Bagaimana
mungkin saya menyerang habis, memukuli hingga ringsek orang-orang yang masuk
parlemen dengan tujuan menegakan syariat Allah, baik secara terus terang atau
sembunyi-sembunyi?
Bagaimana
mungkin menyerang dengan penuh dendam, padahal seharusnya saya melihat diri
sendiri. Kita melihat posisi kita saat ini.
Adalah
suatu yang lucu bagi saya, ketika ada sahabat-sahabat, kawan-kawan, saudara
saya yang bekerja di sebuah institusi, terutama menjadi pegawai negeri yang
disumpah dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian berbicara
seolah dirinya tak memiliki dosa?
Yang berhak melakukan hal itu
adalah orang yang benar-benar melakukan pemutusan hubungan dengan baik, tanpa
takut dunia berpaling darinya. Jika mereka melecehkan, kita mau apa? Mereka
mengatakan dan mengerjakan apa yang mereka yakini. Mereka wajar menghajar kita
dengan hajaran al wala wal bara. Mereka lebih pantas?
Kita?
Adalah
lucu dengan diri saya, dengan diri sahabat-sahabat, kawan-kawan dan saudara
yang lain yang mengkritik tanpa kerendahan hati, yang mengkritik seolah dirinya
terbebas dari dosa syirik baik langsung atau tidak langsung, meski kita tidak
bekerja di instansi pemerintah alias swasta.
Ya,
institusi swasta/perusahaan swasta pun –banyaknya-- adalah negara dalam bentuk
terkecil pula. Banyak kebijakan-kebijakan didalamnya yang bisa menyeret kita
pada kemusyrikan, menjadikan kita murtad tanpa sadar, baik dari jenjang yang
paling rendah atau dimulai dari jenjang ketika seseorang bisa membuat sebuah
peraturan.
Saya,
akan saya akui bagaimana tempat saya bekerja.
Di
kisaran tahun 2011 Chief Human Capital perusahaan pernah memanggil saya ke
dalam ruangannya. Beliau seorang Nasrani yang santun. Nasrani yang baik.
“Divan,”
sambutnya sambil mempersilahkan duduk. “Besok ada acara nggak?”
“Nggak
ada Pak. Ada yang bisa saya lakukan?”
Beliau, atasan dari atasan saya
itu kemudian menyampaikan keinginannya, agar saya menjadi seorang pembaca doa
dalam upacara bendera 17 Agustus yang diadakan di halaman depan gazebo tempat
saya bekerja.
Ada
kecamuk dalam diri saya. Saya diam untuk beberapa saat, kemudian saya meminta
maaf. “Saya tidak bisa Pak.”
Mata dan gerak tubuh beliau
jelas memperlihatkan kebingungan. “Memang kenapa?”
“Ini
masalah keyakinan Pak.” Saya tersenyum lalu mengajak dia untuk mengingat
kembali sejarah, mengenai seorang Kyai di Tasikmalaya yang enggan menyatakan
penghormatannya terhadap Hinomaru, bendera Jepang. Saya menyampaikan banyak
argumentasi kemudian mengakhirnya. “Selama ini saya loyal terhadap Bapak. Saya
mau saja diminta untuk mengerjakan ini itu. Tapi untuk yang satu ini saya tidak
bisa. Saya tahu konskuensi membantah atasan, saya mengetahui hal itu dan saya
siap menanggung konsekuensinya.”
Saya pun keluar dari ruang atasan
dengan kelegaan yang luar biasa, karena atasan saya kenyataannya tidak
mempermasalahkan. Dia malah menghormati keterus terangan saya.
Saya tidak mau mengkhianati diri saya. Tidak. Saya tidak
mau mengkhianati keyakinan saya jika saya mampu.
Ada
satu kejadian lagi. Satu saat kantor
saya membuka sebuah unit usaha baru. Saya yang skup kerja/core-nya dibidang
kadang kadang: kadang Training and Development dan Performance Management
kadang di Recruitment, diharuskan untuk membuat sebuah silabus mengenai aturan
berpakaian unit usaha tersebut. Dan sialnya, ada aturan tidak tertulis bagi
wanita untuk tidak menggunakan kerudung (belum sampai jilbab). Itu aturan tidak
langsung.
Ketika
melakukan training saya mendapati ada seorang wanita yang menggunakan kerudung
di tempat tersebut. Apa yang terjadi jika aturan itu diberlakukan? Diluar sana
saya bicara banyak tentang thogut-thogut.
Bicara bahwa hanya Allah yang berhak mengatur sebuah hukum dan tentu
menentukan mana yang berhak di ijtihadkan atau tidak. Sementara disini apa yang
terjadi? apa yang harus saya lakukan.
Saya
bertemu dengan atasan saya dan menggodok hal ini, bertanya dan menggali pula
dengan atasan tertinggi unit tersebut. Dead
lock. Tidak ada yang bisa saya ubah. Tetapi saya diminta untuk membuat aturan
resmi. Membuat slide presentasi mengenai aturan berpakaian. Maka saya katakan,
saya sampaikan seperti halnya yang saya sampaikan kepada Chief Human Capital.
Saya katakan, bahwa saya takut murtad dengan sadar, karena saya mengetahui
hukumnya.
Alhamdulillah
kadang ketakutan kita hanya ada di kepala. Kenyataannya, saya dibebaskan. Saya
tidak dipermasalahkan. Saya sekali lagi terhindar dari hal seperti itu. Aturan
tak boleh berkerudung tak dimasukan/dilegalkan.
