Jembatan Ini (Bab 23)

Posted: Senin, 13 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Berada di sebuah tempat, tanpa memiliki penghasilan, tanpa miliki sesuatu untuk dibarter atau ditukar adalah sifat parasit yang berusaha Riang jauhi. Ia tidak berdiam diri. Riang tidak mau jadi manusia yang kerjanya hanya makan, buang air, main dan melamun. Ia punya harga diri tinggi. Teramat tinggi, tak tersentuh.

Selama menjalani hidupnya di pondokan bersama Taryan, ia membantu apa yang bisa dibantu: memapas rumput, mengikuti piket membersihkan lantai, membenahi atap yang bocor, membantu Eva beli sayur atau belanja untuk pondokan. Di samping itu, tentu, Riang belajar mengamen yang benar, mengamen tidak asal mengeluarkan bunyi sembarang.

”Keluarkan dari mulutmu, lidahmu, pita suaramu!” Bentar menuntun. ”Jika suaramu tidak bagus, tidak sama dengan kunci dan nada, yaknilah, sumber suaramu itu bukan berasal dari mulut tapi dari tembolok! Kau harus bedakan suaramu dengan suara ayam!” ketus Bentar pada Riang.

Di belakang pondokan terdapat sanggar yang dihubungkan jembatan bambu --yang pernah Taryan jadikan pijakan buang air besar--, di sanalah Riang belajar padukan nada dan suara bersama macam orang yang kadang pergi laksana kelabang, kadang kembali, kadang menetap sekian lama lalu hilang begitu saja. Di sanalah Riang ditempa. Di sebuah sanggar yang mirip tempat penampungan. Sebuah sanggar yang cukup luas untuk dijadikan tempat bagi anak anak untuk koprol dan berguling, atau jika perlu, bisa dijadikan tempat senam bagi ibu-ibu PKK.

Sanggar itu di kelilingi tempat duduk sederhana terbuat dari batang kelapa. Setiap malam minggu orang-orang berbondong menyaksikan pentas seni dan pembacaan puisi. Menyaksikan orang-orang multi talenta membawa ’paku’, memaku penduduk, memaku pengunjung hingga membuat mereka terpaku di batang-batang kelapa. Yang tidak kebagian tempat merelakan dirinya bersila seperti anak kecil yang keranjingan mendapat kisah dan musik yang menakjubkan.

Di sini Riang berkenalan dengan musisi jalanan yang keahliannya membuat Riang tercengang. Musisi yang kemahirannya melolong dan uikkan gitar, meggempur perkusi dan menggesek biola membuat Riang iri, menjadikannya merasa tercampak bukan karena sakit campak. Tidak. Biar orang desa, orang tuanya Riang mengetahui manfaat imuniasi. Ia merasa tercampak karena skill nya yang tak ada setai kuku dari keahlian mereka.

Riang sukai benar alat musik yang disebutkan terakhir. Biola. Alat mungil yang gesekannya membuat perasaan Riang memuncak. Suara yang keluar seakan menjelma menghubungkan antar waktu. Gesekannya menjadi knop pembuka sebuah tempat yang jauh-jauh hari Riang tinggalkan. Lengkingannya menggambarkan erangan keluarga besar Riang saat terpanggang disapu awan panas Merapi. Gesekan biola dewa itu tak hanya membawa Riang pada kesedihan. Gesekan yang syahdu membuatnya dialiri kesegaran dan ketenangan. Seandainya energi yang dikeluarkan biola adalah makanan nyata yang terbuat dari materi yang sama seperti masakan ibunya, lidah Riang tentu akan menjulur, menangkapi ’makanan’ seperti lidah cecak saat menangkap lalat hijau. Hap hap hap! Demikianlah. Iri positif kembangkan keinginan dan keahlian Riang. Iri positif mendorong Riang untuk menguasai alat musik yang menjadi alat utama sumber penghasilannya.

Riang tak hanya selalu mengikuti Bentar mengamen dengan suara seadanya. Riang tak mau sampai di situ. Ia ingin terus berubah, ia hampir mati dan sekarat berusaha hingga orang-orang mampu menikmati lagu yang ia bawakan. Itulah mengapa, kemampuannya yang berkembang dari hari ke hari membuat uang dikantung Riang semakin banyak, hingga sebagian uangnya dirasa cukup untuk ia belikan gitar yang Bentar tawarkan. Riang mencicil hingga gitar itu jadi miliknya.

