Tuhan (Bab 31)

Posted: Selasa, 18 Agustus 2009 by Divan Semesta in
2

Riang memandangi album foto. Seperti kebiasaan orang, ia memandangi wajahnya sebelum melihat wajah dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Merapi terlihat tampak kukuh seperti raksasa rahwana: sombong dan culas, selain itu tampak kibaran bendera, tawa Pepei dan keseriusan Fidel, bolongan batu serta tebing-tebing yang gagah. Riang mematung. Ada jutaan kesan, yang menumpuk di kepalanya Ia mengetahui sekuat apa desir angin di sana, ia masih menangkap kesan ketakutan yang ditampakkan wajahnya saat suasana genting terjadi manakala gerombolan Kardi memburu mereka. Riang teringat Pepei. Rasanya kejadian itu baru saja berlalu sementara di rumah kayu Fidel ia sudah menjalani hidupnya selama enam bulan.

Riang memasukan album kenangan itu kembali. Ia melihat jajaran rak buku. Diambilnya buku yang belum ia selesaikan. Halaman terakhir yang ia baca dinodai tanah lahan pertanian yang kemarin ia olah. Buku itu menjadi salah satu bukti bagaimana pemuda itu membaca buku sekenanya di mana saja: di tepian kolam, di air terjun, di bangku teras rumah, di kamar mandi, di ruang bawah tanah. Di mana-mana Riang membawanya, mengejar sesuatu yang ia anggap tertinggal.

Ia pernah ditegur Fidel karena menaruh buku di atas batu. Kalau tak hujan sebenarnya tak apa, Fidel tak akan menegurnya, tetapi buku yang ia tinggal sembarangan itu menjadi tak karuan bentuknya, menjadi lepek. Antar antar halaman menjadi rekat tak bisa dibaca kecuali setelah Riang menjemurnya hingga menjadi kering. Kecerobohan Riang itu terjadi untuk yang kedua kalinya, setelah secara tak sengaja pula ia mengubur ensiklopedia ke dalam lubang yang akan Waluh jadikan lubang percobaan biogas.

Membaca membawa perubahan berarti pada Riang. Ia membaca, kemudian bertanya, dan membahas hal-hal yang tidak bisa dijangkau pikiran, atau membahas pertanyaan yang senantiasa menziarahi dirinya. Saat membaca folklore Riang membandingkannya dengan pencatatan yang merupakan salah satu teknik pendokumentasian ilmiah. Menyadari kelebihan dan kekurangan metode itu Riang menjadi terobsesi untk melakukan pencatatan. Buku yang diberikan Taryan menjadi hadiah yang berguna baginya. Apa pun yang ingin ia tanyakan, yang ingin ia hafal dan yang ingin ia kembangkan ia tulis di dalam bukunya. Ketika membaca perikehidupan dan kronik peradaban serta biografi tokoh yang ada di dalamnya, Riang digugah oleh birahi keingintahuan akan kebangkitan dan keruntuhan bangsa-bangsa. Tatkala ia melakukan korespondensi antar alam pikiran, ia merasa menjadi pelari marathon yang tertatih-tatih kehabisan nafas.. Manakala eksplorasinya menerabas alam eksakta, ia mengakui kelemahan dirinya. O betapa mulianya ilmuwan yang membantu kehidupan material manusia. Ah Riang bukan saja menjadi pelari marathon. Ia melakukan thriathlon. Ia memasifkan kerja otak yang diimbangi dengan kerja fisiknya di lahan pertanian. Riang merasa segar. Fase ini ia rasakan seperti meminum jus bianglala melalui cangkir piala. Ini fase carpe diem, fase mimesis, momentumnya berdansa tango, menjadi swingger, bergoyang dombret sambil memainkan kolintang. Ini fase teriakan parau Sid Vicious pada lirik pertama Anarki in U.K menuju lengkingan lulusan les musik Sebastian Bach dalam lirik “good by to blues-nya” Yngwy Malmsteen.

Riang kesurupan! Kemasukan bukan dalam kegelisahan, tetapi gila dalam melakukan pencarian, menapaki kebijaksanaan. Riang merapihkan folder pikirannya. Ia satu langkah menuju pemikiran yang mapan. Ia berada di bawah alam kedewasan untuk memilah dan memilih madzhab pemikiran. Tempatnya berteduh kini memberi banyak makna. Semua yang pernah ia alami: asuhan orang tua, kehidupan masa SMA, pendakian yang mempertemukan dirinya dengan Fidel dan Pepei, jalanan, pondokan Bentar, rumah kayu, SNB dan bermacam peristiwa lain ia rasakan manisnya karena ia dapat menarik hikmah di balik kejadian yang telah ia lewati..

