Zine (Bab 33)
Posted: Jumat, 04 September 2009 by Divan Semesta in
0
“Dengan nama Tuhanmu! Mabuklah!” Waluh memberi Riang setumpuk zine.
Milea tertawa. Ia mengeluarkan setumpuk zine lain dari ranselnya.
“Banyak sekali!” Riang mencicit minta ampun. Ia membalik-balikan tumpukkan zine itu hingga lecek. Prisca Pricilia, Kontaminasi Kapitalis, No Compromise, HC, Openmind, Tiga Martil, Brigade Lawan Arus, Apocalypse hanyalah beberapa zine yang Riang pegang ditangannya.
Bundelan kertas yang dipegangnya adakalanya sarkas namun full logika. Di penuhi makian yang berseni, sinisme, kritisme, skeptisisme. Ada yang memadukannya dengan data, ada pula yang sembarang nyablak mengenai kehidupan sehari-hari yang dipenuhi kesegaran caci maki. Zine-zine adalah tempat pembuangan.
“Tempat modol, beol!”
“Jangan bicara kotor! Ada anak-anak di sini!” Eva mengingatkan.
Riang mengerti. Bukankah ekskresi adalah membuang sesuatu. Fred tidak berlebihan. Membuat zine pada hakikatnya seperti yang pernah dikatakan Fidel dan dikuatkan Fred, adalah juga membuang kesakitan. Jadi, kata Waluh jika Kau ingin membuatnya, jangan pernah terbebani berpikir mengenai apa tulisanmu berguna atau tidak, bagus atau jelek. Zine adalah tempat berbagi. Zine adalah tempat pelepasan, yang isinya tidak seperti yang Riang dapatkan di media massa atau majalah-majalah yang dikatakan Waluh, majalah mainstream. Zine-zine itu bernyawa! Memiliki jiwa-jiwa! Uh… uh Riang tertantang untuk mencipta!
“Bagaimana dengan desainnya? Bagaimana dengan izinnya!?”
“Memang syarat membuat zine harus ada izin dari pemerintah? Memang pemerintah bisa mengatur seluruh kehidupan kita?” Waluh tergelak. “D.I.Y do it your self! Semangat zine ada di sana! D.I.Y adalah pengambilan alihan kontrol yang dilakukan negara dan menggantikannya dengan kontrol individu! Zine itu otonom! Buat sendiri, tulis sendiri! Kalau kau tidak bisa menulis, curi tulisan orang! Pembajakan untuk pengetahuan adalah sah! Untuk masalah desain-mendesain, gampang! Yang penting saat ini, selesaikan saja dulu tulisanmu!”
Riang pun mengalihkan seluruh tulisannya pada buku catatan ke atas selembar kertas kuarto. Setelah memodifikasi bahasa dan ia merasa kontennya sudah cukup. Riang pun melapor. “Sudah selesai!” katanya.
“Tambahkan ini!” Fidel mengambil puisi-puisinya.
“Muat juga terjemahanku ini!” Waluh mengeluarkan print out mengenai biografi Zapata.
“Lha desainnya bagaimana?” tanya Riang.
Milea membawakan majalah bekas yang menumpuk di gudang.
“Gunting topi tentara itu” Fidel menunjuk foto topi tentara pada sebuah majalah. “Gunting semua. Preteli. Gambar apa saja. Ban, pisau dapur, pistol, gelas mineral, obeng, gambar kerbau, apa saja yang Kau anggap cocok dengan karakter tulisan yang akan Kau muat di dalam zinemu!” Fidel tahu Riang bingung. “Gunting saja!” sahutnya. “Tak usah bertanya!”
Fidel meminta Milea untuk membantu Riang menggunting paragrap tulisannya. Setelah gunting menggunting selesai. Fidel mengambil kertas kosong, yang segera ia penuhi dengan guntingan paragrap tulisan yang terkumpul. Kertas menjadi penuh warna setelah dihiasi gambar-gambar yang terkesan tak beraturan.
“Tunggu sebentar!” Waluh membawa lembaran kertas-kertas itu. “Jangan kemana-mana,” teriaknya pada Riang.
Riang menunggu. Bagaimana jadinya, majalah tanpa izin itu? Bagaimana bentuk majalah aneh yang dikerjakan dengan kepercayaan diri di luar batas itu?
Dua jam kemudian, suara knalot yang menyejarah sampai di pondokan. “Aku memfoto copi 200 eksemplar. Ini!” Suar bruk! zine yang diikat tali rapia terdengar keras.
Riang membukanya. Oladalah! Megaphone nama zine-nya! Namanya tertera jelas, teramat sederhana namun Riang melihatnya menyala, deemikian meriah! Uah! Cup! Cup muah! Segala macam bentuk sukacita! Semua suka cita! Tak ada bir tak ada psikotropika yang membuat huru hara! Semua gembira! Derit kereta uap Christopher Morley! Terima kasih untukmu duhai dewi penggandaan masal! Duhai kekasih para nabi dan mesin foto kopi!
Zine Megaphone membuat Riang bangga! Bagaimana bisa? Aku yang membuatnya? Oh tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Riang berteriak dalam hati. Kepalanya benar-benar iritasi! Riang tersenyum gembira seolah hari itu adalah hari di mana amalan baik diterima menggunakan tangan kanannya.
“Kita distribusikan siang ini!”
“Mengapa tidak?!” Riang menjawab tantangan Bentar.
“Tapi uangnya mana?!”
“Uang apa?”
“Ini masalah sensitif Bung!” Bentar menghentikan kegembiraan Riang. “Kau pikir foto kopi dua ratus eksemplar menggunakan daun?! Dua ratus eksemplar itu menggunakan uangku!”
Riang terpojok.
“Uang simpananmu! Uang simpananmu!” Bentar seperti satuan pamong Kemarikan! Kamarikan!”
Riang menghabiskan uang di dompetnya.
“Segini sih cuma dua puluh lima eksemplar!” ejek Bentar.
Fidel tertawa. “Kubayar lima puluh eksemplar untuknya!”
Milea ikut serta. “Aku tujuh puluh lima!”
“Lima puluh eksemplar yang lainnya mana?!” wajah Bentar mulai tampak seperti anggota asosiasi penagih hutang.
Tak ada lagi yang relakan uangnya.
“Ngutang Mas,” Riang memelas. “Ngutang ya Mas?”
Fred memperagakan tangannya. “Om, om minta uang om. Om kasihan Om!”
“Yah, kalau begitu aku talangi saja!” Bentar pura-pura kecewa.
“Ashik! Asyek!” Riang berhula-hula! Ia tahu semua orang bermain sandiwara.
DALAM ETHOS D.I.Y, seseorang tak mungkin mengetahui berapa eksemplar zine yang sudah ia sebarluaskan. Di luar kopian yang dikeluarkan pembuatnya, zine dapat menggandakan diri tanpa bisa dikontrol. Pembajakan atas suatu karya seni, suatu perbuatan yang di dalam dunianya dilakukan tanpa izin tetapi tetap dengan mencantumkan nama penciptanya sebagai bentuk penghormatan. Gairah membajak inilah yang mampu menjadikan sebuah zine yang hanya dicetak 100 eksemplar, menggandakan dirinya hingga menjadi 5000 eksemplar.
Pembajakan adalah perlawanan! Adalah salah satu keyakinan utama bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan tanpa batas. Melalui distro-distro, dan Peniti Merah Jambu, sebuah jaringan informasi penerbitan zine, Megaphone masuk ke daftar zine baru yang dicari.
Riang tak tahu jika Megaphone-nya ditenteng orang di sebuah beberapa gigs (konser) Skin Head di Jakarta, dibicarakan wanita yang cuping hidungnya dihiasi tindikan. Ia tak mengetahui jika potokopian Zine-nya dibarter dengan uang dan zine luar kota yang berbeda, ditukar dengan kaset, ditukar dengan kaus, ditukar dengan keikhlasan.
Megaphone mengganda tersebar hingga ke Malang, sebuah kota yang ethos D.I.Y kolektif underground-nya nya tak perlu di ragukan kembali. Respon yang tak terduga pun berdatangan. Satu bulan semenjak pendistribusian zine Megaphone, enam buah surat sampai di pondokkan. Riang tak menanggapi surat-surat itu. Ia bukannya besar kepala. Uang Riang tidak mencukupi untuk membalas surat-surat yang entah dari mana itu.
