Kejutan (Bab 28)

Posted: Jumat, 24 Juli 2009 by Divan Semesta in
7

Setelah kepergian mereka ke terminal, Riang dan Taryan kembali kepondokan. Mereka mengubur rapat apa yang telah mereka lakukan beberapa minggu yang lalu. Kedua orang itu menganggap penghuni pondokan tak mengetahui apa pun mengenai apa yang terjadi. Riang dan Taryan tidak mengetahui, keluasan jangkauan indera penghuni pondokan melebihi perkiraan yang mereka sangka.

DI ATAS PUNUK BUKIT, langlang burung pipit sibakan awan ikal layaknya bulu domba. Pipit itu membumbung tinggi di jalur bebas tanpa hambatan. Dari angkasa terlihat bebukitan yang berseni di arsir angin. Sebuah kotak terletak di tengah ruang hijau terbuka. Jauh dari kotak yang merupakan kompleks pondokan dan sanggar itu seliris garis putih yang merupakan air terjun tampak berasap
.
Pagi ini Riang dan Taryan akan meniti bebukitan, memotong susunan karang, melewati air terjun tersebut.

Ransum yang dimasukan Riang ke dalam tas terlau banyak. “Tidak usah terlalu banyak,” tegur Bentar. “Di sana banyak ikan, lagipula malam ini kita pulang.” Bentar menunjuk pepohonan yang bergerombol.“Di sana hutan kopi! Jangan dulu masuk ke dalamnya. Tunggu aku tepat di depan hutan kopi itu.”

Taryan masih mencari cacing di tanah gembur dekat sanggar, saat Riang menuruni tangga bata. Melihat Riang melangkah semakin jauh, ia segera mengikat daun talas menggunakan serat bambu. Geliat cacing yang berada di dalam lipatan daun membuat tangannya geli. Taryan berlari. Ia bersiul menikmati pagi yang bergizi.

Kawasan di luar pagar sanggar merupakan kawasan gelap, sebuah wilayah tera incognita bagi mereka yang tak pernah berjalan jauh semenjak hidup di pondokan. Matahari membuat pori-pori kedua orang itu hangat. Keringat bermunculan sekecil titik lalu membesar menjadi jentik-jentik dan menggembung sebesar biji jagung. Saat keringat di pori-pori meleleh Riang dan Taryan sampai di hutan kopi. Cuit, cuit suara burung dan kepak sayapnya terdengar jelas. Ada gemericik air. Suaranya tak begitu jauh. Riang istirahat di atas rumput, sementara Taryan lebih tertarik melihat aliran sungai. Ia menghilang.

Baru saja Riang menguap, sebuah teriakan histeris terdengar “Masya Allah Riang! Masya Allah!”

Riang melupakan kantuknya. Ia berlari searah dengan tempat menghilangnya Taryan. Ia melihat aliran sungai. Merah bertebaran di mana-mana. Taryan tergeletak, di dahan pohon. Riang memungut ranting. “Sialan!” umpatnya. Ia melemparkan ranting di tangannya kuat-kuat. Taryan mengikik. Ia membalasnya lemparan itu menggunakan jambu air yang menggunduk di dalam genggaman tangannya.

Pohon jambu air berbuah lebat. Buah-buahnya berjatuhan ke tanah. Ada yang busuk, namun sebagiannya yang masih segar membuat liur menetes. Riang tergoda untuk memanjat. Ada saja jambu yang jatuh ke sungai setiap Riang menggoyang dahannya. Kedua orang itu mengantungi dan memakan jambu air liar sampai puas.

Fred tiba lebih dulu di pelipiran hutan kopi. Ia berteriak. Teriakannya disambut Riang dan Taryan lalu ketiga orang itu menghabiskan hampir sebagian jambu air matang yang tumbuh di pohon. Setengah jam kemudian, Bentar dan Eva sampai di tepian hutan. Taryan menyambut mereka dengan tingkah laku monyet, menyorongkan jambu air yang ia masukan ke dalam serokan.

Memasuki hutan kopi perubahan terasa. Hawa menjadi segar. Hutan kopi yang mereka masuki adalah refrigerator alami. Pepohonan rapi berjejer. Tak ada biji-bijian yang menempel di dahannya. Hutan ini mandul, menopause, tak produktif lagi. Pohon kopi terlihat diselang selingi tepus, semacam obat alami pereda panas. Di tengah jalan, Riang yang berada di depan rombongan menemukan onggokan arang. Ada tiga batu mengepung kayu yang sudah mengitam. beberapa jam yang lalu beberapa orang melanjutkan mematikan bakaran, mematikannya dan meninggalkan hutan kopi. Mereka terus berjalan. Cahaya semakin terang di depan. Aliran air, --yang semenjak pertengahan hutan menghilang- -, terdengar kembali suaranya. Rombongan itu keluar dari hutan.

“Ini kebun, bukan hutan!” protes Riang. Wilayah itu hanyalah kebun kopi yang menyendiri memisahkan diri.

Bentar yang saat itu tengah mencabut tanaman rheumason tak mau ambil pusing. Didekatkanya akar tanaman pada Eva. Hidung perempuan itu blong. Suara guruh terdengar. Tebing batu basah. Percikan air tanah merayap di dinding lalu jatuh. Tebing batu itu ditumbuhi lumut dan didominasi tanaman yang lumrah dijadikan tanaman pagar yang merambat seperti jenggot. Tanaman itu tampak subur menutupi dinding selebar lima puluh meter. Tinggi tebing batu yang mereka lewati sulit diprediksi ketinggiannya.

Memasuki jalan batu yang licin berair, beberapa tanaman, merunduk menahan terpaan air. Pepohonan yang membusuk, tumbang di samping jalan. Tanaman-tanaman tropis bergoyang-goyang oleh angin deras yang menghempas dari arah selatan. Ada gemuruh dalam kesunyian, terkadang menjedar-jedar menakutkan.

Keluar dari tebing mereka masuk ke dalam ruangan terbuka. Ada raksasa di tempat itu. Sebuah air terjun yang megah tampak di hadapan. Air liurnya yang putih, menimpa bebatuan mengukir salah satu batu membentuk cincin-cincin besar. Di hadapan Raksasa putih mereka istirahat sementara Eva bergerak menaiki puing-puing bebatuan, menyeberangi aliran air, menuju sebuah pondok kayu. Bentar menyusulnya.

