Plak (Bab 36)

Posted: Jumat, 04 September 2009 by Divan Semesta in
0

MILEA HILANG. Sudah beberapa hari ini ia meminta izin tak masuk kerja. Dr Nurlaila tak mengetahuinya. Seisi pondokkan tak tahu apa yang terjadi. Riang takut. Seisi pondokkan takut. Rumah Milea sepi. Tetangganya pun tak bisa memberikan informasi. Fidel mengecek air terjun. Milea tak ada di sana. Seluruh pondokkan khawatir. Hampir semua orang dewasa di pondokan tahu, bahwa sejak kematian orangtuanya ia terperangkap dalam tubuh orang dewasa dan kematian Pepei menjadikan keadaan ini bertambah sulit.

Ada kemungkinan lain. Fidel mengemas tenda dan sleeping bag, menyerahkannya pada Riang. “Pergilah ke Ranca Upas,” kata Fidel. “Esok kami menyusulmu.”

Fidel tidak bisa meninggalkan aksi yang menjadi tanggungjawabnya. Hari ini seluruh anggota SNB dan beberapa veteran bentrokan berdarah kasus air Punclut berkumpul di pondokan. Informasi sudah tersebar. Mereka bermaksud menampakkan reaksi yang lebih keras. Ini berarti bahwa patok-patok tanah harus di cabut dan mereka berharap aksi ini menjadi aksi terakhir hingga pemerintah dan media massa mau mengangkat masalah penyerobotan sumber air yang disertai intimidasi fisik menjadi masalah nasional.

Riang tidak pernah diikutsertakan aksi sebelum dan setelah aksi pemukulan di Punclut. Beberapa orang, terutama Fidel dan orang di pondokan memiliki pertimbangan sendiri mengapa Riang tidak ikut disertakan dalam aksi. Karenanya, mereka tidak menganggap Riang kehilangan solidaritas terlebih dalam aksi ini Riang dibebankan tugas untuk mencari Milea. Riang pun melenggang ketika suasana pondokkan mulai tampak hiruk pikuk..

SEPANJANG PERJALANAN sejak terminal terakhir hingga Kawah Putih dan pemandian air panas, pepohonan meranggas. Batangnya berwarna hitam. Ujung-ujung dahan yang paling tinggi kecoklatan. Daun-daunnya luruh terserak seperti peminta-minta berbaju kumal di pinggir jalan. Tanda-tanda kebakaran reda di penangkaran rusa Ranca Upas. Usai Riang membayar tiket masuk petugas jagawana menunjukkan lokasi mobil fiat hitam yang menurutnya sudah berada di tempat parkir sejak dua hari yang lalu. “Pemiliknya, tadi pagi memberi makan rusa,” ungkap jagawana. Riang cukup lega mendapatkan kepastian itu. Ia pun beranjak masuk. Sekitar satu kilometer dari pos penjagaan ia menemukan fiat hitam Milea.

Milea tidak ada di mobilnya. Ia kemudian menaiki tempat pengamatan di mana wisatawan leluasa melihat penangkaran hingga batas pagarnya yang paling jauh. Puluhan gelondongan kayu, menjadi tempat berpijak. Atap tempat pengamatan rusa ini terbuat dari ijuk hitam yang lembab ditumbuhi lumut. Terlihat dari sana, pagar penangkaran dan kumpulanan rusa yang bertingkah malas. Tak satu pun dari puluhan rusa itu yang meloncat-loncat seperti dalam bayangan anak-anak. Mereka berdesak-desakan saling menghangatkan.

Di sana Riang tak melihat tanda-tanda keberadaan Milea. Ia turun dari tempat pengamatan, menyinggahi warung satu persatu. Milea tetap tak dia temukan. Riang menunggu cukup lama. Ia mulai khawatir.

Menjelang sore, udara di tempat itu mendadak menjadi dingin. Atap bumi mengisyaratkan mendung. Kekhawatiran Riang bertambah. Mendung meng-arang. Cahaya benderang keluar dari balik awan. Beberapa detik kemudian suara halilintar terdengar.