“Kita cantumkan e-mail di edisi Megaphone selanjutnya,” Milea menyarankan.
Mengenai, email itu barang apa, Riang tak tahu. Ia mau belajar. Ia rela menjadi anak bawang. Milea mengajari Riang, sesuatu yang di abad informatika ini merupakan sesuatu yang sangat sederhana. Diajaknya Riang ke warung internet. Di sederhanakannya pengetahuan teknologi komunikasi untuk Riang. Keduanya tak sadar. Riang dan Milea, tak memahami jika hubungan mereka menjadi hangat. Zine semakin menautkan hubungan mereka.
Semenjak dibukanya alamat surat elektronik Megaphone, korespondensi pun berlangsung dengan baik selama dua edisi ke depan. Saat edisi ke lima tengah di siapkan dua buah subjek melaut di dunia elektrik dan sampai di geladak maya perahu Riang. Dari seseorang yang mengakui kera Ngalam, arek Malang, seorang wanita --yang sejak edisi ke dua Megaphone dilepaskan-- memberi tanggapan. Ia mengajak Riang bertemu, sementara dari Jakarta sebuah attachment meminta Riang menjadi salah satu pengisi obrolan santai mengenai Zine dan ideologi contra cultura
Menerima surat yang terakhir itu liver Riang jadi tak seimbang. Ia berdebar. Aku yang anak desa ini? Aku … Aku …tulisanku di baca mahasiswa yang sebentar lagi sarjana? Oh Atlas menduduki bola bumi! Dunia terbalik! Oh, Riang masih ingin hidup seribu tahun lagi!
“Datangilah Jakarta!” dukung Fidel. Ia bersemangat saat mengetahui berita itu.
Percaya diri Riang masih setengah. Riang berharap Fidel menemaninya. Semisal purwaceng dan ginseng, Fidel adalah suplemen yang berkhasiat, buat Riang. Fidel tak menampiknya.
SABTU SUBUH mereka berkemas menuju stasiun. Jam sembilan pagi kereta memasuki stasiun Gambir Jakarta. Di stasiun itu nyala emas terlihat membeku di kejauhan. Monas berdiri sendiri di tengah lahan gersang paving block. Kereta ekonomi oranye datang. Perjalanan mereka lanjutkan hingga Pondok Cina.
Saat kereta singgah di Pondok Cinta, dari jendela kereta seseorang wanita membawa nama Riang pada selembar karton. Mereka turun.
Seorang mahasiswi menyalami Fidel. “Mas Riang,” terkanya.
“Bukan.” Fidel menunjuk orang di sampingnya.
Riang keteteran. Apa wajahnya tidak tampak intelek? Apa performa dirinya tidak meyakinkan? Riang tidak menggunakan stavolt. Kepercayaan dirinya naik turun saat itu.
Wanita yang mengaku bernama Nizar itu tidak merasa nyaman dengan kesoktahuannya. Ia menyogok Riang dan Fidel menuju kantin. Di areal kantin, Nizar memesan makan pagi lalu menyerahkan kertas biodata. Riang merasa lega. Nizar tidak mempermasalahkan jenjang pendidikannya dan beban Riang hilang setengah ketika Nizar mengatakan, “Terserah Mas, membahas apa asal yang nanti disampaikan terkait dengan tema yang diketengahkan.”
Usai makan, tak jauh dari kantin, Riang kemudian dipertemukan dengan seorang pembuat zine Lelaki pembuat zine Arvatar yang Nizar perkenalkan mengaku menggunakan nama pena Illuminat dalam zinenya, namun nama aslinya Joned. Nama yang sedikit aneh di kuping orang Jawa Tengah itu membuat Riang sukar menyembunyikan tawanya. Di kepala Riang sepertinya ada speaker yang terus menerus mengumandangkan nama Joned. Illuminati. Joned. Illuminati… Jauh sekali zine dengan nama pembuatnya, pikir Riang. Di hadapan lelaki yang rambutnya gimbal dan kakinya dibalut boots tinggi itu Riang mati-matian menahan tawa. Riang tidak mau dihabisi lelaki botak menyeramkan itu. Bagaimana ia sanggup melawan jika kausnya saja bertuliskan: sendiri melawan sistem. Luar binasa!
Masuk ke dalam auditorium Fidel memisahkan diri. Riang dan Joned menunggu tepat di hadapan meja panjang. Tak beberapa lama kemudian acara di mulai. Seorang pria lainnya bergabung Ia mengenakan planel. Rambutnya cepak. Bibirnya di tindik.
“Bleeding Balerina zine.” Demikian ia memperkenalkan produknya.
“Riang. Dari Megaphone zine.”
Lelaki itu tertawa karena lupa menyebut nama. “Namaku Sama!” ucapnya.
“Nama mas Riang?” Riang tak percaya.
“Namaku Sama!”
Riang ragu. “Nama mas sama dengan namaku?”
Lelaki itu menunjuk mukanya. “Namaku Sama! Bukan Riang!”
Riang berpikir keras. “Sama… Riang?”
Lelaki itu kesal. “Nama aku Sama! Sama! Sama! Bukan Riang!”
Riang mencerna cukup lama. Tak merasa nyaman. Ia tak menanyakan lagi kebingungannya pada lelaki yang kemudian moderator memanggilnya Sama. Obrolan aneh yang tak bertahan lama itu terjadi di tengah suasana ramai. Riang merasa dipandangi mahasiswi cantik. Riang grogi. Ia merasa terbebani. Bagaimana jika tak bisa bicara? Bagaimana jika ia menjadi tuna rungu? Keringat mendadak bermunculan di sela jemarinya. Riang gemetar. Di dadanya ada tambur. Lidahnya berubah menjadi sekering savana. Dua kali ia mengosongkan gelas mineral, dan tindakannya itu membuat kandung kemihnya kembung. Riang kebelet kencing.Ya Tuhan. Bagaimana ini. Kantungi batu! Riang teringat petuah masa-masa remajanya, namun di mana ia harus memungutnya? Carilah yang berat-berat, bisikan nenek moyangnya datang. Mikropon? Tidak mungkin! Boots Joned? Uh itu akan mendatangkan perang etnis Rwanda. Keringat Riang sampai di bagian belakang lehernya. Ini masa kritis.
“Mbak … mbak!” Riang tak menyadari jika didekatnya tergeletak mike. Sound system yang dipancangkan di setiap rangka bangunan merekam dan mempidatokan suaranya. Panitia yang tengah membagikan kopi-an zine bereaksi.
“Mau apa?!” Sama menawarkan pertolongan.
“Pengen pipis. Ndak tahan!” Riang tak sadar jika ia memegang senjata pamungkasnya.
Sama yang penampilannya berbanding terbalik dengan kebaikan hati segera merebut mike, lalu menekan tombolnya. Mike mati, tetapi suara seseorang yang tengah menggenggam biological future weapon itu terlanjur didengar seisi ruangan. Riang sadar ia ditertawakan. Ia merasa malu, tetapi pipis adalah prioritas utama dan pertama. Tak ada yang lebih penting darinya. Riang langsung berjalan cepat setelah panitia memberi Riang kode untuk mengantarnya.
Saat misi terselesaikan dan prioritas utama telah Riang tunaikan yang tertinggal dalam diri Riang adalah rasa malu. Riang malu. Ia mencuci wajahnya keras. Kini, gardu listrik kepercayaan dirinya bukan saja tanpa stavolt. Kepercayaan diri Riang hilang.
Fidel mengetahui tentang hal itu. Ia keluar dari tempat duduknya kemudian meminta panitia yang tengah menunggu Riang untuk kembali ke ruangan. Fidel menungguinya cukup lama dan menyaksikan bagaimana ketika pintu kamar mandi wajah yang lepek, seolah-olah wajah itu merupakan makanan basi swalayan yang dikomplain beberapa pelanggan melalui surat pembaca Kompas.
Fidel berusaha membantu Riang untuk bersikap biasa. Ia memasang mimik tak memiliki ingatan. Ia memasang sikap biasa hingga menjadikan Riang merasa aneh dengan sikapnya. Ia tak sadar jika Fidel mengambil inisiatif, mengalihkan perhatiannya. Fidel membicarakan beberapa arahan tanpa sekalipun mengetengahkan subjek yang menjadi bahan ketakutan Riang. Dan sekembali Riang ke dalam auditorium, kepercayaan diri Riang tumbuh kembali.
