Tesis VI (Bab 2)

Posted: Senin, 18 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

D u m!
Du m!

Du m!

Dentum Merapi menghamparkan permadani ketakutan. Suaranya mengkelebat di seluruh penjuru mata angin. Echonya menggelegarkan desa hingga keraton Yogyakarta. Dentum pertama menyebabkan ketuban seorang Ibu pecah. Tak lama berselang lelaki itu lahir ke dunia berbekal nama Riang sebagai lokomotifnya dan Merapi sebagai gerbongnya.

Riang Merapi demikian gagah perwira namanya. Beruntunglah dia yang memiliki nama sedemikian wow-nya sebab dalam setiap perkenalan pertama yang hangat, hampir setiap orang merenungi dan sejenak mengomentarinya, --dan itulah-- sebab, mayoritas orang-orang yang baru mendengar nama Riang pasti membayangkan perawakan yang tegap, membayangkan keberadaan lelaki yang bugar berotot selang, berkulit plat kuningan, berambut gimbal dengan karakter khas Merapi yang meledak-ledak.

Benar kulit Riang berwarna coklat. Benar jika dia cukup kuat mengangkat beban yang dua kali lipat dari massa tubuhnya, tapi jika awak dia dikatakan tegap seperti anggota angkatan bersenjata Timor Leste, atau kalau dibayangkan rambutnya didreadlocks seperti rambut penyembah kaisar Ethiophia Hailie Selasie, pada kenyataannya tidak. Nehi nehi nehi. Penampakan Riang bisa dikatakan biasa-biasa saja.

Setiap nama adalah cangkang yang memiliki kisah menarik dibaliknya, demikian pula dengan nama Riang. Dia sang pemilik nama yang menggetarkan itu tidak begitu saja mengetahui asal muasal penamaan dirinya setelah plop keluar dari cervix ibunya. Riang baru memahami makna keramat yang disematkan kepadanya, itu pun setelah usia dia sama dengan pertambahan usia planet biru sewaktu mengorbit matahari selama 1826 hari dengan kecepatan rata-rata 107 ribu km/jam.

“Le kemari. Duduk di sini. Bapak mau cerita,” bujuk Bapak mengajak Riang bicara.
Riang meletakan pengki yang sedari tadi ia buat mainan. Riang duduk bersandar di dada bapak sambil memandangi puncak Merapi yang mengepulkan asap. “Cerita apa Pak’e?” tanyanya.
“Mau tahu kenapa bapak menamakanmu Riang?”
Kepala Riang mendongak ke arah dagu bapak.“Mau Pak’e.”
“Kamu tahu Riang artinya apa?”
“Ndak Pak’e”
“Nama Riang artinya bahagia. Bapak bahagia dikaruniai anak lelaki sepertimu.”
“Kalau bukan anak lelaki, apa Bapak tidak bahagia?” tanya Riang menyela.

