Liburan yang Tak Mungkin Tiba (Bab 34)

Posted: Jumat, 04 September 2009 by Divan Semesta in
0

Begadang membuat tubuh Fred limbung. Tidur hanya dua jam membuat jalannya, seperti orang yang baru menenggak minuman keras. Fred kecapaian menyusun laporan yang dipesan. Laporan itu seharusnya ia kerjakan bertahap, ia cicil sedikit demi sedikit, tapi kebiasaan menjadikan laporan itu menumpuk.

Sampai di sebuah rumah, Fred menekan bel dua kali. Seorang berseragam biru, kamera cctv mengintipnya dari atas gerbang. “Mari masuk Mas.” Lelaki berseragam biru, mengenal Fred baik “Bapak ada di dalam,” katanya.

Gerbang terbuka. Fred masuk. Ia diantar pemuda berseragam biru berbadan tegap. Ia melewati pintu yang dipasang alat deteksi. Fred kemudian berjalan di ruangan besar yang menyerupai lobi hotel bebintang lima. Dua tangga mengulir sementara lidah karpetnya menjulur berwarna hijau. Sampai di lantai, lidah itu menyebar memenuhi seluruh ruangan. Lukisan-lukisan menempel pada dinding ruangan. Guci yang berasal dari perahu penjelajah China yang karam di abad 12 terlihat terawat. Kamera menggantung hampir di setiap sudut ruang.

Fred merasa tak nyaman saat mendengar salakan anjing. Di masa kecilnya kuping kanan dia pernah digigit anjing. Setengah kuping yang tersisa itu mewajibkan Fred untuk memanjangkan rambutnya. Fred terus berjalan mendekati suara yang membuatnya tak nyaman. Saat ia melihat dua ekor anjing berada dalam jeruji pagar yang memisahkan rumah dan lahan tempat latihan, Fred memberanikan diri keluar rumah. Lelaki yang disebut bapak oleh penjaga meminta dia untuk menemuinya di tepi luar pagar.

Di bawah payung rumbia, lelaki paruh baya yang akan Fred temui terlihat santai. Kaus kutang tidak mampu menekan gelambir lemak pada perutnya

“Kemari!” bapak berkacamata hitam, yang mulutnya di penuhi cerutu yang gemuk itu memanggil.

Fred ragu. Seekor anjing memandangnya lekat. Kekuatan tenaga ke dua anjing itu diekspresikan oleh dua kaki depan yang terangkat hingga tigapuluh centimeter dari tanah. Garis lekukan otot dua anjing tersebut tampak di sekujur badannya. Di kepalanya, otot pipi terlihat kencang dan kuat. Otot kepala sekitar telinga dan kepala bagian atas tampak rata, sementara otot pada paha belakang, kaki depan serta kepala ke dua anjing itu terlihat besar. Ekor kedua anjing itu mengibas liar.

Fred mengetahui anjing jenis apa yang menggonggonginya. Gigi kedua anjing itu setajam belati. Cengkraman taringnya tidak bisa dibuka, selain menggunakan pengungkit. Taringnya bahkan mampu membuat ban motor besar pecah. Kedua anjing pitbull itu mampu mematahkan leher seekor sapi, mematikan herder, membunuh babi hutan dan manusia dengan kondisi yang menggenaskan. Yang paling menakutkan adalah, anjing pitbull itu memiliki kemampuan melompati pagar setinggi setengah meter tanpa ancang-ancang yang berarti.

Fred memang berhak khawatir. Ia orang baru bagi si anjing. Ia tak bisa membayangkan jika kedua anjing itu berlari melompati pagar lalu membuat kuping kirinya rebing. Fred bukan saja tak mau kehilangan kuping. Fred tak mau mati tersia karena lehernya di pitek rahang anjing.

Sang majikan memberi kode pada penjaga untuk menenangkan kedua pitbull. Penjaga lelaki yang jauh-jauh hari Riang cari itu segera menggiring pitbull masuk ke dalam kandang. Kedua anjing itu menyalak ke arah Fred kemudian pergi mengibaskan otot ekornya yang liat.

SEJAK berada di terminal Dago, Kardi menunggu cukup lama. Kepergiannya dari terminal Dago ia anggap sebagai sebuah anugerah. Dalam pikirannya semula, menjadi penjaga anjing bukan sesuatu yang ia angankan, dan tak dapat ia banggakan. Tetapi, anjing yang mana, dan anjing yang seperti apa? Jika menjadi penjaga anjing nenek-nenek atau menjadi pengantar anjing tante-tante genit macam cihuahua, atau menjaga anjing yang jika dilempar sepatu hak tinggi sudah mengkeret, menguik-uik macam pudle, mungkin Kardi boleh kecewa.