Riang mendapat kesempatan terakhir bicara dalam obrolan santai itu. Joned dan Sama mengawalinya. Dua orang itu terbiasa bicara di hadapan orang. Dengan analogi yang menyentil, pemaaparan mereka menjadi renyah. Ketika giliran Riang tiba, Riang merasa kandung kemihnya serasa mau bocor. Tak percaya diri datang membuatnya kembali kalut. Ia melihat Fidel. Riang membutuhkan bantuannya. Di sudut kiri atas auditorium Fidel pun berdiri memberi energi. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencontohkan agar Riang mengikutinya. Rasa nyaman menjalar, membuat Riang merasa ringan saat Fidel mengacungkan jempol.
Genggaman pada mike Riang perkuat..
“Ehm… selamat siang. Siang-siang selamatan!”
Orang-orang terhibur. Ada senyum yang ditebar dan saat suasana hangat di ruangan itu menyebar, dengan cerdasnya Riang mengambil kesempatan, mulai berkicau. Ia tidak membicarakan mengenai counter hegemoni dan contra cultura terhadap kapitalisasi yang di musuhi kebanyakan pembuat zine. Ia hanya membicarakan hal yang sederhana bagaimana zine bisa membuatnya merasa lega. Merasa berharga. Merasa bulat, menjadi utuh dan penuh. Tentu, pembicaraan yang begini, tidak sepenuhnya sesuai dengan tema panitia yang bombastis. Riang tidak menangkap efek negatifnya kekecewaan panitia, tetapi ia tak membutuhkan waktu lama untuk mengobati kekecewaan mereka. Riang membayarnya! Kontan tanpa bon!
Dalam sesi berikutnya, beberapa orang kemudian mengutarakan pendapatnya mengenai materi ketiga zine. Ada diantara komentator yang memuji artikel mengenai perjuangan Zapatista bersama suku asli di Chiapas Mexico dan memberi apresiasi mengenai essay konsepsi ideologi yang diuraikan zine Megaphone. Mereka tidak tahu jika tulisan itu bukan Riang yang membuatnya. Riang berharap, Fidel mau membicarakan hal tersebut, tetapi dari kejauhan ia hanya melihat Fidel memberi tanda, bahwa dirinya menyerahkan sepenuhnya pembahasan pada Riang.
Riang memberikan jawaban tuntas, lalu dari tengah-tengah peserta tiba-tiba seseorang pria meminta panitia untuk memberikan mike. Ia sudah memendam apa yang ingin ia utarakan sedari tadi. Di sesi pertama, pria itu sudah mengangkat tangannya berkali-kali tetapi moderator tak memberinya kesempatan. Lelaki itu mengambil mike. Wajahnya terlihat biasa tetapi mulutnya luar biasa. “Zine ini sampah total,” katanya. Pria itu memasukan tangannya, ke saku celana dengan gaya yang hampir menyerupai tolak pinggang. “Apalagi ketika zine ini membicara ideology,” lelaki itu melanjutkan. “Ideologi itu mencret. Mencret monyet. Karena ideology perang muncul. Antara manusia berjibaku, perang! Saling berseteru! Ideologi tak memiliki fungsi selain melakukan dekonstruksi! Melakukan penghancuran total manusia, apalagi ideologi agama. Nah, yang kau tulis dalam zine mu ini lucu. Kukatakan sekali lagi, ideologi yang kau sampaikan itu mencret. Seharusnya dunia tak memiliki ideologi, yang penting bagi manusia bukan ideologi tapi rasa saling menghormati.” Kata mencret berulang-ulang dikatakannya dengan santai, hampir tidak mengeluarkan emosi. “Apa pula ini?” Pria itu lalu mengewer-ewer zine Riang seolah jijik. “Zine ini seolah-olah memberitakan sesuatu, tetapi yang di muat di dalamnya bukan contoh berita. Bahasa dan kata-katanya tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik. Di sini banyak sekali ketidak seimbangan. Orang yang membuatnya tidak intelek, selalu merasa paling benar. Cobalah berada di tengah, jangan membuat berita yang berpihak.”
Moderator yang kurang jam terbang mulai mengingatkan, tetapi dengan gaya sok-nya Riang mengatakan tidak apa-apa. “Biar ramai.” Katanya.
Moderator berpikir cepat. Ia yang bertanggung jawab mengendalikan forum, tetapi ia dituntut pula untuk membuat suasana menjadi hangat. Ia tergoda oleh tawaran “biar ramai”-nya Riang. Ia memberi Riang jatah bicara.
“Yang penting rasa saling menghormati,” Riang memulai, “tapi komentarmu tidak sesuai dengan apa yang Kau katakan. Ibarat kecelakaan, ucapanmu ibarat tabrakan beruntun truk tronton di jalan! Kau mengajarkan orang untuk saling menghormati, tapi Kau sendiri tidak memulai untuk menghormati keyakinan orang mengenai ideologi! Banyak hal yang juga harus di pertanyakan mengenai omonganmu tadi: apakah benar yang paling penting di dunia adalah saling menghormati. Apa bentuk saling menghormati itu? Apa saling menghormati akan menyelesaikan seluruh permasalahan manusia? Hidup di dunia lebih rumit dari itu. Negeri ini kaya. Bagimana agar kita dapat menikmati sumber daya alam yang sama? Bagaimana mendistribusikannya secara merata? Apa dengan saling menghormati masalah-masalah itu akan terselesaikan? Di sanalah salah satu arti pentingnya ideologi. Distribusi adalah salah satu unsur kecil yang diatur ideologi.” Riang tak merasa jika ia berbicara cepat. Nada bicaranya memperlihatkan emosinya naik. Hal itu menguntungkan sebab Riang menjadi lupa segalanya. Ia hanya terfokus pada apa yang ingin ia sampaikan.
Fidel terkejut dengan yang di sampaikan Riang. Ia tidak tahu hingga sejauh dan secepat itu nalar Riang terasah. Ia tak mengira. Fidel tak menyangka. Fidel yang semula bertopang dagu. Duduk siaga, menanti ungkapan-ungkapan macam apa yang diungkapkan anak desa Thekelan tersebut.
“Mungkin majalahku, zine yang kubuat itu tidak sesuai dengan harapanmu. Tidak apa. Aku tidak menganggapnya sebagai masalah, sebab sejak awal membuat zine Aku hanya ingin berbagi. Apalagi, jika bicarakan kaidah kata dan bahasa. Apa itu?” Riang mengangkat tangan dan bahunya. “Aku tak tahu. Apa aku harus memahami kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dulu sebelum membuat zine? Kalau seperti itu kapan buatnya? Kalau seperti itu buat saja koran. Aku tidak mu terbebani. Biar saja orang mengatakan apa. Aku tak memerlukan tetek bengek peraturan berbahasa, tih peraturan itu manusia yang membuatnya. Aku juga bisa membuat aturan berbahasa. Aturan yang tidak memiliki aturan. Kenyataannya apa yang kutuliskan ini bukan untuk dijadikan koran harian. Zine adalah zine. Terserah yang membuatnya. Kalau yang membuatnya mau bicara tentang menghayal menjadi kambing, apa salahnya? Kalau zine bicara tentang mengupil yang enak memangnya kenapa? Kalau yang buatnya tidak menafikan keberpihakan, toh, kamu yang mungkin menganggap diri berada di tengah-tengah berpihak juga! Kalau Kau tetap merasa ini sebagai sebuah masalah, buat saja zine sendiri. Jangan dibuat susah!”
Bantahan Riang seperti setrika. Lelaki itu panas. “Bisa saja ngeles! Orang yang anut ideologi kebanyakannya memang kepala batu macam ini!” Ia yang santai menjadi deras. “Itulah kenapa –seperti yang kukatakan—ideologi membuat manusia saling berperang, terutama ideologi agama yang membuat manusia menjadi ganas. Agama itu virus akal budi!”
Riang tertawa. Tawanya semakin membuat panas. “Memang aku jagoannya! Aku jagoan ngeles!” Riang menyombong. Dalam benak Riang tergambar jelas bayangan masa lalu dia mengenai agama. Tergambar jelas bagaima cara Fidel menggambarkan kesalahan pengambilan kesimpulan yang pernah ia lakukan.
“Inilah ciri-ciri fundamentalis agama!” Pria itu menyimpulkan jawaban Riang ketus.