Air terjun itu pasti sudah ada sejak zaman purba, mungkin pernah dijadikan tempat minum stego dan tyranosaurus, menjadi tempat menggembleng kesaktian pendekar zaman dulu, dan pernah dibalikan oleh satu pukulan, seperti yang dilakukan Ryu dalam Saint Saiya yang sering Riang tonton di Yogya saat SMA. Air terjun itu memiliki panorama yang indah. Akar-akar yang kokoh dan pohon-pohon raksasa yang bergerombol mengelilingi air terju itu mengesankan penjara alam yang indah. Di beberapa sisi tebing, akar-akar yang kokoh, menjadikan bebatuan menjadi bongkahan. Di pertengahan tebing kiri, sebuah akar sebesar diameter phyton tiba-tiba bergerak, menjulur ke bawah. Seorang lelaki turun menggunakan akarnya. Baju lelaki itu berkibar. Sampai di bawah, lelaki itu masuk ke dalam kolam yang dingin. Badannya ditempa curahan air dari ketinggian puluhan meter. Riang tahu rasanya tubuh ditimpa air dari ketinggian belasan meter. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Wajahnya serasa ditampar sandal jepit. Riang melihat tubuh lelaki itu memerah, tetapi ia tak mendengar erang atau goyangan tubuh yang mengesankan lelaki itu kesakitan.

Riang tidak sadar, saat dirinya melihat lelaki itu wajah Fred mendadak berubah. Lelaki itu mencemari udara di sekitar dengan tatapan yang memangsa. Fred beringsut perlahan, mencari kesempatan. Suaranya mengalahkan deru air.

“Tahu tidak?” Fred mencolek tulang iga Riang, kasar.

Riang berpaling.

“Eva,” Fred menunjuk, “wanita itu tengah membuat feature mengenai keyakinan tradisional setempat untuk majalah luar. Kau tahu fokus tema yang diangkat dalam tulisan Eva?”

Riang tidak tahu.

“Mengenai pertemuan antara Adam dan Hawa.” Fidel mendekatkan mulutnya. “Kau tahu di mana nenek moyang manusia itu bertemu?”

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Muncul di saat yang tidak tepat. Riang ragu menjawabnya.

“Di Batu Jajar?” jawab Fred.

Adam bertemu Hawa di Arafah. Guru agama Riang yang mengatakannya.

“Kau tahu, Yang?” Fred menyoodorkan bibirnya yang berubah membentuk corong.
Riang mana tahu.

“Adam turun ke dunia tidak pakai kolor. Tidak pakai cangcut!”

Seperti seks, prostitusi, kondom, dan kelamin, maka cangcut dan kolor adalah sebuah kode. Menyebut salah satu di antaranya akan membukakan kolektif ingatan yang diterpakan koran kuning yang memiliki kelainan dan Chomsky menyebut cara yang sudah dipraktikan di Timur Tengah mengenai term terorisme dan radikalisme sebagai American Ideological system. Riang tidak seideologis itu. Pikirannya Riang merah jambu. Cabul Ideological system Riang berdering-dering. Ia berkhayal, jika Adam tidak menggunakan cawat bagaimana dengan Hawa?

“Kau tahu Yang?!” Fred mengejutkannya lagi. “Kolor Adam terbuat dari daun talas! Adam menggunakan kolor daun talas! Kau tahu?!”

Riang mengikik. Cabul ideological systemnya masih berbunyi. “Gatel dong!” katanya.

“Ya jelas! Bagian vitalnya Adam beruntusan.” Fred tertawa. “Tahu sendiri, pohon talas zaman purba sebesar apa. Getahnya ratusan kali lebih gatal ketimbang pohon tales zaman sekarang!”

Fred sorongkan mulutnya di daun telinga Riang. “Kau tahu siapa yang membuat anu Adam gatal?”

Dalam permasalahan seperti ini, Riang tangkas. “Daun talas!” katanya bahagia.

“Euhhh!” Fred kecewa. “Kan aku bilang siapa, bukan apa.”

Riang tampak harus kembali ke zaman SMA.

“Kau tahu siapa?!”

“Siapa?!”

“Yang…” Fred berahasia. “Yang buat titit Adam gatal-gatal itu Tuhan! Tuhan sekalian alam!”

Fred jadi tampak menakutkan. Ia terlihat berubah. Riang melihat giginya yang kuning bertambah. Kerongkongannya seolah berubah menjadi gua Selarong.

“Lu tahu Allah buat Adam pakai apa?” Fred menteror.

Riang yang masih terkejut, belum bisa menerima perubahan itu menjawab lurus. “Pake kun fayakun.” Riang teringat kembali guru SMA-nya. Ia belum sanggup menahan pertanyaan yang datang. Ia masih merasa pertanyaan itu seolah tak pernah ditanyakan. Ia merasa dirinya bermimpi.

“Salah! Mana ada kun fayakun! Adam diciptakan… ya… ya…” Fred meminta Riang untuk mendekatinya, “sini…sini Aku bisikin lagi!”

Riang memberikan kupingnya.

“Adam diciptakan dari sperma tuhan! AIR MANI ALLAH!”

Riang mental sepuluh meter. Membentur bongkahan batu besar. Ia seakan merasakan lelaki yang berada di bawah air terjun mencabut akar tumbuhan dan menggunakan akar itu untuk mencambuknya.

Riang step (lumpuh).