Milea…Milea… dengung Riang.

Mendung memblok senja. Cuaca kelam dan warna menghitam.

Pletak! …
Pletak! …
Pletak! …

Riang mengaduh. Bongkahan es terjun dari lngit. Bunyi suara keras teredam dempul. Kap dan atap fiat hitam Milea terlihat penyok dari kejauhan.

Milea… berilah pertanda.

Riang berlari ke tempat pengamatan. Ia memastikan. Ia berteriak. Tak ada jawaban. Gema di telan cuaca buruk. Suara di makan gemuruh batu. Riang merasa hilang sandaran. Ia membutuhkan sesuatu.

Ya Tuhan lindungilah Milea… Ya Tuhan….Riang bersujud.

Ya Tuhan berilah aku kesempatan menyembahmu…. Berilah keajaiban agar hatiku tidak kotor menafikann-Mu. Ya Tuhan penguasa alam, penguasa amarah dan badai, penguasa kebaikan dan murka, lindungilah Milea dari badaimu.

Riang bersujud. Ia tak mempedulikan bongkahan batu es yang mendarat di punggungnya. Riang terus bersujud di hamparan rumput.

Lelaki tua penjaga warung melihatnya dari kejauhan. Ia mengambil payung lalu belari dan menyeret Riang. “Setelah hujan es reda, Abah bantu mencari kawanmu Nak!” lelaki tua itu membujuknya.

Tetapi, kapan hujan es ini akan berhenti? Setengah jam berlalu. Empat puluh lima menit…satu jam… satu setengah jam… dua jam…. Hujan tak juga reda.

Riang harus berusaha. Tak ada doa yang tak diiringi kerja. Ia harus berusaha. Pak tua meminjaminya ponco, senter dan payungnya. Riang menerobos hujan, namun baru beberapa langkah ia berjalan Riang mendengar sayup teriakan.

“Tunggu Nak, aku ikut!”
Riang berbalik arah, mengambil bilah kayu bernomor yang biasa digunakan Pak Tuan untuk menutup warung. Pak tua mencegah. “Tak perlu, teu nanaon, tidak apa-apa.” katanya. “Kudu buburu, harus cepat-cepat.” Ucapan pak tua mengisyaratkan keyakinan yang kuat. “Lekas pergi Nak! Adikmu tak bisa menunggu!”

Riang berbohong saat Pak Tua menanyakan status Milea. Mereka kemudian berjalan menembus hujan dan angin kencang, mengelilingi pagar penangkaran.

Setengah jam kemudian hujan es hilang berganti hujan yang mencopot tulang. Mereka memasuki rawa. Kaki kedua orang itu semakin sulit digerakan. Setiap melangkah setiap itu pula Riang memforsir tenaga keluarkan kakinya dari benaman Lumpur. Tak berapa lama kemudian sandal Riang putus, amblas ke dalam lumpur. Bersusah payah mereka keluar dari rawa. Hujan dan lumpur tak lagi menyulitkan namun berjalan di dalam hutan bukannya tanpa halangan. Jalan setapak berubah menjadi jalan air. Beberapa kali kaki mereka tergelincir.

Di dalam hutan Riang mulai merasa lelah. Sudah tiga jam berlalu. Langkah adalah doa yang berjalan. Riang tak mau kalah. Tetapi, tanda-tanda tak juga tampak. Pak tua memandangnya. Riang merasa kasihan. Ia mengerti. Mereka membutuhkan tambahan bantuan. Kedua orang itu pun beranjak menuruni bukit.