Riang langsung menggunting perkataannya. “Apa yang salah dengan fundamentalis?! Kamu pun fundamentalis! Fundamentalis tengah-tengah! Kalau Kamu mengatakan aku radikal maka Kau pun radikal! Kau pikir ada gunanya? Bahkan orang yang menulis artikel tentang ideologi di zine-ku jauh lebih baik ketimbang dirimu!” Riang melihat Fidel, tetapi Fidel menunggu. Ia membiarkan Riang. Ia mempercayakan padanya.
“Lihat di sana!” Riang menunjuk Fidel. Tak etis memang, tetapi Fidel melazimkan. “Dia, lelaki itu tidak pernah menyepelekan orang! Dia faham bagaimana berhubungan dengan manusia! Dia paham, seseorang berhak memilih jalan hidupnya, tetapi setiap orang pun berhak meninjau keyakinan yang lain. Yang dia lakukan dalam zine-ku hanya berkomunikasi. Caranya pun santun, berbeda dengan caraku! Dia tidak sok-sokkan seperti lagakmu! Dia yang menghormati orang lain biasa saja dengan mulutnya! Kamu! Kamu yang bilang ke sana kemari bahwa dirimu bukan fundamentalis, pada kenyataannya malah memperlihatkan bahwa pemahaman dirimulah yang paling benar!”
“Ah!” Pria itu membantah. Ia menunjukan artikel dalam zine Riang. “Sistem yang Kau propagandakan dalam zine mu itu sistem kuno! Ideologi purba yang tak berhak hidup di zaman modern ini!”
Moderator mencari artikel yang dimaksud lelaki itu. Ia berusaha masuk ke dalam perdebatan. “Di zine mas Riang ada pemahaman mengenai ideologi dan sistem yang tadi disebut purba,” moderator bertanya “bagaimana menjelaskannya?”
Riang sudah marah. “Bisa jadi yang diyakini Mas itu lebih purba ketimbang keyakinan sahabatku!” jelasnya pada moderator. Riang bukannya memaparkan pertanyaan. Ia malah kembali menyasar pria itu. “Purba dan tidak purba hanya propaganda! Propaganda tidak perlu dibicarakan karena propaganda bahasa tidak perlu di perbincangkan oleh pencari kebenaran!”
Pria itu membantah. “Tetap saja! Sesuatu yang purba tidak mungkin diterapkan lagi, di sini dan saat ini!” Pria itu bertahan. “Yang diperlukan manusia bukan formalisasi! Yang diperlukan manusia kesejahteraan, keadilan! Dasar muslim kepala batu!”
Riang sampai pada puncaknya. “Aku bukan muslim! Aku tak beragama!!” Wajahnya terlihat merah. Pria itu salah melakukan diagosa. Ia meminum racun. Auditorium benar-benar menjadi sepi! Moderator mulai berpikir untuk mengakhiri forum. Ia berusaha mencari jeda bernafas untuk memutus perdebatan, tetapi nafas Riang terlalu panjang. Seakan hutan belukar, jeda bernafas sukar moderator temukan.
“Keadilan! Kesejahteraaan!” sambung Riang. “Macam apa keadilan dan kesejahteraan itu? Keduanya filosofi kehidupan!” Riang marah. “Setiap manusia mudah saja membicarakan keadilan dan kesejahteraan! Camat, walikota tak ubahnya sama dengan tukang becak, tak jauh beda dengan gelandangan jika sudah membicarakan keadilan dan kesejahteraan! Keadilan dan kesejahteraan itu filosofi yang harus dibumikan! Apa yang dibicarakan temanku dalam tulisannya sudah jauh meninggalkan tetek bengek yang Kau koarkan! Ia sudah bicara bagaimana membumikan keadilan dan kesejahteraan dalam pengaturan sistem, dalam perangkat ideologi, dalam tataran yang bahkan bersifat matematis! Kau ku ajak berbisnis! Mari bisnis warung internet! Kita sama-sama menginginkan keadilan! Tapi keadilan yang bagaimana! Pembagian untukku sekian, sebagai pemilik modal, dan Kau sebagai pengelola warnet sekian! Hak kamu begini! Hak aku begitu! Dalam bisnis, dalam distribusi pengelolaan sumber daya alam, dalam pengelolaan harta warisan, dalam peperangan, dalam pengumpulan harta untuk distribusi kesejahteraan semua konsep harus dibumikan. Sekarang … keadilan dan kesejahteraan macam apa yang Kau inginkan itu! Bagaimana membumikannya! Mari kita membandingkan!”
Mendengar tantangan Riang, pria itu keracunan arsenik. Ia tercekik. Riang memberi tiger upper cut macam pukulan Guild Street Fighter dalam permainan ding-dong. Pria itu membisu. Ia terkena mantra, tak bisa bergerak. Pria itu beku seperti ditenung! Sunyi mengurung auditorium seakan karamba.
Di atas sana, tiba-tiba Fidel berdiri. Cahaya lampu ruang yang dibiaskan kaca-kaca bergoyang. Mata Fidel berkaca-kaca. Ia menepukan tangannya di udara. Fidel bangga! Gemuruh menjelma. Tepuk tangan di mana-mana, menggema! Untuk pertama kalinya, Riang dimuliakan. Tepuk tangan menjebol pertahanan jiwanya. Riang tak kuat menahan haru. Bukan karena kemenangan tetapi karena rasa kasihan. Pria yang dipukulinya habis pergi meninggalkan forum yang bukan lagi miliknya. Ia mundur perlahan. Riang memandangnya dengan penyesalan. Kemanusiaannya bermain. Lelaki itu hanya orang biasa, sama seperti dirinya. Ia manusia yang butuh dihargai bahkan setelah ia dikalahkan. Pria itu menghilang di balik kerumunan.
Moderator bernafas lega. Acara yang ia pandu berakhir klimaks. Ia mengakhiri tanggungjawabnya.
“Tatum valet auctoritas quantum valet argumentatio! Aforisma bahasa Latin mengatakan bahwa nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya. Mengutip terjemahan bebas sebuah ayat: silahkan sekolah yang tinggi-tinggi! Silahkan! Tetapi jika sekolah yang tinggi itu tidak membawa karya untuk manusia, maka sejarah dan masyarakat akan lupakan dan tinggalkan kita semua! Demikian perkataan Pram! Terima kasih! Dan … mari kita beri applause untuk mas Riang Merapi!”
Tepuk tangan menggema. Lebih meriah dari yang pertama. Dan hal itu justru membuat Riang bertambah sedih.
DEBAT YANG MENYIMPANG dari Zinee dan ideology contra cultura tentu tidak menjadikan orang-orang yang hadir berubah drastis pemikirannya. Perubahan paham tak semudah mengangkat tangan lebih tinggi dari kepala agar burung unta tidak menyerang manusia.
“Kadang manusia tidak bisa mengatakan seluruh isi kepalanya. Mungkin lelaki itu memiliki sejuta macam argumentasi untuk membalikan argumentasimu, argumentasi di dalam tulisanku,” kata Fidel. “Kadang, ketika emosi menyisihkan ketenangan dan peranan akal, argumentasi di dalam kepala yang semula luas, menjadi sempit. Mungkin karena kondisi psikologi yang kurang baik pada saat itu, lelaki yang ada di forum tadi tidak bisa mengeluarkan argumentasi dengan jernih. Bisa jadi Kau mengalami hal yang sama. Dalam kondisi normal Kau merasa mudah mematahkan pendapat-pendapat tertentu, tetapi dalam forum yang disesaki banyak orang, dalam forum yang di hadiri orang-orang yang sering kita lihat di televisi dan kita baca pendapatnya di media massa, ada kalanya kita merasa tertekan. Tekanan itulah yang akan menghambat manusia dalam mengungkapkan seluruh isi pikirannya.”
“Yang…” Fidel memalingkan padangannya. “Tak ada manusia yang kalah dalam diskusi.”
“Lantas yang kalah siapa?” tanya Riang.
“Yang kalah, adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya salah. Yang kalah adalah orang yang hatinya sudah mengatakan bahwa argumentasinya tidak bisa dipertanggung jawabkan tetapi ia terus menerus melakukan pembenaran.”
Roda besi mulai mengayuh. Pluit panjang merusakkan gendang telinga masinis. Fidel tumbang saat mencium jok kereta yang tengik. Di saat yang sama, lelaki di sampingnya melamunkan banyak hal dan tentu saja: melamunkan Milea.
