Setara (Bab 32)

Posted: Jumat, 04 September 2009 by Divan Semesta in
0

KEMARIN RIANG merasakan khasiat ‘Big-Bos’ kembali. Tubuhnya menjadi ringan, tak berbobot.

“Kamu Riang! Riang Merapi!” Milea mengingat namanya.

Bagaimana mungkin, o opium dan segala macam jenis mirasantika, Riang tengah mabuk kepayang. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya.

Milea tertawa menyaksikan perubahan wajah Riang yang kentara.

“Fidel yang memberitahu namamu,” terang Milea.

“Kapan?!” Riang mencurigainya. “bahkan tahu sejak aku sakit perut itu?” tebak Riang.
Senyum Milea bernada rahasia.

“Kenapa tidak memberitahuku?!” kata-kata Riang terdengar seperti pendakwa ruang pengadilan.

Milea tak merasa bersalah. Fidel menyuruhnya mengambil bagian dalam rencana. Riang teringat perkataan Bentar kala ia menuntut penjelasan yang sama di hadapan Fidel. Ada begitu banyak rahasia yang tidak ia ketahui. Riang membatalkan tuntutannya. Biarlah hal itu menjadi hiburan baginya.

Semenjak Pepei –kakaknya-- wafat, hidup Milea menjadi jarang berwarna. Hidupnya seolah hasil cetak operator yang hanya memberikan pilihan foto hitam putih atau B/W. Tidak ada warna pelangi. Warna hidup Milea meluntur.

“Aku tak tahu rasanya kehilangan keluarga,” ujar Fidel. “Aku tak pernah mengalaminya. Aku tak bisa membayangkan ketika satu-satunya keluarga yang tertinggal tidak lagi dapat aku pandangi. Tindakan putus asa, untuk mengakhiri hidup adalah tindakan yang salah, tetapi apa yang Milea lakukan adalah sesuatu yang manusiawi.”

Kehilangan itu merupakan gempuran terparah yang dilakukan nasib terhadap Milea. Riang memikirkan betapa nelangsa-nya Milea. Ia pernah kehilangan keluarga, tetapi ia masih memiliki orang tua. Rahang Riang menggeretak. Pembunuhan Pepei berdampak besar pada penderitaan yang melebar. Kardi adalah komet besar yang membuat dunia Milea hancur berantakan. Ia merupakan meteor kepunahan! Kardi adalah vacuum cleaner penghisap kebahagiaan.

Riang sudah sampai pada titik yang ia tidak sadari. Seperti tua bangka berkedok ingin melindungi seorang anak SMA padahal ia menyukainya, Riang tak sadar jika hatinya sama. Keinginan standar jagoan-jagoan untuk melindungi yang dicintainya mulai tumbuh. Ia tak sadar, sikapnya justru membuat Milea ketergantungan. Pertolongan yang ia lakukan di danau merupakan awalan. Milea berterimakasih dan berharap lebih padanya.

Sisi getir kehidupan adalah kekecewaan. Jika tak ingin kecewa maka hidup tak perlu di gantung. Milea memang harus cepat dilepaskan. Ia harus segera dimandirikan.

PAGI ITU Riang berkemas. Kemarin sore, sebelum membawa pulang Milea, Waluh, meninggalkan pesan. Balasan surat dari Thekelan sudah sampai di pondokkan. Bentar yang menyimpannya, kata Waluh. Sampai di pondokkan Riang membuka surat bapak yang isinya sederhana. Kedua orang tua Riang menanyakan kapan pulang.

Riang tersedu. Apa yang ingin ia dapatkan di kota ini? Pencarian keparat Kardi tampaknya usai. Tak ada lagi yang dapat Riang telusuri. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya pusing pun telah mereda seiring pemahamannya tentang tamasya, keimanan dan kaus kutang.

