Di
Indonesia, di forum-forum sosial media, di perbincangan kedai kopi, di
situs-situs, orang yang duduk duduk (qaidun), mereka yang tidak berjihad
membincangkan bagaimana konflik yang terjadi antara Jabhah Nusrah dan Islamic
State of Iraq dan Syams!
Diantara
mereka mengeluhkan. “Mengapa konflik antar mujahidin terjadi!?” Lalu muncullah
statement. Seharusnya mereka berdamai. Ini lah bukti bahwa peperangan yang
terjadi di Suriah itu sangat riskan!” selebihnya alam bawah sadar merekalah
yang berbicara. “Lebih baik kita disini saja. Berjuang semampu kita!”
Ada
pula yang menjelek-jelekkan Jabhah Nusrah, sambil mengumpat. “Dasar Jabhah Nusrah tak tahu diri!
Tak tahu diuntung! Mereka mengkhiati ISIS. Pengkhianat! Pengkhianat!”
Ada
pula yang balas menyerang ISIS
“Jabhah
Nusrah sudah benar dalam tindakannya! Jabhan Nusrah menginginkan ISIS tidak
masuk ke Suriah. Siapa itu al Baghdady. Orang yang tak bisa berperang! Siapa
dia? Orang yang tak dikenal.” Dan lain sebagainya.
Maha
suci Allah.
Inilah
pertanyaan sederhana yang saya ajukan untuk Anda semua, untuk kita para Qaidun! Orang-orang yang duduk duduk
saja.
Bagaimana
mungkin kita menjelek-jelekkan mereka, manakala mereka, para ahli tauhid itu
berselisih paham, sementara, mereka telah melewati, manakala mereka telah tuntas menjawab pertanyaan yang
Allah berikan:
Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, dan saudara-saudara kamu, istri istrimu, dan keluarga kamu, harta benda yang kamu usahaka dan perniagaan yang kamu khawatirkan akan merugi, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, -(jika semuanya itu) menjadi perkara yang kamu cintai lebih dari Allah daan Rasul-Nya (daripada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab siksa) karena Allah tidak akan memberi perunjuk kepada orang-orang yang fasik (durhaka)." At Taubah : 24
Mereka
telah melampaui ayat itu.
Kita?
Masya Allah, bahkan mengangkat tangan ketika perusahaan kita membuat aturan
manusia yang menabrak hukum syara pun
kita masih maju mundur, bahkan malah mengaminkannya. Bahkan untuk berinfak
untuk Allah via dakwah harokah pun kita masih memperhitungkan apakan uang kita
masih cukup untuk anak istri atau tidak.
Bahkan kita begitu mencintai perhiasan
yang melekat di tubuh kita, dasi yang mahal, mobil yang mentereng, makanan
lezat penuh kolesterol, kuping kita masih mendengarkan musik ah eh oh berlirik mesum, bermegah
megahan melalaikan diri kita, berniaga dengan menipu, menjual baju tak perduli
mencetak tubuh wanita atau tidak, yang penting laris manis mengisi pundi-pundi
harta, menzinahi ibu kita berulang kali dengan melakukan riba, dan tindak
tanduk memalukan, berseteru karena komisi kita kurang, menjelekkan rekan kerja
karena alam bawah sadar kita tak menyetujui kenaikan pangkat mereka, ribut
bukan karena hal-hal yang signifikan.
Kita,
hubbud dunya, mencitai dunia dan
takut mati. Kita belum lulus ujian ayat itu, sementara mujahidin yang tengah berselisih
itu telah melewati ayat itu. Sementara perselisihan antara mujahidin itu –kemungkinan
besar-- sudah sampai di tingkat seperti halnya perselisihan antara Ali Ra dan
Ibunda kita: Aisyah Ra.