Lain dengan Riang, lain pula dengan Taryan. Karena tidak memiliki kemampuan dasar di bidang seni, Bentar berpikir keras untuk mencari jalan pada saat Taryan mengeluhka mata pencahariannya (mengemis). Melalui kenalannya, Bentar mendapat pemecahan. Taryan diberi kesempatan berkerja sebagai pembersih water closed sebuah perguruan tinggi.

”Aku ndak punya KTP!” Sahut Taryan mengaku.

”Yan,” Bentar bersikap kebapakan, ”kalau keinginanmu bersumber dari keinginan memuliakan diri, biar diriku yang kau jadikan jaminan! Tidak perlu KTP-KTP an!” Tanpa hitam di atas putih, tanpa lem dan materai, hanya bermodal kepercayaan yang andalannya adalah kejujuran, Taryan pun berkerjalah.

Penerimaan itu membuat Taryan bangga. Ia berteriak bahagia saat hari pertamanya tiba. Bagai mesin yang sudah lama tidak dinyalakan, ia begitu bersemangat. Taryan meminta Riang mencukur rambutnya yang tak pernah dicukur semenjak mangkat dari kampungnya. Ia terlihat rapi jali. Taryan begitu tinggi berdiri di atas altocumulus, ia demikian gembira hingga terus bersiul-siul di dalam kamar mandi. Di hadapan cermin, rambutnya ia polesi Brisk. Tubuhnya ia semproti minyak colongan yang biasa Eva gunakan sebagai pewangi ruangan, dan setelah penampilan serta performanya dirasa tak ada bandingannya, beberapa butir debu jatuh dari para-para disenggol tokek kecil. Debu itu melayang, masuk menggelitik hidung Taryan. ”Hua hua huatsyi! Hua hua huatsyi!” Muka Taryan yang merupakan pencapaian paripurna sekota Bandung hari itu, kembali pengok seperti sedia kala. Mandinya jadi tak berguna. Ah, bagaimana pun keadaannya, Taryan tetap ceria baik saat pergi atau pun baliknya. Aha!

Hidup seperti inilah yang membuat waktu terasa berjalan singkat bagi Riang dan Taryan. Hidup yang singkat adalah hidup yang dipenuhi makna. Hidup penuh makna adalah kehidupan dimana orang yang menjalaninya tidak merasa bahwa waktu berjalan apa adanya. Bumi berputar sama cepatnya dengan aktivitas mereka. Benar, waktu tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah pemaknaan manusia terhadap kejadian yang ada di hadapannya. Semakin manusia bahagia, semakin cepat pula keberlangsungan hidupnya.

Riang dan Taryan merasakan itu karena kebahagiaan merupakan bagian dari hidup mereka di pondokan. Berada di pondokan seperti berada di sebuah universitas alam, berada di sebuah institusi non formal yang memberi kebebasan dengan pembatasan yang luas. Pondokan bukan saja merupakan tempat berteduh. Pondokan adalah tempat dimana pasangan Eva dan Bentar berbagi dengan sesamanya. Mereka dan sahabat lainnya mengajarkan banyak orang keahlian merajut, memasak, menghitung, mengaji, memainkan alat musik dan --sedikit demi sedikit berusaha—memahamkan bahwa ‘bentuk’ dunia bisa diubah andai manusia mau berusaha.

Di pondokan, mereka yang berkecimpung dan mengkecimpungkan diri di dalamnya, tidak di fokuskan untuk menghadapi masa depan material, meski secara tidak langsung yang dipelajari dalam pondokan mendukung usaha kearah sana. Fokus utama pembelajaran di pondokan itu adalah pembentukan manusia yang mau bertanggung jawab terhadap diri dan pilihannya. Menjadi manusia yang eksis! Ujar Iqbal dan kalangan philosof of reason lainnya macam Kierkegard, Tolstoi dan Nietzche. Menjadi manusia ayam jago! ujar Bentar menambahkan. Menjadi manusia yang memiliki taji untuk berhadapan dengan kerasanya kehidupan! Untuk memperjuangkan hidup hingga batasan akhirnya!

Inilah pondokan revolusioner tanpa senjata. Inilah pondokan pendobrak. Pondokan yang diisi oleh kolektivisme yang memuja penuh pada semangat persamaan, egalitarian. Di sinilah guru dalam artian formal dinihilkan. Guru yang berkecap-kecap di depan kelas yang menjadikan muridnya adukan semen di perabukan. Guru yang menuntut penghambaan muridnya untuk patuh, dihadiahi kentut di pondokan ini. Mereka diajarkan untuk berdiri satu derajat.

“Tak ada hierarki yang batasi manusia! Aku hanyalah pencari mutiara. Pencari mutiara yang tersemat di dalam dalam hati, di dalam akal budi, dan itu ada di setiap diri manusia yang kutemui. Termasuk di dalam diri kalian semua!” ujar Bentar saat seseorang sematkan pujian.