Bapak tersenyum. “Ya bahagia.” Beliau mengusap bulir keringat di cambang Riang. Pertanyaan anaknya kadang memang merepotkan. “Kalau nanti Kau sudah besar” kata Bapak melanjutan. ”Le, kalau nanti kamu sudah menikah, punya anak lelaki atau perempuan, Kamu akan memandang sama untuk anak pertama”
“Lntas kalau sama, kenapa Pak’e bahagia?”
“Ya bahagia. Ya … ya …” Bapak bingung memikirkan pertanyaan Riang. Di kepala bapak ada banyak kata yang dibolak-baliknya. Kalau anak perempuan tidak sama berarti tidak bahagia. Hm, kalau sama berarti bahagia. Bukannya sama-sama yang justru sama bahagianya. “Ya… ya …honocorokodotosowolo …” ujar bapak berusaha menepiskan pertanyaan yang membingungkan itu, tapi Riang malah terus menerus bertanya.
“Kenapa honocoroko Pak’e?”
Bapak tertawa. Ia tak mau ikut mencampur pikiran anaknya yang kompleks. Dihisapnya rokok klobot.
“Begini Nak …” Bapak menghisap rokok klobotnya, “namamu itu dulu bukan Riang pada awalnya. Bapakmu ini ndak tahu harus menamakan kamu apa, padahal ... waktu ibu mu itu hamil tua, bapak suka menghina,” bapak tertawa. ”Nama yang dulu ibumu berikan jelek semua,” katanya.
“Kenapa dihina? Kan menghina kan dosa Pak’e?”
Bapak seperti dipentung. “Ya … ya, ya tapi bagaimana?” Bapak gagap. Lidahnya seperti dipentung. Ia menyerah. ”Memang dosa ... memang dosa, tapi nama yang ibumu beri itu kurang Le’ …”
“Kurang apa Pak’e?”
“Ya kurang sreg poko’e.”
“Tapi kan dosa Pak’e?”
“Iya! Tapi ... tapi apa Kamu mau dikasih nama Pitono?” Bapak membuat muslihat: mengalihkan pertanyaan Riang. ”Lha kamu lahirnya kapan saja belum ada yang tahu! Aneh ibumu itu!”
“Pitono artinya apa Pak’e?”
“Jam pitu wes ono! Kamu mau dikasih nama itu?!”

Riang meraba-raba. “Ya ndak Pak e’!” Nama yang diberikan ibu memang kurang menjanjikan dibandingkan namanya sekarang.
“Nah,” sambung bapak, ”Kamu saja ndak mau dinamai Pitono apa lagi aku!” Bapak menjentikkan abu rokok lalu menghisap dalam-dalam dan menjadikan hisapannya itu sebagai ancang-ancang. “Dulu ... namamu bukan Riang. Waktu bapak mentertawakan nama Pitono itu ibumu marah. Ya sudah! Kata ibumu. Cari nama yang sampean mau! Akhirnya Bapak jadi kelimpungan Le’.”
“Kenapa bisa kelimpungan Pak’e?”
“Soalnya sampai kandungan ibumu tua, Pak’e belum menemukan nama yang kedengaran enak, kedengaran nikmaaaaaaaaat.”
”Lalu, lalu Pak’e?”
”Pas Merapi meledak, Kamu lahir!”

Ya! saat dentum Merapi terdengar, sewaktu letus pertamanya menjungkir balikkan bebatuan, memuntah dan melelehkan agar-agar bersuhu ribuan derajat yang mengkilat, serta merta saat itu juga bapak Riang melunjak gembira. Nama yang sedari dulu pusing dipikirkan tiba-tiba meng-eureka dari balik gumpal otaknya.

Bapak memberi anak pertama yang keluar dari rahim istrinya itu nama Gembira. Penamaan awal itu merupakan ungkapan yang jujur melompat dari hati seorang bapak yang baru mendapat jagoan pertama –yang juga bakal selamanya. Kebahagiaan yang luar biasa itu pula yang menyebabkan bapak meletakkan nama Merapi sebagai tetangga nama Gembira. Namun, karena tidak enak dalam mengucapkannya, maka di hari kedua, nama Gembira bukan saja diusir tapi disemayamkan seperti ari-ari yang tak boleh dipungut kembali: Gembira diganti Riang, yang hingga kini masihlah Riang. Mengenai nama Merapi bagaimana ceritanya?

Ah Ari Tulang! Kau jangan berpura-pura bodohlah! (logat Batak Mandailing bah!)


CAHAYA MATAHARI sampai di desa Thekelan setelah melakukan perjalanan yang cukup lama. Cahayanya mendandani wajah angkasa, mengelus lekukan lereng Merbabu yang sedikit mirip pinggul janda. Cahayanya yang eksotis berbisik agar ‘janda raksasa’ itu menyiapkan tubuh semloheinya untuk menyambut pada pendaki yang –pada saatnya nanti—akan berteriak kelojotan ketika mengagumi keindahan belukar dan gundukan karangnya.