Para
mujahid itu --insya Allah, sekali lagi-- telah melampaui ayat di atas. Mereka hijrah, meninggalkan negerinya, meninggalkan saudara-saudara yang mereka cintai, ayah ibunya, anak-anaknya yang tengah tumbuh lucu-lucunya: menjadi perhiasan mata, meninggalkan perusahaan dengan gaji yang biasa saja hingga luar biasa, meninggalkan penghasilannya yang milyaran dalam sebulan sebagai pemain bola club elite internasional, meninggalkan hiruk pikuk dunia musik rapcore (Desso Dog) yang disetiap panggung audiens mengelukan namanya, meninggalkan kebanggaannya sebagai pegulat nasional, meninggalkan 'pemujaan' begitu banyak wanita di tempat asalnya karena diantara mereka ada yang berwajah tampan, meninggalkan ibunda dan ayahandanya, meninggalkan perniagaan, kebun-kebun, bisnis, meninggalkan.... ya, meninggalkan semua untuk hijrah ke daulah Islam atau area peperangan antara al haq dan batil karena mereka benar-benar mencintai dien-Nya.
Kemudian, mereka diuji oleh Allah dengan ujian yang dirasakan oleh-orang-orang terdahulu semasa
Rasul Muhammad, ujian yang dialami oleh orang-orang Shalih di masa Nabi Isa,
nabi Ibrahim, diantara mereka ada yang digergaji di masukan kedalam
penggorengan hingga tubuhnya menjadi krispi, di panggang, ditusuk dari kelamin,
dubur hingga kepala. Saat
ini mereka mengalami hal itu, ditembaki, di rudal, di buru, ada diantara mereka
yang diserang oleh jet-jjet tempur, di bom, gua runtuh dan tertutup, berminggu
minggu berada di dalam gua yang berisi air bersama ratusan orang yang
kebanyakan dari mereka kemudian mengambang menjadi mayat, berkubang dengan air
seni dan berak, kehausan, meminum air yang terkontaminasi seperti yang dialami mujahid
Walker Lindh, di sembelih… ya... dan ujian lainnya, ya... --sekali lagi saya ingatkan bahwa-- mereka telah melampaui ayat itu (At Taubah : Ayat 24)
Ujian
mereka adalah ujian yang kemungkinan besar adalah ujian yang tertinggi. Lantas
kita?
Maha
suci Allah, jauh sekali perbandingan itu. Jauh sekali perbandingan keberanian
mujahidin ISIS dan Jabhah Nusrah ketimbang kita.
Lantas,
mengapa kita banyak ceta, banyak
mempertanyakan dengan gempita seolah-olah perselisihan Jabhah Nusrah dan ISIS,
beberapa faksi jihadis dengan faksi lainnya adalah sesuatu yang seolah engkau
berada di dalamnya, berada di area perselisihan itu, seolah engkau tahu.
Bicaralah
jika engkau sudah melampaui ayat itu, jika engkau sudah ada disana.
Bicaralah
seperlunya, jangan seolah-olah kita mengetahui yang sesungguhnya terjadi karena
menganggap kita memiliki orang disana, padahal yang lainnya pun memiliki
informan yang sama di lapangan juga.
Berpihaklah, tetapi jangan mencerca, menghina.
Cobalah
sadar diri, cobalah rendah hati, dihadapan mujahidin yang tauhidnya bersih:
mujahidin Taliban, Imarah Kaukasus, mujahidin Chechen, Moro, Mindanao, JN,
Islamic State of Iraq and Syam (ISIS), Al Qaida, Assabab, dan mujahidin lain, kaum Ansor dan Mujahirin di daulah-daulah Islam yang
saat ini ada.
Mujahidin
bukanlah malaikat, bukanlah manusia dan harokah
atau daulah yang maksum. Jangan memaksa mereka melampaui fitrahnya
sebagai manusia.
Mereka
bisa saja salah, tetapi tak maukah kita menunjuk muka kita sendiri lebih dulu
atas kesalahan ekstrim atas ketidak beranian kita, ‘kesok sucian’ ‘ke-sok
gagahan’ kita?
Berusahalah
tendah hati, berusahalah sadar diri.
Doakanlah
mereka, dan yang lebih utama, doakanlah diri kita sendiri.