Riang saat ini, adalah Riang yang berbeda dengan Riang di masa lalunya, dan ia meyakini bahwa Riang di masa yang akan datang akan menjadi Riang yang lebih baik ketimbang Riang di masa ini. Riang di masa kini tak takut menghadapi perubahan. Ia yang pernah mengalami fase kegelisahan yang mendekati kegilaan. Riang mengetahui dan mampu menjabarkan bahwa kegelisahan merupakan sesuatu yang berat dan kegilaan adalah sesuatu yang kita tak tahu harus bagaimana, ketika kita tak bisa membuka jalan ke depan atau balik lagi ke belakang. Fase yang membuat manusia berjalan di tempatnya. Ia telah melewati fase itu. Kegelisahan yang berdentam adalah suatu fase yang apabila terlewati akan menjadikannya kuat.

Kalaulah boleh membuat pembagian manusia berdasarkan kegelisahan yang dialaminya, maka di dunia ini terdapat manusia yang tidak mau melakukan pertaruhan untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya; Ada pula manusia yang mengikuti kehidupan layaknya alunan air. Dia melaju dengan ketenangannya, mendapatkan pembelajaran tanpa mengalami proses yang berat. Dia mencicil sedikit demi sedikit kemampuan intelektualnya dan manusia seperti ini jarang mengalami kompleksitas kedahsyatan pergulatan pemikiran. Bagi mereka kemungkinan menjadi gila itu kecil karena pembelajaran yang mereka lakukan bersifat alamiah. Dua sifat itu tidak dimiliki Riang. Dan Fidel mengatakan “Itu bukan kita!”

Riang adalah manusia yang seperti Fidel jabarkan. Riang adalah manusia planet Namec!

“Kau mengingat Bezita?!” tanya Fidel pada suatu waktu.

Riang mengangguk.

“Bezita manusia planet Namec. Ia manusia yang sama dengan Son Go Ku. Jika kau perhatikan, orang planet Namec memiliki sifat ambisius yang alamiah! Mereka mempertaruhkan apa saja untuk menjadi kuat. Mereka meningkatkan kekuatannya dengan melakukan latihan dan pertempuran yang mendekati ambang kematian. Bezita mengetahui itu. Ia mengalami peningkatan kekuatan yang pesat. Ia mempertaruhkan kematian untuk mendapatkan kekuatan dan kita pun sama! Kita adalah orang-orang yang baik secara sadar atau tidak, mau mempertaruhkan keyakinan yang ada di dalam diri kita. Kita meyakini kosekuensi pertaruhan keyakinan adalah datangnya kegelisahan dan mengalami kegilaan. Kegelisahan dan kegilaan adalah konsekuensi negatif pencarian makna yang kita lakukan, tetapi, jika kita berbicara tentang konsekuensi positif kegelisahan maka kita akan mendapatkan segarnya saripati kehidupan. Kita mengalami peningkatan-peningkatan yang signifikan! Karena itulah kita mau dan berani mempertaruhkan keimanan!”

Mahdi pun manusia planet yang sama. Ia melakukan pertaruhan yang berbahaya. Ia pernah gila karena ketika akal menyangkal keyakinan yang dulu dianutnya, hati Mahdi menolak. Argumentasi yang ditemuinya di Parang Tritis ternyata lebih baik dari argumentasinya tentang ketuhanan. Di dalam jiwa Mahdi muncul pergulatan. Ia tidak sanggup menerima kehebatan argumentasi Pepei, tetapi ia tidak bisa meninggalkan keyakinannya yang dulu dan pertemuannya dengan Pepei untuk yang keduakalinya, membuat Mahdi terbebas dari keterpecah kepribadian.

Riang memang sebal pada Mahdi tetapi ia mulai bersimpati pada manusia yang mengalami banyak hal yang sama dengannya.