Pagi itu di Thekelan, kayu pagar dan rerumputan yang menyempil di bebatuan jalanan, berembun. Suara burung memantul di dinding lembah. Ada yang bersuara seperti tekukur, adapula yang melengking. Riang bangun. Ia membuka pintu rumah, merasakan udara dingin menyapu wajahnya

Setiap subuh kerjaan dia ya begini. Keluar dari kamar, membuka pintu, melamun, memegang pokok pagar dan mengharapkan sapu yang digenggamnya tiba-tiba beraksi membersihkan halaman sendiri. Setiap pagi seperti inilah, Riang memandangi lanskap, mensyukuri betapa hidup dia dipenuhi berkah meski migrasi keluarganya menuju Thekelan tidak dilakukan atas dasar pilihan.

Dulu, Riang memiliki keluarga besar yang tinggal di bawah Merapi di dekat kali Boyong, tetapi itu dulu pada tahun 1995 sebelum aliran awan panas memangsa enampuluh empat nyawa. Kakek, nenek, bibi, paman, ponakan dan sepupu dari pihak bapak serta ibu Riang lebih baik nasibnya, dibandingkan dengan nasib penuduk yang menjadi arang. Bagi keluarga besar Riang, tak ada istilah manusia panggang bagi mereka, sebab tak ada yang tersisa. Alakazam, sim salabim, abracadabra ibra azhari! Keluarga Riang hilang. Amblas dikremasi wedhus gembel gunung Merapi. Dari tanah liat menjadi debu.

Riang mengingat apa yang ia lakukan sewaktu awan panas menimbulkan suara daging yang mendesis dan tulang penduduk desa yang mengkeretak. Saat itu Riang dan ibunya tengah memasukkan rumput ke dalam karung goni di lereng barat gunung Merapi. Riang masih mengingat bagaimana dengkur mengerikan terdengar dari kejauhan, awan hitam gerak cepat menyelancari angin. Semakin awan itu mendekat, suhu bertambah panas dan cuaca menjadi semakin kelam, dan burung-burung menjadi seperti buah masak yang berjatuhan.

Riang menatap langit. Menyaksikan awan hitam yang memberik kiriman guntur menakutkan, Riang segera membuang sabit yang menggantung di celana pendeknya. Ia melemparkan ranting kayu yang berada di punggung ibunya.

Kedua anak beranak itu berlari menuruni jalan setapak, menerjang bebatuan dan onak, terpontang panting dalam kebingungan dan ketakutan. Lima puluh meter dari tubuh mereka gugusan cemara terbakar. Suasana mencekam. Dan ketika manusia sudah tak mampu lagi melihat harapan, ketika manusia sudah harus ikhlas melepaskan diri dari usaha yang dilakukan, selaris angin yang puitis datang menjinakkan aliran awan panas.

Ibu Riang menoleh. Ia menyaksikan keajaiban datang menyelamatkan. Aliran awan panas itu mendadak belok kiri, grak angkat kaki. Entah bagaimana kejadiannya, anggota keluarga kecil Riang selamat. Kawasan penambangan tempat bapak biasa menambang pasir tidak dilalui aliran awan jahanam. Dan kalau pun awan itu tetap bersikukuh keluarga nuklir Riang tetap bakal selamat sebab –kebetulan—di hari yang naas itu bapak mengirim dua truk pasir ke Bantul.

Jadi begitulah, hanya keluarga Riang yang disisakan bencana, hanya keluarga Riang yang menjadi penerus trah keluarga.

Usai kejadian tak ada yang tersisa kecuali petak peninggalan kakek di Thekelan yang tanpa bukti surat tanah, kecuali patok dan beberapa penanda yang apabila di bawa ke pengadilan tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan. Keluarga Riang benar-benar harus merangkak dari awal, namun hidup harus tetap berjalan. Bapak segera mendirikan rumah kecil di bawah gunung Merbabu.