Dalam kondisi itu, Fred mengetahui pada saat seperti itu siapa pun sukar untuk memulihkan diri. Kesempatan itu ia gunakan benar. Fred mendongeng. “Waktu zaman Pleistosen dulu, tuhan sendiri. Setelah sekian tahun, ia tak tahan. Tuhan tak bisa menahan libido-nya! Ia menggesekkan kemaluannya ke batu karang. Digeseknya sampai bucat! Sperma-Nya muncrat! Dia puas. Tuhan puas! Ia yang maha mengetahui terbang ke angkasa. Di tengah-tengah perjalanan tuha pulang ke surga, seekor biawak betina datang. Si biawak ngaso di batu tempat sperma Tuhan keluar. Si biawak tidak sadar, jika sperma tuhan merangkak mendekati kelaminnya yang mangap-mangap! Biawak itu hamil! Tiba-tiba ………… seperti katanya penciptaan dunia, biawak itu hamil! Dan kau tahu siapa yang ada di perutnya?! Kau tahu siapa?! …. ADAM Yang!!! Cangkokan sperma tuhan itu berwujud Adam!” Fred tersenyum mengerikan. Ia mengambil kesimpulan. “Jadi… kalau ada yang bilang Adam datang dan tercipta tiba-tiba begitu saja turun ke dunia, itu salah! Salah total! Salah hu akbar! Bagaimana bisa Adam lahir dengan sendirinya?! Ibunya Adam itu biawak!!!”

Perkataan Fred membuat Riang ingin bunuh diri. Marah dan rasa tidak percaya jika Fred yang mengatakan itu, membuat Riang tak bisa berbuat apa-apa. Riang menggapai-gapai, melarikan pandangannya, dari pandangan yang memangsa.

Fred terus tancapkan keraguan di pikiran Riang.

Seperti halnya menghadapi gempuran perkataan Mahdi di Yogyakarta, Riang menutupi pendengarannya, tapi gempuran itu tidak serta merta hilang. Gempuran itu membekas di dalam pikiran.

Riang memaksa diri melihat Bentar dan Eva turun dari pondok kayu. Kedua orang itu mendekati lelaki di bawah air terjun tanpa mengganggu. Bentar membuka payung untuk menjaga lensa kamera dan Eva menembaknya. Mereka berjalan, menuju samping air terjun, menaiki akar lalu menggunakan isyarat tangan.

Riang melompat. Ia berjalan tak mempedulikan Fred. Sekitar sepuluh meter menjalari akar, Eva dan Bentar menghilang di telan bebatuan. Kedua orang itu masuk ke dalam lorong hijau dihiasi dedaunan dan bunga-bunga terompet berwarna ungu. Lorong yang cukup panjang dengan kemiringan tigapuluh derajat itu memudahkan seseorang untuk sampai di atas air terjun raksasa.

Riang menyusul Bentar dan Eva, ia tak menyadari jika Taryan meneriakinya. Riang terus melangkah. Sampai di lorong hijau, menuju ujungnya, lalu berbelok ke kanan dan menyibak dedaunan yang menutupi jalan. Riang menemukan Bentar dan Eva istirahat di sebuah kebun teh tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya..

“Di sekitar wilayah ini,” papar Eva, “ada sebuah masyarakat yang mengakulturasikan kepercayaannya dengan kekuatan alam.” Eva tersenyum pada Riang. “Kau melihat orang yang turun memanfaatkan akar Yang?”

Riang diam. Ia menyeka wajahnya.

“Butuh tenaga besar untuk turun dari sana. Apalagi jika harus menaikinya,” ujar Eva. “Lorong yang kita masuki tadi tersambung hingga ke atas air terjun. Di atasnya kita bisa menemukan sebuah arca yang dililiti akar pohon yang menjulur hingga ke dasar air terjun. Naik dan turunnya lelaki yang kau lihat di air tejun tadi adalah ritual peribadatan.” Eva sedikit bingung. Riang tidak memberinya respon.

Bentar melirik. Ia melanjutkan penjelasan. “Masyarakat yang bisa kita temui satu kilo ke arah tenggara dari tempat ini Yang … masyarakat di sana percaya, di bawah air tejun yang kita lewati tadi Adam dan Hawa bertemu!”

Dar! Mendengar pertemuan Adam dan Hawa halilintar menyambar! Pantat Riang hangus! Ke dua orang itu melihat hentakan tubuh Riang. Riang tak bisa ditanya. Ia mengasingkan dirinya dalam perjalanan. Ia diam. Perjalanan yang panjang jadi tak terasa saat konsentrasi pecah. Jalan setapak terus menanjak, menanjak dan menanjak hingga akhirnya Riang menyadari kakinya menginjak hamparan rumput Jepang. Tampak sejajar dengan matanya rumah mungil bergaya arsitektur Jepang berdiri. Jendela-jendela kotak mendominasi. Genting rumah terbuat dari rumbia hitam. Tak ada pagar, hanya rumput yang menandakan batasnya.

Di samping rumah mungil itu, ratusan mentimun mengintip siap petik. Bunga kol merekah, warnanya hijau tua. Ada kolam air deras pinggir lahannya. Pada muara kolam itu ditaruh roda besar. Bunyi gerakannya memecah hening. Sebuah kabel disambungkan ke dalam rumah. Roda itu dijadikan pembangkit liistrik oleh pemiliknya. Rombongan orang dari pondokan berjalan menuju pintu utama rumah. Tiga buah kursi, satu meja dan sebuah kursi malas, bergoyang-goyang. Seseorang baru saja duduk di atasnya.

Bentar mengenal baik rumah kayu ini. Ia mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Tiga kali ia rasakan cukup. Bentar masuk ke dalam dan tidak menemukan seorang pun di sana. Tak berapa lama kemudian suara gebrakan terdengar. Dua buah keranjang yang dipenuhi wortel dan beberapa tomat jatuh di atas papan kayu.

Seorang berbadan besar menunduk, wajahnya ditutupi caping. Sebilah clurit tergantung di pinggangnya. Ia mengangkat kepala. Waluh! Lelaki gagah itu terkapar di atas lantai. Ia lagsung mengambil air pada botol yang terletak di tengah tubuh Taryan dan Eva, tanpa meminta izin.

“Lelaki itu itu di mana?” Tanpa basa-basi Bentar langsung bertanya padanya.

“Masih di kolam!” jawab Bentar padat.

“Di hulu sungai?”

“Kemarin air meluap. Ada kemungkinan bendungan di hulu roboh. Dia pulang jika bendungan sudah dibenahi.”

Bentar tersenyum. “Mudah-mudahan anak ini bahagia!”

Anak ini? Siapa yang dimaksud anak ini?