Milea tertawa. Ia mengeluarkan setumpuk zine lain dari ranselnya.
“Banyak sekali!” Riang mencicit minta ampun. Ia membalik-balikan tumpukkan zine itu hingga lecek. Prisca Pricilia, Kontaminasi Kapitalis, No Compromise, HC, Openmind, Tiga Martil, Brigade Lawan Arus, Apocalypse hanyalah beberapa zine yang Riang pegang ditangannya.
Bundelan kertas yang dipegangnya adakalanya sarkas namun full logika. Di penuhi makian yang berseni, sinisme, kritisme, skeptisisme. Ada yang memadukannya dengan data, ada pula yang sembarang nyablak mengenai kehidupan sehari-hari yang dipenuhi kesegaran caci maki. Zine-zine adalah tempat pembuangan.
“Tempat modol, beol!”
“Jangan bicara kotor! Ada anak-anak di sini!” Eva mengingatkan.
Riang mengerti. Bukankah ekskresi adalah membuang sesuatu. Fred tidak berlebihan. Membuat zine pada hakikatnya seperti yang pernah dikatakan Fidel dan dikuatkan Fred, adalah juga membuang kesakitan. Jadi, kata Waluh jika Kau ingin membuatnya, jangan pernah terbebani berpikir mengenai apa tulisanmu berguna atau tidak, bagus atau jelek. Zine adalah tempat berbagi. Zine adalah tempat pelepasan, yang isinya tidak seperti yang Riang dapatkan di media massa atau majalah-majalah yang dikatakan Waluh, majalah mainstream. Zine-zine itu bernyawa! Memiliki jiwa-jiwa! Uh… uh Riang tertantang untuk mencipta!
“Bagaimana dengan desainnya? Bagaimana dengan izinnya!?”
“Memang syarat membuat zine harus ada izin dari pemerintah? Memang pemerintah bisa mengatur seluruh kehidupan kita?” Waluh tergelak. “D.I.Y do it your self! Semangat zine ada di sana! D.I.Y adalah pengambilan alihan kontrol yang dilakukan negara dan menggantikannya dengan kontrol individu! Zine itu otonom! Buat sendiri, tulis sendiri! Kalau kau tidak bisa menulis, curi tulisan orang! Pembajakan untuk pengetahuan adalah sah! Untuk masalah desain-mendesain, gampang! Yang penting saat ini, selesaikan saja dulu tulisanmu!”
Riang pun mengalihkan seluruh tulisannya pada buku catatan ke atas selembar kertas kuarto. Setelah memodifikasi bahasa dan ia merasa kontennya sudah cukup. Riang pun melapor. “Sudah selesai!” katanya.
“Tambahkan ini!” Fidel mengambil puisi-puisinya.
“Muat juga terjemahanku ini!” Waluh mengeluarkan print out mengenai biografi Zapata.
“Lha desainnya bagaimana?” tanya Riang.
Milea membawakan majalah bekas yang menumpuk di gudang.
“Gunting topi tentara itu” Fidel menunjuk foto topi tentara pada sebuah majalah. “Gunting semua. Preteli. Gambar apa saja. Ban, pisau dapur, pistol, gelas mineral, obeng, gambar kerbau, apa saja yang Kau anggap cocok dengan karakter tulisan yang akan Kau muat di dalam zinemu!” Fidel tahu Riang bingung. “Gunting saja!” sahutnya. “Tak usah bertanya!”
Fidel meminta Milea untuk membantu Riang menggunting paragrap tulisannya. Setelah gunting menggunting selesai. Fidel mengambil kertas kosong, yang segera ia penuhi dengan guntingan paragrap tulisan yang terkumpul. Kertas menjadi penuh warna setelah dihiasi gambar-gambar yang terkesan tak beraturan.
“Tunggu sebentar!” Waluh membawa lembaran kertas-kertas itu. “Jangan kemana-mana,” teriaknya pada Riang.
Riang menunggu. Bagaimana jadinya, majalah tanpa izin itu? Bagaimana bentuk majalah aneh yang dikerjakan dengan kepercayaan diri di luar batas itu?
Dua jam kemudian, suara knalot yang menyejarah sampai di pondokan. “Aku memfoto copi 200 eksemplar. Ini!” Suar bruk! zine yang diikat tali rapia terdengar keras.
Riang membukanya. Oladalah! Megaphone nama zine-nya! Namanya tertera jelas, teramat sederhana namun Riang melihatnya menyala, deemikian meriah! Uah! Cup! Cup muah! Segala macam bentuk sukacita! Semua suka cita! Tak ada bir tak ada psikotropika yang membuat huru hara! Semua gembira! Derit kereta uap Christopher Morley! Terima kasih untukmu duhai dewi penggandaan masal! Duhai kekasih para nabi dan mesin foto kopi!
Zine Megaphone membuat Riang bangga! Bagaimana bisa? Aku yang membuatnya? Oh tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Riang berteriak dalam hati. Kepalanya benar-benar iritasi! Riang tersenyum gembira seolah hari itu adalah hari di mana amalan baik diterima menggunakan tangan kanannya.
“Kita distribusikan siang ini!”
“Mengapa tidak?!” Riang menjawab tantangan Bentar.
“Tapi uangnya mana?!”
“Uang apa?”
“Ini masalah sensitif Bung!” Bentar menghentikan kegembiraan Riang. “Kau pikir foto kopi dua ratus eksemplar menggunakan daun?! Dua ratus eksemplar itu menggunakan uangku!”
Riang terpojok.
“Uang simpananmu! Uang simpananmu!” Bentar seperti satuan pamong Kemarikan! Kamarikan!”
Riang menghabiskan uang di dompetnya.
“Segini sih cuma dua puluh lima eksemplar!” ejek Bentar.
Fidel tertawa. “Kubayar lima puluh eksemplar untuknya!”
Milea ikut serta. “Aku tujuh puluh lima!”
“Lima puluh eksemplar yang lainnya mana?!” wajah Bentar mulai tampak seperti anggota asosiasi penagih hutang.
Tak ada lagi yang relakan uangnya.
“Ngutang Mas,” Riang memelas. “Ngutang ya Mas?”
Fred memperagakan tangannya. “Om, om minta uang om. Om kasihan Om!”
“Yah, kalau begitu aku talangi saja!” Bentar pura-pura kecewa.
“Ashik! Asyek!” Riang berhula-hula! Ia tahu semua orang bermain sandiwara.
DALAM ETHOS D.I.Y, seseorang tak mungkin mengetahui berapa eksemplar zine yang sudah ia sebarluaskan. Di luar kopian yang dikeluarkan pembuatnya, zine dapat menggandakan diri tanpa bisa dikontrol. Pembajakan atas suatu karya seni, suatu perbuatan yang di dalam dunianya dilakukan tanpa izin tetapi tetap dengan mencantumkan nama penciptanya sebagai bentuk penghormatan. Gairah membajak inilah yang mampu menjadikan sebuah zine yang hanya dicetak 100 eksemplar, menggandakan dirinya hingga menjadi 5000 eksemplar.
Pembajakan adalah perlawanan! Adalah salah satu keyakinan utama bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan tanpa batas. Melalui distro-distro, dan Peniti Merah Jambu, sebuah jaringan informasi penerbitan zine, Megaphone masuk ke daftar zine baru yang dicari.
Riang tak tahu jika Megaphone-nya ditenteng orang di sebuah beberapa gigs (konser) Skin Head di Jakarta, dibicarakan wanita yang cuping hidungnya dihiasi tindikan. Ia tak mengetahui jika potokopian Zine-nya dibarter dengan uang dan zine luar kota yang berbeda, ditukar dengan kaset, ditukar dengan kaus, ditukar dengan keikhlasan.
Megaphone mengganda tersebar hingga ke Malang, sebuah kota yang ethos D.I.Y kolektif underground-nya nya tak perlu di ragukan kembali. Respon yang tak terduga pun berdatangan. Satu bulan semenjak pendistribusian zine Megaphone, enam buah surat sampai di pondokkan. Riang tak menanggapi surat-surat itu. Ia bukannya besar kepala. Uang Riang tidak mencukupi untuk membalas surat-surat yang entah dari mana itu.
“Kita cantumkan e-mail di edisi Megaphone selanjutnya,” Milea menyarankan.