“Proses yang Mahdi alami adalah lukisan perjalanan hidupnya. Lukisan itu tidak akan selesai hingga ia mati… Lukisan kita pun belum selesai,” ungkap Fidel. “Kita tidak tahu kedepannya akan menjadi apa. Masa depan bukan milik kita! Entah aku akan memiliki keyakinan yang kuat atau murtad, aku tidak tahu! Kita tengah berproses dan orang yang menjalani proses pencarian --yang sama-- adalah orang yang memiliki kedekatan spiritual dengan kita. Kita tidak berhak melecehkan mereka! Melecehkan orang atheis, melecehkan agama agama lain diluar agama kita, melecehkan agnostis selama mereka menyadari dan menjalani proses pencarian kebenaran dalam kehidupannya. Kita tidak berhak melecehkan karena masa depan selalu terbuka untuk di jalani, karena masa depan itu gelap, meskipun kita berusaha menentukan, dan menjalani sebab akibatnya. Waktu merupakan kanvas dan kematian merupakan tetesan terakhir warna pada kuas kehidupan. Kita tidak mengetahui akhir hidup kita. Berusahalah dan teruslah berdoa.” Kata Fidel.

Riang kini sudah berani mengatakan, kakinya telah menjejak tanah planet Namec dan itu berarti bahwa ia masih harus mencari jembatan-jembatan kegelisahan untuk ia lalui demi meraih derajat kesempurnaan sebagai manusia yang selalu ingin berkembang.

Saat memikirkan hal tersebut kedamaian datang seperti saat Riang duduk di bawah pohon yang mengeluarkan banyak O2. Suplai oksigen menderas masuk ke dalam paru-parunya. Seakan pasien tuberkolosis yang tengah menikmati terapi, Riang mengantuk. Ia merasa hidup tanpa beban, seolah sampai dalam keadaan puncak, ketika ia baru dilahirkan. Kata-kata, ungkapan dan keindahan ucapan sahabatnya membuat Riang ingin mengerat lidah Fidel menggunakan silet.

SURAT DARI ORANG TUA Riang yang menanyakan kepastian dirinya untuk pulang membuat Riang merasa tidak nyaman. Masih di pondokkan, ia menuliskan jawaban dan langsung memposkannya.

Riang masih harus di uji. Kegelisahan, dan pertanyaan-pertanyaan di masa lalunya –memang—kini tidak menjadi beban, tetapi apakah manusia hanya mengalami kegelisahan ketika melakukan pencarian terhadap keyakinan.

Riang masih merasa harus berada di tempat ini karena dirinya mulai dijangkiti rasa hampa yang ia sendiri sulit untuk menjabarkannya. Riang ingin tahu tapi tak mengetahui harus memulai darimana. Ada yang mendesak. Ada yang berontak di dalam dirinya. Ia tak mengerti. Ia melamun.

Fidel melihat diri Riang hilang. “Jujurlah…” masih di pondokan Fidel menodongnya.

Riang ragu. Ia tak tahu. Ia tak mengerti.

“Bicaralah… bicarakan apa saja,” ujar Fidel.

“Aku merasa ada yang mengganjal. Selama ini aku mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga dari Mas. Aku mendapatkan pencerahan pemikiran, mendapat beribu macam manfaat darinya. Aku bingung. Aku merasa diri tak berguna. Mas memberi banyak hal, tapi aku tak pernah…” Riang khawatir atas apa yang ia ucapkan, lalu ia berusaha menjaga perasaan mas Fidel. “Bukan … bukan memberi materi pada mas, tapi sesuatu yang berharga di atasnya.. Maaf … aku merasa …”.

Jantung Riang berdetak.

“Kau merasa tidak memiliki harga?” Fidel tergelak.

Pertanyaan itu membuat pintu hati Riang terbuka. Ada yang mengalir. Deras. “Aku merasa tak berguna. Hidupku seakan sia-sia. Aku tidak bisa memberi. Tidak bisa berbagi! Aku merasa terasing! Merasa terkucilkan. Hal ini sukar kujelaskan.” Riang menunduk. “Aku orang yang aneh ya mas?”

