Meteor (Bab 30)

Posted: Selasa, 18 Agustus 2009 by Divan Semesta in
0


Fidel mengetahui bagaima posisi Taryan di mata Riang. Ia mengetahui bagaimana kekosongan yang dialami, ketika seseorang yang lama mengisi hidup kita tiba-tiba hilang. Ada kekosongan yang membuat kenyataan seperti soda pada sebuah kaleng minuman. Fidel memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk membantu Riang --secara alami-- cepat keluar dari situasi yang membuatnya selambat moluska.

Saat membaca buku catatan Pepei, Fidel melihat Riang tengah memperhatikan ikan di tepian kolam. Fidel memanggilnya. “Ada yang ingin kuberitahu,” ujar Fidel usai memberi batasan pada buku yang baru saja ia tutup.

Fidel keluar dari rumah dan mengambil banyak langkah. Riang mengikutinya. Di dekat bukit suara jangkrik makin berisik. Krik krik krik! Membuat kuping terasa berdenyit. Fidel masuk ke dalam hutan. Tak begitu jauh dari batas hutan dan lahan pertanian, ia berhenti di depan sebatang pohon yang dikelilingi semak-semak. Fidel menerobos. Riang mengikuti jejaknya di atas semak lebat yang terkuak. Gundukan semak-semak hampir kembali pada posisinya saat ketika Fidel jongkok, meraba-raba sesuatu di kakinya. “Mundur,” Fidel memberi perintah. Suara penghalang terdengar. Ada sesuatu yang terlepas. Sebuah pintu kecil besi yang menempel di tanah terbuka.

Riang tegang Tempat apa ini. Fidel menuruni tangga. Riang mengintip di luar.
Fidel memberi isyarat pada Riang untuk terus mengikutinya. “Tutup pintunya!” Riang mengambil gagang pintu, menutup pintu karatan itu dari tangga yang kemudian ia jejak. Ia terus turun ke bawah, masuk ke tanah.

Bertemu lorong yang datar Riang melihat sebuah ruangan kecil yang nyaman. Udara di ruangan itu terasa dingin tetapi tidak terasa lembab. Sebuah lorong rahasia –lainnya-- tempat angin bertukar sapa sebelum keluar masuk membersihkan udara, membuat tempat itu sehat. Di sudut ruangan sebuah meja tertancap di lantai tanah. Tangga berulir yang terbuat batu bata tak disemen menjadi penghubung ruang yang ada di atas. Sebuah ranjang besi, termos dan gelas kosong tertata rapi. Rak-rak buku berjejer melebihi koleksi yang pernah Riang lihat di tempat Pepei.

“Ini, untuk membuka pintu besi yang tadi kita lewati.” Fidel memberikan duplikat kunci pada Riang yang terperangah. “dan ini,” lanut Fidel, “untuk jalan masuk yang satunya.” Fidel melemparkan satu duplikat lagi. Riang menangkapnya.

“Habiskanlah waktumu di sini. Tapi jangan ingkar. Kau tidak boleh memberitahu siapa pun mengenai ruangan ini.”

Fidel membuka pintu diatas kepalanya, keluar dari ruang bawah tanah. Naiki tangga yang sama, Riang masih mendengar langkah orang di atasnya, namun setelah kakinya menjejak lantai atas, ia tak mendengar langkahnya bergema, menandakan ada ruangan kosong di bawahnya. Riang mendapati dinding dapur mengepung dirinya. Riang berdecak. Riang kembali ke bawa, matanya terpaku pada rak-rak yang terkesan tua namun bersih, tidak tampak kusam. Di dalam ruangan bawah tanah ini, Riang menemukan kesenangan mengakses ilmu pengetahuan yang dipenjarakan ke dalam onggokan kertas. Riang menjelajahi rawa, ngarai, gurun pasir, pasir hidup, atmosphere, ia meniti jalan menuju mercusuar pemikiran. Ia melewati batas-batas negeri tanpa harus membeli visa dan paspor, masuk ke dalam situasi genting dunia, mengintip tragedi, menyaksikan ironi, beringsut menuju pemakaman cerdik cendikia dan mempelajari satire dunia. Ia merasa lingkungannya yang dulu mengecil. Semakin lama ia berada di ruangan ini, ia semakin merasa mungil melebihi kecilnya proton dan neutron. Riang menganggap dirinya disterilisasi, di bakar api spirtus yang menjadikan kesadarannya gerah berkobar-kobar.