Seseorang acungkan tangan ”Hierarki itu apa?”

”Hierarki itu tingkatan ...”

Dan beberapa orang mendapat perbendaharaan kata-kata baru.

”Ya .. ketiadaan hierarki, ketiadaan tingkatan di pondokan ini, di tempat kita duduk bersama ini akan membentuk kita untuk percaya terhadap diri. Hierarki dalam pengajaran akan timbulkan hamba, timbulkan ketidak beranian bertanggung jawab!”

Mata Bentar berkeliling, ”Mungkin, kita memang berbeda dari segi pemahaman. Berbeda adalah wajar, asal perbedaan itu tidak mensahkan manusia untuk membuat tingkatan! Bagiku guru adalah kita semua! Guru adalah kehidupan sehari-hari, adalah pengalaman mengenai keberadaan kita di tengah semesta!”

Banyak yang mengerti, banyak pula yang tidak mengerti perkataan Bentar. Kalau sudah begitu kesabaran untuk menjelaskan pun dipraktikkan.

”Kehidupan sehari-hari, pengalaman yang ada di dalamnya adalah guru! Semua hal adalah guru, tak peduli bernyawa atau tidak! Tidak dipertimbangkan apakah yang menyampaikannya masih kecil atau sudah berkepala tiga, atau bahkan medusa,” Bentar melirik. Eva tertawa, menyadari penggunaan medusa akan membuat orang-orang tambah tak mengerti.

Bentar tak usai di situ, ia memulai start untuk mempraktikkan, dan membuktikan bahwa semua hal adalah guru.

”Anak yang ada di sampingmu itu guru kita...” Bentar melirik ke arah Taryan.

”Anak kecil itu!?! Anak sekecil itu!?” Taryan menunjuk Agus yang mulai berlagak, berdiri dan membusungkan dada. Tingkah laku Agus membuat orang di sekitar tertawa. Taryan seperti tak mau percaya.

”Anak yang menurutmu kecil itu guru kita!”

Orang-orang yang sudah lama tinggal di pondokkan, memahami apa yang akan terjadi. Mereka tersenyum. Mereka melakukan konspirasi. "Bogem dia Gus!” Bentar meninju tangannya sendiri.

Agus menerima bendera perang yang diserahkan padanya. Agus menjentikkan matanya. ”Kang Taryan!” Agus mulai genit, ”kang Taryan!”

Orang yang dipanggil membentak. ”Apa!?”

”Kang Taryan, katanya, kata kang Riang, kang Taryan kaya?”

Taryan melirik ke arah Riang. Riang tidak mengaku! Ia menggelengkan kepala seakan mengatakan ’apa untungnya aku bilang ke Agus kalau Situ kaya!?"

Taryan alihkan pandangan. Ia terbayang Ahmad dan Radia. Ia terbayang puluhan ekor kambing, lahan pertanian yang makmur, pondasi rumah yang terbuat dari beton. Ia melayang pada ingatan kala ia gemar membeli tiket bioskop menggunakan sepeda motor yang kecepatannya kalahkan kuda paling gagah di Magelang untuk boyong Radia dan Ahmad menonton film-film Onky Alexander atau Kevin Kostner, Van Dame, dan Michael Dudikov. Taryan terbayang. Sebelum kenangan itu hambai dirinya, sayup-sayup ia mendengar Agus mengulang,

”Kang Taryan, kang Taryan kaya!”

Semua yang ada di pondokan diam menanti respon.

”Tau dari mana aku kaya?!” Taryan melecehkan.

”Tau! Agus tahu kalau kang Taryan kaya!”

”Apa buktinya kalau aku kaya?” Taryan mulai terkena racun yang membuat kepalanya besar. Ia mulai kegeeran. ”Memangnya Agus pernah ke Magelang?”

Agus memberi jeda...

”Agus tidak pernah ke rumah Akang, tapi Agus tau kalau Akang kaya! Akang kaya ... karna Akang punya mata untuk lihat matahari. Akang kaya ... karna Akang punya kuping untuk dengar suara burung setiap pagi! Akang punya kaki untuk berjalan, punya tangan untuk bekerja ... Akang kaya! Beneran ... Akang kaya!”

Mendengar perkataan itu Taryan diam. Ia ambruk di hadapan Agus. Agus menjewer kupingnya. O’, tidak, tidak! Agus juga menjewer kuping temannya yang tak habis pikir, duduk melongo. Dia menjewer kuping Riang. Taryan lekas memeluk Agus. Saat anak itu berteriak. ”Kang ... eungaaaaaaaap! Kang sesak nafas!” Pelukan Taryan melonggar.