Mengenai, email itu barang apa, Riang tak tahu. Ia mau belajar. Ia rela menjadi anak bawang. Milea mengajari Riang, sesuatu yang di abad informatika ini merupakan sesuatu yang sangat sederhana. Diajaknya Riang ke warung internet. Di sederhanakannya pengetahuan teknologi komunikasi untuk Riang. Keduanya tak sadar. Riang dan Milea, tak memahami jika hubungan mereka menjadi hangat. Zine semakin menautkan hubungan mereka.
Semenjak dibukanya alamat surat elektronik Megaphone, korespondensi pun berlangsung dengan baik selama dua edisi ke depan. Saat edisi ke lima tengah di siapkan dua buah subjek melaut di dunia elektrik dan sampai di geladak maya perahu Riang. Dari seseorang yang mengakui kera Ngalam, arek Malang, seorang wanita --yang sejak edisi ke dua Megaphone dilepaskan-- memberi tanggapan. Ia mengajak Riang bertemu, sementara dari Jakarta sebuah attachment meminta Riang menjadi salah satu pengisi obrolan santai mengenai Zine dan ideologi contra cultura
Menerima surat yang terakhir itu liver Riang jadi tak seimbang. Ia berdebar. Aku yang anak desa ini? Aku … Aku …tulisanku di baca mahasiswa yang sebentar lagi sarjana? Oh Atlas menduduki bola bumi! Dunia terbalik! Oh, Riang masih ingin hidup seribu tahun lagi!
“Datangilah Jakarta!” dukung Fidel. Ia bersemangat saat mengetahui berita itu.
Percaya diri Riang masih setengah. Riang berharap Fidel menemaninya. Semisal purwaceng dan ginseng, Fidel adalah suplemen yang berkhasiat, buat Riang. Fidel tak menampiknya.
SABTU SUBUH mereka berkemas menuju stasiun. Jam sembilan pagi kereta memasuki stasiun Gambir Jakarta. Di stasiun itu nyala emas terlihat membeku di kejauhan. Monas berdiri sendiri di tengah lahan gersang paving block. Kereta ekonomi oranye datang. Perjalanan mereka lanjutkan hingga Pondok Cina.
Saat kereta singgah di Pondok Cinta, dari jendela kereta seseorang wanita membawa nama Riang pada selembar karton. Mereka turun.
Seorang mahasiswi menyalami Fidel. “Mas Riang,” terkanya.
“Bukan.” Fidel menunjuk orang di sampingnya.
Riang keteteran. Apa wajahnya tidak tampak intelek? Apa performa dirinya tidak meyakinkan? Riang tidak menggunakan stavolt. Kepercayaan dirinya naik turun saat itu.
Wanita yang mengaku bernama Nizar itu tidak merasa nyaman dengan kesoktahuannya. Ia menyogok Riang dan Fidel menuju kantin. Di areal kantin, Nizar memesan makan pagi lalu menyerahkan kertas biodata. Riang merasa lega. Nizar tidak mempermasalahkan jenjang pendidikannya dan beban Riang hilang setengah ketika Nizar mengatakan, “Terserah Mas, membahas apa asal yang nanti disampaikan terkait dengan tema yang diketengahkan.”
Usai makan, tak jauh dari kantin, Riang kemudian dipertemukan dengan seorang pembuat zine Lelaki pembuat zine Arvatar yang Nizar perkenalkan mengaku menggunakan nama pena Illuminat dalam zinenya, namun nama aslinya Joned. Nama yang sedikit aneh di kuping orang Jawa Tengah itu membuat Riang sukar menyembunyikan tawanya. Di kepala Riang sepertinya ada speaker yang terus menerus mengumandangkan nama Joned. Illuminati. Joned. Illuminati… Jauh sekali zine dengan nama pembuatnya, pikir Riang. Di hadapan lelaki yang rambutnya gimbal dan kakinya dibalut boots tinggi itu Riang mati-matian menahan tawa. Riang tidak mau dihabisi lelaki botak menyeramkan itu. Bagaimana ia sanggup melawan jika kausnya saja bertuliskan: sendiri melawan sistem. Luar binasa!
Masuk ke dalam auditorium Fidel memisahkan diri. Riang dan Joned menunggu tepat di hadapan meja panjang. Tak beberapa lama kemudian acara di mulai. Seorang pria lainnya bergabung Ia mengenakan planel. Rambutnya cepak. Bibirnya di tindik.
“Bleeding Balerina zine.” Demikian ia memperkenalkan produknya.
“Riang. Dari Megaphone zine.”
Lelaki itu tertawa karena lupa menyebut nama. “Namaku Sama!” ucapnya.
“Nama mas Riang?” Riang tak percaya.
“Namaku Sama!”
Riang ragu. “Nama mas sama dengan namaku?”
Lelaki itu menunjuk mukanya. “Namaku Sama! Bukan Riang!”
Riang berpikir keras. “Sama… Riang?”
Lelaki itu kesal. “Nama aku Sama! Sama! Sama! Bukan Riang!”
Riang mencerna cukup lama. Tak merasa nyaman. Ia tak menanyakan lagi kebingungannya pada lelaki yang kemudian moderator memanggilnya Sama. Obrolan aneh yang tak bertahan lama itu terjadi di tengah suasana ramai. Riang merasa dipandangi mahasiswi cantik. Riang grogi. Ia merasa terbebani. Bagaimana jika tak bisa bicara? Bagaimana jika ia menjadi tuna rungu? Keringat mendadak bermunculan di sela jemarinya. Riang gemetar. Di dadanya ada tambur. Lidahnya berubah menjadi sekering savana. Dua kali ia mengosongkan gelas mineral, dan tindakannya itu membuat kandung kemihnya kembung. Riang kebelet kencing.Ya Tuhan. Bagaimana ini. Kantungi batu! Riang teringat petuah masa-masa remajanya, namun di mana ia harus memungutnya? Carilah yang berat-berat, bisikan nenek moyangnya datang. Mikropon? Tidak mungkin! Boots Joned? Uh itu akan mendatangkan perang etnis Rwanda. Keringat Riang sampai di bagian belakang lehernya. Ini masa kritis.
“Mbak … mbak!” Riang tak menyadari jika didekatnya tergeletak mike. Sound system yang dipancangkan di setiap rangka bangunan merekam dan mempidatokan suaranya. Panitia yang tengah membagikan kopi-an zine bereaksi.
“Mau apa?!” Sama menawarkan pertolongan.
“Pengen pipis. Ndak tahan!” Riang tak sadar jika ia memegang senjata pamungkasnya.
Sama yang penampilannya berbanding terbalik dengan kebaikan hati segera merebut mike, lalu menekan tombolnya. Mike mati, tetapi suara seseorang yang tengah menggenggam biological future weapon itu terlanjur didengar seisi ruangan. Riang sadar ia ditertawakan. Ia merasa malu, tetapi pipis adalah prioritas utama dan pertama. Tak ada yang lebih penting darinya. Riang langsung berjalan cepat setelah panitia memberi Riang kode untuk mengantarnya.
Saat misi terselesaikan dan prioritas utama telah Riang tunaikan yang tertinggal dalam diri Riang adalah rasa malu. Riang malu. Ia mencuci wajahnya keras. Kini, gardu listrik kepercayaan dirinya bukan saja tanpa stavolt. Kepercayaan diri Riang hilang.
Fidel mengetahui tentang hal itu. Ia keluar dari tempat duduknya kemudian meminta panitia yang tengah menunggu Riang untuk kembali ke ruangan. Fidel menungguinya cukup lama dan menyaksikan bagaimana ketika pintu kamar mandi wajah yang lepek, seolah-olah wajah itu merupakan makanan basi swalayan yang dikomplain beberapa pelanggan melalui surat pembaca Kompas.
Fidel berusaha membantu Riang untuk bersikap biasa. Ia memasang mimik tak memiliki ingatan. Ia memasang sikap biasa hingga menjadikan Riang merasa aneh dengan sikapnya. Ia tak sadar jika Fidel mengambil inisiatif, mengalihkan perhatiannya. Fidel membicarakan beberapa arahan tanpa sekalipun mengetengahkan subjek yang menjadi bahan ketakutan Riang. Dan sekembali Riang ke dalam auditorium, kepercayaan diri Riang tumbuh kembali.