Obrolan berakhir. Maknanya hanya diketahui beberapa orang. Waluh lantas mengambil beberapa buah wortel. Ia mencucinya di dalam kolam. Eva masuk ke dalam rumah kayu menyiapkan makanan, sementara Riang dan Taryan mengitari kolam dan halaman luas yang digunakan Waluh mensupport Sup Not Bomb. Jika tanah ini tidak menghasilkan ia mendatangkan bahan makanan dari lahan lainnya di Lembang atau Pangalengan. Waluh mengelola lahan, mengkomersilkan ke swalayan untuk mensubsidi pasokan bahan makanan dan kegiatan dan membuat jaringan antar pemilik lahan. Jaringan itu ia gunakan untuk menjamin distribusi makanan dari pemilik lahan bagi yang membutuhkan.

“Satu kilo ke arah tenggara ada lahan seluas tiga hektar milik Sup not Bomb. Jika kalian jalan lagi sekitar dua kilo kalian akan menemukan lahan pertanian yang luasnya enam kali lapangan bola.” Tunjuk Bentar pada Taryan dan Riang. “Pemilik lahan itu petani tua dari Jakarta. Dia pendukung berat SNB. Coba lihat titik cahaya di bawah sana,” Bentar menunjuk ke arah lembah, “itu cahaya rumah petani miskin yang juga mendermakan hasil pertanian yang tak seberapa untuk panjangkan usia saudara kita.”

KETIKA SORE JEMBATANI MALAM Riang sudah membenahi denyut nadinya. Ia menjauhi Fred untuk sementara. Setelah maghrib lewat beberapa orang memasuki rumah. Tiga orang wanita seusia Eva. Sisanya laki-laki semua.

Beberapa saat kemudian, anggota kumpulan itu bertambah. Seorang lelaki jangkung datang. Dari perawakan, rambut, wajah, dan bola matanya, jelas ia bukan berasal dari ras yang sama dengan orang-orang yang berkumpul sebelumnya. Ada sesuatu yang menyatukan mereka di sini.

Lelaki jangkung itu memperkenalkan diri. Dia datang sembunyi-sembunyi, menggunakan paspor untuk wisata ke Bali, menyeberang dan akhirnya sampai ke tempat ini. Eve menterjemahkan. Chris berharap kedatangannya bisa diterima.

“Di Inggris saya bertemu dengan Eva. Saya sempat berdiskusi mengenai keadaan politik Indonesia. Saya di sini bukan ingin ikut campur. Saya datang, hanya ingin berbagi. Saya yakin Your’e experiences beyond mine, pengalaman kalian jauh melampaui pengalaman saya. In this spot kita bisa saling memahami, berbincang, mengisi.” Chris diam merumuskan apa yang hendak ia sampaikan. “Kita sama-sama memahami, saat ini politik Indonesia tengah memanas. Suasana di negeri ini keruh. Eva bilang, pemerintah akan menindak siapa pun, yang dianggap berusaha menggulingkan pemerintahan .... maaf… di mana pun saya berkunjung, aparat pemerintah dunia ketiga selalu menjadi antek kapitalisme global. Perusahaan transnasional yang dibangun pemilik modal dunia, melakukan kerjasama dengan pemerintah negara ketiga. Mereka adalah penguasa yang sesungguhnya.”

”Mengatas namakan stabilitas penanaman modal, mereka membuat kebijakan yang menghantam gerakan-gerakan bawah tanah. Mereka takut pada jaringan-jaringan kecil yang satu saat nanti akan membesar menjadi rival yang menakutkan. Jaringan-jaringan itu mereka putus menggunakan cara yang halus hingga represi. Entah sudah berapa ribu anak muda hilang karenanya…”

“Saya mendengar, saya ikut bersimpati. Kita kehilangan kontak akibat kehilangan terlalu banyak pemuda-pemuda yang memahami kekuatan informasi. Komunikasi harus kembali di bangun. Teman-teman di luar berusaha membantu. Di Filipina, Australia, Singapura, Malaysia, Amerika, mereka mensupport kegiatan yang kalian lakukan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kalian tidak sendiri saat ini.”

Seseorang menjelaskan keadaan. Bahasa Inggrisnya terpatah-patah.

“Gerakan-gerakan Leninis mencuri start. Organisasi-organisasi underbow mereka lebih dulu turun. Gerakan-gerakan pembangkangan yang di organisir secara terselubung, mulai bergerak. Kita mendengar di Garut, di Cianjur selatan, Sukabumi, di Tapos, muncul demonstrasi-demonstrasi kecil. Mahasiswa-mahasiswa pun, sudah mendesas-desuskan munculnya revolusi di Jakarta. Mereka percaya, rekayasa sosial berawal dari kerjasama antar gerakan, yang meski memiliki landasan berbeda tapi untuk saat ini memiliki tujuan yang sama. Gerakan mahasiswa dan gerakan Marxis memiliki common enemy yang sama: tumbangkan rezim yang telah lama berkuasa. Apa kita masih harus tinggal diam?”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka!” Tegas yang lainnya.

Chris tak mau mendominasi pembicaraan. Ia menyadari, disini, ia tidak datang untuk menyetir apa yang seharusnya dilakukan. Ia hanya seorang tamu saja. Tak lebih dari itu.

“Untuk saat ini, kita tidak akan bergabung dengan mereka.” Kali ini Waluh yang bicara.“Kawan-kawan mahasiswa dan gerakan Stalinis belum memiliki dasar yang kuat untuk menggantikan sistem. Terlalu cepat jika revolusi sistemik terjadi.”

“Jika bersikukuh, yang nanti terjadi, revolusi prematur seperti peristiwa Prambanan. Revolusi seperti itu mudah dimatikan antek-antek kapitalis. Revolusi terlalu dini akan tumpas. Pikiran masyarakat belum berpihak secara sadar mendukung revolusi. Mereka hanya faham kalau mereka disusahkan. Tak lebih dari itu. Masyarakat hanya memamah propaganda.” Waluh melirik,” bagaiman telaah kolektif anarki di tempatmu?”

