang ada di kepalanya mulai menetes kembali, kemudian menderas, memancar-mancar, lalu kehidupan berjalan dan pertanyaan itu di sumbat kesibukan di jalanan saat ia dan Taryan mengambil peran setengah gembel.

Kesibukan pertahankan diri, hanya pertahankan diri, hampir menyumbat perenungannya. Namun kini di pondokan, waktu luang dan minimnya kekhawatiran akan nafkah kehidupan membuat Riang kembali pikirkan eksistensi mengapa adanya. Hal ini tidak sungguh-sungguh berlangsung sewaktu ia masih berada di jalan. Meski pikiran, meski pertanyaan itu sempat melintas, namun dengan mudahnya pertanyaan itu ditindas. Kebutuhan akan makan, pekerjaan, jaminan akan hidup keesokan harinya adalah bos yang memerintahkan Riang untuk meminggirkan pertanyaan yang ada di alam pikirannya.

Berada di Pondokan menjadikan semuanya berbeda. Suplai makanan terus mengalir. ”Dari mana asalnya?” Di beri marsupilami? Tidak mungkin. Marsupilami hanya memberi makan anaknya. Marsupilami tidak bisa memberi makan manusia. Manusialah yang bisa memberi makan marsupilami. Bolak balik memikirkan marsupilami tentu tidak menjawab pertanyaan dan Sup Not Bombs (SNB) yang mengawali jawabannya.

Promotor SNB lah yang mengalirkan kebutuhan pokok, di samping –memang--, pengurus pondokan memiliki kantung cadangan untuk menghidupi orang-orang yang kebetulan tinggal di sana. Pagi itu, Riang dan Taryan melihat langsung bagaimana SNB dilaksanakan.

Suara motor trail terdengar dari kejauhan. Seiring berhentinya dua buah mesin motor di depan pondokan, kukuruyuk ayam menelusup hingga ke sanggar. Dua orang lelaki yang seminggu lalu Riang saksikan perseteruannya, mengangkat ayam-ayam yang terikat. Satu karung wortel, kentang, kol, berapa ikat seledri, serta daun bawang dijatuhkan dari pangkuan. ”Bruk!” Suara itu menjadi peresmian kegiatan yang akan dilakukan. Kuali-kuali besar di keluarkan dari pondokan. Eva mengambil baskom untuk mencuci sayuran. Bentar menguliti kentang dan wortel. Riang dan Taryan membantunya. Mereka semua bersuka cita atas apa yang akan mereka kerjakan.

Sup Not Bombs adalah duplikasi dari gerakan internasional yang lebih memilih menyumbangkan makanan ketimbang perang. Gerakan yang dinamakan Food Not Bombs (FNB) ini lahir di Cambridge, Massachusetts pada tahun 1980 oleh aktivis anti nuklir. Di kemudian hari gerakan ini memeriahkan dunia bersama gerakan anti globalisasi yang setidaknya tercatat di awali oleh gerakan Laskar Pelangi, Green Peace.

FNB merupakan gerakan otonom yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menjadi salah satu jaringan yang manivestonyanya selalu di bacakan ibarat mantra yang melingkupi sanggar saat kegiatan SNB di adakan.

Food Not Bombs!

Karena makanan adalah hak semua orang,
bukan hak istimewa segelintir orang saja!
Karena ada cukup makanan untuk semua orang d imana-mana!
Karena kekurangan bahan makanan pokok adalah bohong!
Karena disaat kita lapar atau kedinginan,
kita punya hak untuk mendapatkan,
apa yang kita inginkan dengan cara meminta, mengamen, atau menempati
bangunan-bangunan kosong!
Karena kapitalisme menjadikan makanan sebagai sumber keuntungan,
bukan sebagai sumber nutrisi!
Karena makanan tumbuh pada tanaman!
Karena kita butuh lingkungan bukan kendali!
Karena kita butuh rumah bukan penjara!
Karena kita butuh makanan bukan bom!

