Perusahaan dan Parlemen? (Prolog Risalah Demokrasi 1)

Posted: Kamis, 11 April 2013 by Divan Semesta in
2


Bagaimana mungkin saya menyerang habis, memukuli hingga ringsek orang-orang yang masuk parlemen dengan tujuan menegakan syariat Allah, baik secara terus terang atau sembunyi-sembunyi?
 
Bagaimana mungkin menyerang dengan penuh dendam, padahal seharusnya saya melihat diri sendiri. Kita melihat posisi kita saat ini.

Adalah suatu yang lucu bagi saya, ketika ada sahabat-sahabat, kawan-kawan, saudara saya yang bekerja di sebuah institusi, terutama menjadi pegawai negeri yang disumpah dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian berbicara seolah dirinya tak memiliki dosa?

        Yang berhak melakukan hal itu adalah orang yang benar-benar melakukan pemutusan hubungan dengan baik, tanpa takut dunia berpaling darinya. Jika mereka melecehkan, kita mau apa? Mereka mengatakan dan mengerjakan apa yang mereka yakini. Mereka wajar menghajar kita dengan hajaran al wala wal bara. Mereka lebih pantas?

Kita?

Adalah lucu dengan diri saya, dengan diri sahabat-sahabat, kawan-kawan dan saudara yang lain yang mengkritik tanpa kerendahan hati, yang mengkritik seolah dirinya terbebas dari dosa syirik baik langsung atau tidak langsung, meski kita tidak bekerja di instansi pemerintah alias swasta.

Ya, institusi swasta/perusahaan swasta pun –banyaknya-- adalah negara dalam bentuk terkecil pula. Banyak kebijakan-kebijakan didalamnya yang bisa menyeret kita pada kemusyrikan, menjadikan kita murtad tanpa sadar, baik dari jenjang yang paling rendah atau dimulai dari jenjang ketika seseorang bisa membuat sebuah peraturan.

Saya, akan saya akui bagaimana tempat saya bekerja.

Di kisaran tahun 2011 Chief Human Capital perusahaan pernah memanggil saya ke dalam ruangannya. Beliau seorang Nasrani yang santun. Nasrani yang baik.

“Divan,” sambutnya sambil mempersilahkan duduk. “Besok ada acara nggak?”

“Nggak ada Pak. Ada yang bisa saya lakukan?”

           Beliau, atasan dari atasan saya itu kemudian menyampaikan keinginannya, agar saya menjadi seorang pembaca doa dalam upacara bendera 17 Agustus yang diadakan di halaman depan gazebo tempat saya bekerja.

Ada kecamuk dalam diri saya. Saya diam untuk beberapa saat, kemudian saya meminta maaf. “Saya tidak bisa Pak.”

Mata dan gerak tubuh beliau jelas memperlihatkan kebingungan. “Memang kenapa?”

“Ini masalah keyakinan Pak.” Saya tersenyum lalu mengajak dia untuk mengingat kembali sejarah, mengenai seorang Kyai di Tasikmalaya yang enggan menyatakan penghormatannya terhadap Hinomaru, bendera Jepang. Saya menyampaikan banyak argumentasi kemudian mengakhirnya. “Selama ini saya loyal terhadap Bapak. Saya mau saja diminta untuk mengerjakan ini itu. Tapi untuk yang satu ini saya tidak bisa. Saya tahu konskuensi membantah atasan, saya mengetahui hal itu dan saya siap menanggung konsekuensinya.”
          
          Saya pun keluar dari ruang atasan dengan kelegaan yang luar biasa, karena atasan saya kenyataannya tidak mempermasalahkan. Dia malah menghormati keterus terangan saya.
           
       Saya tidak mau mengkhianati diri saya. Tidak. Saya tidak mau mengkhianati keyakinan saya jika saya mampu.

Ada satu kejadian lagi.  Satu saat kantor saya membuka sebuah unit usaha baru. Saya yang skup kerja/core-nya dibidang kadang kadang: kadang Training and Development dan Performance Management kadang di Recruitment, diharuskan untuk membuat sebuah silabus mengenai aturan berpakaian unit usaha tersebut. Dan sialnya, ada aturan tidak tertulis bagi wanita untuk tidak menggunakan kerudung (belum sampai jilbab). Itu aturan tidak langsung.