“In England our movement running by methodology of education. Tak ada propaganda, jika propaganda itu hanya dilakukan sekedar membakar amarah. Rakyat akan bersimpati dan tidak akan balik menyerang, suatu saat kami yakin masyarakat akan bergerak atas pemahaman, bukan propaganda. Proses pendidikan harus dijalankan. Kami menganggap satu-satunya cara berubah adalah pendidikan. Revolusi dan propaganda, cara pintas pendidikan jalanan, tidak akan menggantikan apa pun selain kekacauan. Kami tidak bergabung dengan gerakan seperti itu. Kami anarki pasifis.”

“Tak ada yang dikhwatirkan,” seseorang menambahkan, “lagipula yang hanya mereka siapkan hanya atap bukan bangunan berpikir yang kokoh. Mereka masih lemah. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kekuatan mereka bahkan belum samai kekuatan, kala mereka menyetir Soekarno.”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka kan?” Seorang wanita memastikan.

“Untuk apa?” Waluh mengambil ancang-ancang, “hanya sekedar untuk memamerkan dan berkata bahwa kita bergerak? Tidak, kita tidak akan tercebur dalam kolam kejatuhan yang sama. Dulu, dalam Revolusi Jerman 1918, ide-ide anti-negara telah diletakkan ke dalam praktiknya. Berbagai anarkosindikalisme didirikan dan dideklarasikan, bahwa mereka independen dan memiliki otonomi penuh. Tapi kemudian otonomi ini dihancurkan aliansi pemerintah komunis bersama milisi-milisi fasis yang pro negara dan kaum sayap kanan. Semua bersatu menghancurkan anarkosindikailis.”

“Pada tahun 1921 ketika pelaut Petrograd bersama kaum buruh menduduki kota Kronstad, kita dibantai habis-habisan oleh Tentara Merah Bolshevijk dan Trotsky dengan angkuhnya berkata, pada akhirnya pemerintah Soviet, dengan tangan besi, telah membawa Russia lepas dari anarkisme! Padahal, dulu, seolah-olah mereka mendukung kita dalam tuntutan-tuntutan revolusinya. Saat ini kita memahami yang terjadi. Tetap di tempatnya. Kita tetap melakukan hal yang biasa kita lakukan! Kita tak akan melakukan kekerasan, sebab kekerasan adalah sebuah bentuk penguasaan dan pemaksaan! Kekerasan pun hanya akan menyebabkan perbudakan,” Waluh mulai mempersuasi. “Mungkin diantara kita ada yang memiliki prinsip yang berbeda. Tapi tolong, kita harus stigma yang telah di bakukan Kapitalisme terhadap Anarkisme!”

Ada kemelompongan di dalam. Eva kemudian mengajak mereka semua untuk mendengarkan Chris kembali. Lelaki itu menceritakan secara detail bagaimana kegiatan-kegiatan yang dia lakukan bersama gerakannya untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Ia mengambarkan bagaimana langkah yang dilakukan teman-teman di Inggris untuk memperkuat masyarakat dan komunitas menggunakan konsep anarkisme. Untuk menciptakan sebuah dunia dimana orang-orang datang bersama-sama membentuk tatanan masyarakat baru, yang bebas. maka kita harus melakukan hal-hal yang alamiah. Anarki adalah kegiatan membangun diri dalam bentuk paling sederhana: menolong tetangga disekitar, menanam sendiri makanan, mendukung aksi-aksi pemogokan, hingga demonstrasi di dimana pun juga sebagai upaya penentangan terhadap konfrensi WTO; sebagai tanggapan atas diberlakukannya kebijakan-kebijakan pasar bebas, menolong menjagakan anak, menjawab apabila ditanya, hingga tidak menjadi tipikal seseorang yang diharapkan oleh sistem. Anarki adalah kerjasama yang saling menguntungkan, ko-operasi dan tidak menyerahkan hidupmu pada orang lain untuk mengaturnya.

“We trying to keep our tradition. Do it yur self. D. I. Y.” ujar Chris. “Saya berbangga ketika melihat teman-teman berhasil melakukan hal kecil seperti SNB tetapi berarti besar atau seperti yang dilakukan petani-petani di Brazil. Ratusan dari ribuan petani yang mengorganisir diri dalam MST (organisasi gerakan para petani hamba) menduduki lahan-lahan pertanian untuk kemudian mengolah Lahan secara kolektif. Tahun 1994 lalu, kaum Zapatista memapankan zona otonomi di berbagai desa di daerah Chiapas, Meksiko. Kami berpikir, untuk terus tularkan tradisi resistensi dan perlawanan. Mereka mengangkat senjata. Kita mungkin berbeda pemahaman dalam mengartikan anarkisme tetapi kolektif Chiapas menjalankan tradisi pendidikan dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Saya pikir kita semua faham bagaimana anarkisme diwujudkan.”

Riang dan Taryan tak bisa ikuti perbincangan itu. Keterbatasan berbahasa dan kurangnya informasi menjadikan mereka seperti selada yang kesepian teronggok di pasar swalayan. Mereka tak perlu berharap mengerti sebab inti kedatangan mereka bukan untuk mendengarkan Chris, si bule anglosaxon itu membicarakan ideologi otonomi. Kedua orang itu merasa tak berguna. Ingin keluar dari ruangan rasanya tidak nyaman karena harus meminta izin memotong pembicaraan.

Taryan melihat kegelapan yang ada di balik jendela. Angin dingin masuk ke dalam ruangan melalui pintu. Riang mencuri-curi pandang memperhatikan Fred yang seolah-olah tengah merekam seisi ruangan dengan matanya.

Saat perbincangan mulai melonggar, dari kejauhan suara motor trail terdengar memecah konsentrasi. Situasi yang semula hangat berubah menjadi tegang. Hanya Bentar Eva dan Waluh yang tidak terganggu. Mereka mengenal suara knallpot motor trail itu. Mesin motor berhenti. Langkah sepatu boots beradu dengan tanah. Beban jatuh di lantai. Langkahnya terdengar berat. Pintu dibuka. Cahaya lampu menegur wajahnya kala lelaki itu memasuki rumah kayu.

“Hai Chris,” sapanya. “Di sini terlalu gerah ya,” lelaki itu tersenyum, memandang persatu. “Bagaimana kalau kita santap malam di luar.” Ia membujuk. Dan wajah lelaki itu tiba-tiba menukik. Tatap matanya menyambar ke arah Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!” sambutnya ramah. Bahagia mengerjap di matanya.