Saat-saat menuju pos jagawana itu, hujan menembus dedaunan. Riang tak bisa membayangkan bagaimana hujan berlangsung di tempat terbuka. Hutan lebat ini tak mampu meredam serbuan air. Malam kemudian datang dan menjadikan jarak pandang berkurang, sementara senter yang mereka pegang tidak bisa menembus jarak lebih dari dua meter. Di luar itu kegelapan paripurna meraja. Adakah kegelapan merupakan perlambang? Riang mengingat perjalanannya di Kopeng saat menemukan kertas koran yang memberitakan kematian Pepei. Kejadian buruk itu menjadikan pikiran Riang tak karuan. Apakah ini pertanda? Riang mengusir jauh-jauh pikiran negative dalam benaknya. Ia membuang pikiran bangsat itu menuju pinggiran jalan setapak, membuangnya ke dalam semak-semak. Riang terus berjalan dan …….. bruk!............... Pak tua ambruk. Sebuah benda mengait kedua kakinya. Riang mengarahkan senter ke bawah, dan ia pun … berteriak.

“Pak … adikku…!”

Posisi tubuh Milea telungkup. Riang mengambil tubuh itu, dam membersihkan wajahnya.

“Milea…..?” Riang berbisik.

Detak jantung Milea melemah. Badannya membiru.

Riang mengenali gejala itu. Milea terkena hipotermia.

Keadaan darurat tak membutuhkan banyak tanya. Pak tua mengerti. Ia segera membantu menempatkan Milea ke punggung Riang. Pak tua melangkah cepat, tetapi Riang tak bisa mengikuti. Jalan setapak terlalu licin. Mereka melewati jembatan. Air kali terlihat mengepul. Melewati jembatan Riang memantapkan langkahnya. Ia berlari melawan waktu. Seratus meter dari jembatan sebuah telaga tampak. Bau belerang tercium di sela hujan.

“Telaga air panas?!” Riang berteriak.

Pak tua mengangguk.

“Ada pemandiaannya?”

Hujan masih mengucur deras. Riang mengulangi beberapa kali pertanyaannya. Pak Tua mengerti. Ia berlari menuju sebuah bangunan. Pintu pemandian terkunci. Kaki Pak Tua melayang. Pintu pun dobrak berderak. Di dalam pemandian tak ada penerangan. Cahaya senter menyoroti bak yang kusam dan dinding yang berwarna kuning. Riang langsung menceburkan diri. Ia memangku badan Milea, dan memeluknya erat.

Riang meminta tolong pada Pak Tua untuk melanjutkan perjalanan ke pos jawagana. Mereka membutuhkan bantuan. Riang kembali berpikir cepat. Riang memberi instruksi “Di tas saya ada tenda! Tolong Bapak dirikan tenda itu di dalam warung dan sediakan minuman serta makanan hangat! Jangan lupa ambil kantung plastik besar yang bisa Bapak bawa! Air di sini harus dimasukan ke dalam tenda!” katanya.

Pak Tua tak tersinggung, “Itu saja?” jawaban yang keluar dari mulutnya.

“Ya!”

Ketika Pak Tua pergi, Riang menyenteri wajah Milea, kemudian menyandarkan tubuhnya pada dinding bak. Riang meletakan wajah Milea di dadanya. Tanah yang melekat di dahi Milea, ia seka. Pipi yang semula membiru, mulai terlihat merah. Rambut Milea yang panjang mengambang di petmukaan air. Ya Tuhan! Riang benar-benar takut kehilangannya. Ia menciumi pipi Milea. Mencium hidungnya, mata, bibirnya. Riang takut kehilangan Milea.

Ya Tuhan, dengan nyala-Mu, hangatkanlah tubuh Milea.

Ya Tuhan. Hanya pada-Mu aku menggantungkan harapan.

Ya Tuhan buatlah Milea siuman.

Bibir Milea yang semula mengatup terbuka. Merekah. Indah.

“Kaa… ka Pepei…” Milea mendesah.

Berbahagialah Pepei yang sedemikian dirindukan, yang sedemikian diharapkan. Berbahagiah Pepei.

Milea terus menerus mengerang.

HUJAN PERLAHAN REDA. Dari kejauhan kecipak langkah Pak Tua terdengar. Tak ada langkah lain yang menyertainya.

“Tak ada jagawana, Nak! Mereka pergi!” jelas Pak tua terengah.