Riang mengembalikan kembali buku yang rusak oleh hujan. Sebelum keluar dari ruangan bawah tanah dan menaiki tangga, tiba-tiba Riang merasa ragu mengunci pintu besi. Ia mengambil senter dan berjalan hingga ke ujung lorong. Pintu sudah terkunci namun ia malah membukanya kembali. Suara jangkrik terdengar. Ia menyibak dan berjalan merebahkan semak-semak, menuju sebuah pekarangan luas di pinggiran hutan yang secara alamiah rumputnya lembut dan tumbuh sejajar, sama rata. Sampai di tempat itu ia duduk mencangklong.

Petak yang terbuka menghadapi lembah. Angin menyisir rambut Riang. Lahan datar yang Riang olah di bawah petak tanah --yang saat ini tengah ia duduki-- tinggal menunggu panen. Bulan menyirami lahan itu dengan sinarnya. Lampu jauh hotel berbintang lima menyorot ke angkasa . Riang teringat. Di awal kedatangannya ia merasa tidak bisa membatasi gondola pertanyaan yang berlayar di sungai pikirannya. Ia teringat bagaimana Fidel menjanjikannya kunci pembuka agar ia tak terlalu kewalahan menghadapi aliran pertanyaan yang mengendap di kepalanya. Ia mengingat bagaimana Fidel meletakan punggungnya lalu bersandar di batu.

“Pohon tumbang yang menghalangi jalan kita di Merbabu dulu pun dikeroposi waktu.”

Fidel memulai pembicaraan menggunakan bahasan siklus kehidupan. “Matahari yang merajai angkasa pun memiliki durasi. Umur! Setiap mahluk memiliki umur sendiri! Manusia adalah mahluk, yang juga akan mengalami akhir yang sama dengan mahluk lainnya. Manusia berada dalam kungkungan waktu dan dikeroposi oleh waktu secara alamiah. Kita lahir sebagai bayi, beranjak dewasa, merenta, kehilangan energi, lalu mati! Kesadaran akan keberakhiran ini akan melahirkan pertanyaan mengenai awal dan bagaimana menjalani kehidupan. Ini masalah klasik dari awalan manusia ada hingga saat ini saat.”

Masih terbayang di pikiran Riang, suatu masa ketika Pepei berkata dalam pertemuan penghabisan dengannya. ” ... kau bisa berlari dan boleh berlari dari pertanyaan mendasar mengenai tujuan hidup yang terus menerus menuntutmu!”

“Aku tidak mau hidup setengah-setengah Mas.” Kata Riang. “Aku harus menuntaskan pertanyaan yang memusingkan ini.” Riang mengeluh, “aku … aku, lelah dengan ketidakstabilan ini! Aku tidak ingin bersembunyi. Aku tidak ingin terus alami ketidakpastian! Aku ingin memecahkannya!”

“Ya, Kau akan memecahkan!” ujar Fidel memberi sugesti pada Riang, “Kau akan menstrukturkan, mensistematikakan pertanyaan juga pikiranmu!”

“Bagaimana agar bisa, bagaimana caranya?”

“Awalilah dengan mempercayai Tuhan, atau menafikannya, bahkan malah tidak memperdulikan keberadaan atau ketidakberadaan-Nya sekalian!”

Kepala kopong. Riang tak paham.

“Theis: percaya Tuhan, atheis: menafikannya, agnostik: tidak mempedulikan ada atau tidaknya.” Fidel memaksa. “Kau harus memilihnya!”

“Aku tak bisa memilih, aku tak tahu harus memilih apa!”

Riang tersenyum.

“Yang membuat kita kelimpungan, yang membuat kita gelisah dicereweti begitu banyak pertanyaan dikarenakan banyak hal. Bisa jadi karena kita belum menemukan untuk apa tujuan hidup di dunia, belum bisa menjawab dari mana kita berasal, dan akan kemana setelah tubuh kita ini habis fungsi, mati. Bisa pula, karena kita tidak mengetahui sejauh mana kinerja akal kita berkerja, seluas apa cakrawalanya, selebar apa jangkauannya.”