Suara itu hanya dikeluarkannya sekali, tetapi resonansinya terasa lambat bagi Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!”

“Riang Merapi … Lama tak bersua,
Selamat datang di gubug kecilku kawan!.”
“Riang Merapi … lama tak bersua,
Selamat datang di gubug kecilku kawan!.
Suara itu?
Suara itu?!




..
.
“Fidel!”

Riang bangun dari duduknya. Ia setengah berlari. Sebelum menubruknya, Fidel mengulurkan tangannya yang hangat di bahu Riang. Dipeluknya rekat. Riang tak kuasa menahan haru. Ia menangis. “Mas Fidel ada disini?”

Fidel melepaskan pelukan, ”ceritanya panjang” Ia meminta izin keluar rumah. Riang mengikutinya. Taryan menyusul berjingkat jingkat padahal tak semestinya ia begitu sebab orang-orang ikut berhamburan keluar, mengambil gelembung plastik dan arang yang ada di gudang belakang.

Bentar menghampiri. Ia meninju pangkal lengan Fidel.

“Hai Petir,” sapa Fidel “Bandrek pesananmu ada di dalam tasku!”

Keakraban itu menimbulkan kecurigaan. “Mas kenal Kang Bentar?!” Tanya Riang.

“Menurutmu?”

Riang diam.

“Lebih dari sekedar kenal,” Fidel menjelaskan. “Dia teman baikku.”

“Kalau Mas kenal, kalau begitu, be…berarti Mas tahu aku ada di Bandung?”

“Sabar,” Fidel tertawa. “Episode kita masih panjang Mas!”

“Panggil aku Riang saja, Mas.”

“Begitu halnya denganku!” Perkataan Riang di makannya. “Jangan panggil aku Mas. Panggil seperti teman-teman biasa memanggilku.”

“Oh ya … Mas … eh Del … eh Mas saja ya?”

Fidel terseyum. “Terserahlah mau panggil aku apa.”

Riang senggol Taryan. “Ini temanku!”

“Mas ini siapanya Riang?” sederhana sekali Taryan bertanya.

Riang sebal dengan pertanyaan itu, tapi siapakah Fidel baginya? Ia hanya bertemu dengannya sekali tetapi pengalamannya bersama Fidel seakan pengalaman seseorang yang hidup dan berteman selama bertahun-tahun. Riang tak bisa menjelaskan. Fidel pun kesusahan dibuatnya.

“Saya? Siapanya Riang?”

Sulit untuk menjawabnya.
Waktu di sandera. Over hang selama beberapa detik.

Riang memutuskan. “Ia penyelamatku di Merbabu. Sudah berapa kali kita bicarakan ini. Kau lupa?!.”

“Temennya Mas Pepei itu?”

“Tepat! Riang itu …” Fidel masih sulit mendevinisikan. “Ya, Riang-ku!” Fidel sedikit lega.

Usai menyeduh minuman hangat, Bentar datang menggoda. Uap bandrek dam kopi membuat orang-orang melupakan tua. Bentar menarik kursi malasnya. “Fidel itu sepupuku.” Ia mengakuinya santai.

“Fidel yang memberitahukan keberadaan dirimu di kota ini.” Bentar pasang tampang tak bersalah. “Sebelum ia pergi ke Isfahan, aku di wajibkannya mencarimu. Taruhannya, nyawa.” Katanya serius. “Kalau aku tak menemukan dirimu…” ia menunjuk Riang, “bisa-bisa aku digergaji olehnya!”

Fidel tertawa.

“Kenapa tak memberitahu kalau mas Bentar kenal mas Fidel sejak lama?” Riang menuntut.

“Itu asyiknya!”

“Asyik darimana!?”

“Asyik pikirkan cara supaya Kau betah di pondokan! Supaya tak balik ke jalan! Aku khawatir kau akan pulang ke Thekelan. Kau hanya akan ke pondokan, seandainya Fidel pulang.”

“Dari mana mas mengetahui wajahku?”

“Memangnya tidak ada kamera foto apa? Waktu kau antar Fidel dan Pepei di Merbabu kau kan di foto!”

Penjelasan itu masuk akal, tapi Riang tetap merasa janggal. “Mas tahu dari siapa aku di Bandung?” Riang menuntut memperkarakan Fidel. Dalam pikiran dia, tak mungkin orang tahu segalanya.

“Aku bertemu orang tuamu di Thekelan.” Fidel menjawab.

“Bertemu orang tuaku?”

“Bukan hanya itu. Aku bertemu bapaknya Kardi.”

“Sekarmadji pernah datang ke pondokan, Mas tahu juga tentang itu?”

“Bentar yang menceritakannya padaku. Itu kebetulan yang luar biasa.”

Bentar menegur. “Yang!”

Riang bingung dengan setelan suara Bentar.

“Maksudmu menyebarkan desas-desus di sekitar pondokan itu, apa?!”

Riang tak siap menjawab. Ia tak memahami, mengapa hampir seluruh perbuatannya diketahui dua orang yang ada dihadapannya. Riang bingung. Wajahnya matang.

Bla…blap…blup, Bentar menjelaskan detail peristiwa yang terjadi pada sepupunya. Fidel tertawa. Ia pun menceritakan bagaimana mitos Merbabu mendongkrak pandangan orang terhadap pemuda yang ada di hadapan mereka.

“Ia membuka hijab informasi!” Fidel menjelaskan pada Bentar. “Ia berhasil memanfaatkan informasi!”

Bentar bersandiwara. Ia marah pada Riang. “Jadi pembelajaran yang kau dapatkan digunakan untuk menipu penduduk di sekitar pondokan?! Jahat kau, Yang!”

Riang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tertawa, dan Taryan, selaku asisten dalam persekongkolan di terminal Dago berusaha membelanya.

“Jahat tapi hebat!” ucap Taryan bersemangat.

Riang bengkak. Wajahnya yang sudah matang dipepes menjadi merah dan kalau sudah gede rasa sebaiknya diam.