Di saat-saat genting Riang dilatih agar tak merasa butuh terhadap penyesalan. Ia melakukan apa yang bisa ia lakukan.

“Kantung plastiknya ada Pak?” tanyanya.

“Hanya ada tiga. Hendak diapakan, Nak!?”

“Masukkan air panas kedalamnya,” Riang menunjuk pancuran.

Derasnya aliran air membuat ketiga kantung plastik besar itu cepat terisi. Pak tua mengikat dan membawa satu kantung menuju warung, sementara Riang keluar dari bak, dan segera memfokuskan diri pada nafas serta langkah kakinya. Riang berlari.

Memasuki warung Riang merasa sesak, “Di mana tendanya?” tanya Riang.

“Ada di kamar.”

Tenda masih teronggok di lantai. Pak tua meminta maaf. Ia tidak mengerti cara mendirikannya.

Luna lantas dibaringkan di atas papan. Riang segera membuka ikatan dan menepiskan rangka tenda. Dengan satu gerakan, tenda tiba-tiba berdiri membentuk doom secara ajaib, membuat Pak Tua takjub. Riang langsung menghamparkan kantung tidur di dalamnya. Ia meminta Pak Tua untuk memasukan plastik berisi air panas ke dalam tenda.

Riang membopong Milea. Saat membuka bajunya, Pak tua paham apa yang dikerjakan Riang. Ia mundur, mengambil kantung air yang tersisa.

Riang menutup tenda. Nadinya berdenyar hebat. Desing jantungnya melebihi rentetan AK-47 senjata khas pejuang Afghanistan. Ia lantas mengangkat kaus Milea yang basah, menahan nafas.

Ya Tuhan jangan Kau biarkan kejahatan menguasai diriku. Riang membuka kaus dalam Milea. Riang silap. Untuk pertama kalinya ia melihat dada wanita. Pikiran-pikiran aneh melintas.

Tuhan, ampuni diriku. Jauhkanlah kejahatan. Jauhkanlah.

Riang mempercepat apa yang memang harus dilakukan. Ia tak mau menghayati tubuh Milea. Ia menolak dan menganggapnya menggarap patung.

Milea adalah patung. Patung adalah Milea. Riang utarakan mantra.

Saat membuka kancing celana jeans Milea, Riang mengalihkan pandangannya. Ia mempercepat apa yang ia lakukan lalu menjalani tahapan pertolongan selanjutnya: memasukan Milea ke dalam kantung tidur. Riang merebahkan diri di samping Milea sembari merangkul pinggangnya. Dua tubuh merapat. Rekat.

Tak berapa lama, satu kantung plastik berisi air panas lainnya sampai. Saat Pak Tua hendak kembali berlari, Riang tiba-tiba mengingat mobil Milea. Ia berteriak. “Pak… tolong carikan kunci mobil di celana jeans adik saya.”

Pak Tua tak menemukan kunci yang diminta. Ia kembali mengambil plastik berisi air panas yang terakhir. Setelah menyelesaikan apa yang Riang pinta, Pak Tua keluar dari warungnya. Ia menanti mobil untuk memberi pertolongan. Hingga tengah malam tiba tak ada satupun derum mobil yang terdengar sampai di warung.

Hanya ada dua orang di warung malam itu. Riang menyaksikan bagaimana Milea masih memanggil Pepei dalam igauannya. Setiap kali Milea mengigau saat itu pula Riang mendekapnya. Igauan Milea baru hilang ketika subuh datang.

Jantung Milea mulai berdetak seperti biasa. Fase kritis mereka lewati. Riang merasa lega. Ia pun mengantuk, tertidur dan bermimpi: tubuhnya terperosok ke dalam jurang tak berdasar. Perasaan tegang mengganggunya. Riang terbangun, dan terkejut merasakan geliat yang luar biasa di tubuhnya.

Milea siuman. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan siapa yang tengah menghimpit tubuhnya. Tangan Riang lantas menyusup. Ia meraba-raba kantung tidur, lalu membuka risletingnya pada bagian dalamnya. Milea sadar apa yang terjadi. Ia tiba-tiba berteriak tertahan. Milea bangkit dan berbalik. Ia tak sadar jika tubuhnya polos, tak terhalang oleh sehelai benang pun.

