Asupan Makanan dan Keberanian Ulama
Posted: Kamis, 27 Maret 2014 by Divan Semesta in
0
Asupan, bermula pada asupan.
Mampukah engkau menelaah perkataan seorang mujahid,
ketika menyatakan bahwa keberanian seseorang itu tergantung pada asupan
makanannya.
Perkataan itu bukan kopi paste, tetapi hanyalah ingatan
yang saya bisa gali selepas membaca buku Syaikh Abdullah Azzam.
Beliau, mujahid besar yang wafat di bom itu menceritakan
ketika beliau menyambangi sebuah rumah di Suriah, masa pendudukan Hafez Asad
(Bapak Bashar al Assad). Padas saat itu beliau bersama seorang lelaki tua yang
kebetulan menjadi ayah dari penghuni rumah yang mereka kunjungi.
Usai masuk kedalam rumah tersebut, anak sang lelaki tua,
yang juga merupakan ulama terkenal, mereka disuguhi makanan.
Syaikh Abdullah Azzam memakan makanan yang disajikan.
Tetapi ayah lelaki itu tidak. Hingga suapannya berakhir dan perutnya cukup
kenyang, ayah sang tuan rumah sama sekali tidak menyentuh makanan tersebut.
Tahukah engkau penyebabnya?
Sederhana namun menggetarkan. Ternyata lelaki tua, itu
tidak memakan makanan yang disediakan anaknya, karena anaknya itu diberi
tunjangan oleh negara Suriah. Sang lelaki tua tidak mau memakan sama sekali
makanan yang tersedia meski itu disediakan anaknya, hanya karena anaknya
mendapat gaji dari pemerintah. Masya Allah.
Inilah salah satu bentuk wara.
***
Di sebuah perusahaan properti, hal itu pun terjadi. Pada satu ketika, ruang bilik/kubikel HRD
& P&GA kedatangan beberapa bingkisan. Sebuah kotak Dunkin Donuts
dikirimkan. Beberapa orang antri mengambil donut yang lezat tersebut.
“Dari mana ini?” tanya seorang lelaki berjanggut,
sementara donut sudah berada di ujung mulutnya.
“Hadiah dari asuransi!”
Saya melihat langsung bagaimana lelaki berjanggut yang telah
mengigit donut itu kemudian mengambil kertas, lalu ia meludahkan kembali yang
telah digigitnya.
Ia langsung membuang donut itu tanpa diketahui, kecuali
oleh saya, dan Allah jua tentunya.
Ia mengatakan. “Bingkisan makanan itu sogokan. Kita baru
saja mendengar mereka melakukan presentasi. Pertanyaanya, mengapa donut ini
hanya dihadiahkan pada HRD saja? Kenapa nggak keseluruh departemen. Ini
kemungkinan besar sogokan.”
Lelaki ini, dikemudian hari, berdiri menggugat berbagai
kebijakan perusahaan yang memaksa dia untuk membuat hukum yang bertentangan
dengan Syariat. Masya Allah.
***
Asupan makanan! Saya mempercayai bahwa makanan yang kita
makan akan mempengaruhi keberanian kita.
Sulit untuk mencernanya, tetapi sebenarnya sederhana.
Jika Kamu memakan makanan yang kamu beli dari gajimu sementara Kamu adalah
seorang Ustad pemerintah, bagaimana kamu akan terang-terangan meluruskan
pemerintah?
Jika kamu digaji oleh sebuah perusahaan apakah di dalam
hatimu tidak akan muncul kebimbangan untuk menasehati perusahaanmu, Bosmu,
ketika mereka terang-terangan melanggar dan menerapkan kebijakan yang
bertabrakan dengan syariat. Ya,
kebimbangan adalah ketakutan. Mengapa muncul kebimbangan? Karena keberanianmu
disetir oleh perutmu. Oleh asupan makananmu.
Aku sering menemukan orang-orang yang menjadi macan,
menjadi singa ketika mengkritik orang-orang, mengkritik banyak hal, seolah dia
adalah orang yang memiliki keberanian luar biasa, tetapi ketika dihadapkan pada
orang yang memberinya makan, ia meragu, bahkan ada yang saya temukan berdiam
diri, bahkan lebih ekstrim lagi, bermuka dua, memiliki pendapat yang bukan
pendapat ideal sebelumnya.
Runtuh sudah orang-orang seperti ini.
Ditempat saya bekerja, ada dua orang yang memiliki
jabatan cukup baik dan dia berjanggut, omongannya nggak jauh dari subhanallah, masya Allah, tetapi tatkala
perusahaan mendapuk Sexy Dancer, maka
orang ini mengatakan. “Ya, wajarlah. Namanya juga wisata air. Masa pembukaan
wisata air pakai kerudung!”
Subhanallah.
Masya Allah
Jika saya menjadi dia, sekurang-kurangnya saya lebih baik
diam. Menjadi ‘setan bisu’ ketimbang mengatakan perkataan yang mendekatkan diri
pada kekafiran.
Subhanallah, maha suci Allah. Ampuni saya, ampuni kami ya
Allah.
* * *
Sahabat-sahabat saya, pernah bertanya mengenai musik. Maka
Saya katakan, jangan bertanya mengenai musik karena saya menyukainya.
Sahabat-sahabat saya yang lain kemudian menanyakan
bagaimana hukumnya bekerja di sebuah konveksi,-- tempat yang di bulan-bulan
ini-- banyak menerima orderan dari partai-partai.