Eva dan dua orang wanita lainnya memotong perbincangan. Mereka membawa mangkuk-mangkuk kecap berikut racikan jahe beberapa siung bawang merah dan tomat. Chris ikut menebas daun pisang, melemaskannya menggunakan api bersama yang lainnya. Suasana gembira tiba. Nasi bercampur bumbu-bumbu ikan baker dihidangkan. Chris diberi kesempatan pertama untuk mencicipi ikan bakar. Nasi dan lauk yang dihidangkan itu menyatukan ras. Rasa menghubungkan bangsa. Inilah persaudaraan yang terjalin karena makanan.

DINI HARI, Chris dan beberapa kawan-kawan yang lainnya pulang. Taryan, tak sanggup lagi melanjutkan obrolan. Ia mendengkur pelan sewaktu Riang melanjutka pembicaraannya dengan Fidel.

Riang menumpahkan isi hatinya.

“Aku hampir gila mas,” jelasnya. “Sejak Mas dan Mas Pepei datang ke desa, aku jadi seperti ini…”

Fidel tersenyum. “Kau hendak menuntutku karena itu?”

Riang tiba-tiba mengingat ucapan Fred. “Aku gelisah!” ucapnya.

Fidel mengetahui kegelisahan macam apa yang ada di kepala Riang. Ia hanya menjawab.“Kau sedang mengandung, Yang!” Senyumnya mencair lagi. “Kelahiranmu sudah dekat! Kau akan melompat, melompat jauh ke depan!”

“Apa yang saat ini kau fikirkan menunjukkan eksistensimu! Bahwa kau manusia yang sedang berfikir, manusia yang tengah berusaha menggali makna kehidupannya sendiri!”

“Ada keputusasaan di kala Kau merasa tak mampu menyelesaikannya, ada kegelisahan yang harus ditebus karenanya. Kau tahu Yang … kegelisahan itu ibarat sebuah canopy trail, ibarat sebuah jembatan yang menguatkan arah hidup manusia. Kegelisahan adalah jembatan. Dan jembatan --seperti yang kita ketahui-- bukan tempat kediaman yang nyaman … Tempat kediaman yang nyaman adalah tempat akhir, di mana kita tak perlu lagi menanyakan apa tujuan penciptaan manusia”

“Tapi kegelisahanku?” Riang merajuk. Wajahnya memerah.

“Tidak boleh tidak …” Fidel menunjuk, “manusia, aku, kamu, kita haru melewati jembatan tersebut! Hanya dengan melaluinya kita dapat mencapai tingkatan demi tingkatan di dalam kehidupan! Ketika manusia ingin mendaki tingkatan itu, ia akan menghadapi bermacam ujian! Jika seseorang yang ingin naik tingkat dalam beladiri, ia diharuskan bertanding, menahan pukulan, mengelitkan tendangan. Ia memerlukan kecemasan untuk sampai pada tingkatan, pada sabuk selanjutnya! Jika ujian itu diselesaikan dengan baik, naik tingkatlah ia. Tetapi jika tidak, ia akan terus menerus berada di tempat yang sama! Inilah hakikat dari ujian. Hakikat dari kecemasan dan kegelisahan yang kau alami!”

Fidel menghirup sepertiga udara yang mampu ia tampung. Menghisap dan melepaskannya dengan santai.

“Kegelisahan adalah jembatan menuju kesempurnaan dirimu sebagai manusia… Percayalah Yang! Kau akan melompat jauh! Tinggal menunggu momentum, Kau akan terbang meninggalkan orang-orang disekelilingmu! Kau memiliki potensi yang besar untuk itu! Kau wajib meyakininya! Yakini dalam hatimu! Yakini itu di dalam! Jangan ragukan!”

Ucapan itu membuat Riang adem. Rasanya pas.

“Mas tidak takut gila? Pernahkah mengalaminya?”

Fidel tersenyum.

“Mas ngin terlihat misterius ya?”

Fidel tertawa. Pertanyaan itu tepat sasaran. Fidel menerawang “Ya … aku pernah mengalami ketakutan. Aku tahu rasanya saat kita sudah tidak bisa lagi mengkontrol pemikiran kita sendiri. Aku mengerti bagaimana kecemasan itu membuat pikiran terlalu berdenyar hingga kita merasa direpotkan, bagaimana mencicipi kekhawatiran yang berdentang-dentang, kala kita berada di atas tempat tidur, kala mata kita tertutup… merasa tersiksa dan kita mengharapkan tak akan bangun keesokan harinya …Kadang kita berandai-andai bahwa kehidupan adalah stop kontak yang tinggal kita tekan tombol off. … clik … jika ingin mematikannya, gelaplah semua! Tapi, adakalanya di saat-saat seperti itu kita menjadi takut menghadapi pertanyaan: adakah kehidupan setelah kematian, akankah kita mati dan mati saja menghilang karena tak ada kehidupan lain selain di dunia. Kita tak yakin! Kita merasa tak mampu meyelesaikannya! Kita merasa menyesal dan merasa harus mengutuki diri kita sendiri! …. Inilah …inilah titik kritis. Inilah ambang batas saat kita akan menjadi gila! Tinggal satu langkah. Dan saat ini Riang mungkin sedang berada di ambang batas itu!”

Benderang sekali. Kenyamanan akan terasa jika seseorang mengetahui bahwa dirinya dipahami.

“Yang kau alami itu memang berat Yang… dan semakin diperberat sewaktu lingkungan menvonis kamu! Memvonis bahwa kau tidak memiliki keimanan! … Kau di hakimi! Kau dibeliungi! Kau dipermalukan di hadapan orang lain dan dirimu sendiri! …Mereka jahat! Mereka belum pernah mengalami kegelisahan, tetapi mereka menjatuhkan persangsian pada kita! Mereka bukan mengobati. Mereka tak sadar, jika apa yang mereka lakukan membuat seseorang yang membutuhkan jawaban, menjadi pendiam, menjadi malas untuk membincangkan apa yang ada di dalam kepala karena khawatir orang-orang yang akan kita temui, bakal menghantam kita kembali, menyakiti kita kembali! … Semakin dalam kegelisahan itu datang, semakin tak ada teman untuk berbagi, maka tahukah Kamu apa yang terjadi ketika hal itu terjadi pada orang yang mengalami kegelisahan?!”