“Orang yang telah mendapat jawaban asal muasal sert tujuan akhir yang dicapai setelah kematian, biasanya akan mengetahui tujuan hidup dia yang sebenarnya. Kehalauan, kegelisahan akan mudah ia atasi. Hidupnya akan di warnai makna, dan lebih dari itu, ketika ia telah mengetahui sampai di mana batasan berpikir, maka ia akan dengan mudah mengumpulkan, mengorganisasikan pertanyaan mana yang benar-benar harus ia pikir dan cari jawabannya dan mana pertanyaan yang sekedar ia jadikan tamasya di alam pikirannya.”

Tentu, Riang tak memahami utuh apa yang diungkap Fidel, namun ia menangkap substansinya..

“Tamasya? Sepertinya asyik,” Riang membayangkan.

“Jika Kau sudah memiliki struktur berpikir dan mengetahui batasan-batasan yang tak mungkin Kau jangkau dengan kekuatan akalmu, maka pertanyaan yang dulu Kau anggap menyeramkan, menakutkan, mendirikan bulu kuduk akan Kau anggap sebagai hiburan. Jika Kau memahami tamasya pikiran, kau akan mengetahui mana pertanyaan yang mengalihkan, yang mengombang-ambingkan dan Kau hanya akan menganggap pertanyaan itu sekedar pengasah otak, sekedar hiburan di taman ria.”

Fidel tahu, seseorang tak mudah mengerti apa yang ia ungkap. Ia berusaha mencairkan kepekatan. “Sebelum kau bertamasya, kita harus mengetahui lebih dulu makna mengenai struktur pemikiran.” Fidel mengetahui perjalanan pemahaman Riang masih jauh dan panjang.

STRUKTUR. FIDEL MENGAMBIL KERIKIL dan melemparkannya.

“Coba kau raup bebatuan yang ada di bawah kakimu!” Fidel berteriak. “Anggaplah bebatuan itu kelereng berjumlah seribu. Lemparkan kelereng itu sekuat tenaga! Lempar!”

Riang meraup dan melemparkannya. Saat batu jatuh ke tanah. Fidel bertanya.

“Berapa kemungkinannya kumpulan kelereng itu membentuk bulat, bujur sangkar, persegi panjang atau membentuk sebuah garis lurus vertikal ke atas?”.

“Mana mungkin,”.jawab Riang.
“Apa!? Tak dengar!”
“Mana mungkin!”
“Teriak yang!”
“Mana mungkin!!!” Gema pantul kemana-mana. “Kin…kin…kin!”

“Kemungkinan kelereng yang jatuh ke tanah kemudian membentuk formasi bulat, bujur sangkar, persegi panjang atau membentuk sebuah garis lurus vertikal ke atas adalah: 0,0000000000000000000000000. Tidak ada ujung pangkalnya! Mustahil! Lantas bagaimana dengan bintang yang ada disana?! Bagaimana dengan planet-planet di luar bumi manusia! Bagaimana keberadaan Bima Sakti yg terdiri dari bilyunan bintang! Bagaimana galaksi lainnya! Bagaimana degan semua planet dan bintang yang ada dan memiliki garis edarnya masing-masing?!”

“Mereka tak saling berbenturan kecuali pada masa tertentu! Mereka memiliki keteraturan garis edar! Rumit! Keteraturan itu lebih rumit dari sudut-sudut pada bujur sangkar dan trapesium!”

“Bumi melayang dalam sebuah ruangan kosong! Begitu pula Matahari, Mars dan lainnya! Mana penyangganya? Mana tiang beton cakar ayamnya? Mungkinkah itu terjadi karena kebetulan sementara sesuatu yang sederhana, sepatu, gelang, diciptakan pengrajinnya, gedung dan kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kita yakini diciptakan manusia. Kita pahami tidak ada dengan sendirinya.”

“Jika ada yang mengatakan alam terbuat dari materi, apa yang harus kusangkal. Aku mengakui bahwa alam terbuat dari materi. Tidak masalah untuk meyakini itu, tetapi siapa yang menciptakan awal pembentukan alam semesta dari materi yang setitik itu? Materi itu sendiri? Apa materi yang setitik itu dapat mengatur rotasi planet dan bintang pada porosnya? Apakah titik kecil (materi) itu yang melakukan penjagaan, agar bumi dan bulan menyepakati garis edarnya masing-masing hingga tidak saling bertumbukkan?”