Ketika melakukan training saya mendapati ada seorang wanita yang menggunakan kerudung di tempat tersebut. Apa yang terjadi jika aturan itu diberlakukan? Diluar sana saya bicara banyak tentang thogut-thogut. Bicara bahwa hanya Allah yang berhak mengatur sebuah hukum dan tentu menentukan mana yang berhak di ijtihadkan atau tidak. Sementara disini apa yang terjadi? apa yang harus saya lakukan.

Saya bertemu dengan atasan saya dan menggodok hal ini, bertanya dan menggali pula dengan atasan tertinggi unit tersebut. Dead lock. Tidak ada yang bisa saya ubah. Tetapi saya diminta untuk membuat aturan resmi. Membuat slide presentasi mengenai aturan berpakaian. Maka saya katakan, saya sampaikan seperti halnya yang saya sampaikan kepada Chief Human Capital. Saya katakan, bahwa saya takut murtad dengan sadar, karena saya mengetahui hukumnya.

Alhamdulillah kadang ketakutan kita hanya ada di kepala. Kenyataannya, saya dibebaskan. Saya tidak dipermasalahkan. Saya sekali lagi terhindar dari hal seperti itu. Aturan tak boleh berkerudung tak dimasukan/dilegalkan.

Lucunya, setelah menyelesaikan permasalahan itu, pihak/karyawan yang berusaha saya  bela itu kenyataannya memang bukan berkerudung atas kesadaran. Beberapa saat kemudian ia melepaskan kerudungnya, hanya karena ingin saja. Saya hanya bisa tersenyum. Itu pilihan manusia, dan saya belajar untuk tidak dikecewakan oleh manusia.

Ya, kembali saya menemukan satu hal. Bahwa ‘negara’ yang didalamnya ada fungsi legislatif itu tidak hanya berwujud negara yang berbendera tetapi perusahaan pun bisa menjadi sebuah ‘negara’ dengan aturan-aturannya sendiri. Sebuah wilayah dimana sebuah proses penggalian dan pemutusan hukum dilakukan.

Akankah kamu yakin, bahwa perusahaan kamu bekerja tidak melakukan legislasi yang bertabrakan dengan aturan dien yang mengatur kehidupan? Tidakkah perusahaan kamu memiliki perangkat aturan bertingkah laku? Jika itu tidak melanggar syariat tidak masalah, akan tetapi benarkah semurni-murninya tidak akan menabrak atau bahkan membuat syariat baru, sementara Allah menyatakan melalui Quran bahwa hanya dia yang berhak membuat hukum, bahwa jika muncul permasalahan kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya, bahwa ketika seseorang membuat hukum, melaksanakan hukum tidak berdasar hukum Allah: mengharamkan apa yang Allah halalkan, dan menghalalkan apa yang Allah halalkan maka perusahaan tempat kita mencari nafkah bisa menjadi thagut. Bahwa perusahaan-perusahaan melalui aturan dan pelaksanaannya, maujud sebagai tiran dihadapan Allah. Maujud menjadi sesembahan kita.

Inilah zaman ketika seseorang dapat beriman di pagi hari dan murtad di sore harinya, beriman di malam hari dan murtad di pagi harinya. Apakah kita seperti itu? sepertinya ya... kebanyakan dari kita ya, mungkin termasuk saya juga. Hanya saja kita tidak aware, kita bisanya menunjuk hidung orang, sementara kita tidak mau berusaha detail menggali apa yang kita lakukan apa sudah benar atau tidak? Apakah melanggar batas keimanan atau tidak. Inilah kita.

