Wisdom

Posted: Kamis, 05 Agustus 2010 by Divan Semesta in
8


Aku yang saat ini pastilah Aku yang berbeda dengan aku yang ada di masa lalu, demikian pula di masa yang akan datang.

Makin bertambah umur, semakin aku kesal dengan orang-orang yang porsi hidupnya mencela sana-sini. Kubilang porsi, karena aku tak memiliki masalah dengan perilaku kebanyakan sahabatku yang juga suka mencela hal yang patut dicela. Kubilang porsi artinya memang kita semua memiliki bakat atau naluri untuk mencela, tetapi perbedaannya hanya masalah porsi.

Baru-baru ini, sebuah komunitas yang mengaku bangga memiliki ide komunis, mengenyahkanku dari keanggotaan facebooknya. Apa yang kulakukan? Tampaknya mereka gerah, dengan komentar-komentarku mengenai nabi-nabi dan utusan tuhan Marx. Sebenarnya hal itu tidak bermasalah bagiku. Silahkan aja orang memiliki cara pandang/keyakinan yang berbeda, tapi kalau mereka mulai sok tahu bicara tentang Tuhan : kemanakah tuhan ketika ada kelaparan di Afrika (yang kubilang jangan manja), mengetik tentang khayalan tingkat tinggi mengenai Islamnya Misbah (yang kubilang Misbah diperalat SI merah), ya, lebih baik kujahili saja. Dan hasilnya? Hm, benar-benar mengisyaratkan otoritariannya si gila Stalin. Haha.

Seperti yang sering dan kedepannya pasti akan kuulang lagi. Di dunia ini banyak orang ekstrim yang gila.

Kata orang Komunis atau Anarko, system Kapitalisme itu system gila! System itu mengeksploitasi manusia.”
“Dalam hal apa?”
“Lihat…. manusia teralienasi dengan kerjaannya.
“Haha kalau begitu kamu yang gila!”


Jika manusia yang tidak memiliki atau tidak punya tuntunan yang diturunkan Tuhan, sebaiknya manusia itu mengambil jalan tengah. Melakukan kompilasi ide untuk meningkatkan kemanusiaannya. Agar ia menjadi bijak. Filsafat timur, Kong Fu Tze, Lao Zie, mengajarkan hal itu. Makin orang memperdalam sebuah ilmu duniawi seharusnya ia semakin bijak. Aku tak heran dengan hal ini.

***

Sabtu lalu, seorang lelaki bernama Djoko Nugroho berhasil mengharu biru para peserta training. Skill bermain angklungnya jangan ditanya. Ia bahkan bisa mendengar suara da mi na ti la da, yang salah diperdengarkan sementara ada sekitar 60 orang yang memainkannya. Lebih dari itu ia sudah mencapai sebuah lapisan. Lapisan kebijaksanaan.

Bagiku, dan bagi orang yang mengerti: ketika seseorang mendalami sesuatu maka ia bisa menterjemahkan apa yang ia kuasai dengan kehidupan kesehariannya. Djoko, bukan sekedar memainkan angklung, tetapi membedah harmonisasi angklung ke dalam konsep kepemimpinan, kedisiplinan, improvisasi, integritas, sebuah nilai yang benar-benar di dambakan jutaan perusahaan di dunia.

Dan hal itu pun berlaku dengan para pemusik. Mereka yang kelihatan urakan itu ternyata memiliki kebijaksanaan. Mereka menuangkan pikirannya, penemuan kondisi mentalnya ke dalam lirik lagu, ke dalam aforisma yang menjadi sebuah filosofi.

Siapa yang bisa menciptakan filosofi , pastilah orang-orang yang suka merenung, melakukan kontemplasi. Siapapun yang menguasai sebuah disiplin ilmu, bukan hanya dalam tataran permukaan maka ia akan bisa memahami sistematika atau hukum alam. Dan hal ini hampir pasti akan membuat mereka semakin bijak.

“Apa yang kau pikir,” ungkapku, “mengenai kejahatan kerja, mengenai alienasi buruh saat ini sebenarnya bukan merupakan pencerminan system kapitalisme modern.”

