Ketertarikan (Bab 18)

Posted: Minggu, 21 Juni 2009 by Divan Semesta in
2

Satu minggu setelah berobat, seorang pria memperhatikan tenda darurat Riang. Wajahnya bolong-bolong bekas cacar. Ia menyembunyikan rambut keritingnya di balik topi bergambar Iwan Fals. Rahangnya yang tegas bertentangan dengan kedua lesung pipitnya. Kausnya berwarna putih. Ada tulisan Djarum Coklat berwarna merah di dadanya. Ia menggunakan jeans abu-abu yang serat-seratnya terlihat di bagian dengkul. Pria itu menggendong gitar. Ia memergoki Riang yang tengah memperhatikan kalender lama bergambar wanita yang lagi nungging. Pria itu kemudian mencocokan wajah Riang dengan photo yang ada di tangannya. Riang tak tahu. Ia dicari sejak lama.

Sebelum hampiri Riang, pria itu meminjam korek api dari pejalan kaki. Korek api lembab. Matanya berkeliling mencari pedagang asongan. Ia tak menemukan. Pria itu kemudian berjalan, sampai di tenda darurat yang menyerupai kandang ia lantas jongkok, menggerakkan tangan dan memberi isyarat pada Riang bahwa ia ingin meracuni paru-parunya. Tanpa melihat wajahnya lebih dahulu, refleks Riang sibuk mencari geretan. Di balik onggokan baju, ia menemukan geretan kuning yang sudah beberapa hari tidak ia digunakan. Pria itu mengulurkan tangan. Riang tengadah. Ia terkejut melihat tingkat kerusakan wajah lelaki yang ada di hadapannya. Pria itu biasa dengan respon pertama yang biasa dia dapatkan. Ia mengembalian geretan lalu menawarkan jabatan tangan.

Riang tak tahu rencana yang ada di balik kepala pria yang ada di hadapannya. Tak terasa obrolan sudah berlangsung lebih dari lima belas menit. Riang merasa nyaman dengannya. Nama panggilan pria itu, Awas Bentar. Namanya aslinya tenggelam karena sebuah kejadian.

”Suatu saat, waktu aku tengah ngamen di Jakarta hujan lebat datang tiba-tiba! Petir menyambar pohon paling tinggi di daerah UKI. Semua orang nunduk. Semua orang takut. Seram! Kejadian itu menyeramkan! Aku melihat langit. Cahaya seperti akar muncul di angkasa. Sebelum suara menggelegar muncul, aku teriak! Aku mengkhawatirkan teman-temanku. Aku berteriak .... AWAS BENTAR!!! dan sejak saat itulah nama Awas Bentar jadi panggilan untukku. Resmi!” Ia mengepulkan asap rokoknya.

”Jadi yang ganti nama aslimu, Aep Ahmadi itu, teman-temanmu?”

Pertanyaan tak berbobot itu dijawab Bentar dengan senyuman. Ia masukan abu rokok ke dalam bolongan gitar.
”Siang begini tidak bekerja?”

Karena Riang tidak berhadapan dengan seorang wanita seperti Milea, ia tak ragu untuk mengatakan terus terang. ”Pengangguran.” katanya, berharap menemukan peluang.
”Pengangguran banyak rizki?”
Riang tertawa.
”Bisa main gitar?”
”Sedikit.”
”Mau ikut ngamen?”

Ia menimbang-nimbang tanpa tahu apa yang harus ditimbang. ”Kalau bisanya cuma kunci standar, tidak apa-apa?” tanya Riang.
”Tidak masalah. Kunci lainnya nanti ku beri contoh.”
”Kapan mulai?”
”Sekarang.”

Riang berbinar. Ia berjalan di samping teman barunya. Bentar mengajaknya menuju daerah kost-kosan mahasiswa, di Simpang Dago, Dipati-Ukur dan daerah tugu Pancasila. Mereka menaiki angkot Kebun Kelapa menuju Kimia Farma, lantas turun dan menunggu DAMRI pulang dari terminal Leuwi Panjang.

”Itu dia!” Bentar berteriak. Bus reot datang.

Kedua orang gelantungan seperti monyet padahal ruang bus cukup leluasa. Untuk Bentar gelantungan itu berarti gaya sedang untuk Riang mengikuti saja.

