Mobilisasi (Bab 38)

Posted: Senin, 14 September 2009 by Divan Semesta in
0

Mundur ke belakang. Keluarga Sekarmadji merupakan salah satu warga desa yang dirugikan semenjak pendirian hatchery (lahan pembibitan udang) di Cianjur Selatan, sejak kuwu Daryo mengumumkan “Lahan ini bukan punya kita! Sudah ada kuitansinya! Punya orang luar!

Warga desa mengerti fungsi kuitansi tetapi pada siapa orang luar membeli tanah yang sudah mereka garap sejak tahun 1970-an.

Tak pernah ada yang memiliki tanah di pinggiran samudera Hindia itu. Mungkin VOC pernah mengklaim kepemilikannya, tapi VOC sudah lama hengkang, bahkan sejak kedudukannya di ganti Belanda yang kemudian pergi diusir Jepang, lalu Jepang terkena karma diusir sekutu, kemudian warga sekitar dan solidaritas kemanusiaan antar ummat manusia berjuang menggunakan senjata dan --melalui-- perundingan internasional demi mengusir agresi yang dilakukan tentara dari negeri Holand.

Perjalanan sejarah desa Cibenda itulah yang menjelaskan mengapa karuhun-karuhun desa yang usianya sudah melebihi delapan puluhan bersyahadat bahwa tidak ada tanah untuk hatchery. Mereka bersaksi bahwa tanah di Cibenda adalah tanah tak bertuan salian tanah milik Allah, kecuali tanah milik Allah!

Tanah kosong itu memang miliki Allah tetapi beberapa tahun setelah merdeka tanah itu menjadi milik negara yang kemudian oleh penduduk desa ditanami pandan laut: untuk disamak, ditanami padi: tentu saja untuk di makan, di tanami ketela dan ribuan pohon penghasil santan untuk dijadikan sebagai mata pencaharian..

Lalu, setelah berpuluh-puluh tahun penduduk desa melakukan usaha mandiri atas tanah milik negara –yang tidak diurus negara itu—tiba-tiba tanah-tanah di patok. Tanah itu bukan lagi dimiliki negara. Tanah menjadi milik swasta. Menjadi milik perorangan melalui kongkalingkong badan pertanahan tanpa bincang-bincan persetujuan dengan penduduk desa.

Penduduk desa tidak tahu, sebenarnya status tanah di Cibenda itu telah diselesaikan di kota hanya dalam hitungan hari, di saat yang bersamaan ketika mereka melihat sebuah papan pengumuman: tanah sengketa berdiri di tengah-tengah lahan pencaharian mereka. Itulah mengapa, ketika kuwu Daryo dan aparat desa yang juga ditunjuk menjadi fasilitator ganti rugi hektaran tanah mengizinkan truk-truk tronton datang, penduduk desa terperangah.

Truk yang bagi warga desa besarnya termasuk aujubillah itu membawa kayu, potongan besi penyangga dan semen. Seorang supir truk yang bersahabat dengan penduduk desa memberi bocoran, tempat itu akan dibangun apa. “Pabrik pengalenga udang!” katanya, tetapi buruh lain yang wajahnya sukar untuk dipercaya mengatakan, untuk pabrik terasi juga.

Ketika cor-coran beton ditumpahkan, warga Cibenda bertambah bingung “Yang di sana untuk untuk resort!” jelas Kuwu. “Itu bagus, bahkan nanti di daerah kita akan ada bianglala seperti di Ancol!” kata Kuwu berbelit-belit.

Mau bianglala atau gula biang, tak satupun warga desa yang peduli. Mereka tak memerlukan apa pun selain tanah yang sudah mereka garap turun temurun selama berpuluh tahun itu menjadi tempat garapan seperti semula, atau kalaupun tidak, penduduk desa Cibenda mendapatkan hak untuk diikutsertakan dalam perundingan nasib tanah di wilayah mereka.

Perundingan tak pernah dilakukan. Hal inilah yang membuat tensi darah penduduk desa naik.

“Aing geus teu tahan! saya sudah tidak tahan! Kumaha aing bisa hirup mun kieu! Bagaimana saya mau hidup kalau begini! Paeh geus aya nu nentukeun, mati sudah ada yang menentukan” cerocos Mang Uple siap berperang.