Kamu benar-mungkin benar sepenuhnya ketika berbicara di masa revolusi industry, tetapi saat ini kaum kapitalis lebih cerdas dan lebih bijak darimu. Mereka menjalani evolusi, tetapi bagaimana dengan sistem yang kau percayai? Ya, ya, secara general komunisme stagnan. Mungkin lain soal dengan Cuba dan Venezuela yang aku tidak ketahui faktanya. Tetapi bukan itu intinya.

Manusia, kamu, aku harus mau meningkatkan diri. Tidak memiliki pendapat yang bersumber pada dogma. Kapitalisme sudah berubah. Perancis, Kanada, Britain member contoh menarik mengenai perbaikan. Alienasi yang kau katakana tidak sepenuhnya benar. Bahwa pasti orang yang bekerja dengan patokan jam pasti teralienasi.

“Kerja mengasingkan kemanusiaan. Kerja adalah sebuah system perbudakan!


Di Jepang, secara general, sejak keruntuhan imperium Tokugawa, spirit samurai, Bushido beralih pada spirit kerja. Kerja menjadi sebuah ibadah. Kepuasan batin dapat ditemukan di sana. Saya sering menemukan orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan tertinggi sebuah perusahaan memiliki sudut pandang yang menarik untuk diselami jika kita memang manusia ikan.

Manusia memang seharusnya menjadi penyelam, menjadi manusia ikan untuk menggali kehidupan. Dan mereka para pekerja, yang sering dibilang terasing itu ternyata berbahagia dengan pencapaian yang dia dapatkan dalam kehidupan.

Kukatakan bukan pencapaian materi tetapi hikmah dalam disiplin, loyalitas, work with passion yang mereka lakukan semenjak muda, semenjak menjadi staf. Berkiprah dalam sebuah organisasi yang memiliki hierarki memberikan pemahaman pada mereka mengenai keindahan sebuah system.

Siapa bilang taat terhadap hierarki itu salah? Ada banyak system di dunia ini. Atom, binatang, terowongan bawah tanah atau bahkan permainan lawas semacam dingdong, memiliki satu benang merah yang sama.

Sebagai contoh ketika kita berbicara tentang kimia, bahwa untuk menghasilkan sebuah warna merah metalik untuk jutaan mobil, maka diperlukan takaran. Diluar takaran itu, maka hasil yang memuaskan tidak akan di temukan. Demikian juga kehidupan keseharian. Kita memerlukan keseimbangan, semua ada takaran, jika diluar takaran maka segala sesuatu hampir bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan semestinya. Jika kita tidak menjalankan standar operational/prosedur maka ada banyak kekacauan yang kita lakukan. Tubuhpun demikian. Ketika sakit anti bodi memainkan peranan. Ada pertarungan di dalam tubuh kala kita demam, atau bahkan ambient sekalipun. Penemuan-penemuan hal itu adalah replica, merupakan azas alam semesta.

Jadi siapa bilang, seorang pekerja teralienasi? Tidak semudah itu membuat garis hitam dan putih dalam kehidupan. Apalagi jika terkait dengan sumber nilai yang berasal dari pikiran manusia. Dan kupikir pertanyaan itu akan menjadi basoka bagi yang sumbernya.

“Nah, apakah dengan tidak bekerja (dengan konsep pekerjaan standar 9-5) kamu akan menjadi seorang yang bijak?”


Tampaknya tidak juga.

Apakah dengan mengatakan bahwa seorang yang memiliki agama, meyakini Islam maka orang yang antipasti itu akan menjadi bahagia? Menjadi the owner of ultimate happiness?

Kenyataannya, tulisan-tulisan sang pengugat agama terasa murung. Bunuh diri dan bunuh diri lagi yang dituliskan, hampa, keresahan dan kegelisahan lagi.

Kasihan juga. Kalau begitu, memang benar apa yang diucapkan orang tua dulu, bahwa Dinosaurus di depan kacamata tidak terlihat sementara kutu loncat yang bersembunyi di balik rambut orang, kelihatan.

Wisdom atau kebijaksanaan, adalah sebuah khasanah yang ditebarkan Allah, untuk membuat dunia menjadi harmoni. Kadang perang pun merupakan sebuah ciri dari pilihan yang bijak karena tubuh kita pun memerangi penyakit dengan mengerahkan seluruh antibodinya.