Riang menggelengkan kepala. Ia masih inginkan terang.

“Gelisah akan mengeruhi pikiran, menumbuhkan prasangka, saat orang menyalahkan! Betapa menyakitkan saat mendengar mereka menghakimimu, membeliungimu, mengeratmu hingga serpih! Mereka adalah orang yang belum pernah mengalami essensi keimanan yang harus dilalui melalui pergulatan pemikiran! Mereka masih S.D. Dan –mungkin-- selamanya akan menjadi anak S.D.”

Fidel memandang Riang dengan tatapan sayang.

“Kau berbeda! Kau adalah manusia yang berani menjalani kegelisahan itu! Kelasmu tidak akan mentok di sekolah dasar saja. Teruslah naik kelas, sampai ijazah kematian di lekatkan waktu untuk dirimu!”

Fidel tiba-tiba mentertawakan dirinya sendiri. Secangkir kopi tumpah. Apa yang ia katakan terlalu panjang. Penjelasannya terlalu meluber. Terlalu semangat, membuat dia merasakan terlalu berlebihan.

“Mas mengerti diriku.” Riang tak peduli, ia terkesima.

Fidel bernafas lega. “Hanya manusia yang pernah mengalami keggilaaanlah yang mengerti bagaimana rasanya menjadi gila! Dan hanya orang yang pernah gilalah, yang mengetahui siapa yang memiliki potensi menjadi gila!” Fidel berderai.

“Mudah-mudahan kita tidak, ya Mas?”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia.” Fidel bersikukuh.

“Ya … ya! Mas benar!” Riang sok tahu. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia karena Adam pun ada dari ketidakmungkinan, dari ketiadaan!”

“Kau mulai berfilsafat?” Fidel berpikir, “Yang?!”

“Ya?”

“Duluan telur … duluan ayam?”

“Kok jadi main teka-teki?” protesnya.

“Jawab dulu saja.”

”Nyerah Mas!”

“Kok langsung nyerah?”

“Aku tidak menemukan jawabannya. Sudah kupikirkan dari dulu.” Riang ganti bertanya, “kalau begitu jawabannya apa?”

Tanpa rasa bersalah, Fidel mengatakan tidak tahu.

“Masak yang mengajak main tidak tahu jawabannya?!” Riang menuntut.

“Kapan aturannya kalau yang mengajak teka-teki harus tahu jawaban?”

Rian diam. Dia kehabisan ucapan.

“Kukatakan tidak tahu, karena saat itu, saat ayam pertama muncul di dunia, aku belum ada.” Fidel menjelaskan. “Aku tidak menemukan informasi berkenaan dengan siapa yang lebih dulu, ayam atau telur dulu kah, dari sumber informasi yang aku percayai.” Fidel mengungkit sebuah peristiwa. “Kau masih mengingat sumber informasi yang dulu pernah kita bicarakan?”

“Yang kita bicarakan di danau Merbabu lalu?” Riang menggali ingatannya. Tapi ia tidak bisa mengkaitkannya.

“Dalam masalah telur dan ayam aku tidak menemukan sumber informasi yang kupercayai.”

“Masa teka-teki jawabannya seperti itu! Tidak seru!” Riang mencela.

Fidel tertawa. “Kalau mau ramai bolehlah aku berspekulasi. Kemungkinan besar … ayam ada lebih dulu sebelum telur.”

“Mengapa?”

“Adam pengulu manusia berawal dari seorang anak. Begitu halnya dengan ayam. Seperti halnya Adam, nenek moyang ayam bukanlah telur. Tetapi ayam itu sendiri?! Bener!”

“Aku ndak ngerti!”

“Sudahlah.”

Suasana sepi. Trilunan bintang mengkerlip di atas sana. Tiba-tiba langit membuka diri.

Riang menunjuk. “Mas ada meteor…!”

Sambil melihat angkasa ia Fidel berkata.“Sebentar lagi hijabmu akan terbuka!”
Riang melirik ke arahnya. Fidel terus menyenteri angkasa.
Meteor berjatuhan.
Tidak satu.
Banyak sekali.
Ini hujan meteor!
Sebuah kejadian langka.
“Mas … aku ingin menjadi meteor!”
“Bercahaya sebelum meredup. Menjadi seperti mereka!”
“Dalam sekali ucapan Mas.”
“Ya, inilah bahasa batin antar orang gila. Tak perlu lagi penjelasan. Satu kata akan menjelaskan yang menyamudera.”
“Aku mengerti. Aku memahami!.”
“Aku tak meragukan kemampuanmu. Tak usah Kaukatakan itu!”
“Mas?”
“Apa?.”
….
“Apa?.”
“Ndak ...”
“Sudahlah … tidur sana.”
“Aku belum mengantuk.”
“Ya sudah …” Fidel berjalan meninggalkannya.
“Mas … mau kemana?”
“Aku harus memeriksa generator!”
“Aku ikut.”
“Kau tidur saja. Hari-hari kita masih panjang.”

KATA-KATANYA ADALAH HARAPAN. Riang berdiri untuk mengakhiri. Ia ingin berkata bahwa ia senang bertemu dengannya. Bahwa Fidel adalah anugerah. Bahwa dialah yang merupakan satu-satunya harapan. Riang ingin mengucapkan terimakasih padanya. Entah mengapa, Riang ingin mengatakan ia sangat menyayanginya, tetapi hal itu urung dilakukan. Mengatakan rasa sayang pada seorang lelaki memang mengerikan!

Pertengahan malam itu hati Riang meluas … tak bertapal batas … Pikirannya menjadi fluida, meleleh. Tubuhnya menjadi ringan, bersatu dengan alam. Ia merasa ingin terbang.

7 komentar:

  1. Anonim says:

    Забавно:)

  1. Anonim says:

    я бы сказал не интересно, а разумно

  1. divan says:

    Apa nih? Lost symbol ya? :D

  1. Anonim says:

    огромное спасибо!

  1. Anonim says:

    Да.. Детали это главное.

  1. Anonim says:

    При использовании трекбола надевайте коврик на палец.

  1. Anonim says:

    Я думаю так же, давайте обьеденятся

be responsible with your comment