Saat itu tidak ada orang Thekelan yang memanfaatkan pengetahuan hilangnya surat tanah keluarga Riang. Mereka bersimpati. Semuanya berbudi kecuali satu orang yang hidupnya senantiasa disarati keburukan hingga feses, hingga ampas kotoran. Lelaki yang di paru-parunya dijamuri syakwasangka itu biasa membuat masalah sepele menjadi alat berkelahi.

Lelaki itu Kardi. Lelaki yang hatinya di siasati purbasangka itu pernah memukul kakek Oerip dengan bata merah karena ia merasa diperhatikan. Kardi, yang tidak ketulungan itu tidak pernah menganggap perlu menghormati orang lain. Mau kepala pamong praja, mau anak gorila, mau turunan siluman ular sanca dia tidak peduli. Bagaimana dengan keluarga Riang yang baru menetap di Thekelan?

Semula keluarga Riang tidak tahu menahu (siapa Kardi), hingga lelaki liar itu datang tanpa spada tanpa kulonuwun. Dalam syukuran pendirian rumah keluarga Riang itu Kardi memasuki ruang tengah tanpa melepaskan sandal. Di luar, lima orang temannya berjaga. Lengan kaus mereka dilinting. Beragam corak tato dari yang cabul macam lukisan di bak truk, tulisan norak seperti i love you Ratna hingga yang seram-seram semisal tato kalajengking dan kepala macan kumbang sengaja mereka perlihatkan.

Suasana rumah saat itu berubah. Muka penduduk pias. Suasana canda mendadak berhenti karna sodoran mukanya. Kardi berkacak pinggang. Seperti periskop kapal selam kepala dia berputar.

“Namaku Kardi.” Satu persatu dilihatnya wajah penduduk desa. “Orang-orang ini tahu siapa aku!” ia menunjuk dan mengultimatum ”Jadi … Kalian keluarga baru di desa ini harus tahu siapa penguasa di sini! Kalian harus tahu siapa aku!”

Riang menatap wajahnya.
“Kau! Sini!” Kardi berteriak. Ia marah.
Riang diam. Ia menatap bukan karena keberanian. Riang yang masih empat belas tahun diam ketakutan.

Merasa perintahnya Riang elakkan, mata Kardi langsung membelalak. Bola matanya membesar dua kali lipat. Ia menggoyang golok pada sabuknya. Semua mata mengarah ke pinggang Kardi. Kehawatiran membuat kupu-kupu berada di perut semua orang. Beberapa orang penduduk desa mulai kesemutan namun rasa yang diindera Riang berbeda. Ketakutan menimbulkan gempa berskala dua richter mengguncang tubuhnya. Riang mengingat ketakutan yang sama seperti saat ia berlari menyelamatkan diri dari awan panas Merapi. Gelas kopi yang Riang pegang tumpah.

Kardi cuma menggertak. Lelaki bau ikan asin itu menyarungkan golok lalu melanjutkan koakannya di ruang tengah. “Aku begini supaya kalian, koak koak! … Sekarang kumpulkan sumbangan (inilah intinya). Penduduk desa merogoh kantung, seribu per kepala. Koak-koak! Jangan sampai koak-koak! Dan ”siapa saja yang memberi informasi ke polisi maka akan ku koak-koak!”

Setelah kedatangan yang tak jelas titik komanya itu, Kardi pulang membawa belasan bungkus rokok yang dimasukan ibu ke dalam gelas hadiah cat Avian. Ia tidak sadar punggungnya ditusuk-tusuk kebencian. Ia tidak sadar jika mata penduduk desa membicarakan kutukan.