“Mungkinkah seonggok materi, mengatur Pluto, Jupiter atau Sedna agar mereka, agar planet tersebut melayang di sebuah ruangan besar yang kosong? Mungkinkah itu semua? Mungkinkah kemunculan hukum alam, hukum peredaran bintang, hukum planet dan bintang yang menggantung di ruangan kosong terjadi dan ada dengan sendirinya?”

Riang berpikir. Ia membisu.

“Bahkan bukti penciptaan bisa kau lihat di sana.” Fidel menunjuk.

Riang meraba alisnya.

“Setelah kau dewasa, pendek rambut di atas matamu hampir pasti selalu seperti itu. Mengapa rambut alis tidak tumbuh seperti rambut yang menempel di kepalamu?”

Riang membayangkan alisnya, memanjang seperti rambutnya yang lama tak dipang
kas. Ia membayangkan bulu matanya menempel di makanan, menyapu jalanan, alisnya menjadi rumbai-rumbai seperti tirai dan surai keledai membuat mata dan kepalanya menjadi berat. Riang bahkan terlalu jauh berpikir. Pikirannya beranak pinak. Riang berkhayal hidup sejahtera karena dirinyalah yang pertama membuka salon pangkas alis dan bulu mata dalam sejarah. Ia bahkan telah menyiapkan pengembangan usaha creambath bulu idung dan rebonding ketiak.

Khayalan yang jika dibiarkan akan mengalahkan khayalan J.K. Rowling serta Danarto itu dimatikan oleh perkataan Fidel. “Bukti penciptaan ada di salah satu inderamu juga!” Fidel menunjuk mata Riang. “Pernahkan berpikir mengapa mata kita memiliki keterbatasan? Mengapa kita tidak bisa melihat benda yang super kecil seperti virus bakteri dan amuba? Mengapa telinga kita tidak bisa mendengar suara yang jauh? Bukankah asyik jika kita memiliki ketidakterbatasan jangkauan indera. Kita bisa menjadi sekuat Clark Kent, bisa berubah seperti mimikri, digjaya seakan Wisanggeni, dan kalau kau wanita kau bisa menjadi Mantili dalam serial cantik Brama Kumbara, menjadi wanita Amazon yang hebat, menjadi manusia super di antara manusia super lainnya.”

Riang berpikir.

“Semua ada aturannya.” Papar Fidel. “Penciptaan tidak dibuat ibarat sirkus ketangkasan. Penciptaan bukanlah sesuatu yang dibuat main-main. Jika kita memiliki kekuatan: kemampuan melihat benda super kecil, memperhatikan detail, memperhatikan lipatan-lipatan kecil maka kita tidak akan menyukai wanita secantik apa pun parasnya. Dalam detail wajah si cantik akan berubah menjadi mengerikan. Kulit wajahnya bolong-bolong oleh pori-pori. Jerawat kecil akan menjadi kawah. Lemak yang menyumbatnya akan kita lihat seakan nanah yang menjijikan dan menakutkan. Kita akan melihat seribu satu macam ancaman karena mata kita melihat ribuan hewan mikroskopis yang bentuknya berbuku-buku, berlendir, berbulu tajam dan mengerikan di permukaan wajah kita bukan hanya wajah kita tentunya. Wanita cantik yang kita bicarakan tadi akan menampakan diri seperti siluman!”

“Bukan hanya mata, jika telingamu peka, Kau akan kesulitan menikmati tidur. Kecoak yang merayap di pipa akan terdengar seperti suara garukan gabus pada dinding yang kasar. Obrolan-obrolan yang puluhan meter dari tempatmu berbaring akan terasa nyata berada hanya beberapa senti dari kupingmu. Derum mobil, suara motor satu kilometer dari tempatmu, buah yang jatuh, penyewan game, dingdong, tangisan anak, akan membuatmu depresi. Suara akan menjadi terror, melemahkan mental, membuatmu gila!”