Keesokan harinya, Mang Uple yang sebelumnya tak begitu dianggap warga, memasuki areal pembangunan yang konon hendak dijadikan pabrik pengalengan. Golok di tangan kanannya, menjadikan Mang Uple yang bertubuh kecil menjadi besar menakutkan.

Mang Uple mengetahui, Mang Uple sadar jika hanya dengan golok di tangannya, pembangunan pabrik pengalengan tidak akan berhenti. Golok yang menghantam pondasi beton hingga beberapa kali menjadikan goloknya roheng dan tumpul, namun Mang Uple tidak kehilangan akal. Di dekat generator ia menancapkan goloknya pada batang pisang.

Mata Mang Uple menyala-nyala. Jerigen solar ia lemparkan! “Kaluar maraneh! Kaluar! Keluar semua! Keluar semua!” ia mengusir buruh bangunan.

Solar menempel di bedeng. Golok di cabut. Korek api menyala. Bedeng terbakar. Buruh-buruh bangunan yang semula hanya memperhatikan mendadak marah. Mereka kemudian berlari mengejar Mang Uple hingga sampai batas pagar pembangunan.

Mang Uple berhasil meloloskan diri. Tanggung jawab Mang Uple saat ia sendiri menyerahkan diri ke kator polisi, menaikan posisinya di hadapan warga desa dan juga menaikan daya tawar warga dihadapan pengelola hatchery. Dan karena Mang Uple pula, kasus kasus penyerobotan tanah di desa Cibenda lolos dan di dengar hingga kemana-mana meski media masa ragu-ragu memberitahukannya. Di Cibenda, Mang Uple kini menjadi ikon yang melebihi Ernesto Che Guvara, karena ikon ini terdiri dari darah dan daging yang hidup di tengah-tengah warga desa.

Suasana panas yang mengasyikan itulah yang mengundang beberapa orang untuk mendatangi desa yang juga merupakan tempat kelahiran Sekarmadji. Kasus yang terjadi di desa Cibenda sebenarnya hanya satu kasus dari kasus lainnya yang bertebaran namun dipencilkan. Waluh segera menggali informasi di Cibenda kemudian bersama beberapa orang lainnya mengorganisasikan kasus-kasus di desa-desa lainnya, termasuk yang terjadi di wilayah Punclut.

Membela bagi orang semisal Waluh dan yang lainnya memang merupakan kengerian yang mengasyikan. Kegemaran mendekati bahaya memang ‘penyakit kejiwaan’, namun tak apalah jika penyakit kejiwaan tersebut di salurkan pada hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan.

“Jangan sinis begitu!” kata seorang pejabat. ”Pemanfaatan lahan tidur di Punclut bukan anti kemanusiaan!” katanya.

”Benar,” Waluh memotong, ”pemanfaatan itu tidak anti kemanusiaan, tetapi jika pemanfaatannya melibatkan warga yang sudah menggarap turun temurun di sana,” ujar Waluh tenang.

”Pengelolaan air terjun oleh pihak swasta akan menghasilkan apa yang kita kenal sebagai trickle down effect!” pejabat mantan lulusan Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia, mengaum menggunakan salah satu komponen di dalam teori ekonomi pasar bebas. “Lihatlah villa-villa yang bertebaran di sekitar air terjun,” kata dia. ”Penduduk mendapat rezeki dari kerja menjaga villa-villa di sana, pikirlah yang sehat, belum lagi ...”

”Ya!” Fidel memotong ucapan si pejabat dengan sinis. ”Trickle down effect adalah upah yang didapat penjaga villa di kawasan Punclut dari kapitalis pemilik tambang! Ya! Trickle down effect adalah secuil upah yang di dapat penduduk setempat, usai memperbaiki pipa sumber air, usai pemodal di Jakarta memprivatisasi kepemilikan sumber air Punclut demi pendirian pabrik air mineral, yang akan mematikan akses penduduk untuk mengkonsumsi air langsung dari mata airnya! Ya! Trickle down effect adalah upah minimum regional yang didapat jutaan buruh setelah bekerja habis-habisan, sementara dari memerkosa sumber daya alam pemilik, pejabat dan kroninya terbiasa menghabiskan beratus kali lipat upah minimum regional per/bulan hanya untuk membeli Virtue! Ya! Trickle down effect merupakan alat pembenaran keserakahan yang dilegalisasikan oleh negara! Trickle down effect adalah pembayaran atas tindakan amoral terhadap minyak, lng, batubara, air terjun, mata air, dan segala sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan jika trickle down effect dianggap sebagai upah, maka penjaga, buruh bangunan, buruh tani adalah gadis yang dilacurkan, sementara kaum kapitalis dan sistem yang menaungi sistem tersebut adalah mucikarinya!”

