Perpisahan (Bab 29)

Posted: Selasa, 18 Agustus 2009 by Divan Semesta in
0

Kertas-kertas yang semalam berserakan rapih kembali. Rumah kayu menjadi bersih seperti sedia kala. Beberapa orang yang berdiskusi tadi malam, pulang. Beberapa lainnya berangkat memancing.

Riang tidur terlampau nyenyak. Ia seperti di-anastesi. Bentar dan rombongan pondokan –termasuk Taryan—telah lama pulang. Sarapan mie yang disediakan Eva telah berubah menjadi dingin. Riang bangun setelah lampu mulai berkelap-kelip seperti arklilik. meredup, nyala, meredup, nyala selama beberapa detik hingga Riang yang tengah berbaring di bawahnya khawatir terkena ledakan bohlam.

Fidel masuk ke dalam rumah menyaksikan pekerjaannya lalu kembali membenahi peralatan.

“Taryan pulang dini hari.” Jelasnya sambil mematikan saklar. Fidel mengajak Riang sarapan. Mereka menyelesaikannya lalu keluar rumah, jalan-jalan, bertawaf mengitari lahan pertanian.

“Tanah ini luasnya hampit dua hektar.” Fidel menunjuk batu. “Dari ujung sana …” ia mengalihkan telunjuknya menuju pohon cemara bercabang dua, “Bentar yang mengajakku mengelola tanah ini. Baru sepetak yang kami tanami sayuran.” Fidel menoleh. “Kau mau membantu mengelolanya? Kami, aku dan Bentar tak sanggup melakukannya.”

“Mengelola tanah ini Mas?”
“Iya.”
“Taryan bagaimana?”
“Dia boleh ikut.”

“Asyik! Asyeeiiik!” Diliputi kesenangan tingkat tinggi karena mengetahui bahwa dirinya akan kembali bekerja seperti halnya seorang pemuda Thekelan bekerja, Riang berlari ke sana-kemari seolah lahan itu merupakan pekarangan taman bermain anak-anak. Riang terus berlari, hingga suruk di rawa-rawa, membuat baju dan celana dia satu-satunya kotor terendam lumpur.

Siang harinya Riang menuju kepondokkan. Ia mengambil pakaian tanpa diantar, menemui Taryan dan membujuknya.

“Bantu aku Yan!”
“Bagaimana dengan kerjaanku?” Taryan diam.
“Aku yang bilang ke Bentar!” Riang pasang badan.

“Bukan itu,” Taryan tertawa. “Apa Situ ndak kasihan sama Bentar kalau aku harus keluar kerja? Ini masalah kepercayaan. Kalau aku keluar akhir bulan ini, bagaiman nasib orang baru di pondokan, orang baru yang nantinya butuh pekerjaan? Apa Situ ndak mikir? Nanti atasanku bakalan ndak percaya sama Bentar karena orang seperti aku ini, seenak udelnya keluar karena alasan sepele. Alasan bisa di buat tapi aku pantang berbohong. Lagipula …” Taryan menghela nafas, “mertuaku sudah kirimi aku kabar mengenai keadaan di Magelang.”

Riang tahu apa yang akan dibicarakan. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia hanya pura-pura tertawa. Riang merasakan sesak.

“Yang?” tanya Taryan tampak ragu-ragu. “Awal bulan depan aku pulang. Uang simpananku sudah lebih dari cukup untuk membiayai perjalanan pulang.” Taryan tahu Riang lemas.

“Bagaimana dengan penduduk Desa dan Karno?” Riang memaksa bertanya.
“Keadaan di desa aman. Beberapa bulan sejak kepergianku Karno ditangkap. Ia kembali berbuat onar.”
“Karno pasti kapok membuatmu begini.” Riang tak memiliki harapan. Ia menepiskan kekecewaan,
Taryan tersenyum. “Ya, Karno pasti malu padaku.”
“Kau akan membalas perlakuan orang-orang di desa, Yan?”

Taryan melambungkan pandangannya, “Untuk apa? Katanya. “Semua hal yang kualami sudah ada ketentuannya. Semua sudah digariskan. Dia berkehendak agar aku keluar dari desa, menemui orang-orang di sini, menemui Situ. Hidup seperti ini memberiku banyak hal. Banyak yang kudapatkan.”

“Pasti banyak sekali!” Riang tersenyum. Ia mulai mengikhlaskan kehendak Taryan. “Pokoknya, kalau Situ pulang, jangan lupa memberitahu! Jangan membuatku marah seperti pagi tadi!”
“Tadi pagi apa?!” Taryan mengelak.
“Kau tinggalkan aku di rumah Fidel!”
“Lha, aku sudah membangunkanmu!”

Riang murung.

Nafas Taryan terhempas. Ia mengatur pernafasan. “Aku pasti bilang Yang,” angguk Taryan dalam. “Yang … terimakasih untuk segalanya,” nada suara Taryan tertekan.

“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk perhatianmu ketika aku sakit … atas perhatianmu … atas segalanya, semuanya! Terima kasih atas kesetiakawananmu … atas bimbinganmu!”
“Sudah-sudah tak perlu begitu! Kalau mau pergi, pergilah sana!” humor kuli Riang keluar. “Pergi Kau! PERGI SANA!”

Retina mata kedua orang itu bocor. Ada air yang mengucur, meninggalkan bekas yang hangat di hati, membuat siapapun yang tidak pernah merasakan panasnya api persahabatan cemberut.