Kebijaksanaan itu seperti halnya ilmu. Dimiliki oleh jutaan manusia, tak peduli madzhab pemikirannya apa, tak peduli profesinya apa. Tetapi tentu itu hanyalah jalan keselamatan di dunia, bukan jalan keselamatan yang merangkum keduanya, yakni dunia dan akhirat.

Innaddiina indallahilislam.


Itulah jalan yang ditopang oleh episteme yang sangat rasional. Sebuah jalan yang menawarkan keselamatan dan kebijaksanaan jika kita benar-benar mau mengesplorasinya.

Dan nampaknya, memahami anak-anak muda itu pun, merupakan sebuah kebijaksanaan yang di ajarkan alam juga.

Anak muda itu seperti anak beruang, anak musang atau balita yang harus di latih diajari mana yang bahaya dan mana yang tidak, sebab kebanyakan yang muda-muda itu teledor alias ceroboh.

Itulah hukum alam. Maklumlah.

-------------------------------
(Sebenernya tulisan ini belum selesai. Saya pengen nulis tentang struktur dan hukum alam yang lebih dalam lagi. Tapi dari dulu saya tidak tahu harus mengawali dengan apa. Untungnya kemaren ketemu dengan Halo Ali dan Dendi di Braga yang insya Allah sudah bijak sebelum waktunya. Terimakasih, atas nama keyboard dan tangan yang akhirnya menghasilkan sedikit tulisan tentang struktur dan hukum alam ini)

8 komentar:

  1. Sundawi says:

    Salam, Kang! saya mau share sedikit ya....boleh. boleh. boleh.

    Adalah zeit-geist abad pencerahan yang begitu ultrarasionalis. digerakkan oleh cogito-nya Descartes membuat manusia modern melihat segala sesuatu seperti mesin; on-off; flat; mekanis; jika-maka; ceteris paribus.

    Celestial Mechanic. Begitu katanya ketika mereka melihat tatanan kosmos yang begitu teratur dan menakjubkan!Tapi keteraturan itu mereka lihat seperti sebuah tatanan mekanis yang deterministik. Jika api didekatkan kepada kertas maka kertas PASTI akan terbakar. Tapi tentunya mereka lupa kalo segala sesuatu itu gak ada yang PASTI begitu kompleks hingga kita, sebagai seorang Muslim, harus mengucapkan "Insya Allah" ketika mengatakan tentang sesuatu yang akan terjadi di "masa depan".

    Hukum Alam manusia modern adalah Kausalitas mekanis...seolah-olah segala sesuatu itu dapat dipastiakan karena segala sesuatu--dari kosmos sampai manusia--begitu flat diatur oleh hukum besi kausalitas yang deterministik.

    Jauh sebelum Cogito Cartesian menjadi zeit-geist modernisme, jargon Cogito ergosum telah dijagal mati oleh Ibn Sina yang selanjutnya dipertegas oleh Suhrawardi Maqtul.

    Hm... dalam konsepsi hukum alam (baca: sunnatullah) mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang deterministik-mekanis. Shodruddin Muhammad Al-Qowwami, misalnya, mengatakan kalo kausalitas itu lebih bersifat iluminasionistik (ishraqiyah) daripada mekanis.

    hm...saya nulis apa ya? Maklum kang nulisnya mala-malam. Hehee. Afwan.

  1. Sundawi says:

    Gimana kalo kertasnya basah? Mungkin gak kalo kertas itu akan terbakar api.

    Menjadi perdebatan seru antara Muhammad Al-Ghazali yang membela atomisme dengan para filsuf yang membela kausalitas.

    Begitu banyak kemungkinan yang dihilangkan, variabel yang dilupakan...sehingga semuanya begitu simplistik.

  1. Wallahu alam.

    Ada banyak kemajuan, berkah yang di kasih abad pencerahan buat manusia. Saya sendiri nggak begitu faham detail tentang pemikiran descartes, mengenai cogito sedikit lah, mengenai mekanisasi dan kaidah deterministik lumayanlah.