Drama itu merogoh hati dan pikiran Riang.

”Siapa yang ajari?!”

Bentar tersenyum. ”Tidak ada!” sahutnya. ”Sejak datang kesini ia sudah punya konsep kekayaan seperti itu!”

”Inikah yang dimaksud semua orang adalah guru?!” tanya Riang.

”Bukan hanya semua orang!" Bentar meluruskan. ”Semua hal, semua bisa dijadikan sarana belajar! Belajar setiap hari! Belajar setiap saat!”

”Tidak capai belajar terus?! Apa tidak sulit?!”

”Ya sulit, ya cape!"

"Lantas bagaimana?"

Untuk pertahankan kesadaran memang sulit! Aku sendiri kadang lupa, hingga aku tidak mendapatkan pembelajaran setiap hari, tapi setidaknya aku berusaha, setidaknya aku terus mencari intisari hidup yang aku jalani.”

”Intisari nekad!” Agus berteriak.

”Husy!” Eva menggebahnya. Teman-teman Agus menjitakinya. Semua orang yang berkumpul di pondokan tertawa.

”Semua orang yang melakukan pembelajaran itu sama,” lanjut Bentar, ”Ya, semuanya sama,
sama,
sama,” kata itu diulang karena penting.

“Karenanya... karena manusia sama, maka tidak patut kita merendahkan diri dan rendahkan orang lain! Kita harus belajar sederajat …belajar berdiri di antara manusia dengan perasaan sama dan berbangga sebagai manusia yang setara!”

Itulah periode kebangkitan. Kata-kata itu, ucapan itu menimbulkan efek yang luar biasa. Inilah lingkungan terbaik. Lingkungan yang ajarkan Riang untuk kembali lakukan pencarian. Bukan! Bukan pencarian terhadap Kardi dan Sekarmadji, melainkan pencarian terhadap diri sendiri. Pencarian terhadap kemanusiaan. Pencarian terhadap kekhasan dan keunikan karakter diri manusia, dirinya! Pencarian terhadap tujuan hidupnya! Tak heran, keberadaan Riang di pondokan ingatkan dia akan pertanyaan yang dulu senantiasa mengganggunya. Riang benar-benar ingin mengetahui, mengapa tiba-tiba ia berada di dunia? Pertanyaan itu datang mengorek kesadaran Riang.

Akan kemana aku setelah mati?....
Mau apa aku ini?
Riang kembali didatangi kegelisahan.
Batinnya terus meringsek pemikiran.
Adakah di balik perjalanan ini, aku menemukan akhir?
Apakah kehidupan ini seperti halnya pemberentian akhir bus DAMRI?
Seperti apakah pemberhentian akhir?
Apakah pangkalan akhir adalah kematian,
lalu apa yang akan terjadi?
Diri ini hilang begitu saja?
Sesederhana itukah hidup?
Ataukah setelah mati aku akan berjalan di padang abadi?
Meyakini keberadaan Jannah, seperti yang orang Islam yakini?
Nirwana?
Surga bagi orang Kristen?

Mau dibawa kemana hidupku ini?
Adakah Neraka?
Adakah Surga?
Adakah hari pembalasan?

Riang ingin mencari sebuah kunci. Ia tidak ingin dirasuki kegelisahan terus. Keimanan yang pernah ia dapat terguncang-guncang! Keimanannya bagai kumpulan kartu remi yang dijajarkan, menunggu runtuh hanya dengan satu tiupan!
Riang tak beriman.
Tidak! Ia masih beriman.
Beriman, bahwa dirinya tak beriman.

Riang kembali didatangi kekalutan. Tubuhnya mengigil, memikirkan pertanyaan yang mulai mecereweti lagi hidupnya.

O’ berat. O’ beban. O’ sesal.

Andai ia bisa memilih, ia lebih memilih, seperti yang dibisikkan seorang filsuf Delphi, Riang sungguh memilih untuk tidak dilahiran. Ia tidak ingin dibebani. Ia memilih untuk ditiadakan semenjak awal. Selagi muasal. Namun, berandai-andai dan menyesal sungguh tak miliki guna, karena Riang sudah berada di dunia. Sesal bukan jawaban baginya. Penyesalan adalah kepengecutan yang tak bersandar pada relita bahwa: "AKU TELAH ADA!" Jawaban bagi kegelisahan adalah pencarian! Usaha Riang untuk temukan jawaban: “mengapa aku ada?” merupakan keberanian yang tidak disadari banyak orang!

0 komentar:

be responsible with your comment