Sepertinya kekanak-kanakkan saat kita terus menerus mendengar manivesto tersebut dibacakan seolah mulut pesertanya berasal dari alat perekam, namun mereka yang datang ke sanggar bersungguh-sungguh untuk itu. Lagipula bagaimana bisa mengejek mereka jika Bentar mengucapkan perkataan seperti ini:

”Sup not Bomb bukanlah kegiatan amal! Bukan sekedar kegiatan yang memberi makanan tanpa menjelaskan mengapa seseorang tidak bisa makan! Bukan kegiatan amal yang membuat seseorang tertidur dan kenyang, bukan kegiatan yang rentan dimanfaatkan Kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaannya!”

”Kegiatan kami tidak untuk diikuti orang-orang yang moto hidupnya, kalau lapar galak tapi kalau kenyang bego! Kami berbeda! Kolektif ini berdiri agar kita semakin keras berteriak! Makanan yang kita konsumsi harus menjadi suplai energi! Teriakan yang semula lemah harus menjelma menjadi makian! Dari makian menjelma menjadi kebencian! Menjadi kemarahan yang akan membakar bangunan besar Kapitalisme! Menghancurkan kontrol kapitalisme terhadap makanan!”

SNB justru mengesankan sebaliknya. Mengesankan pembangkangan yang dibentuk oleh individu-individu otonom, yang memahami bahwa hidup harus senantiasa di rayakan dan semua manusia berhak untuk melakukannya.

ADALAH WALUH, seorang vegan, vegetarian radikal, anggota Food Not Bombs, yang memberi inspirasi mengenai pendirian dupilikat gerakan internasional tersebut. Lelaki yang tengah menurunkan sayuran dari motor trailnya itu, membenci jika binatang diperlakuan semena-mena. Binatang memiliki hak yang sama untuk hidup seperti manusia.

Bagaimana mungkin seorang vegan berkawan dengan Fred, lelaki yang memanggul beberapa ekor ayam di sampingnya. Lelaki yang dalam kegiatan tersebut memilih tugas sebagai tukang menyembelih ayam?

Perkawanan bukan tanpa cobaan. Perkawanan mereka diawali perseteruan. Di pantiki sebuah pertengkaran logika yang mengendurkan sikap keduanya.

“Kalau anak-anak vegan konsisten dengan hak hidup, seharusnya vegan tidak makan sayur. Kalau binatang memiliki hak hidup yang sama dengan manusia, kenapa sayur tidak memiliki hak hidup pula. Kenapa Kau memakan kol, membuat wortel menjadi jus, kacang kedelai kau tenggelamkan di baskom, kemudian kau peras hingga cairan tubuhnya mengalir hanya untuk dijadikan susu sebagai pengganti susu sapi?” tanya Fred menguji.

Waluh tak siap dengan pertanyaan itu. Seperti petualang yang terperangah menemukan peninggalan purbakala sebuah pemikiran, seperti itulah yang Waluh rasakan.

”Untuk menjamin hak hidup kenapa kita tidak membuat kesepakatan tidak makan saja?” desak Fred.

”Lantas apa yang manusia makan?" Tanya Waluh. "Bagaimana manusia bisa bertahan?"

”Kita bukan bicara apa yang manusia makan! Kita bicarakan hak hidup seperti yang sering kau propagandakan! Jika bicara hak hidup, makan sajalah batu, namun sebelumnya kau harus berpikir panjang lebih dulu, apakah batu memiliki jiwa atau tidak. Jangan-jangan batu memilikinya.”

”Jangan berandai-andai!”

”Siapa yang lebih dulu?! Kau sendiri dulu yang berandai-andai bahwa binatang pun memohon belas kasihan ketika disembelih untuk dijadikan makanan! Kau yang bertanya bagaimana jadinya jika alien menangkap manusia di gurun Nevada kemudian manusia mengui-uik sebelum disembelih meminta belas kasihan! Kau bilang Alien tak mengerti permohonan belas kasih manusia, dan hal itu sama saja dengan rengekan kambing saat akan disembelih. Sebenarnya binatang mengajak manusia berkomunikasi sebelum disembelih. Kita hanya tidak mengerti bahasa mereka, bukankah seperti itu yang Kau katakan?”