RUMAH KAYU FIDEL berada di tengah lahan di antara puncak bukit berbentuk seperti laguna. Dengan halaman depan yang menantang matahari, rumahnya disinari cahaya matahari sampai jam 10.00 pagi. Setelahnya, tak beda dengan cuaca di Thekelan. Tempat itu menjadi dingin. Jika sore datang hampir semua benda-benda di sana jadi berbayang.

Fidel mebersihkan tangan, dan kakinya di aliran air yang mengucur deras ke dalam kolam. Ia mengelap muka dengan handuk putih. Riang menunggunya, melihat rumah-rumah dan jalan tol yang memanjang seperti sungai. Pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap setiap hari membuat nafas orang-orang menjadi sesak.

“Apa yang Kau pikirkan?” Fidel datang setelah menyelesaikan ibadahnya.

Riang menanti Fidel untuk membicarakan ruang bawah tanah yang beberapa jam lalu ia masuki. Riang memberi Fidel air putih yang hangat, menanti. Ia tak mendengar penjelasan apa pun. Fidel tidak menganggap apa yang ia tunjukkan sebagai suatu keanehan. Hingga malam tiba Riang merasa Fidel tak akan membicarakan hal itu. Ia pun berusaha menganggap ruang bawah tanah sebagai sesuatu yang biasa.

Malam ini Riang merasa tubuhnya letih, usai mengolah lahan pertanian, tetapi ia masih menyempatkan diri mengambil setumpuk buku dari ruang bawah tanah. Lelah tidak membuat keingintahuan Riang lenyap. Ia menekuni lembaran demi lembaran ensiklopedia di tangannya. Di sampingnya Fidel diam tak bicara. Ia memandangi tulisan tangan Pepei sahabatnya. Setelah agak lama, ia menutup buku catatan itu. Di samping Fidel terdapat sebuah radio transistor.

“Apa arti Pepei untukmu?” tanyanya tiba-tiba.

Riang memandangi Fidel. “Mas tahu Emha?” Ia melantur. Ia tak mendengar pertanyaan itu. Fidel membiarkan Riang untuk sementara. Ia melantur tanpa dosa.

“Di Yogyakarta kami mencari Emha. Aku meminta tolong mas Pepei membantuku mencarikannya.”

“Emha Ainun Nadjib?”

“Sebenarnya bukan Emha yang itu.” Riang menceritakan kesalah pahaman yang diakibat jawaban ngasal bapaknya. “Emha lain yang mengajari kakekku untuk mengenal lebih dalam tentang Islam.”

“Tapi, akhirnya Kau bertemu Emha?”

Riang tertawa. “Tidak, akhirnya ya hanya numpang tidur di tempat mas Pepei. Mas …” tanya Riang hati-hati seolah di tempat itu ada orang lain selain mereka. ”Aku bertemu orang aneh di sana!”
“Orang aneh?”
“Mas kenal Mahdi?.”
Fidel tak menjawab. Wajah Fidel sedikit berubah. “Apa yang ia katakan?” tanyanya
“Aku diajak Mahdi membunuh Tuhan!” jawab Riang tanpa tendeng aling.

Fidel tersenyum. Ia memainkan tombol on transistor yang dekat dengan tangan kanannya. Sebuah lagu terdengar lamat..

“Aku tak suka Mahdi mendesak-desakku, Mas. Dia seperti orang kerasukan! Mahdi atheis!” ” Riang mengadu.
“Waktu itu ada Pepei di sampingmu?”
“Tidak ada, tapi Mas Pepei mendengar apa yang diucapkan Mahdi. Aneh,” ungkap Riang. “Mas Pepei justru membelaku.”
“Di mana letak keanehan itu?” tanya Fidel.
“Waktu antar aku pulang, Mas Pepei juga begitu.”
“Begitu bagaimana?.”
“Ia tak percaya Tuhan. Dia atheis,”
“Anehnya di mana?”
“Kenapa dia malah membelaku?” “Bukannya membela Mahdi maksudmu?” tanya Fidel

Riang memberi isyarat setuju. Nafas Fidel lembab. “Ada konsep keadilan di kepalanya … Pepei fair.” Jawab Fidel. “Ia mempercayai manusia tidak bisa dipaksa untuk mengambil sebuah keyakinan. Keyakinan adalah kesadaran, bukan proses pemerkosaan, bukan pengagahan kesadaran.” Fidel menghirup air hangat di tangannya. “Pepei atheis yang shalih … atheis yang santun,” sahutnya.