    Di abad pencerahan itu, ada banyak pertarungan, paling tidak ada dua kubu yang bertarung di sana, determinisme yang diusung orang atheis agnostik, vs ilmuwan yang meyakini tuhan, bahkan agama.

    Kalau sy nelaah dan sedikit berhusnudzan, adanya kesan penyingkirkan peran/kejadian pembalikan hukum alam, dikarenakan eforia determinisme yang juga muncul dikalangan ilmuwan bertuhan (kalau ilmuwan atheis agnostik tahu sendiri)

    Tapi bukan berarti mereka nggak meyakini adanya sesuatu diluar kausalitas yang mereka belum mengerti.

    Namanya juga eforia. Eforia itu kadang nggak membuat manusia sigap dan waspada...dan itu wajar. Tapi sekali lagi bukan berarti mereka menafikan.

    Ilmuwan Islam memahami hal itu (Insya Allah) Mereka mengakui determinisme yang melekat pada alam, tetapi mereka juga memahami (dan ini pun berdasar fakta) bahwa kaidah alam general bisa dibalik-balikan oleh Pemilik Jungkat Jungkit/se-saw. Namun, sebenarnya kita pun faham bahwa sesuatu yang keluar dari kaidah general bukan berarti keluar dari kaidah determinisme, hanya saja kaidahnya belum ditemukan.

    Dan insya Allah ada beberapa rahasia alam yang tidak mungkin ditemukan bahkan sampai ras manusia punah.

  1. Sundawi says:

    Di abad pencerahan itu, ada banyak pertarungan, paling tidak ada dua kubu yang bertarung di sana, determinisme yang diusung orang atheis agnostik, vs ilmuwan yang meyakini tuhan, bahkan agama.

    Arushidup: hm... atheis tidak sama dengan agnostik ah kang, naturalis... religis juga idak sama?

    tapi saya pribadi gak mendukung determinisme kayak jabbariah dan tidak juga mendukung freewill yg berlebihan kyk Mu'tazilah atau eksistensialisme sartrean. Saya juga gak mendukung determinisme kausalitas mekanis saintis abad pencerahan yang ujung-ujungnya--beberapa di antara mereka--malah jadi naturalis (jadi inget waktu kita mentor di 6: teori kosmos sebagai jam. Tuhan menciptakan kosmos dengan seluruh aturannya lalu pada hari ketujuh dia istirahat... seperti tukang jam yang bikin jam lalu dia biarin jam itu sendiri yang bekerja tanpa campurtangan tukang jam. wew wal `iyadzu bi Allah)


    Tapi sampai hari ini saya masih meyakini kalo kausalitas itu bersifat iluminasionistik (kausalitas vertikal ya kang. soalnya ada dua: tatanan horizontal atau gradasi eksistensi kalo sufi nyebutnya tajalli dan tatanan vertikal atau kausalitas kalo sufi nyebutnya isyq)bukan deterministik mekanis... lagian kausalitas kan cuman ada di Mundus ntellectus (di dalam nafs kita) dan tidak nyata di Dunia Luar... tapi manusia modern selalu menginginkan Dunia Luar menjadi seperti Mundus Intellectus yang rigid, flat, ... jadi we manusia itu kayak robot... kosmos itu seperti mesin selestial. wa Allahu a`lam.

  1. Arus:

    Emang beda antara atheis dan agnostik, tapi di abad itu secara general mereka memang bertarung dengan agama. Dan saya kan bilang, 'paling tidak/setidaknya/sekurangnya'

    Abad ini, di Eropa Amerika, abad kemenangan mereka. Mereka yang menutup abad kegelapan di Eropa atas agama (dunia kekristenan Byzantium)

    Btw saya harus banyak belajar istilah. banyak yang sy nggak paham istilahnya. Bagusnya sih di sederhanakan :). Tapi secara general sy ngerti.

  1. Anonim says:

    Btw saya harus banyak belajar istilah. banyak yang sy nggak paham istilahnya. Bagusnya sih di sederhanakan :). Tapi secara general sy ngerti.

    Syukran kang buat masukannya... emang saya juga terlalu kaku gak bisa menyederhanakan istilah. Maaf kang.

  1. Anonim says:

    FB ente alamatnya naon kang divan..?

be responsible with your comment