Fidel menggeleng. “Sudah berapa lama kita hidup di dalam rumah yang sama?”.

“Berbulan-bulan,” jawab Riang.

“Itu waktu yang cukup lama.”

Riang mengangguk

“Yang, kalau kukatakan bahwa kau berguna, bahwa kau berharga, bahwa belajar itu tidak mutlak mendengarkan sebuah perkataan, melainkan –juga-- upaya mempelajari aktivitas seseorang, apa Kau akan merasa tenang jika aku mengatakan, bahwa Riang pun memberikan banyak hal melalui apa yang Riang lakukan, bukan yang Riang katakan?” Fidel bernafas tenang. “Jujurlah apa adanya. Jangan dipendam.”

“Aku sendiri jadi bingung,” Riang menggaruk kepalanya. Perasaan Riang terlalu dalam. Ia sulit untuk mengungkapkannya.

Supaya Riang lebih mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan, sekali lagi Fidel bertanya, “apa yang membuat Riang merasa tidak berharga dan berguna di hadapanku?”.

Riang berfikir lama. Diam tak bicara. Ia tak menemukan juga.

Fidel tersenyum. Rasa-rasanya ia mengetahui apa yang terjadi dengan diri Riang. “Yang … saat ini kau sedang mengalami puncak-puncaknya pembelajaran. Kuperhatikan kau sudah banyak membaca? Kau meningkat di segala hal. Kau haus akan segala macam hal yang tersangkut paut dengan pengetahuan dan jika kini kau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu, mungkin ini adalah kesadaran yang tak bisa Kau ungkap bahwa kau memerlukan eksistensi, bahwa Kau memerlukan pengakuan?”

Ucapan Fidel terasa vulgar.

“Jika saat ini hal itu terjadi pada dirimu, biar kukatakan bahwa mendapat pengakuan, merasa ingin dihargai adalah sesuatu yang wajar. Penghargaan memang seharusnya tidak menjadi tujuan manusia, tetapi penghargaan adalah sesuatu yang wajar. Kau memerlukan eksistensi untuk ketenangan spiritualmu. Peningkatan pengetahuan memang harus disertai potensi lainnya. Manusia yang mendapatkan banyak input mutlak memerlukan output. Ketika manusia terlalu banyak pemasukan tetapi di satu sisi ia tidak memiliki saluran untuk mengeluarkannya, maka manusia akan merasa sakit. Bukankah makan tak buang air itu sakit?”

“Ah, mas ini!”

“Aku sungguh-sungguh!” ucap Fidel. “Manusia akan menderita jika ia terus menerus minum tetapi tidak memiliki system saluran pembuangan air di dalam tubuhnya. Hal ini sama dengan dengan pengetahuan. Jika Kau terlalu banyak memasukan pengetahuan tetapi tidak memiliki medium untuk menyalurkannya kau akan merasakan sakit!”

“Sakit jiwa maksudnya?” Riang tertawa. Riang tahu Fidel benar.

“Ya sakit jiwa! Sedeng! Kurang lima menit! Gelo siah!” Fidel membentak.

Riang tertawa.

“Ada pemasukan ada pengeluaran. Itu hukum alam. Jika Kau tidak melakukan ekskresi, apabila Kau tidak mengeluarkan pengetahuanmu maka akan terjadi sesuatu. Jika saat ini Kau merasakan ganjalan yang demikian memberatkan, kupikir itu wajar, karena mungkin, karena di tempat ini, Kau …”. Fidel berfikir keras untuk mengunyah kata-katanya, menjadikannya lembut. “Salahkah anggapanku ini …?”

Anggapan apa Mas?”.

“Kau terlalu menghormatiku, sehingga Kau tidak berani berpendapat banyak saat aku ada?”.