Kardi? Siapa dia? Musuh nomor satu masyarakat Thekelan itu anak Samsu, ustad tua yang di masa mudanya gemar membantu apa saja: membetulkan genting mbok Sumi oke, menggebah ayam mbah Karjo yang rabun tidak mengapa, mengajar ngaji, masya Allah ... tak perlu meminta karna itu hobinya.

Lantas, apa yang salah dengan Samsu hingga anaknya jadi begajul macam begitu? Tidak ada yang salah dengan kehidupan masa muda sang ustad, kecuali keinginannya menikahi Marmi seorang perempuan dipanggil Marmut --sejenis tikus tetapi bukan tikus--, sebagai panggilan kesayangan mantan pacarnya yang tewas dipukuli di atas motor RX King. Seperti biasa, pernikahan antara Samsu dan Marmut diawali dengan persamaan kehidupan masa pernikahan pasangan muda yang bahagia di tahun pertama. Namun, semakin masa-masa yang asoy --menurut lagak Jakartanya-- itu menjauh, semakinlah tampaklah tabiat Marmut.

Wanita cantik macam si cantik Marmut memang seperti mobil mewah yang membutuhkan pelumas super perusahaan trans nasional; membutuhkan bensin yang bukan saja tidak bersubsidi tetapi pertamax; belum lagi asuransi bodi dan cat dempul. Dipikir-pikir Samsu keadaan seperti ini harus dibendung. Kondisi semacam ini berbahaya: bisa membuat celaka dunia akhirat. Dan ayat-ayat serta hadist pun Samsu keluarkan menjelang malam usai bikin peluh.

Anehnya, semenjak ayat-ayat dikeluarkan permintaan barang bukannya mereda. Dan ketika tuntutan tuntutan Marmot bertambah banyak dan kebanyakannya tidak masuk akal, Samsu mulai menimbang untuk menjatuhkan adzab: Marmut harus ditalak. Tetapi, hingga sampai saat ini Marmut tak pernah ia ceraikan. Hati Samsu tak sampai.

Perceraian merupakan salah satu perbuatan yang paling dibenci Tuhan. Samsu mengetahui itu, dan ia pun mulai berpikir dan merenung: mengapa kerja keras dan kebaikan yang telah ia tebar di Thekelan tidak menjadikan hidupnya berkecukupan.

Samsu mendapat pencerahan. Ia menyadarai, kadang, kebaikan di dunia hanya menggembungkan tabungan di akhirat sana. Lantas, Samsu pun turun gunung dengan niat mulia menyelamatkan perahu cadik (bahtera) rumah tangganya. Samsu berkerja menjadi kuli penggulung jala di pelabuhan. Tak kuat menahan anyir laut ia banting setir menjadi kuli batu. Keberuntungan datang saat Samsu mendapat kenalan yang melempangkan jalan: Tauke yang di kabari kecanggihan kerja dan keuletan Samsu, mengajaknya jualan di dekat Tanah Genting Malaysia. Samsu menerima lalu ia mulai berpindah-pindahlah dia dari satu daerah ke daerah di wilayah persemakmuran salah satu negara di Eropa dan hal inilah yang tidak ia sangka menjadi salah satu masalah utamanya:

Selama banting tulang demi keluarga, Samsu tidak pernah bertemu Kardi kecuali dua kali setahun di saat Lebaran Haji dan Idul Fitri tiba, maka, Wajar jika Samsu merasa dilistriki usai sebuah surat memberitahukan dia bahwa anaknya yang dulu fitrah kini berubah menjadi anak jin tomang, keponakannya setan.

Kabar itu benar, bukan kabar burung melainkan kabar dari pemilik sangkar burung. Kabar dari orang Thekelan ia buktikan langsung melalui mata kepalanya. Samsu memergoki anaknya makan sambel terong di bulan Ramadhan. Hati yang sudah hancur menjadi lebur. Anak yang dulu dulu ia timang-diambing-ambing malah mendelikan mata saat dinasehati dan diingatkan.