Riang mendapat kesempatan terakhir bicara dalam obrolan santai itu. Joned dan Sama mengawalinya. Dua orang itu terbiasa bicara di hadapan orang. Dengan analogi yang menyentil, pemaaparan mereka menjadi renyah. Ketika giliran Riang tiba, Riang merasa kandung kemihnya serasa mau bocor. Tak percaya diri datang membuatnya kembali kalut. Ia melihat Fidel. Riang membutuhkan bantuannya. Di sudut kiri atas auditorium Fidel pun berdiri memberi energi. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencontohkan agar Riang mengikutinya. Rasa nyaman menjalar, membuat Riang merasa ringan saat Fidel mengacungkan jempol.
Genggaman pada mike Riang perkuat..
“Ehm… selamat siang. Siang-siang selamatan!”
Orang-orang terhibur. Ada senyum yang ditebar dan saat suasana hangat di ruangan itu menyebar, dengan cerdasnya Riang mengambil kesempatan, mulai berkicau. Ia tidak membicarakan mengenai counter hegemoni dan contra cultura terhadap kapitalisasi yang di musuhi kebanyakan pembuat zine. Ia hanya membicarakan hal yang sederhana bagaimana zine bisa membuatnya merasa lega. Merasa berharga. Merasa bulat, menjadi utuh dan penuh. Tentu, pembicaraan yang begini, tidak sepenuhnya sesuai dengan tema panitia yang bombastis. Riang tidak menangkap efek negatifnya kekecewaan panitia, tetapi ia tak membutuhkan waktu lama untuk mengobati kekecewaan mereka. Riang membayarnya! Kontan tanpa bon!
Dalam sesi berikutnya, beberapa orang kemudian mengutarakan pendapatnya mengenai materi ketiga zine. Ada diantara komentator yang memuji artikel mengenai perjuangan Zapatista bersama suku asli di Chiapas Mexico dan memberi apresiasi mengenai essay konsepsi ideologi yang diuraikan zine Megaphone. Mereka tidak tahu jika tulisan itu bukan Riang yang membuatnya. Riang berharap, Fidel mau membicarakan hal tersebut, tetapi dari kejauhan ia hanya melihat Fidel memberi tanda, bahwa dirinya menyerahkan sepenuhnya pembahasan pada Riang.
Riang memberikan jawaban tuntas, lalu dari tengah-tengah peserta tiba-tiba seseorang pria meminta panitia untuk memberikan mike. Ia sudah memendam apa yang ingin ia utarakan sedari tadi. Di sesi pertama, pria itu sudah mengangkat tangannya berkali-kali tetapi moderator tak memberinya kesempatan. Lelaki itu mengambil mike. Wajahnya terlihat biasa tetapi mulutnya luar biasa. “Zine ini sampah total,” katanya. Pria itu memasukan tangannya, ke saku celana dengan gaya yang hampir menyerupai tolak pinggang. “Apalagi ketika zine ini membicara ideology,” lelaki itu melanjutkan. “Ideologi itu mencret. Mencret monyet. Karena ideology perang muncul. Antara manusia berjibaku, perang! Saling berseteru! Ideologi tak memiliki fungsi selain melakukan dekonstruksi! Melakukan penghancuran total manusia, apalagi ideologi agama. Nah, yang kau tulis dalam zine mu ini lucu. Kukatakan sekali lagi, ideologi yang kau sampaikan itu mencret. Seharusnya dunia tak memiliki ideologi, yang penting bagi manusia bukan ideologi tapi rasa saling menghormati.” Kata mencret berulang-ulang dikatakannya dengan santai, hampir tidak mengeluarkan emosi. “Apa pula ini?” Pria itu lalu mengewer-ewer zine Riang seolah jijik. “Zine ini seolah-olah memberitakan sesuatu, tetapi yang di muat di dalamnya bukan contoh berita. Bahasa dan kata-katanya tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik. Di sini banyak sekali ketidak seimbangan. Orang yang membuatnya tidak intelek, selalu merasa paling benar. Cobalah berada di tengah, jangan membuat berita yang berpihak.”
Moderator yang kurang jam terbang mulai mengingatkan, tetapi dengan gaya sok-nya Riang mengatakan tidak apa-apa. “Biar ramai.” Katanya.
Moderator berpikir cepat. Ia yang bertanggung jawab mengendalikan forum, tetapi ia dituntut pula untuk membuat suasana menjadi hangat. Ia tergoda oleh tawaran “biar ramai”-nya Riang. Ia memberi Riang jatah bicara.
“Yang penting rasa saling menghormati,” Riang memulai, “tapi komentarmu tidak sesuai dengan apa yang Kau katakan. Ibarat kecelakaan, ucapanmu ibarat tabrakan beruntun truk tronton di jalan! Kau mengajarkan orang untuk saling menghormati, tapi Kau sendiri tidak memulai untuk menghormati keyakinan orang mengenai ideologi! Banyak hal yang juga harus di pertanyakan mengenai omonganmu tadi: apakah benar yang paling penting di dunia adalah saling menghormati. Apa bentuk saling menghormati itu? Apa saling menghormati akan menyelesaikan seluruh permasalahan manusia? Hidup di dunia lebih rumit dari itu. Negeri ini kaya. Bagimana agar kita dapat menikmati sumber daya alam yang sama? Bagaimana mendistribusikannya secara merata? Apa dengan saling menghormati masalah-masalah itu akan terselesaikan? Di sanalah salah satu arti pentingnya ideologi. Distribusi adalah salah satu unsur kecil yang diatur ideologi.” Riang tak merasa jika ia berbicara cepat. Nada bicaranya memperlihatkan emosinya naik. Hal itu menguntungkan sebab Riang menjadi lupa segalanya. Ia hanya terfokus pada apa yang ingin ia sampaikan.
Fidel terkejut dengan yang di sampaikan Riang. Ia tidak tahu hingga sejauh dan secepat itu nalar Riang terasah. Ia tak mengira. Fidel tak menyangka. Fidel yang semula bertopang dagu. Duduk siaga, menanti ungkapan-ungkapan macam apa yang diungkapkan anak desa Thekelan tersebut.
“Mungkin majalahku, zine yang kubuat itu tidak sesuai dengan harapanmu. Tidak apa. Aku tidak menganggapnya sebagai masalah, sebab sejak awal membuat zine Aku hanya ingin berbagi. Apalagi, jika bicarakan kaidah kata dan bahasa. Apa itu?” Riang mengangkat tangan dan bahunya. “Aku tak tahu. Apa aku harus memahami kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dulu sebelum membuat zine? Kalau seperti itu kapan buatnya? Kalau seperti itu buat saja koran. Aku tidak mu terbebani. Biar saja orang mengatakan apa. Aku tak memerlukan tetek bengek peraturan berbahasa, tih peraturan itu manusia yang membuatnya. Aku juga bisa membuat aturan berbahasa. Aturan yang tidak memiliki aturan. Kenyataannya apa yang kutuliskan ini bukan untuk dijadikan koran harian. Zine adalah zine. Terserah yang membuatnya. Kalau yang membuatnya mau bicara tentang menghayal menjadi kambing, apa salahnya? Kalau zine bicara tentang mengupil yang enak memangnya kenapa? Kalau yang buatnya tidak menafikan keberpihakan, toh, kamu yang mungkin menganggap diri berada di tengah-tengah berpihak juga! Kalau Kau tetap merasa ini sebagai sebuah masalah, buat saja zine sendiri. Jangan dibuat susah!”
Bantahan Riang seperti setrika. Lelaki itu panas. “Bisa saja ngeles! Orang yang anut ideologi kebanyakannya memang kepala batu macam ini!” Ia yang santai menjadi deras. “Itulah kenapa –seperti yang kukatakan—ideologi membuat manusia saling berperang, terutama ideologi agama yang membuat manusia menjadi ganas. Agama itu virus akal budi!”
Riang tertawa. Tawanya semakin membuat panas. “Memang aku jagoannya! Aku jagoan ngeles!” Riang menyombong. Dalam benak Riang tergambar jelas bayangan masa lalu dia mengenai agama. Tergambar jelas bagaima cara Fidel menggambarkan kesalahan pengambilan kesimpulan yang pernah ia lakukan.
“Inilah ciri-ciri fundamentalis agama!” Pria itu menyimpulkan jawaban Riang ketus.