“Mereka sama-sama tak percaya Tuhan, mengapa mereka saling berseteru?!” tanya Riang.

“Dia …” nafas Fidel tak berarturan, tak beritme. Ia merindukan sahabatnya. “Pepei, satu diantara lelaki yang paling fair yang pernah kutemui. Ia akan mengatakan benar seandainya benar. Ia akan mengungkapkan salah seandainya salah. Ia membela siapa saja tanpa memperdulikan keyakinan seseorang itu apa. Ia menganggap apa yang Mahdi lakukan bukan saja keliru tetapi salah”

“Mengapa Mahdi harus membenci Mas Pepei separah itu?”

Fidel berusaha berkelit. “Tak baik membicarakan orang,” katanya, namun kemudian ia berpikir, “tapi, okelah, ... maaf,” Fidel menimbang, “Mahdi itu salah didik. Pikirannya yang sudah terbuka ia hamba sahayakan pada mentornya yang batu. Atheis kepala batu merusak Mahdi, menghilangkan kemanusiaannya. Mereka memecah belah hubungan persahabatan antara Mahdi dengan Pepei. Mereka menanamkan kebencian pada diri Mahdi untuk membalas pikiran Pepei yang tidak sesuai dengan maksud yang mereka inginkan. Mereka menjadikan Mahdi manusia liar. Mahdi dididik untuk menganggap orang lain sebagai sahayanya. Mahdi dididik beranggapan bebas untuk memperlakukan orang lain di luar keyakinan dia sekehendak hatinya.”

“Mereka siapa?!” tanya Riang sok-sok menyelidiki. “Siapa orang atheis batu yang Mas bilang itu, apa aku mengenalnya?”

“Tak perlu tahu sedetil itu,” senyum Fidel terlihat samar. “Aku malas bergosip,” kata Fidel singkat.

“Yang masih sulit kupahami,” sambung Riang, “mengapa orang yang tak mempercayai Tuhan bisa berseteru, padahal keyakinan mereka sama?”

“Aku sudah menjawabnya, Yang?” Fidel tertawa memikirkan jawaban yang baru saja ia sampaikan kurang tepat sasaran.

“Yang mana…?”

“Sssst…sst…” bisiknya. Nada piano yang dikenal Fidel, tiba-tiba mengalun. “Dengarkan ini.” Transistornya bernyanyi

“Imagine there’s no heaven
It easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today
Imagine theres no country
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion to
Imagine all the people
living life and peace
you may say i am dreamer
but iam not the only one
I hope someday you will join us
And the world will lives as one.

Riang memperhatikan Fidel. Wajahnya menuntut jawaban. Apa maksudnya?

“Jhon Lenon!” pekik Fidel.

“Masa jawabannya Jhon Lenon?”

Tawa Fidel pasang. Usai tawanya surut ia menjelaskan. “Yang menyebabkan manusia saling berseteru bukan hanya karena satu hal. Banyak faktor Yang! Manusia itu bukan benda! Manusia itu memiliki jiwa dan jiwa bisa dipengaruhi beragam hal! Dendam! Kebencian yang mengakar! Kecemburuan! Banyak hal! Atheis dengan atheis bisa saling menghantam! Agnostik dengan agnostik bisa saling berseteru, yang beragama dengan yang beragama bisa saling memutilasi karena persoalan sepele! Manusia itu tidak sepenuhnya berjalan dengan nilai yang diyakini, karena manusia adalah manusia .. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkah lakunya. Sumber kericuhan di dunia ini, bukan serta merta karena agama atau anti agama, tetapi terkadang, karena manusia itu sendiri.”

Perkataan Fidel mengganggu kesimpulan Riang tentang agama. Dulu ia berpikir untuk apa beragama? Ia tak mau agama yang timbulkan kekacauan. Ia tak mau beragama karena beragama pun bisa menimbulkan konflik.

“Apa mas Pepei tidak pernah menimbulkan kericuhan, tidak pernah menjadi penyebab konflik?!”

“Bukannya tidak suka, tetapi sangat jarang,” jawab Fidel. “Konflik hanya jika dibutuhkan. Apa yang terjadi di gerbang kuburan Thekelan itu, perlawanan yang kita lakukan adalah konflik. Di pihak kita, dan pihak siapa pun juga yang masih memiliki akal yang jernih, sesuatu yang gerombolan Kardi lakukan merupakan kesalahan, dan karena Pepei memiliki keberanian, dan karena kamu juga memiliki keberanian, kita melawan mereka. Konflik yang Pepei lakukan tidak muncul karena dengki, iri hati. Bukan karena permasalahan sepele, bukan karena ingin merampas hak, menindas orang lain hingga menimbulkan kekacauan. Pepei jarang menimbulkan kericuhan.”