Di tempat ini ia memperoleh kepercayaan menjaga anjing yang semula ia recehkan. Dua pitbull itu benar-benar membuatnya bangga. Kardi merasa dipercaya.

Saat ini, Kardi, mulai menyadari posisinya. Ia hanyalah preman biasa. Seorang pengacau liar yang hanya dianggap sebelah mata. Ia menyadari bahwa kekuasaan yang benar sebenar-benarnya dapat ia temukan pada diri sang Bapak. Otak, kekayaan, kemampuan mengorganisasi orang-orang, dan tentu saja kelihaian sang Bapak dalam berpolitik yang licik merupakan syarat tinggi dalam meraih kekuasaan.

Kardi mulai berkaca. Keinginan itu membuatnya merelakan diri untuk mengabdi. Kardi ingin yang lebih tinggi. Ia ingin yang membukit, menggunung, ia ingin memancang hingga ke langit-langit. Berjalan perlahan pun tak apa. Menjaga serta melatih pitbull merupakan awalan yang sempurna. Kardi cukup puas dan bangga.

DUA PITBUL yang kembali ke dalam kandang menjadikan Fred merasa aman untuk menyerahkan catatannya. Ia melihat kertas yang malam kemarin ia kerjakan dengan susah payah, dilihat si Bapak pun tidak. Lelaki paruh baya itu malah meminta Fred untuk mencoba cerutunya. Fred tak terbiasa, tapi ia mengambilnya.

“Kau kelihatan capai?!” Sang Bapak membujuknya. “Liburlah.” Cerutu terbakar. Pipi yang gemuk kempong.

Fred tak terbiasa menghisap cerutu. Ketebalan dan harga cerutu tak pernah membuatnya cocok. Fred mencoba tertawa, “Entah sejak kapan, aku tak berlibur,” katanya sambil terbatuk.

“Itulah…” Batuk Fred ia jadikan pembenaran, “kerjaan seperti yang Kau lakukan ini bisa membuat orang menjadi gila,” ia menunjuk kertas yang Fred serahkan padanya. “Kau terlalu stress! Nikmatilah hidup… berliburlah …”

Fred hanya tersenyum.

Lelaki paruh baya itu mengetahui maknanya. “Kau berhak melupakan kerjaanmu. Kau perlu memulihkan diri… berliburlah!” Lelaki itu faham. Memata-matai bukanlah perkerjaan yang mudah. Menjadi mimikri membuat mental Fred ringsek. “Mainlah ke Sengigi,” bujuknya, “Tenangkan dirimu, seminggu dua minggu di sana. Jangan menolak tawaranku. Istirahatlah di sana.”

Catatan yang tersusun rapi dibawa masuk ke dalam ruangan. Catatan itu berisi siapa yang menggerakkan ratusan orang kolektif bawah tanah saat mereka menuntuk hak masyarakat Punclut atas air. Catatan itu menjabarkan dengan detail mengenai kegiatan seni di pondokan, rapat-rapat terorganisir yang diadakan di rumah kayu Fidel, kondisi tempat rapat hingga kebiasaan orang-orang yang aktif dan simpatisan lain yang ikut memfasilitasi aneka macam kegiatan.

Sejak aksi yang menyebabkan amuk massa di Punclut, rencana pendirian perusahaan air mineral yang dimiliki lelaki setengah baya itu terbengkalai. Tanah perusahaan airnya menjadi sengketa, terlantar dikeroposi masa.

Kerugian harus segera di tambal. Catatan Fred membantu lelaki setengah baya itu melengkapi dan menjabarkan apa saja yang harus dibutuhkan saat ia memerintahkan orang-orang suruhannya untuk melakukan eksekusi.

Kesimpulan sudah di dapat. “Terima kasih.” ujar Fred. Ia mengatakan akan berlibur setelah memastikan semuanya selesai. Fred masih berusaha menunjukan harga dirinya yang tersisa.

Fred membuka pintu taksi. Tak ada yang dipikirkanya selain ingin membalas dendam atas waktu yang ia habiskan selama beberapa malam di hadapan komputernya. Ia ingin segera menghilang di peraduan. Fred ingin tidur, melupakan segalanya. Melupakan pengkhianatan pada orang-orang yang sudah menghargainya. Ia hanya ingin tidur. Tidur sehat yang dipikirnya akan membuat dia terbebas dari rasa bersalah.

0 komentar:

be responsible with your comment