“Jika kita mau melihat tubuh kita sendiri kita akan melihat beragam keagungan, melihat keteraturan. Kulit yang kita kenakan ini, tidak sembarangan melekat. Kulit merupakan benteng agar tubuh tidak mudah cedera ataupun mudah terkena organisme yang membahayakan kesehatan tubuh, kulit menjaga agar tubuh kita stabil suhunya dan tidak kering. Kerangka manusia berfungsi untuk menahan guncangan, menjadi penopang daging, otot serta organ bagian dalam tubuh kita. Otot menjadi semacam kabel yang menarik tulang untuk menimbulkan gerakan. Peredaran darah yang bergeraknya satu arah. Peredaran yang memiliki panjang sekitar sembilan puluh enam ribu kilometer yang di pompa oleh jantung yang hanya sekepalan, kemudian berputar di dalam tubuh kita, yang dalam sekali putarannya hanya memakan waktu kurang dari satu menit. Dan kegiatan yang rumit serta menakjubkan itu terjadi tanpa membutuhkan istrirahat, terus berkerja sepanjang hidup kita. Belum lagi kalau kita berbicara otak manusia, berbicara tentang organ tubuh lainnya.”

“Yang …” ucap Fidel lembut. “Kau, aku, manusia, alam semesta, tidak ada karena permainan. Manusia tidak muncul tiba-tiba. Desain diri kita dan mahluk lainnya, terlampau sempurna untuk dikatakan muncul dari kebetulan atau ketidaksengajaan yang tidak bisa dideskripsikan.”

Riang tiba-tiba mengingat sesuatu “Tapi,” Ia menyanggah, “jika memang Pencipta itu ada, bisakah Pencipta yang maha kuasa itu menciptakan batu besar, batu yang super besar, hingga Ia tidak bisa mengangkatnya?”

Fidel tertawa. “Kau dapat dari mana pertanyaan itu?”

Riang mengaku. “Buku yang diperlihatkan mas Pepei!” lugas.

“Itu pertanyaan yang mengalihkan.” Fidel menegaskan. “Ada banyak pertanyaan yang mengalihkan keyakinan kita untuk mempercayai Tuhan. Yang kau utarakan salah satu diantaranya. Atau yang lain, misalnya: untuk apa kita menyembah Tuhan yang tak berkuasa atas iblis? Bukankah dia yang maha kuasa seharusnya mencegah iblis yang telah meneebarkan wabah kejahatan di dunia? Seharusnya Tuhan menjadikan iblis baik, atau kisah tentang anak taman kanak-kanak yang diminta berdoa agar Tuhan memberinya gulali dan sekantung permen.”

Riang teringat kembali akan pertanyaan Mahdi di Yogyakarta. Ia teringat kembali pernyataan sperma tuhan dan biawak. Tak sadar ia menggumam. “Sperma tuhan mengalihkan?!”

“Apa.” Fidel memastikan.

“Tidak Mas.” Riang mengelak. Tadi ia mengeluarkan pernyataan yang ditujukan bagi dirinya.

“Mas… untuk apa kita menyembah Tuhan, apa guna kita bersujud pada-Nya, untuk apa kita mempercayai-Nya, toh manusia tidak akan mati kalau tidak mempercayai Dia?”

Fidel mengulum senyumnya. “Itu termasuk yang mengalihkan,” katanya.

Riang diajak untuk kembali menata pikiran.

“Mempercayai Tuhan tidak agar kita mati karena mau percaya pada Tuhan atau tidak manusia akan mati juga. Mempercayai Tuhan, menyembahnya merupakan beragam tanda: tanda penyerahan kita atas rahasia yang tidak bisa kita singkap, tanda terimakasih manusia, tanda penghambaan, tanda-tanda lainnya.”

“Jika Tuhan maha kuasa mengapa Dia tidak menjadikan iblis memiliki kebajikan?”

“Tebak apa yang kupikirkan?” tanya Fidel tiba-tiba.

“Aku tidak tahu,” Riang menjawab spontan.

Kau tidak bisa menebak pikiranku, apalagi pikiran Tuhan yang dahsyat,” Fidel tertawa. “Tuhan memberi pilihan agar mahluknya memilih yang baik dan yang salah, agar mahluknya memilih konsekuensi perbuatan yang telah ia kerjakan dan Iblis telah memilihnya. Kalau Tuhan menciptakan segala sesuatu penuh kebaikan, nanti akan ada pula manusia yang bertanya … kalau begitu Tuhan Maha tidak Demokratis. Kata manusia, seharusnya setiap mahluk diberikan pilihan. Serba salah. Apa yang kau tanyakan, kenapa iblis tidak diciptakan saja penuh kebaikan seperti malaikat merupakan salah satu rahasia kehidupan terbesar. Yang paling penting dari semua yang kita bicarakan ini, apakah hanya dengan pertanyaanmu itu, apakah dengan pertanyaan lain yang terlontar lantas Tuhan menjadi tak?”