Ketika liburannya berakhir, Samsu pun membawa kesedihan sewaktu ia balik ke Malaysia. Dan, belum hilang kesedihannya, sebuah kabar dikirim oleh Oerip, anak muda yang dulu pernah ia ajari ngaji: Kardi berteman berbagai jenis orang jahat, katanya.

Melalui sebuah hadis kullu mauluudin yuuladu alal fitrah, setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, Samsu diingatkan bahwa lingkunganlah yang membentuk perilaku sesat anaknya.

Tak ada yang meleset, sesuai dengan perkiraannya: di perguruan tinggi jalanan Kardi terlibat praktik kerja nyata pengutilan pemukulan dan aneka macam kenakalan. Di sekolahnya, bukan saja Kardi melakukan kenakalan pada temannya bahkan ia pernah mempermak wajah Kepsek yang putih berubah menjadi hijau kebiruan seolah keracunan

Waktu itu Kepsek shock! Knalpot Datsunnya meleduk. Esok harinya Kepsek memanggil Kardi yang sore sebelumnya dipergoki penjaga sekolah tengah memasukan ketela pohon pada knalpot mobilnya.

Selaku seorang pemimpin yang wajib beri momongan Kepsek sabar. Ia menasehati anak itu, tapi karena Kardi bebal, nasihatnya tak mempan. Di titik inilah temperatur Kepsek mendadak naik. Ia marah dan tak sadar jika gigi palsunya lepas.
“Stop! Stop!” Kepsek menjaga wibawa. Ia membentak.
Bukannya berhenti Kardi malah makin ngakak gak gak tertawa melihat gigi Kepsek melompat seperti kodok.

Tingkah laku tuna etika dan peradaban macam begini membuat Kepsek murka! Telapak tangannya terbang dan landing di jidat Kardi. Ia mengusir anak itu dari kantornya. Dan untuk yang terakhirkalinya, keesokan hari Kardi merancang ulah. Sewaktu Kepsek tengah men-starter vespa karyawan kontrak tata usaha, sebuah jitakan maut tiba-tiba mampir pada batok kepala yang tidak pernah Kepsek programi reboisasi.

Kepsek mendapati si anak sialan itu tengah cengar-cengir dan bacagi yang merupakan amalan taekwondo –yang Kepesek peragakan setiap latihan-- ia berikan di pundak Kardi si anak tersayang: ia menendang Kardi dari sekolah untuk selamanya, dalam artian literal dan kontekstual.

NAH, karena ingin memperbaiki arah keluarga yang melenceng dari ajaran agama itu, atau setidaknya meminimalisir pancaran tulang sulbinya dari pengaruh lingkungan, Samsu menguatkan tekad untuk pulang. Sayangnya kehadiran Samsu, tidak berarti apa-apa. Mendengar bapaknya datang, si anak bukannya pulang. Ia malah melanjutkan aksinya.

Kardi yang berubah menjadi kriminal mengundang polisi untuk terus menerus mendatangi Thekelan, menjadikan Samsu stress dan putus asa menghadapi kenyataan das sein yang tidak sesuai dengan realitas das sollen.

Samsu menjadi gagu dan Marmut pun kemudian menggantikan posisinya dalam memberikan penjelasan di hadapan aparat keamanan.

”Dari SMA anak saya tidak pernah kemari!” Jelas Marmut, padahal semua orang Thekelan mahfum: sejak naik pangkat jadi residivis perampok toko emas, bersama sembilan orang temannya Kardi datang ke Thekelan. Tanpa diketahui Samsu ia mampir ke rumah membawa bekal dan alat pertukangan menuju Merbabu.

Entah karena yakin, berani atau dungu, Kardi dan gerombolan residivis lainnya bernyanyi saat –di malam hari-- mereka pergi menuju Merbabu. Suara sumbang itu sampai membuat ayam berkotek bangun, sampai sapi-sapi melenguh dan anjing yang dipelihara untuk memperingati kedatangan celeng, menggonggong riuh. Auuuu!