Wajah Milea terlihat pias menyaksikan tubuh telanjang di hadapannya. Riang malu! Ia segera menutup tubuhnya menggunakan kantung tidur..

Milea tak percaya. Ia marah dan hempasan itu pun datang.

Plak!!!

Milea menutup wajahnya..

“Aku tak menyangka!” Ia terisak.

Riang mengambil celananya. Ia mengambil tangan Milea.

Milea menepiskan tangan Riang, kasar, “Mana pakaianku!?” teriaknya histeris.

Riang menunjuk.

Milea mengenakan baju dan celana yang basah.

“Masih basah. Nanti Kau sakit,” Riang membujuk. “Gunakan saja baju dan celanaku,” katanya.

Milea hilang keseimbangan. “K-K-Kau…Kau…”Emosinya tertahan.

“Aku menemukanmu tak sadarkan,” jelas Riang.

“Kau memanfaatkan keadaan!!!” suara Milea terdengar serak.

“Dengar dulu! Tolong Milea… tolong dengar penjelasanku!”

“Tidak! Tidak ada yang perlu di jelaskan!” Amarahnya di telan tangisan. Dengan tubuh yang lemas, Milea berjalan ke pintu …dan

Bruk!!!

“Milea kau salah sangka.” Lirih Riang.

Milea tak mendengar penjelasan Riang. Ia pingsan.

Riang kembali membaringkan Milea di dalam tenda. Kening wanita itu panas. Milea panas. Ia harus dilarikan ke rumah sakit. Riang segera keluar dari warung. Ia tak menemukan Pak Tua. Riang kembali masuk ke dalam warung, menuju dapur, mengambil dua bungkus mie, menggoreng dua buah telur untuk sarapan.

Hingga makanan itu dingin Milea tak menjamahnya. Wanita itu masih tak sadarkan diri.
Situasi ini berbahaya. Riang lantas meninggalkan Milea, mencari kunci ke dalam hutan, menuju tempat Milea rubuh. Ia tak menemukan. Kunci teronggok di dalam bak pemandian air panas. Riang menemukannya tak berapa lama kemudian, lalu berlari kencang mecari Pak Tua hingga pos jagawana.

Riang menemukan Pak Tua terkantuk-kantuk di pinggir jalan, tak jauh dari pos jagawana. “Bapak bisa mengendarai mobil?” tanya Riang.

“Bisa juga motor, Nak!”

“Mana motornya?”

“Tidak punya, Nak.” Pak Tua tak hendak melucu. Ia hanya menjawab.

Hingga pagi ini ia belum menemukan satu mobil pun yang melintas sejak kemarin malam. “Sebentar lagi penjaga pos datang,” ujar Pak Tua berusaha menenangkan Riang.

Ada kepastian yang membuat hati Riang tenang. Riang berbalik ke warung. Dalam perjalanan itu ia mendengar bunyi motor trail yang ia kenal. Riang bersyukur. Waluh datang pada saat yang diperlukan.

JAM SEMBILAN SIANG ITU, Milea sudah mendapat perawatan. Waluh kembali ke Ranca Upas mengambil motornya yang tertinggal. Riang bersikeras untuk mengucapkan terima kasih pada Pak Tua, tetapi Waluh menolaknya, “Biar kusampaikan saja!” ujarnya tegas.

Waluh kemudian mengingatkan Riang pada situasi tak menentu yang ia ceritakan dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia bukan saja menyarankan, tetapi memerintahkan Riang untuk menjauhi pondokkan.

“Pergilah ke rumah kayu Fidel,” katanya. “Istirahatlah dulu! Siang ini, aku, Bentar dan Eva menyusul.”

Riang tiba-tiba teringat Fidel.

Bukankah Fidel berjanji akan menjemputnya di Ranca Upas?

0 komentar:

be responsible with your comment