“Ini rahasia mas…” Riang berbisik meski hanya ada dua manusia yang berada di lahan itu. “Fred pernah mengatakan di pondokan, bahwa mahluk Tuhan yang paling beriman itu Iblis.” Riang mengadu.

“Fred?” Fidel merasa aneh. Dahinya berkerenyit.

Riang melanjutkan. “Iblis tidak mau bersujud pada manusia sebab iblis tahu yang patut di sembah itu bukan Adam, melainkan Tuhan, Allah.”

“Ya,” Fidel mengakui. “Kisah tidak mau sujudnya iblis itu ada di injil dan Quran…”

Riang memotong, “lantas untuk apa Tuhan menghukum Iblis atas kesalahan yang tidak terbukti? Kalau pun Iblis memang salah, kesalahannya kecil. Tidak ada bandingannya dengan dosa yang dibuat manusia. Manusia membunuh ribuan orang dalam perang, memperkosa, menyiksa manusia lainnya, sementara salah iblis hanya tidak mau bersujud pada Adam. Dimana kesalahan besarnya?”

“Mengutip Fred lagi?” Fidel curiga.

Riang mengangguk.

“Aku tak tahu penjelasan sahabat-sahabat Kristianiku mengenai hal ini tapi dalam pandang keyakinanku, perintah sujud Tuhan pada iblis bukan perintah penghambaan, bukan perintah agar Adam menjadi majikannya, menjadi sembahan-nya. Sujud dalam kitab-ku memiliki banyak pengertian, dua diantaranya: sujud penghambaan seperti halnya ketika aku shalat dan sujud penghormatan layaknya yang malaikat lakukan terhadap Adam. Tuhan meminta Iblis bersujud kepada Adam bukan untuk menghamba tetapi menghormati mahluk yang memiliki pengetahuan. Iblis membangkang melakukan penghormatan, ia menolaknya karena di dalam diri dia ada kesombongan, padahal iblis mengetahui yang memerintah dia bukan manusia, bukan malaikat, tetapi pemilik alam semesta. Iblis mengetahui bahwa yang memerintahkan adalah Zat yang menciptakan dirinya, maka pembangkangan macam apa yang terbesar ketimbng pembangkangan mahluk yang sudah mengetahui Penciptanya, yang sudah berhadapan langsung dengan pembuatnya?”

“Bukankah Adam membangkang juga? Bukankah Adam memakan buah larangan?”

“Adam membangkang, tetapi ia menangis setelah melakukan kesalahan, ia bertaubat. Ini berbeda dengan iblis. Dia malah mengancam Tuhan untuk terus menggoda manusia untuk menjadi temannya di Neraka.”

Riang sedikit lega. Seolah tak percaya.

“Ada banyak pertanyaan, ada banyak hal tentang kisah Tuhan, tentang Iblis dan manusia.” Fidel melebarkan. “Ada yang mengatakan bahwa diturunkannya Adam ke bumi dikarenakan Tuhan cemburu. Tuhan takut akan kekuatan manusia setelah memakan buah Khuldi. Kata mereka, Tuhan takut jika manusia menyainginya. Mereka katakan juga bahwa sesungguhnya Iblis bukanlah penjahat. Iblis adalah penolong manusia untuk mencapai kekuatan, merebut keabadian. Persepsi ini berusaha disamakan dengan kisah Yunani mengenai Promoteus yang mencuri api keabadian dari Zeus untuk ia berikan pada manusia. Api keabadian merupakan kekuatan dan Zeus dalam mitologi itu diidentikkan dengan Tuhan. Padahal, satu kisah lain dengan kisah lainnya tidak bisa disamakan, dipaksakn untuk dicocokkan, karena sumbernya pun berbeda. Mengenai buah khuldi, , dalam pandangan pemikiran keagamaan Islam, buah tersebut banyak di terjemahkan sebagai buah kejahatan kemanusiaan. Adam dihukum karena tidak menggunakan akal pikirannya untuk menjauhi kejahatan. Penafsiran lainnya mengenai diturunkanya Adam oleh Tuhan, bukan dikarenakan hukuman memakan buah khuldi, melainkan karena memang perencanaan Tuhan bagi manusia untuk mengolah planet biru ini, untuk mengolah bumi … lagipula kalau yang dituduhkan oleh mereka bahwa Tuhan ketakutan jika Adam mengalami keabadian dan mendapatkan pengetahuan setelah memakan khuldi, apa yang perlu ditakutkan, jika Ia memang Tuhan? Sejak kapan Tuhan yang menciptakan takut pada yang diciptakan? Apa magma yang bergejolak di bawah bumi itu tidak bisa Ia gunakan untuk membinasakan manusia? Apa kehancuran bintang-bintang oleh kekuatan alam yang Ia pegang tidak cukup untuk membuat manusia menjadi ampas abu? Dialah pemegang kekuatan, mengapa dia takut kepada ciptaan yang besarnya cuma sepertrilyun dari besaran bumi yang diciptakan oleh-Nya?”