Di dalam bus orang-orang duduk beraturan. Hanya dua orang lelaki yang berdiri. Kaca jendela digeser setengah. Angin masuk. Suasana sumpek hilang. Leher-leher beraneka warna putih, kuning, dan coklat menantang. Dari pintu belakang, Bentar melangkah ke depan. Ia memegang besi di langit-langit. Gas DAMRI yang tak stabil membuat jalannya seperti Kwei Cheng Kein. Di tengah-tengah bus, Bentar berteriak lantang. “Kalau Anda menyangka bahwa Anda tidak akan bertemu lagi, tidak mungkin menjumpai lagi pengamen jalanan maka .... Anda semua … SALAH BESAR! ........ Selamat Siang! Salam pembebasan untuk teman-teman yang sedang menikmati pendidikan! Untuk yang lain, saya ucapkan semoga bisnis hari ini berjalan lancar.”

Tak duk, tak duk, suara gitar di tepuk.
”Maaf jika saya mengganggu!”
Gonjreng… gonjreng!.
Bentar bernyanyi diiringi pantun.

”Dari manakah datangnya lintah,
darilah sawah terus turun ke kali.
Perut mual serasa mau muntah,
padahal nyium perek cuma sekali!

(Dia berhenti nyanyi, memainkan gitar,
kemudian diselingi kembali pantun)

Kalaulah tuan nanti pergi ke pasar,
titiplah saya sekilo kentang.
Sungguh mati lutut suka gemetar,
kalau liat cewe tidur telentang!

Ke kamar mandi aku tak masuk mandi,
tapi untuk mencuci tempat menggoreng.
Pada nona aku tak Bermaksud berjanji,
tapi hanya sekedar tularin Koreng.

Ada roda dijalan tanjakan,
tertimpa dahan si pohon jengkol.
Ada janda menjerit kesakitan,
gak taunya lagi dikerjain banpol

Tinggilah tinggi air pancuran,
terdengar kicau si burung pipit.
Padahal satu bulan baru pacaran,
badan kurus habis dijepit!

Jalan-jalan ke kampung,
pacaran menjadi kadal di dalam gua.
Mati juga aku tak penasaran,
kalau sudah gamparin mertua!

Terbanglah tinggi kapal-kapalan,
jatuh ke ember ada airnya.
Sungguhlah cantik itu perawan,
waktu ditelanjangin banyak kutilnya!

Nenek2 ompong makan bengkuang,
tukang kredit datang menagih.
Nenek-nenek ditindihin anak bujang,
dasar genit … besoknya minta lagi

Ada seorang bapa datang merinding,
gak tahan ingin kencing.
Rasanya diri ini mau mati,
waktu mimpi pantat digerogotin kucing!

Tentara jepang gagah tegak berdiri,
tapi kalau perang dia takut sendiri.
Ke anak orang sayang kaya ke anak sendiri.
Kalo liat bini orang lupa bini
sendiri eeeh, dasar laki-laki!”

Lagu berhenti.

Orang-orang di dalam bus tertawa. Ada yang nangis. Ada yang memegang perut. Ada yang senyum simpul mendengar lagu yang pernah dibawakan Doel Sumbang.

Bentar mohon pamit. “Terima kasih. Mudah-mudahan tidak tersinggung! Kalau tersinggung Saya mohon maaf.” Ia senteri orang-orang dengan senyum. Orang-orang membalas dengan senter yang sinarannya lebih kuat. Mereka terhibur.

Bentar mengambil kantung permen. Didatanginya penumpang satu persatu. Kebanyakan orang memberi dua ratus rupiah. Orang yang terbahak sampai keluar air mata memberinya uang seribuan. Uang mengalirlah. Bunyinya sampai di kuping Riang. Cring-cring!

Bus sampai di tempat ngetem. Orang-orang berhamburan. Gencet-gencetan. Kondektur marah. “Sabar! Sabar!” bentaknya. Seorang penumpang, nyeletuk. ”Sabar! Yang sabar di sayang kucing!” Orang-orang tak pedulikan. Kondektur hampir murka. Ia tahan untuk mengucapkan sumpah serapah tak senonoh. Dari mulutnya akhirnya keluar rapal istighfar. Ia cuma takut penumpangnya tergilas. Riang dan Bentar tinggalkan kerumunan, meloncat paling awal. Mereka berjalan menuju warung tegal.