“Mengapa jarang?” Riang masih tidak puas.

Fidel hanya menjawab. “Karena almarhum adalah manusia!”

“Apa mereka yang berseteru bukan manusia?”

“Manusia! Mereka manusia …” ” untuk pertama kalinya, Riang melihat Fidel menggaruk kepala. “Sulit aku memaparkan…”ujarnya. “Suatu saat, suatu masa, kau akan mengerti, kau akan memahaminya, bahkan hingga tulang ekor.” Fidel tersenyum.

“Tulang ekor?”
“Tulang sulbi maksudnya.”
“Tulang sulbi? Aku tak mengerti.”
“Sudahlah!” Fidel kesal.
“Tak bisa sekarang?”

Fidel Head banger, ekstrim goyangkan kepala.

“Kok bisa-bisanya Mas berteman dengan mas Pepei? Apa karena kalian manusia?”

Fidel tersenyum. “Kami bukan manusia! Kami primata sejenis anoa!”

“Anoa bukan primata Mas.” Riang membantah. “Anoa itu mamalia!”

Fidel menggelengkan kepalanya, Penjelasan Riang hampir patahkan lehernya. Susah juga berbicara dengan pemilik ilmu biologi sekaliber Riang. Bagaimana jika dihadapannya adalah ahli biologi molekul, bagaimana dengan kimia biologi? Apa yang harus Fidel sampaikan jika Riang adalah profesional dalam kajian biologi moral versus biologi prostitusi? Fidel menyerah.

“Sejak dahulu kami bersahabat,” kata Fidel. “Segala hal yang paling buruk dan yang paling baik pernah kami lalui bersama. Aku mengetahui sejak kapan ia berubah dan sebaliknya pun demikian. Kami sadar, setiap manusia memang harus berubah. Semua orang harus mencari jati dirinya sendiri. Semua punya pilihan, tapi, untuk persahabatan … aku menerima Pepei apa adanya seperti saat pertama kali aku mengenal dia. Aku menghargai prinsip Pepei. Aku memaklumi atas pilihan yang dilakukannya. Jalan orang memang berbeda, tetapi perbedaan keyakinan itu tidak akan membuat persahabatan kami hancur.”

”Tidak seru kalau tidak ada musuh-musuhan!”

“Kami pura-pura musuhan.” Fidel meyakinkan. “Biar terkesan membiarkan, meskipun terkesan tak saling memperdulikan keyakinan masing-masing, sebenarnya proses alami melalui diskusi tengah kami jalani. Tidak ada doktrinasi. Kami saling menyayangi, lagipula apakah Pepei memang pantas dimusuhi?”

Kata-kata Fidel menghunjam.

“Mas?”

“Ya?”

“Aku ingin segera melewati kegelisahanku!”


“Kenapa harus dilewati?” Fidel mengetes Riang.

“Karena kegelisahan adalah jembatan!” jawab Riang menduplikasi perkataan Fidel beberapa hari yang lalu.

Fidel protes. “Itu perkataanku, bukan perkataanmu!”

”Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa ku selesaikan,” Riang memberengut. “Terlalu banyak pertanyaan yang membuatku tidak waras!”

Suara panggilan tiba-tiba terdengar.

“Sudah maghrib,” Fidel mengingatkan. Waktu berbincang sudah habis. “Mudah-mudahan aku memiliki kunci agar Kau mampu membatasi pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat hidupmu tak nyaman.”

Riang mengerti. Ia berdoa agar kuncinya pas.

Fidel menggulung celana. “Jadi…”

“Jadi apa Mas?.”

“Jadi … apa arti Pepei untukmu?”

Riang tak menemukan kata yang tepat. Ia tidak bisa memastikan adonan pada loyang yang pas. Riang hanya mengungkapkan perasaannya pas-pasan. “Mesti sekejap, bagiku … Mas Pepei demikian berarti.”

Mata Fidel berair. “Seperti meteor!” ucapnya lirih.
Riang tak berani melihat Fidel. Ia mengalihkan pandangan ke atas bukit yang sepi. Malam ini Riang tak mau menganggunya. Ia membiarkan Fidel menyepi … menggali sunyi.

0 komentar:

be responsible with your comment