“Tuhan maha gagah!” ucap Riang. Kesehatannya pulih.

“Jika kau memahami struktur keimanan, kau akan mengetahui mana pertanyaan dan ungkapan yang mengalihkan. Manusia boleh kesulitan untuk memberi jawaban mengenai pertanyaan ketuhanan. Orang boleh membuat bingung manusia lainnya tentang keberadaan Tuhan dengan aneka pertanyaan, tetapi apakah hanya dengan pertanyaan itu, dengan akrobatik kata itu Tuhan lantas jadi tak ada sementara bukti penciptaan-Nya, bukti keberadaan-Nya merentang di keajaiban dan keagungan alam semesta, di tubuh kita.”

“Lantas siapa yang menciptakan Tuhan?” Riang tak yakin dengan pertanyaan yang ia ucapkan.

“Kalau Tuhan ada yang menciptakan,” Fidel tersenyum, “apakah kita akan tetap menafikan keberadaan Pencipta manusia? Apakah pertanyaan itu menghapus keberadaan Pencipta kita di dalam semesta yang teramat nyata?”

“Maksudku bukan itu…” Riang berusaha menjabarkan tetapi ia tak menemukan.

Fidel menolongnya, berusaha mengerti pikirannya. “Sebenarnya, kalau Tuhan diciptakan, berarti dia bukan Tuhan. Kalau kejadianku dibentuk hukum alam, katakanlah yang orang lain katakan sebagai tuhan adalah hukum alam, maka dalam kepercayaan yang menjadi sandaranku, dalam keyakinanku: Tuhan adalah tempat segala sesuatu berawal. Termasuk tempat bersandar hukum alam yang membentuk kejadian diriku.”

“Tapi menurut Mas sesuatu yang menakjubkan itu diciptakan. Tuhan itu menakjubkan, berarti dia diciptakan. Siapa yang menciptakan diri-Nya?” Riang gemetar. Ia merasa takut dengan pertanyaannya sendiri.

Fidel menyentuh tubuh Riang, ia menenangkannya. “Kalau tuhan di ciptakan, berarti dia bukan tuhan. Pertanyaan lanjutan dari pertanyaan tersebut adalah … siapa yang menciptakan yang tidak bisa diciptakan? Ini pertanyaan yang membingungkan, dan selamanya akan membingungkan bukan hanya untukmu saja, tapi untuk orang yang mau berpikir dan bertanya sejauh itu dan sedalam itu.”

Fidel memandang Riang. “Coba jawab pertanyaanku. Apa dengan pertanyaan itu Tuhan menjadi tidak ada?” Fidel melepaskan tatapannya. “Pertanyaan itu hanya untuk mengalihkan.” Fidel mengingatkan. “Keteraturan semesta merupakan jawaban yang memuaskan mengenai eksistensi Pencipta. Keteraturan alam merupakan jawaban yang logis ketimbang menihilkan, menolkan, menafikan ketiadaan Pencipta di balik segala macam keteraturan yang dahsyat yang melingkupi seluruh alam. Bagaimanapun juga, ada Sesuatu yang menciptakan diri kita. Kita diciptakan dan dibentuk mungkin oleh pembantu-Nya Tuhan, mungkin malaikat yang memegang hukum alam atau entah oleh siapa yang kita tidak mengetahuinya, namun pada hakikatnya kita tidak bisa menyangkal bahwa kita diciptakan.”