Di mana-mana aktivis bertaruh di meja judi. Nyawa ditaruhkan dengan pembebasan tanah ala Mao di iringi lagu this song of freedom Redemption Song dan untuk pertaruhan ini, Riang tidak pernah dilibatkan. Anak gunung Merbabu itu benar-benar dilokalisir dari koordinasi yang sejak kedatangan aktivis-aktivis straight edge, skin head, kolektif anarki, mahasiswa yang mengadvokasi tanah warga, dan beberapa kolektif lainnya yang tergabung dalam gerakan bawah tanah Bandung di rumah kayu Fidel.

Riang mungkin menganggap dianaktirikan, tetapi Fidel dan kawan-kawannya tidak menganggap demikian. Semua ada perencanaannya. Dan jika saat itu tiba, seseorang bahkan tak mungkin membendung kecenderungannya untuk bersikap heroik atas tuntutan yang dilandasi pertanggungjawaban seseorang pada Pemilik tongkat bisbol hari pembalasan.

Riang teringat betul apa yang pernah dikatakan Fidel padanya, bahwa “Perenungan teologis yang tidak membawa pada pergerakan akan membuat seseorang lumpuh!” dam dalam perjalanan mengantar Milea menuju rumah sakit itu, Riang cemburu atas aksi kedua yang dilakukan Fidel dan kawan-kawannya di Punclut. Aksi mereka merupakan pengejawantahan direct action yang pernah Fidel ucapkan.

Cerita Waluh mengenai aksi yang tidak Riang ikuti justru tidak menjadikan Riang untuk berhati-hati. Semangatnya justru malah menderu-deru. Ia ingin berada di tengah-tengah kaum yang mengidentifikasi dirinya dengan pembangkangan massal terhadap WTO pada tahun 1992 di Seatle. Ia ingin melawan trinitas WTO, IMF, World Bank yang ia belum mengetahui sepenuhnya apa. Ia ingin bersama Fidel yang bergerak karena keyakinannya teologisnya.. Ia ingin m\empraktikkan direct action: melakukan aneka pencurian yang sebenarnya merupakan tuntutan keadilan, menghancurkan bangunan dan instalasi yang dipersiapkan pengembang mata air Punclut dengan kunci Inggris, pipa besi yang ditemukan di lokasi keributan, atau melemparkan molotov setelah memastikan buruh pembangunan aman dikondisikan.

Riang mengingat benar apa yang Fidel ucapkan ketika membicarakan direct action dihadapan anak-anak muda yang setiap minggunya berkumpul di pondokan.
“Jika kalian sudah melampirkan berkali-kali surat pemberitahuan tetapi birokrasi tidak meresponnya, maka kalian berhak mengobrak-abrik lapak minuman keras, pelacuran dan judi yang berlangsung di hadapan kalian! Jika pemerintah hanya memberikan vonis empat tahun bagi koruptor yang memakan uang masyarakat ratusan, milyaran bahkan trilyunan rupiah maka kalian berhak menusuknya di pengadilan lalu menyeret koruptor itu untuk dibunuh di hadapan pengadilan rakyat! Jika kalian merasa kecamatan telah berlaku tidak adil meminta administrasi KTP hingga ratusan ribu rupiah, maka kalian berhak mencuri uang dengan jumlah yang sama di kantor kecamatan itu! Jika majikan kalian tidak mau membayar gaji yang telah menjadi hakmu, maka curi computer yang ada di kantormu!

“Apa yang kita bicarakan ini mengerikan,” seorang pemuda baik hati mengungkapkan. “Jangan-jangan nanti kalian mensahkan pemboman terhadap orang sipil tak berdosa untuk meraih tujuan!?”

“Tidak!” jawab Fidel. “Jika hal itu dilakukan maka itu merupakan tindakan yang salah kaprah! Keyakinanku menentang tegas hal itu! Tak satu agama pun yang membenarkan tindakan barbarian tersebut!”