-------------------------------------------------
Note:
1. Ada banyak orang yang saat ini protes dan protesnya menyerupai cacian. Mengapa IS membunuhi mujahidin! Mengapa mereka demikian kejam! Ini bukan Islam! IS bukan citra Islam. Dan lain sebagainya.
Banyak sekali yang menyatakan IS membunuhi mujahidin lain padahal kita tidak mengetahui bahwa sesungguhnya bukan hanya Tentara IS yang membunuh, tetapi JN pun melakukan pembunuhan dan banyak mujahidin lain melakukan pembunuhan terhadap mujahidin IS.
Dalam perang sulit sekali orang yang duduk duduk seperti kita mengomentari.
Bagaimana mungkin kita mengomentari, mengeluhkan pembunuhan sementara, kita kadang marah dan memukuli orang karena harga diri yang nggak ada kaitannya dengan agama. Kita kadang marah ketika ada orang yang meminjam ke kita seratus ribu duaratus ribu perak atau bahkan cuma puluhan ribu tetapi ketika orang yang kita tagih ngeles mulu, kita kemudian mengambil balok dan menimpa kepalanya.
Jujur saja, kita marah, berkelahi, dan acapkali --dalam kehidupan masyarakat--, pembunuhan terjadi karena hal yang sepele: seorang istri marah dan suaminya menggampar menggunakan bata, membacok istrinya yang ngingetin supaya kita sebagai lelaki kerja bukannya nongkrong gak jelas dan lain sebagainya.
Ada banyak yang bisa saya ceritakan bagaimana seorang dari harakah tertentu dipukuli oleh orang dari harakah lainnya karena dianggapnya yang lain menghina, ada pula ikhwan yang ditipu oleh investasi bodong oleh sesama ikhwan kemudian ketika ikhwan itu mengetahui ia telah ditipu dan yang menipunya kabur, ia mendoakan kematian, kesakitan, doa keburukan padahal itu masalah dunia, masalah materi?
Lantas, coba direnungkan bagaimana kita mengomentari mereka yang saling membunuh didalam peperangan yang penuh fitnah sementara kita tidak teruji didalam dunia yang 'aman dan lingkungan yang nyaman?'.
Bagaimana jika dalam kehidupan keseharian kita sudah seperti itu, lantas bagaimana sadisnya kita? Mungkin kita beribu kali lebih 'sadis' ketimbang sekelompok orang yang kita katakan sadis.
Mujahidin dari mana pun faksinya selama akidahnya lurus dan bukan kekufuran atau talbis haq dan bathil dilakukan, maka bagi kita selaku orang, selaku manusia yang 'duduk-duduk' tidak berperang, bagi kita kaum lelaki para pekerja urban, para lelaki yang letih dan capainya dihabiskan untuk memikirkan apakah anak kita diberi makan atau tidak, untuk mencari kenyaman hidup maka.... yang harus kita lakukan bukanlah menimpakan fitnah di atas fitnah.
Yang harus dilakukan adalah
1. Memposting kemajuan-kemajuan dikalangan mujahidin yang wala dan bara nya baik, dari manapun faksinya.
2. Mendoakan agar faksi faksi mujahidin dan IS disatukan oleh kalimat tauhid, agar kekuatan itu dimiliki kaum muslimin. Mendoakan terus persatuan mereka, mendoakan terus kebaikan antara mereka karena senjata yang tidak berperang --kemungkinan besar-- hanyalah doa.
3. Menahan lisan, omongan karena mereka tidak menyakiti kita bukan? lantas mengapa lisan kita demikian tajam dan menjelma menjadi pemukul bisbol dan pedang? Berhati-hatilah karena, ketika kita menunjuk hidung mujahidin, maka sesungguhnya kita berpotensi untuk memakan bangkai, memakan daging yang racun bisa-nya mematikan.
4. Mendoakan diri kita sendiri. Menghisab diri.
Semoga kedepannya kita menjadi lebih baik. Insya Allah. Aamiin ya Rabb.
unite as one ummah