“Lantas siapa yang ciptakan Tuhan.” Riang tahu ia mengulangi pertanyaan. Ia merasa tegang.

“Hm,” Fidel mendesah. “Di sanalah batas berpikir manusia. Di sanalah tapal batasnya. Bukan hanya kau dan aku, bukan hanya kita, seluruh manusia tidak bisa melampaui hal itu. Di sanalah keterbatasan manusia sebagai mahluk yang serba bisa. Di sanalah kegelapan yang tidak mungkin bisa kita sibak. Sampai di sini tamasya pikiran kita berhenti. Di luar itu batas berpikir manusia, kita memerlukan sandaran dan jika memaksakan maka kita berkhayal.”

Riang berpikir, ia menciptakan sebuah sistem berpikir di kepalanya untuk memecahkan pertanyaan siapa yang menciptakan tuhan. Ia tak menemukan. Ia merasa gamang.

Fidel menepuk Riang. “Kehampaanlah yang akan kita peroleh jika berusaha mengungkit sesuatu yang tak mampu kita pikirkan. Kehampaanlah yang akan kita dapatkan jika berusaha melampaui batas kemampuan berpikir kita, melewati tamasya pikiran manusia. Jika terlarut dalam pikiran seperti itu, Kita akan merasa sia-sia, lebih jauh lagi, merasa bahwa hidup yang kita jalani ini serasa begitu mengerikan. Ketidak tahuan akan rahasia tersebut membuat pikiran kita kacau, galau. Sesal akan datang. Kita menyesal dilahirkan. Kesal ada dan menjalani kehidupan di dunia, lantas, apa penyesalan tersebut dapat menjadikan kita musnah, menjadi tidak dilahirkan? Tidak. Kita telah ada di dunia. Hidup adalah untuk berjuang. Hidup tidak untuk disesali. Kita ada untuk memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. Manusia yang dikepung kebingungan, kegelisahan, dan tidak mampu menyingkap rahasia yang teramat gelap seharusnya menjadikan dirinya sadar bahwa ia memerlukan sandaran dan seharusnya sandaran itu merupakan sesuatu yang berkuasa terhadap dirinya. Kita menyebutnya Tuhan.”

“Kalau Tuhan ada, mengapa tak bisa kita lihat, tak bisa kita raba?”

“Memang bentuk Tuhan untuk saat ini tak bisa dilihat. Tapi, keberadaanya dapat manusia rasakan melalui perasaan dan dibuktikan keberadaan-Nya melalui pikiran. Kita tidak melihat pesawat, tetapi kita mendengar suaranya. Pesawat terbangnya jenis apa, kita tak tahu, tapi kita tahu pesawat itu ada. Tuhan itu nyata, namun bentuk dan wujud Zatnya seperti apa kita tak tahu. Dan suatu saat, mungkin, kita akan melihat-Nya.

“Kalau begitu Tuhan ada.”

“Keteraturan adalah bukti keagungan sebuah desain penciptaan. Kagungan desain penciptaan adalah pikiran yang masuk akal ketimbang menafikan Tuhan tetapi tidak memiliki bukti selain asumsi mengenai aneka macam kejadian yang dianggap sebagai kebetulan.”

“Untukku, keberadaan Tuhan itu masuk akal,” ungkap Riang.

“Terserahmulah,” ujar Fidel tertawa.

Riang mengingat betul apa yang terjadi setelah perbincangan itu. “Jangan gampang teralihkan dengan pertanyaan yang mengalihkan. Jadilah api yang tak terpadamkan!” kata Fidel mentransfer energi. “Buku-buku di ruang bawah tanah itu adalah salah satu bahan bakarnya.”

Dengan tekun, satu persatu buku-buku Riang baca dan Riang pelajari. Ia melalap-lalap, membakarnya satu persatu, hingga satu persatu buku-buku gosong menjadi abu. Ketika Riang menemukan sesuatu yang membingungkan, ia mendiskusikan segala sesuatunya hingga apa yang ia pelajari menjadi kobaran api yang semakin besar nyalanya, semakin panas tariannya, semakin haus, semakin ritmis geliatnya.

2 komentar:

  1. ra says:

    hhhh......kapan abisnya nih novel???

  1. uh. mentang-mentang novelnya dah diterbitin. jangan menghina ya.

be responsible with your comment