Suara mix masjid keresekan. Azan mengudara. Suaranya timbul tenggelam. Gelombangnya terhalang rimbun pohon flamboyan, suara kendaraan dan teriakan calo-calo angkutan. Masuki ke dalam warteg, dangdut remix meradang mengombang-ambing. Syairnya mengenai derita wanita yang menjadi janda.

Botol-botol kecap dan saus kosong tergeletak di pipiran kedai. Jam dinding gambar balita gelengkan kepala. Segelas kopi panas disajikan. Tukang ojek keluarkan gulungan uang yang diikat karet.

“Minum apa?” Bentar memecah perhatian Riang.
“Air putih!”

Bentar tersenyum sinis. ”Kamu pikir uang yang aku dapat bakal di bawa mati?”

Ucapan itu mengartikan: pesanlah apa saja! Masalah bayar kutanggung sampai tujuh turunan! Tapi, Riang tak mengerti.

“Es jeruk dua Bu!” Bentar acungkan dua jari.

Ibu berambut kusam, jalan ke arah cerek. Ia ciduk air menggunakan gayung panjang. Ia masukan isinya ke dalam termos bunga. Di ambilnya dua buah gelas besar. Diperasnya dua buah jeruk nipis, dibubuhkannya dua sendok gula pasir. Sendok yang diputar berpuluh kali timbulkan orkes. Balok es ditusuk besi tajam sekurus lidi. Bongkah es tambah isi gelas.

“Tertarik ngamen?” Bentar bertanya.
“Daripada ngemis, ngamen lebih terpandang, lebih cepat datang uang.”
“Kapan mau mulai?”
“Mulai?” Riang pura-pura.
”Ya! Kapan mulai makan?”
Oh, Riang kecewa.
”Ya, mulai ngamen lah!”

Bukan menjawab waktu kesiapan dia kapan, Riang malah semangat bilang, ”Mau!”

“Kalau begitu, datang kerumahku dulu saja.” Bentar pinjam pulpen. Ia sobek kertas rokok. Dituliskannya alamat dibalik kertas alumunium emas. ”Podok Liliput. Dago elos 62.”
“Kamu bisa main gitar kan?” Bentar memastikan.
“Cuma kunci standar.”
“Bagus! Itu dasar!” Bentar angkat jari. “Bu pesan nasi satu pake perkedel, tambah kangkung,” ia menoleh. “Kamu makan apa?”
Riang menjawab masih kenyang padahal perutnya keroncongan.
”Jangan basa-basi ah!” Bentar angkat alis. “Bu satu lagi. Sama!”

Siang itu perut Riang membuntal. Usai bicara tak tentu arah, Riang ucap terima kasih waktu Bentar tengah mencongkel biji cabai. Mereka berpisah.

Riang teringat Taryan. Ia berjalan menuju simpang Dago. Menurut taksirannya, tempat Taryan mangkal tak kurang satu kilometer jauhnya. Selama sepuluh menit ia lewati bermacam hal. Mahasiswa-mahasiswi seliwer berlawanan atau berjalan searah dengannya. Kebanyakan dari mereka memakai baju seragam hitam putih.

Melewati kedai kedai kopi, ia melihat mahasiswi berambut sebahu datang ke arah penjual rujak. Wanita itu mengambil semangka, duduk di bangku panjang bersama seorang lelaki kekar. Wanita lainnya bertubuh mungil, rambutnya dihias bandana corak bunga, bersandar di mesin fotokopi bermerek Xerox. Lampu mesin fotocopy yang seterang petir itu mengelus jerawatnya. Wanita itu tersenyum. Seorang lelaki tua menyekop debu dan sampah plastik yang terserak. Dimasukannya sampah itu ke dalam tong bekas cat.

Riang sampai di perempatan Dago. Ia tak temukan Taryan di samping kios buah, di bawah triplek Jus Ngeunah yang beberapa waktu lalu ditunjuknya. Riang melangkah lebih jauh melewati warung masakan padang. Ia menemukan sahabatnya tengah duduk dekat etalase kacamata. Setelah menukar uang seribu dengan sebungkus keripik singkong, Riang menepuk pundak Taryan.