”Tapi!”

”Kalau berandai-andai tak usahlah makan sayur! Kasihan sayuran!”

Waluh tersentak dengan pembalikan pengandaian dari binatang menuju sayuran. Ia berusaha melawan ego di dalam dirinya. Ia bimbang dan mulai berpikir tentang apa yang ia bicarakan pada orang-orang selama ini. Ia mulai berpikir untuk berdamai membiarkan keyakinan orang namun ia tetap melaksanakan keyakinannya sediri.

Bimbang tertanam, lantas bertunas menjadi aktivitas. Waluh berubah tetapi ia tetap tidak mau mentolerir kebengisan terhadap binatang. Dia memang tak memiliki devinisi dan standarisasi kebengisan. Makna kebengisan dalam pemikirannya bukan undang-undang yang bisa diketatkan aturannya, akan tetapi kebengisan itu bisa ia rasakan ketika tingkah laku Fred terhadap binatang sudah sangat keterlaluan.

Beberapa waktu setelah ucapan Fred menetralkan agresifitasnya sebagai seorang vegan, Waluh melihat anak-anak pondokan mengelilingi Fred. Dilihatnya, lelaki itu mengambil salah satu ayam jantan, lalu menekan dengkul ayam tersebut dan meminta Agus untuk memegang lehernya. Darah mengalir! Ayam jantan menggelepar, lehernya lunglai. Ia yang disembelih, Fred lemparkan ke dalam kebun singkong.

Agus dan teman-temannya jongkok. Sesuatu yang mengerikan terjadi! Ayam jantan yang sebelumnya menggelepar berdiri dengan kepala yang hampir putus! Ayam jantan engambil ancang ancang. Ia yang mati berlari, berkeliling tak tentu arah karena matanya tidak bisa digunakan. Ayam itu terbang membentur tembok setelah menerobos semak-semak.

Sepuluh menit berlalu! Ayam jantan yang malang tak juga mati! Fred tertawa. Ketiga anak pondokkan tidak. Mereka ketakutan. Agus tak tahan. Ia menangkap ayam yang malang, mencengkram badannya dan memasukan ayam itu ke dalam bak sampah yang baru saja di bakar Eva.

”Kenapa dimasukan ke sana?!” Fred tertawa. ”Manggangnya bukan sekarang, nanti malam!”

Ayam malang jumpalitan di udara. Ia kehabisan tenaga. Terbakar. ”Kasian Kang!”

Fred berlari menyelamatkan makanannya. Lantas, Waluh bergerak cepat menyaingi laju kaki Fred. Pukulan mendarat di kening. Kaki Fred terbongkar dari tanah. Ia terjerembab oleh sebuah pukulan yang mantap.

“Anjing!” Waluh meraung. ”Matikan saja! Tapi jangan Kau permainkan mahluk bernyawa!" Diambilnya kerah Fred. ”Setan! Ini yang kau ajarkan pada anak pondokan!”

Fred terangkat. Waluh memakukan tatapannya. ”Jangan menyiksa binatang apa pun di hadapanku!” gertaknya.

”Menyiksa apa?!”

”Kau tahu itu! Kau menyiksa mahluk bernyawa!”

Keributan membuat pemilik pondokan keluar. Bentar melihat ayam jantan menggelepar dan terbakar sia-sia di dalam bak sampah. Ia melihat ada amarah yang meluap dan tumpah! Ia melerai.

Fred hanya ingin memperlihatkan pada anak-anak, bahwa menekan dengkul ayam sebelum menyembelihnya, entah bagaimana akan membuat ayam yang disembelih mampu bertahan lama sebelum ayam itu mati. Di luar perkiraannya, kejadian itu berubah menyeramkan saat Agus memasukan si ayam ke dalam bak sampah yang terbakar.