Saya katakan: “Keluar
saja.”
Tetapi saya hanya memberi pertimbangan. Ya sekedar
pertimbangan, karena saya tahu siapa saya ini. Namun, alhamdulillah akhirnya ia dikuatkan oleh kepercayaannya pada
sahabat saya yang lain. Sahabat yang menjaga benar asupan makanannya. Ia
mempercayainya. Saya ucapkan alhamdulillah.
Inilah. Sampailah kita dimasa ketika banyak sekali
manusia, mungkin termasuk engkau juga dan saya, mengkonsumsi makanan dengan
sedikit mempertanyakan, menyelidiki, menelitinya. Janganlah mempercayai
sepenuhnya apa yang nanti kami katakan. Jangan. Kami masih memakan makanan yang
bisa jadi haram (bahkan haram dan halal pun menjadi samar), bisa jadi syubhat.
Jika engkau ingin mempercayai seorang ulama, salah satu
kriterianya sederhana. Carilah ulama yang benar-benar zuhud, wara dan menjaga
makanannya.
Perhatikanlah televisi. Bagaimana ketua partai yang ingin
mencalonkan diri sebagai presiden, menggunakan mobil mewah (bukan mobil yang
sesuai fungsinya), memiliki rumah yang megah. Cincinnya? Puluhan juta. Jamnya?
Rolex. Maha Suci Allah, bisakah orang seperti ini kalian percaya? Bisakah orang
seperti ini kalian jadikan pemimpin sementara sifat sifat hubbuddunya, cinta dunia dan takut mati sudah tampak daripadanya?
Bisakah kalian menjadikannya sebagai pemimpin sementara
orang yang dulu membuat partai, orang yang zuhud lagi –insya Allah—wara
disingkirkan? Bisakah kalian mempercayai Ustad-ustad yang saat ini berbicara
mengenai halal dan haram, sementara perhatikan kehidupannya: bergelimang harta,
dikelilingi kecantikan duniawi, rumahnya layaknya istana?
Bukankah ustad
ustad saat ini memiliki trend yang sama: menggunakan cincin, jam mobil istri
yang menggunakan kerudung-kerudung yang megah dan blink blink? Sementara orang-orang
yang mereka dakwahi bagaimana nasibnya?
Ustad-ustad seperti ini tidak akan pernah bisa diharapkan
untuk membantah produser sebuah acara televisi. Ustad-ustad seperti ini akan
dikendalikan oleh mesin industri. Jangan percayai mereka! Percayailah para
ustad yang zuhud, yang wara.
* * *
Beberapa waktu lalu, pada saat saya kebingungan untuk
menelaah kehalal-haraman pegawai negeri, polisi dan bagaimana posisi ketika
seseorang bekerja di bank, tiba-tiba seseorang mengabarkan padaku, bahwa
dirinya yang –insya Allah—tauhidnya bagus, di kafirkan oleh seorang Ustad 1 terkenal
dalam pengajiannya, karena ia berstatus pegawai negeri. Ia tertawa saja. Tidak dimasukan
ke hati. Sungguh tidak dimasukan ke hati. Tetapi, di satu sisi saya mendapati dari
ceritanya bahwa ada seorang Ustad 2 yang mengatakan kehalal-haraman menjadi
pegawai negeri, pegawai bank, harus disertai perincian terlebih dahulu.
Tahukah kamu, bahwa saya memilih pendapat Ustad 2 yang
merinci permasalahan tersebut karena apa? Karena Ustad yang menggeneralisir,
ucapannya tidak terlihat bijak (tegas tentu berbeda dengan bijak), dan saya
masih meragukan kredibilitasnya karena asupan yang masuk ke perutnya. Sementara,
ustad yang membuat rincian itu kini berada di Lapas Nusa Kambangan. Siapa
namanya?
Namanya Ustad Aman. Suaranya sangat santun, adab
bicaranya jangan ditanya (cara bertutur, kehalusan suaranya melebihi AA Gym).
Beliau nomor satu di LIPIA/Lembaga pembelajaran bahasa Arab dan memperdalam
ilmu keislaman dalam kuliah-kuliahnya. Belum ada yang menandingi
kecemerlangannya.
Sebelum kelulusannya, Ustad ini diberi beasiswa menuju
Haramain. Tetapi ia menolaknya karena saat itu ia mendapat pencerahan bahwa
rezim Saudi sangat memusuhi ide-ide tauhid.
Lantas kini, bagaimana beliau memenuhi kebutuhanya
dipenjara?
Masya Allah, ia
sama sekali tidak pernah mau menggunakan pulpen untuk menuliskan risalah, Ia
sama sekali tidak pernah mau makan dari dari Sipir penjara dan negara. Ia makan
dari bantuan murid-muridnya yang berada di luar penjara.
Melalui asupan makanan yang sudah ia jaga semenjak
pemuda, keberaniannya menjulang. Ia berdiri bahkan berani sendiri meski
menghadapi negara. Masya Allah. Ia berdiri tegak, menampakkan keberaniannya,
menjadi mercusuar bagi orang disekelilingnya yang masih bergelimang harta
haram, maupun yang syubhat.
Ustad, Ulama seperti inilah memegang –atas izin Allah—memegang
masa depan Islam. Ulama seperti inilah yang layak aku dan engkau percaya,
manakala berfatwa. Bukan ‘ulama-ulama’ yang hidup mengais rezeki dari penguasa,
bukan ulama-ulama tambun yang
bergelimang harta.