Lucunya,
setelah menyelesaikan permasalahan itu, pihak/karyawan yang berusaha saya bela itu kenyataannya memang bukan
berkerudung atas kesadaran. Beberapa saat kemudian ia melepaskan kerudungnya,
hanya karena ingin saja. Saya hanya bisa tersenyum. Itu pilihan manusia, dan
saya belajar untuk tidak dikecewakan oleh manusia.
Ya,
kembali saya menemukan satu hal. Bahwa ‘negara’ yang didalamnya ada fungsi
legislatif itu tidak hanya berwujud negara yang berbendera tetapi perusahaan
pun bisa menjadi sebuah ‘negara’ dengan aturan-aturannya sendiri. Sebuah
wilayah dimana sebuah proses penggalian dan pemutusan hukum dilakukan.
Akankah
kamu yakin, bahwa perusahaan kamu bekerja tidak melakukan legislasi yang
bertabrakan dengan aturan dien yang mengatur kehidupan? Tidakkah perusahaan
kamu memiliki perangkat aturan bertingkah laku? Jika itu tidak melanggar
syariat tidak masalah, akan tetapi benarkah semurni-murninya tidak akan
menabrak atau bahkan membuat syariat baru, sementara Allah menyatakan melalui
Quran bahwa hanya dia yang berhak membuat hukum, bahwa jika muncul permasalahan
kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya, bahwa ketika seseorang membuat hukum,
melaksanakan hukum tidak berdasar hukum Allah: mengharamkan apa yang Allah
halalkan, dan menghalalkan apa yang Allah halalkan maka perusahaan tempat kita
mencari nafkah bisa menjadi thagut. Bahwa perusahaan-perusahaan melalui aturan
dan pelaksanaannya, maujud sebagai tiran dihadapan Allah. Maujud menjadi
sesembahan kita.
Inilah
zaman ketika seseorang dapat beriman di pagi hari dan murtad di sore harinya,
beriman di malam hari dan murtad di pagi harinya. Apakah kita seperti itu?
sepertinya ya... kebanyakan dari kita ya, mungkin termasuk saya juga. Hanya
saja kita tidak aware, kita bisanya menunjuk hidung orang, sementara kita tidak
mau berusaha detail menggali apa yang kita lakukan apa sudah benar atau tidak?
Apakah melanggar batas keimanan atau tidak. Inilah kita.
Itulah
mengapa sejak awal saya menyatakan bahwa orang yang masih bekerja di sebuah
perusahaan, terutama yang memegang jabatan kunci/managerial level memiliki
andil untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, memiliki andil
untuk menghalalkan apa yang Allah haramkan dan sebalikanya. Jika dia memiliki
keimanan yang kuat, maka dia akan berusaha memberi masukan, mengubahnya, membuat
aturan yang sesuai dengan hukum syara. Jika kuat, maka ketika apa yang
dilakukannya tidak digubris dan ia diancam dipecat, maka tak ada di dalam
hatinya dunia. Dunia telah ia genggam dalam kepalan. Dunia akan ia remukan
dengan tangannya. Dunia baginya kecil ketimbang keimanan. Ia tak akan menoleh
sedikit pun untuk keluar. Berlawanan dengan itu, jika seseorang tidak kuat,
meski ia tahu bahwa itu salah ia tetap menjalankan aturan itu, menerapkan dan
memaksa seseorang untuk melakukan keharaman.
Mari
kita perhatikan. Bukankah itu sama dengan orang-orang yang masuk kedalam
parlemen kemudian bertujuan untuk menegakan syariat Islam. Mereka lebih baik
dari orang yang masuk ke perusahaan swasta tidak dengan tujuan apa-apa
melainkan hanya untuk mencari nafkah. Orang yang masuk ke dalam parlemen untuk
tujuan itu hanya bisa disejajarkan dengan orang yang masuk ke sebuah perusahaan
yang aturan-aturannya melanggar hukum syara, tetapi ia bertujuan untuk
merubahnya.
Saya
tidak ingin mengutarakan mana yang lebih hebat-lebih baik.
Saya,
insya Allah selamanya akan menjadi golput selama sistemnya masih seperti ini,
meski ada saudara-saudara saya yang berjuang di dalamnya. Saya hanya bisa
mendoakan semoga Allah mengampuni kesalahan selama tujuannya benar-benar
menegakan syariat Islam, selama ikhlas. Saya pun tentu mendoakan diri saya agar
Allah mengampuni.
Sekarang,
apa kamu yang masih bekerja di perusahaan-perusahaan dan telah menduduki sebuah
jabatan tertentu, yang sudah bergabung dalam level managerial dan mengertahui
bahwa ada aturan-aturan yang dijalankan bertabrakan dengan hukum syara, masih
mau menghajar sampai hancur orang – orang yang ada di parlemen, padahal kamu
melakukan hal yang sama? Padahal kamu masuk ke dalam sistem thagut pula, meski bukan dalam bentuk
negara.
Akhir
nya saya hanya mengatakan bahwa sesama 'pendosa' dilarang saling mendahului. Sesama
'pendosa' --kalau itu dosa-- diharuskan untuk saling tahu diri. Ya, ya, ya
setidaknya untuk kamu yang bekerja di swasta, atau bahkan di institusi
pemerintahan. Untuk yang tak bekerja antara kedua-duanya, berbahagialah. Doakan
saya.
jadi pedagang aja, asyik sambil jadi pengarang. hehe mau beli gamis buat nyawa dan nyala? hehe tulisan yg bagus ^_^