Fred berusaha memahami apa yang dilakukan Waluh, namun ia tetap tak bisa menerima, bagaimana mungkin darah seekor ayam demikian berharga ketimbang darah yang meleleh di hidungnya?

Kekesalan Fred hampir menyerupai dendam. Ia me-meti-es-kan kekesalannya untuk ia buka pada waktu yang tidak tepat. Ia tak sadar jika serangannya di kemudian hari ibarat membuka kotak pandora, ibarat mengundang taufan Katrina.

Pelampiasan kekesalan Fred pada Waluh terjadi pada saat Waluh tengah memaparkan apa yang ia yakini benar mengenai tindakan kembali ke alam yang meliputi penggunaan pupuk menggunakan kompos atau kotoran hewan di hadapan petani di sekitar pondokan dan sanggar.

Saat Waluh mulai bicara mengenai penyelamatan burung, sebagai imbas penggunaan pupuk alami, pada momentum itulah Fred menyela.

“Bicara menyelamatkan bumi? Bukannya kerjaanmu cuma ngasi makan burung?! Yang penting itu bukan menyelamatkan burung tapi menyelamatkan manusia. Manusia adalah pusatnya semesta!”

Fred sebenarnya faham sindiran tajamnya salah alamat, namun emosi yang ditabungnya sejak perselisihannya dengan Waluh, membuat dia kehilangan kontrol. Sindirannya merambah pada sesuatu yang seharusnya tak di rambah. Waluh tak mengomentari, ia membiarkan Bentar untuk menjawabnya. Ia memilih untuk diam.

Usai forum, saat Riang tengah malas-malasan karena kecapaian, taufan itu pun datang.

“Kalau kau bilang organisasi penyelamatan burung tak ada kerjaan, kalau Kau bilang mengurusi burung tidak ada manfaatya, kalau Kau anggap kami naif karena Kau tidak melihat organisasi penyelamatan burung mengurusi gepeng, mematikan koruptor yang buat negara ini bangkrut, sudah seharusnya Kau berpikir sistematis! Coba berpikir sistemik, anjing!”

”Setiap orang punya bidang garapannya masing-masing. Semua orang punya peran. Semua orang seharusnya saling menghargai. Petakanlah masalah, jadilah burung di langit, terbang melihat keterkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya!”

”Bergabung dengan organisasi pecinta burung, memberi pakan, menjaga burung—burung langka, mengembangbiakan untuk dilepas ke hutan tidak sesederhana seperti yang Kau liat! Berpikirlah sistematis, anjing! Burung habitatnya hutan! Belantara saat ini digergaji, dijadikan penyokong industri furnitur raksasa. Di tebangi untuk digantikan dengan rumah peristirahatan, villa, lapangan golf beratus hektar! Membela hak burung sama dengan menggalang isu untuk membongkar” rayap hutan” dan tikus birokrasi! Bersama isu perlindungan burung kami menyatakan perang terhadap illegal loging, pembabatan hutan yang bukan hanya sebabkan burung kehilangan tempat tinggal, tapi manusia pun juga! Suku-suku pedalaman yang terancam punah! Bersama isu penyelamatan burung terkait penggalangan suara untuk melawan pemerintah yang tidak ambil pelajaran dan bebal dalam permasalahan ini! Bersama isu penyelamatan burung, terkait juga isu penangkalan banjir!”

”Kau bisa lihat apa yang terjadi jika hutan dibabat, ruang hijau didesak mall dan pabrik! Banjir dibilang pemerintah karena sampah! Padahal hutan mereka bunuh! Liat Punclut! Lihat Dago Pakar! Malapetaka semua! Banjir di sukarno Hatta karena tak ada hutan! Tak ada tempat hidup untuk burung! Malapetaka untuk burung, malapetaka untuk manusia! Berpikir sistematis, anjing!”

Cobalah hitung makian anjing yang ditujukan Waluh untuk Fred. Kotak pandora itu telah terbuka. Badai Katrina itu telah datang terbangkan pepohonan, jamban tempat Taryan buang air di tengah malam, membuat Riang bergidik. Tak ada perlawanan yang dilakukan oleh Fred. Bersamaan datangnya badai yang mengerikan itu, terbang pula kesombongan di hati Fred.