“Lha kok di sini!?” Taryan terkejut.

Riang tak lekas menjawab. Ia sibuk mengunyah. Taryan merebutnya. Tak berapa lama kemudian cerita pun mengalir.
“Mau ngamen tapi tak punya gitar?” Taryan berikan tanggapan sinis, setelah Riang menyelesaikan ceritanya.
Riang nyengir.
Taryan mendesak.
“Ngamen pake apa? Pakai kecrekan?! Tepuk-tepuk tangan?! Ndak pantas! Yang pantas pake kecrekan itu anak kecil!”
“Lha orang dia punya dua. Dia mau meminjamkan gitarnya!”
”Baru pertama ketemu sudah berani pinjamkan gitar,” Taryan geleng kepala. Sewa?”
“Gratis!”
“Wah… wah! Baru pertama kali sudah baik gitu. Situ ditipu! Si Bentar itu orang mana dia?! Batak?!”
Riang menggoda. ”Bukan! Dia tinggal di Kampung Rambutan!”
“Orang kampung Rambutan? Tuh! Kamu ditipu Yang!” Taryan menunjuk mukanya. “ Mau gigi depanmu hilang hah?!”
”Dia asli Garut!”
”Sama saja!” Taryan sebal. Dia diam. Mereka diam namun lima menit kemudian Riang menyerah. Ia memberi Taryan pengertian.

”Yan.... aku tak punya pilihan. Kamu tau sendiri kalau uangku habis. Lagipula, kalau Bentar memang seperti yang kau pikirkan, ia tak bakal dapat apa-apa dariku. Dia bakal rugi habiskan waktu denganku!”

Taryan tak beri komentar. Malam harinya tawaran Bentar memeriahkan mimpi Riang.

2 komentar:

  1. Hallo gan, mau tanya lyric lagu Doel Sumbang yg ini judul Lagunya apa y? Makasih y infonya,.

    Tak duk, tak duk, suara gitar di tepuk.
    ”Maaf jika saya mengganggu!”
    Gonjreng… gonjreng!.
    Bentar bernyanyi diiringi pantun.

    ”Dari manakah datangnya lintah,
    darilah sawah terus turun ke kali.
    Perut mual serasa mau muntah,
    padahal nyium perek cuma sekali!

    (Dia berhenti nyanyi, memainkan gitar,
    kemudian diselingi kembali pantun)

    Kalaulah tuan nanti pergi ke pasar,
    titiplah saya sekilo kentang.
    Sungguh mati lutut suka gemetar,
    kalau liat cewe tidur telentang!

    Ke kamar mandi aku tak masuk mandi,
    tapi untuk mencuci tempat menggoreng.
    Pada nona aku tak Bermaksud berjanji,
    tapi hanya sekedar tularin Koreng.

    Ada roda dijalan tanjakan,
    tertimpa dahan si pohon jengkol.
    Ada janda menjerit kesakitan,
    gak taunya lagi dikerjain banpol

    Tinggilah tinggi air pancuran,
    terdengar kicau si burung pipit.
    Padahal satu bulan baru pacaran,
    badan kurus habis dijepit!

    Jalan-jalan ke kampung,
    pacaran menjadi kadal di dalam gua.
    Mati juga aku tak penasaran,
    kalau sudah gamparin mertua!

    Terbanglah tinggi kapal-kapalan,
    jatuh ke ember ada airnya.
    Sungguhlah cantik itu perawan,
    waktu ditelanjangin banyak kutilnya!

    Nenek2 ompong makan bengkuang,
    tukang kredit datang menagih.
    Nenek-nenek ditindihin anak bujang,
    dasar genit … besoknya minta lagi

    Ada seorang bapa datang merinding,
    gak tahan ingin kencing.
    Rasanya diri ini mau mati,
    waktu mimpi pantat digerogotin kucing!

    Tentara jepang gagah tegak berdiri,
    tapi kalau perang dia takut sendiri.
    Ke anak orang sayang kaya ke anak sendiri.
    Kalo liat bini orang lupa bini
    sendiri eeeh, dasar laki-laki!”

  1. Wah ditanya, tentang sumber nih.
    Judulnya Kalau Liat Bini Orang Lupa Bini Sendiri, gimana Lucas? :D

be responsible with your comment