Riang langsung menggunting perkataannya. “Apa yang salah dengan fundamentalis?! Kamu pun fundamentalis! Fundamentalis tengah-tengah! Kalau Kamu mengatakan aku radikal maka Kau pun radikal! Kau pikir ada gunanya? Bahkan orang yang menulis artikel tentang ideologi di zine-ku jauh lebih baik ketimbang dirimu!” Riang melihat Fidel, tetapi Fidel menunggu. Ia membiarkan Riang. Ia mempercayakan padanya.
“Lihat di sana!” Riang menunjuk Fidel. Tak etis memang, tetapi Fidel melazimkan. “Dia, lelaki itu tidak pernah menyepelekan orang! Dia faham bagaimana berhubungan dengan manusia! Dia paham, seseorang berhak memilih jalan hidupnya, tetapi setiap orang pun berhak meninjau keyakinan yang lain. Yang dia lakukan dalam zine-ku hanya berkomunikasi. Caranya pun santun, berbeda dengan caraku! Dia tidak sok-sokkan seperti lagakmu! Dia yang menghormati orang lain biasa saja dengan mulutnya! Kamu! Kamu yang bilang ke sana kemari bahwa dirimu bukan fundamentalis, pada kenyataannya malah memperlihatkan bahwa pemahaman dirimulah yang paling benar!”
“Ah!” Pria itu membantah. Ia menunjukan artikel dalam zine Riang. “Sistem yang Kau propagandakan dalam zine mu itu sistem kuno! Ideologi purba yang tak berhak hidup di zaman modern ini!”
Moderator mencari artikel yang dimaksud lelaki itu. Ia berusaha masuk ke dalam perdebatan. “Di zine mas Riang ada pemahaman mengenai ideologi dan sistem yang tadi disebut purba,” moderator bertanya “bagaimana menjelaskannya?”
Riang sudah marah. “Bisa jadi yang diyakini Mas itu lebih purba ketimbang keyakinan sahabatku!” jelasnya pada moderator. Riang bukannya memaparkan pertanyaan. Ia malah kembali menyasar pria itu. “Purba dan tidak purba hanya propaganda! Propaganda tidak perlu dibicarakan karena propaganda bahasa tidak perlu di perbincangkan oleh pencari kebenaran!”
Pria itu membantah. “Tetap saja! Sesuatu yang purba tidak mungkin diterapkan lagi, di sini dan saat ini!” Pria itu bertahan. “Yang diperlukan manusia bukan formalisasi! Yang diperlukan manusia kesejahteraan, keadilan! Dasar muslim kepala batu!”
Riang sampai pada puncaknya. “Aku bukan muslim! Aku tak beragama!!” Wajahnya terlihat merah. Pria itu salah melakukan diagosa. Ia meminum racun. Auditorium benar-benar menjadi sepi! Moderator mulai berpikir untuk mengakhiri forum. Ia berusaha mencari jeda bernafas untuk memutus perdebatan, tetapi nafas Riang terlalu panjang. Seakan hutan belukar, jeda bernafas sukar moderator temukan.
“Keadilan! Kesejahteraaan!” sambung Riang. “Macam apa keadilan dan kesejahteraan itu? Keduanya filosofi kehidupan!” Riang marah. “Setiap manusia mudah saja membicarakan keadilan dan kesejahteraan! Camat, walikota tak ubahnya sama dengan tukang becak, tak jauh beda dengan gelandangan jika sudah membicarakan keadilan dan kesejahteraan! Keadilan dan kesejahteraan itu filosofi yang harus dibumikan! Apa yang dibicarakan temanku dalam tulisannya sudah jauh meninggalkan tetek bengek yang Kau koarkan! Ia sudah bicara bagaimana membumikan keadilan dan kesejahteraan dalam pengaturan sistem, dalam perangkat ideologi, dalam tataran yang bahkan bersifat matematis! Kau ku ajak berbisnis! Mari bisnis warung internet! Kita sama-sama menginginkan keadilan! Tapi keadilan yang bagaimana! Pembagian untukku sekian, sebagai pemilik modal, dan Kau sebagai pengelola warnet sekian! Hak kamu begini! Hak aku begitu! Dalam bisnis, dalam distribusi pengelolaan sumber daya alam, dalam pengelolaan harta warisan, dalam peperangan, dalam pengumpulan harta untuk distribusi kesejahteraan semua konsep harus dibumikan. Sekarang … keadilan dan kesejahteraan macam apa yang Kau inginkan itu! Bagaimana membumikannya! Mari kita membandingkan!”
Mendengar tantangan Riang, pria itu keracunan arsenik. Ia tercekik. Riang memberi tiger upper cut macam pukulan Guild Street Fighter dalam permainan ding-dong. Pria itu membisu. Ia terkena mantra, tak bisa bergerak. Pria itu beku seperti ditenung! Sunyi mengurung auditorium seakan karamba.
Di atas sana, tiba-tiba Fidel berdiri. Cahaya lampu ruang yang dibiaskan kaca-kaca bergoyang. Mata Fidel berkaca-kaca. Ia menepukan tangannya di udara. Fidel bangga! Gemuruh menjelma. Tepuk tangan di mana-mana, menggema! Untuk pertama kalinya, Riang dimuliakan. Tepuk tangan menjebol pertahanan jiwanya. Riang tak kuat menahan haru. Bukan karena kemenangan tetapi karena rasa kasihan. Pria yang dipukulinya habis pergi meninggalkan forum yang bukan lagi miliknya. Ia mundur perlahan. Riang memandangnya dengan penyesalan. Kemanusiaannya bermain. Lelaki itu hanya orang biasa, sama seperti dirinya. Ia manusia yang butuh dihargai bahkan setelah ia dikalahkan. Pria itu menghilang di balik kerumunan.
Moderator bernafas lega. Acara yang ia pandu berakhir klimaks. Ia mengakhiri tanggungjawabnya.
“Tatum valet auctoritas quantum valet argumentatio! Aforisma bahasa Latin mengatakan bahwa nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya. Mengutip terjemahan bebas sebuah ayat: silahkan sekolah yang tinggi-tinggi! Silahkan! Tetapi jika sekolah yang tinggi itu tidak membawa karya untuk manusia, maka sejarah dan masyarakat akan lupakan dan tinggalkan kita semua! Demikian perkataan Pram! Terima kasih! Dan … mari kita beri applause untuk mas Riang Merapi!”
Tepuk tangan menggema. Lebih meriah dari yang pertama. Dan hal itu justru membuat Riang bertambah sedih.
DEBAT YANG MENYIMPANG dari Zinee dan ideology contra cultura tentu tidak menjadikan orang-orang yang hadir berubah drastis pemikirannya. Perubahan paham tak semudah mengangkat tangan lebih tinggi dari kepala agar burung unta tidak menyerang manusia.
“Kadang manusia tidak bisa mengatakan seluruh isi kepalanya. Mungkin lelaki itu memiliki sejuta macam argumentasi untuk membalikan argumentasimu, argumentasi di dalam tulisanku,” kata Fidel. “Kadang, ketika emosi menyisihkan ketenangan dan peranan akal, argumentasi di dalam kepala yang semula luas, menjadi sempit. Mungkin karena kondisi psikologi yang kurang baik pada saat itu, lelaki yang ada di forum tadi tidak bisa mengeluarkan argumentasi dengan jernih. Bisa jadi Kau mengalami hal yang sama. Dalam kondisi normal Kau merasa mudah mematahkan pendapat-pendapat tertentu, tetapi dalam forum yang disesaki banyak orang, dalam forum yang di hadiri orang-orang yang sering kita lihat di televisi dan kita baca pendapatnya di media massa, ada kalanya kita merasa tertekan. Tekanan itulah yang akan menghambat manusia dalam mengungkapkan seluruh isi pikirannya.”
“Yang…” Fidel memalingkan padangannya. “Tak ada manusia yang kalah dalam diskusi.”
“Lantas yang kalah siapa?” tanya Riang.
“Yang kalah, adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya salah. Yang kalah adalah orang yang hatinya sudah mengatakan bahwa argumentasinya tidak bisa dipertanggung jawabkan tetapi ia terus menerus melakukan pembenaran.”
Roda besi mulai mengayuh. Pluit panjang merusakkan gendang telinga masinis. Fidel tumbang saat mencium jok kereta yang tengik. Di saat yang sama, lelaki di sampingnya melamunkan banyak hal dan tentu saja: melamunkan Milea.