Tak ada yang sanggup menegur rombongan itu. Warga yang kebetulan berpas-pasan-an dengan mereka segera menyingkir. Jalan batu menuju Merbabu itu ibaratnya jalan aspal bagi pemilik Harley Davidson. Tuan besar Kardi datang! Sirine dimainkan! Yang ada di dalam rumah segera mematikan lampu, lalu mengintip dari balik horden.

Beberapa hari kemudian polisi mendatangi Thekelan. Tak ada satu pun penduduk yang berani melaporkan Karena sebelumnya beredar desas-desus, warga desa tetangga yang didodet Kardi karena memberi tahu ke arah mana gerombolan mereka lari. Kardi tak terjamah, hingga saat ini ia dan gerombolannya masih berada di belantara Merbabu untuk mendirikan hidup sembari berteduh di sebuah gubug.

Tiga tahun yang lalu ketika tengah mengumpulkan kayu dan jamur--, Riang pernah melihat gubug itu. Dindingnya terbuat dari kayu pohon pinus yang menghujam setengah meter ke dalam tanah. Atapnya dilapisi plastik hitam yang biasa dijadikan pot tanaman oleh penduduk Thekelan. Riang bimbang. Di satu sisi takut ia jika gubug tersebut benar menjadi sarang gerombolan Kardi, tetapi di sisi lain ia tergoda oleh keberadaan jamur sebesar piring yang berada di dekatnya.

Riang tak kuasa menolak. Ia menyembunyikan keranjang lalu beringsut perlahan. Baru beberapa meter merangkak Riang mendapati seorang penghuni gubug keluar sambil menggaruk-garuk punggung menggunakan tangan kanan sementara tangan kirinya membuka risleting. Lelaki brewok itu membuat pancuran di sela pepohonan sambil berteriak menanyakan keberadaan Kardi.

Balasan mengudara. Seseorang dari dalam gubug bilang: Kardi tengah mengincar ayam jantan di dekat wihara lalu lelaki brewok itu pun pergi sambil mengancingkan celana.

Riang segera menyisihkan ranting. Ia tak ingin patahannya menimbulkan bunyi lalu mendatangkan bahaya. Riang merangkak. Dan jamur raksasa itu pun tercerabut dari tanah. Tak menyiakan waktunya, Riang segera mengambil keranjang. Sayang, beberapa meter sebelum balik menuju jalan setapak, terlihat dari kejauhan. Riang tak sempat sembunyi. Ia tak bisa berlari karena beban di punggung mempersulit dirinya.

Saat Kardi mendekat, nafas Riang mulai tak beraturan. Riang tak mampu berpikir. Ia hanya teringat kejadian tatkala Kardi memasuki ruang tengah rumahnya. Riang gemetar. Ia takut namun saat melihat Percik, ayam jantannya ditangkapi, Riang memaki: Itu ayam jantanku! O cecunguk! O badjingan! (Tentu saja hanya di dalam hati)