RIANG LUPA pesan Fidel untuk membawakan buku harian Pepei. Sore itu fokusnya hanya berkemas, melupakan buku yang juga penting bagi Fidel. Ia memasukan seluruh barang yang dimilikinya. Keesokan paginya, Riang kembali ke rumah kayu Fidel. Pemilik pondokan tidak mengantarnya hingga pagar. Mereka tahu, sesekali, Riang masih akan menginap di pondokan.

Beberapa hari kemudian Riang kembali ke pondokan. Tidak ada satu orang pun di sana. Taryan masih bekerja. Bentar mengantar Eva yang sedang mengikuti tes. Bosan menunggu, Riang menemani Fidel belanja persediaan makananan. Setelahnya, di tengah jalan pulang menuju pondokan, ia melihat Taryan menyetop angkutan. Dipikirnya, Taryan yang akan lebih dulu sampai di pondokkan. Ternyata tidak. Sejam kemudian wajah sahabatnya yang tengil itu tampak. Taryan menjinjing empat buah kantung hitam besar.

Taryan menghempaskan tubuhnya. Ia memberikan satu kantung untuk Bentar dan Eva, dan meminta maaf karena tak bisa membalas budi baik keduanya

“Maaf! Maaf! Lebaran masih lama!”

Komentar Bentar usai mereka mengatakan terimakasih membuat Taryan tertawa. Ia kemudian mengambil sebuah kantung hitam lainnya. “Ini untukmu!” katanya. Ia menghadiahi Riang sebuah buku tulis tebal bergembok. Kantung lainnya berisi makanan untuk orang-orang yang berkumpul di pondokan.

“Lainnya lagi?” Agus mendesak. Anak itu melihat beberapa kantung yang belum jelas pemiliknya. Taryan tersipu ketika Eva menegur anak kecil itu. Barang-barang di dalam kantung-kantung yang tersisa itu untuk Radia anak dan keluarga Taryan di Magelang.

Malam ini menjadi malam penghabisan antara Riang dan Taryan. Orang-orang yang mengenalnya bermain habis-habisan. Suara biola Bentar dan gitar yang bermantra mempertemukan kegembiraan yang ada di dalam hati dan mencuatkannya. Masing-masing berusaha memberikan kemahiran, memaksimalkan apa yang mereka miliki untuk membuat Taryan gembira.

Malam itu Riang tidak mengatakan sesuatu yang berharga untuk Taryan, namun Riang meyakini adanya keberadaan ikatan yang sulit dipahami kecuali oleh orang yang mengerti. Jika bahasa lisan tidak selalu mewakili keadaan yang sebenarnya untuk apa seseorang melisankan. Riang tidak mau memaksakan dirinya, ia tak mungkin bisa, karena bahasa yang agung iu tak bisa diwakilkan keluasannya oleh lidah manusia yang terbatas. Riang diam dan membiarkan simbol bahasa yang menyemesta berjalan alami apa adanya.

Ke dua orang ini pun tidur saat pertengahan malam menjelang. Wajah mereka terlihat teduh tanpa tekanan, minim beban seperti bayi pada sebuah mobil yang melaju kencang di sebuah jalur bebas hambatan.

Saat saat yang tak Riang harapkan itu datang. Derit—derit roda besi yang memasuki stasiun, menunggu ribuan orang sebelum gerbongnya beranjak menuju arah tempat terbitnya matahari di ufuk timur. Riang berharap, jalur yang Taryan tempuh bersama kereta itu akan membawanya kepada kebenderangan, menuju arah kebahagiaan.

“Yan?!” Riang berusaha menutupi kesedihannya.
“Apa?”

“Situ ndak layak lagi dihina. Kalau situ bertemu dengan petugas yang dulu menendangmu perlihatkan seluruh kekayaanmu! Sombongkanlah tiketmu! Pelihatkan uang kertas yang kau kumpulkan itu! Biar dia tahu Yan!... Biar mereka tahu.”

Taryan yakin tidak akan bertemu dengan petugas sialan yang pernah ia ceritakan pada hampir semua penghuni pondokan. Di balik jendela kereta, Taryan menunduk. Wajahnya muram.

“Yan!” Riang membentak. “Jangan seperti itu!” ia menegurnya. “Ayo ketawa Yan!.Ayo ketawa! Sama-sama ketawa!

Riang tertawa seperti terpaksa. Ia mengeluarkan tangannya dari jendela.Fidel, Bentar, dan Eva memahami permainan emosi saat mereka mengantar Taryan pergi.

“Hua...ha...ha...ha!.”
“Hua...ha...ha...ha!.”

“Teruslah tertawa Yan!...teruslah tertawa! Jangan pernah berhenti mentertawakan dunia! Jangan pernah bersedih! Terus tertawa! Jangan berhenti!”

Taryan terbahak-bahak! Ia tak tahu apa yang harus ditertawakan tetapi mulutnya terbuka. “Hua… ha… ha… orang gila! Orang gila!”

Riang tertawa diejek Taryan. Ia berteriak ketika roda kereta berputar pelan. “Aku selalu mendoakan! Kau senantiasa kudoakan!”

Riang terseguk.

Selamat jalan kawan! Berkah kepulanganmu itu... adalah milikmu. Kali ini, jangan biarkan orang lain merampasnya! Rebutlah kebahagiaan bersama Radia dan anakmu, ....bersama keluarga besarmu ...
Doa Riang Merapi menyertai langkah panjangmu!
Kereta menjauh lalu hilang ditelan kelokan.

0 komentar:

be responsible with your comment