Riang tunawicara. Ia menjadi seperti pengantin yang baru saja naik ranjang.

Muka Riang merah.

“Yang … jika memang seperti itu. Jika memang eksistensiku, keberadaanku membuatmu ragu-ragu, menjadikan dirimu merasa tidak nyaman untuk mengeluarkan pemikiran pribadimu, maka sudah selayaknya aku tidak menjadi sahabat bagimu!”

“Aku menghormati Mas!” Riang memprotes.

"Apa penghormatan mengharuskan seseorang bungkam?! Kufikir kau bukannya tidak bisa memberi jika memberi itu berargumentasi atau bertukar fikiran denganku! Kau hanya tidak berani!” Fidel mengetahui perkataan yang ia susun berdasarkan anggapannya semula –mengenai eksistensi-- tepat sasaran. “Yang …” Fidel melanjutkan, ”penghormatan adalah sesuatu yang baik karena penghormatan adalah tindakan yang bisa mengantarkan kita pada pengertian, mengantarkan kita pada keselarasan! Tetapi, jika penghormatan itu justru membuat seseorang, membuat Kau menjadi kacung pemikiranku rasanya lebih baik Kau tidak menghormatiku lagi!”

“Menghormati bukan berarti merendahkan diri! Menghormati bukan berarti membungkam isi hati! Pengutaraan isi hatimu, penyuaraan pendapatmu, orisinalitas pemikiranmu justru sebuah penghormatan yang besar bagi ku! Betapa bangganya aku jika bisa melihat dirimu seperti itu!”

Riang mengangguk lesu. Perkataan Fidel tepat menggambarkan keadaan hatinya. Riang merasa lesu, merasa berdosa karena menganggap dirinya memaksakan kehendak, agar Fidel mengakui eksistensi dirinya.

Riang salah menyangka. Pada wajah Fidel tidak terlukiskan gurat-gurat penyesalan dan kekecewaan. Fidel adalah edisi khusus. Ia adalah manusia pilihan yang telah diciptakan. Fidel telah siap dengan apa yang terjadi, bahkan sejak saat ia menempatkan Riang di rumah kayunya, sejak ia memperkenalkan sahabat-sahabatnya. Ia telah menyadari bahwa sejak kata-kata dalam perbincangan ini keluar dari mulutnya, sebuah babakan baru dalam hubungannya dengan Riang telah ia ramalkan.

“Kau akan menjadi raksasa suatu saat nanti...” ujar Fidel dan ia melihat Riang ingin membantah kata-katanya. “Tidak, jangan Kau hentikan dulu! Aku tidak bermaksud mematikanmu lebih awal dengan memuji! Aku mengetahui benar potensi yang Kau miliki! Keberanianmu, ketekunanmu, kehausanmu! Sejak dulu aku tidak pernah menganggapmu sebagai ladang yang hendak ku garap. Di alam persahabatan ini semua sahabat adalah sama! Sejak dulu aku tidak pernah membiarkanmu berada di belakang tubuhku karena Kau bukan budakku! Kau ada di sampingku, Kau sahabatku!”

Tenggorokan Riang serak. “Dulu aku tak menyadarinya.”

“Dan Sekarang Kau baru sadar?!” Fidel menonjok hati Riang.

Ingus Riang meleleh. Ia bersyukur bertemu dengan orang mampu memahami pendalaman dirinya. “Aku mencintai Mas!” Kata-kata itu mengalir begitu saja.

“Dan aku tak akan mengatakan cintaku padamu.” Fidel tidak menampiknya.

Beberapa saat kemudian kedua orang itu terdiam.

Apa yang mereka bicarakan menjadi ngambang. Lalu apa yang harus Riang lakukan jika ia telah mengetahui apa yang ia inginkan?

“Mengapa tidak Kau buat zine saja?!”

Dan penemuan yang dilontarkan Fidel abad ini pun tercipta.

0 komentar:

be responsible with your comment