Adakalanya kekerasan hati perlu dibenturkan dengan kekerasan bicara yang mengandung kekayaan argumentasi dan logika. Tidak semua manusia sama. Kekerasan bisa menjadi obat yang mujarab bagi manusia berbeda. Salah satu manusia itu adalah Fred.

Saat diam dipergilirkan, pikiran Fred bermetamorfosa menjadi ayakan logika. Perenungan datang. Ia memilah barang berharga miliknya yang dilemparkan badai ke udara. Ia berlari ke sana kemari, memunguti harta yang pernah dipendamnya: nuraninya.
Orang seperti inilah yang bisa diharapkan berpihak pada kebenaran. Fred bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ia fair merubah persepsi, dan tindakkannya. Dan tahukah apa yang terjadi dengan Riang?

Ia mengigil! Ada sesuatu yang mempesonanya. Waktu seolah break dance, jalan patah dan merangkak di pikirannya. Ada kekaguman yang membuat wajahnya yang semula tegang menjadi tenang. Ada sesuatu yang Riang pulungi dari keporak-porandaan yang dilihatnya.

Riang menambah kepekaannya, memperkaya afeksinya, mengubah alam bawah sadarnya dan mempercepat respon dua untuk melakukan tindakan di sebuah taman yang dinamakan orang Jurrasic Park. Sore menjadi saksi saat Riang memergoki empat orang anak SD mengendap-endap, mendekati tempatnya berada. Mereka menunjuk-nunjuk, memandang ke atas pohon.

Riang mengikuti arah pandang keempat anak itu. Ia melihat seekor burung kuning kecil bertengger di salah satu dahannya. Ia melihat dua di antara anak SD itu memungut kerikil. Mereka mengluarkan ketapel. Karet merah melar. Riang segera mengambil pasir yang ada di dekat jalan. Di lemparkannya pasir itu di antara rimbun dedaunan. Burung kecil terkejut. Dilentingkannya dahan kecil menjadi alas penerbangan. Burung melesat cepat.

“Yaaaaaaaah!” Anak-anak itu melihat ke arah Riang. Mereka kecewa.

Riang meminta maaf. Ia lantas, berkisah tentang tentang burung-burung kecil di Merbabu. Ia menyederhanakan kata, bagaimana burung-burung akan memiliki guna lebih bagi alam apabila dibiarkan terbang bebas di angkasa. Dijelaskannya pula keterkaitan dengan hutan dan bunga, bagaimana dengan bantuan paruh dan kakinya, putik sari tersebar dan perkawinan antar bunga terjadi. Dengan bantuan burung dunia kita menjadi indah, menjadi berwarna. ”Burung kecil itu salah satunya,” jelas Riang.

”Yang membuat dunia dipenuhi bunga?” tanya seorang anak.

Riang mengangguk. Si anak yang bertanya mengucapkan terima kasih. Tak berapa lama berselang ketiga anak lainnya serempak mengucapkan kata yang sama.

”Terima kasih om!”

Aduh! Aduh! Mendengarnya hidung Riang meler-meler. Aduh aduh wajahnya menjadi merah. Empat anak itu mengerjap-erjap. Kekecewaan mereka punah hanya dalam sekejap.

* * *

PRIIIIT! Suara peluit terdengar. Kini saatnya Riang bertugas. Ia harus memastikan agar wortel, daging, kentang, dan bahan-bahan lain yang sedang berenang di dalam sup matang merata. Tak lama Riang berteriak, ”Sup mataaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!”

Sup yang masih mendidih di dalam kuali besar, diangkut ke atas pick up. Kompor minyak tanah dimasukan bersama dengan tikar, terpal dan meja. Pukul enam lewat beberapa menit, belasan orang bersuka cita. Mobil bergerak. Dua motor trail milik Fred dan Waluh berjalan mesra, beriringan.

0 komentar:

be responsible with your comment