“Tapi itu tindakan melawan hukum. Itu tindakan anarkis!”

“Aku hanya akan melawan hukum yang sudah terbeli! Ini bukan tindak anarkis dalam pengertian kamus. Direct action adalah sebuah kontrol individu yang hanya segelintir orang yang bisa melakukannya. Direct action buka tindakan chaotic! Direct action bukan tindakan mensahkan bangsat, keculasan, kejahilan orang-orang yang dijiwanya hanya terdapat keinginan mau menang sendiri, merasa benar di kepala sendiri! Ini adalah tindakan mata di balas mata yang tidak popular di kalangan kalangan Ghandiisme, atau pasifisme! Ini hanya tindakan pengambilan hak yang sudah dicuri individu, komunitas, bahkan penindasan yang dilakukan oleh aparatur negara! ”

“Tapi cara damai harus dilakukan!”

“Sudah kami lakukan!” tegas Fidel setelah mengutip kasus Punclut, Cibenda Cianjur Selatan, Ciamis dan lainnya. “Kami sudah melakukan cara yang disebut baik-baik itu! Media cetak sudah kami bombardir dengan surat pembaca! Kami sudah melayangkan surat pemberitahuan ke berbagai instansi untuk menyelesaikan penembakkan dua orang warga Punclut, intimidasi dan kebangsatan lain yang terjadi di sana! Tapi tidak ada tindakan! Kami sudah bosan! Kami tahu jika tindakan ini tidak mutlak membuat bangsat sadar, tapi direct action akan memberi efek jera, karena tindakan ini bukanlah cara pertama dan satu-satunya melainkan sebuah alternative cara yang bisa dilancarkan apabila tindakan pesuasif dipentalkan oleh kebebalan! Kami bukan pengikut Ghandiisme, kami bukan Pasifis!” dan jawaban yang disampaikan Fidel menjadi pembeda antara direct action dengan aksi teroris. Direct action hanyalah tindakan pengambilan hak ketika birokrasi, hukum dan negara menjelma telah menjadi zombie.

Riang membayangkan bagaimana Fidel mengancam ruang dewan ketika hal-hal yang baik dalam pengertian formal sudah tidak digubris. Riang membayangkan bagaimana Fidel dan kawan-kawannya mengancam dewan dengan konsep direct action, mengancam dewan dengan tindakan yang sebenarnya tak jauh dengan budaya vendetta dan ia, si anak gunung Merbabu itu menyadari betapa mengerikannya jika ia tidak melibatkan diri karena ia yakin pada suatu hari akan berhadapan dengan dengan Pemilik tongkat bisbol.

Riang kini sadar, ia tumbuh di dalam lingkungan yang didirikan bukan untuk bermain-main. Cerita Waluh terhadap peristiwa penghancuran penyerobotan tanah untuk instalasi air menyadarkannya bahwa Fidel tidak hanya membicarakan apa yang diyakininya, tetapi melaksanakannya dengan perencanaan yang matang.


KISAH PENGAMBILALIHAN hak atas air dan tanah untuk kepentingan warga Punclut yang diceritakan Waluh dalam perjalanan menuju rumah sakit pun tidak bisa digolongkan ke dalam sebuah tindakan sporadis minim strategi. Pada saat peristiwa Punclut terjadi, petani penggarap, warga desa beberapa daerah lain yang lahannya diserobot menggunakan puluhan truk datang berbondong.

Aparat keamanan yang dipusatkan di gedung dewan tak menyadari jika Fidel dan kawan-kawannya bergerak menjauhi pusat keramaian. Mereka menyerbu Punclut dan berhasil melakukan tindakan keras tanpa ceceran darah di tanah.

Fidel dan kawan-kawannya membumihancurkan super struktur pembuatan instalasi air. Inilah tindakan balasan setelah penembakkan dilancaran pihak pengelola dalam aksi Punclut yang pertama dan inilah yang membuat Riang malah makin tergila-gila.

Riang terlalu platonis. Riang ingin diceburkan ke dalam dunia yang berwarna itu. Ia tak sabar, namun saat ini ia masih membutuhkan rehat. Bagaimana pun juga, mengingat-ingat tamparan Milea membuat metal Riang lemah. Tamparan itu benar-benar memarut fisiknya.

0 komentar:

be responsible with your comment