Itulah mengapa sejak awal saya menyatakan bahwa orang yang masih bekerja di sebuah perusahaan, terutama yang memegang jabatan kunci/managerial level memiliki andil untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, memiliki andil untuk menghalalkan apa yang Allah haramkan dan sebalikanya. Jika dia memiliki keimanan yang kuat, maka dia akan berusaha memberi masukan, mengubahnya, membuat aturan yang sesuai dengan hukum syara. Jika kuat, maka ketika apa yang dilakukannya tidak digubris dan ia diancam dipecat, maka tak ada di dalam hatinya dunia. Dunia telah ia genggam dalam kepalan. Dunia akan ia remukan dengan tangannya. Dunia baginya kecil ketimbang keimanan. Ia tak akan menoleh sedikit pun untuk keluar. Berlawanan dengan itu, jika seseorang tidak kuat, meski ia tahu bahwa itu salah ia tetap menjalankan aturan itu, menerapkan dan memaksa seseorang untuk melakukan keharaman.

Mari kita perhatikan. Bukankah itu sama dengan orang-orang yang masuk kedalam parlemen kemudian bertujuan untuk menegakan syariat Islam. Mereka lebih baik dari orang yang masuk ke perusahaan swasta tidak dengan tujuan apa-apa melainkan hanya untuk mencari nafkah. Orang yang masuk ke dalam parlemen untuk tujuan itu hanya bisa disejajarkan dengan orang yang masuk ke sebuah perusahaan yang aturan-aturannya melanggar hukum syara, tetapi ia bertujuan untuk merubahnya.

Saya tidak ingin mengutarakan mana yang lebih hebat-lebih baik.

Saya, insya Allah selamanya akan menjadi golput selama sistemnya masih seperti ini, meski ada saudara-saudara saya yang berjuang di dalamnya. Saya hanya bisa mendoakan semoga Allah mengampuni kesalahan selama tujuannya benar-benar menegakan syariat Islam, selama ikhlas. Saya pun tentu mendoakan diri saya agar Allah mengampuni.

Sekarang, apa kamu yang masih bekerja di perusahaan-perusahaan dan telah menduduki sebuah jabatan tertentu, yang sudah bergabung dalam level managerial dan mengertahui bahwa ada aturan-aturan yang dijalankan bertabrakan dengan hukum syara, masih mau menghajar sampai hancur orang – orang yang ada di parlemen, padahal kamu melakukan hal yang sama? Padahal kamu masuk ke dalam sistem thagut pula, meski bukan dalam bentuk negara.

Akhir nya saya hanya mengatakan bahwa sesama 'pendosa' dilarang saling mendahului. Sesama 'pendosa' --kalau itu dosa-- diharuskan untuk saling tahu diri. Ya, ya, ya setidaknya untuk kamu yang bekerja di swasta, atau bahkan di institusi pemerintahan. Untuk yang tak bekerja antara kedua-duanya, berbahagialah. Doakan saya.

2 komentar:

  1. jadi pedagang aja, asyik sambil jadi pengarang. hehe mau beli gamis buat nyawa dan nyala? hehe tulisan yg bagus ^_^

  1. Sundawi says:

    Akhm. Setuju gak, kang: karena kita sedang berada di sebuah formasi sosial Kapital yang mendominasi kita sekarang ini, oleh karena itu, percaya atau nggak, kondisi psikologis kita dikondisikan oleh kondisi objektif yang kita hadapi. Ya, mau gimana lagi, kalo mau bertahan hidup ya harus beradaptasi dengan kondisi material yang ada (ikut arus) ato kalo nggak--seperti yang pernah dikatain temen saya--"susah hidup". Salah satu bentuk adaptasi yang pernah saya lihat adalah: saya sering melihat seseorang. Dia adalah pegawai BPR Syariah. Ya, gajinya diatas dua juta lah. A kind of midle class. Kalo ketemu suka lagi asyik masyuk dengan tab di genggamannya. Tapi, beberapa kali di hari Jumat, sering kedapatan oleh saya dia nggak ikut shalat jum`at. *dalam hati, saya ngomen: kok bisa ya? Padahal pegawai BPR Syariah.

    ***

    Hm... apakah ini masa di mana--seperti yang dikatain Rasul--ketika orang-orang tidak lagi memerhatikan apakah dia mencari nafkah dengan halal atau tidak?

be responsible with your comment