Kardi tahu ayam yang dibawanya milik anak lelaki yang beberapa tahun lalu pernah ia bentak, karenanya ia hanya berkata. “Sekarang ayam mu jadi hak milikku!”
Sinting.
Kardi menerka raut wajah Riang. “Situ kesal?!”
Riang malah diam. Unjuk rasa yang kentara itu membuat Kardi emosi.
Ditendangnya perut Riang menggunakan lutut.
Karena tengah menggendong keranjang Riang tak mampu mengontrol keseimbangan. Ia sempoyongan, lalu jattuh.
“Diajak ngomong baik-baik malah bisu! Tuna wicara atau Situ mau digorok, hah!”
Membayangkan bagaimana sakitnya digorok, Riang bergidik. “Ndak Mas! Jangan Mas!” Riang menguik-uik.
“Begitu kalau ditanya,” kata Kardi Puas. ”Mau apa ke sini?! Mau menjadi mata-mata, hah?!”
Riang ampun-ampunan. ” “Ndak, ... tengah mencari jamur Mas. “ Riang menyorong kantung yang menyelempang di tubuhnya
Kardi menengok ke dalam keranjang. Ia mengeluarkan pisau. ”Seenaknya Kau ambil jamur di halaman rumahku! Jamur ini sudah lama kupelihara tahu!”
Riang hampir mampret kalau Kardi tidak menjambak. Riang bersyukur, karena Kardi hanya berniat memutuskan tali keranjangnya. “Sekarang pulang!” bentak Kardi sambil mendorong badan Riang sampai doyong. ”Situ jangan buka mulut kalau ada yang tanya!”
Kardi berbalik arah. Ia tidak takut jika Riang bakal menikamnya dari belakang. Kardi yakin seratus persen, anak yang ada belakang tubuhnya tidak akan membuat dirinya celaka.

Dari sejak itu hingga sekarang, tidak ada lagi polisi yang datang ke Thekelan. Penyebabnya sudah barang tentu bukan karena Riang. Aparat keamanan letih dengan pencarian yang tak pernah didukungan penduduk Thekelan. Kini, --mesti penduduk desa yakin jika gerombolan Kardi masih ada di sekitar Merbabu—mereka tak lagi bisa memastikan apa Kardi dan gerombolannya masih berada di dalam gubugnya.

Gerombolan itu bukannya pensiun. Mereka memperluas wilayah pencurian melalui perpindahan tempat ala orang purba, dan karena beberapa bulan lalu Riang sering menerima laporan dari para pendaki yang kehilangan ransel dan barang, Riang pun menduga, pencurian itu dilakukan di pertigaan jalan setapak, antara puncak Syarif 3119 m dan Kenteng Songo 3142 m. Pelakunya, siapa lagi.

SEMALAMAN Riang memikirkan bisikan-bisikan yang mengaku Simbah. Tapi pagi ini ia berusaha mengesampingkan bisikan yang ia dengar di gerbang kuburan. Ada hal yang yang lebih penting harus ia tuntaskan. Pagi itu Riang mengambil kesimpulan pertama: lelaki brewok yang berpapasan dengannya di gerbang kuburan adalah lelaki yang pernah ia pergoki --tiga tahun yang lalu—tengah kencing sebelum Riang dipergoki Kardi. Kesimpulan ke dua: orang itu hendak berbuat jahat. Riang kemudian teringat dua orang lelaki yang hendak mendaki Merbabu pagi ini. Kesimpulan ketiga ditariknya. Ya! Gerombolan Kardi mencuri atau bahkan merampok mereka.

Setelah menyimpulkan apa yang harus dilakukan, apa lantas Riang harus memberitahu ke dua orang itu agar tidak mendaki pagi ini? Sebaiknya begitu. Namun, pikiran sederhana Riang berkerja untuk mencari alternatif lain agar kedua orang itu tidak merasa rugi ketika Merbabu telah nampak di depan mata mereka!

Sepilon-pilonnya Riang dalam mengambil kesimpulan, setidaknya anak pegunungan ini berbeda dari kebanyakan ahli filsafat yang hanya memikirkan kondisi dunia namun tidak ikut serta merubahnya, maka melalui tesis ke IV Riang pun memutuskan untuk mengantar kedua lelaki itu hingga selamat sampai di puncak.

Riang mungkin mengigau ingin menyelamatkan dunia tapi bukankah kitab moralitas berkata menyelamatkan satu nyawa ibarat menyelamatkan seluruh umat manusia? Tesis ke IV inilah yang menjadikan wajah Riang berpendar cerah.

Di pagi hari itu salah seorang pendaki memergokinya: mendapati Riang tengah tersenyum memperhatikan dinding Merbabu, menggenggam sapu sambil menyaksikan matahari yang tengah mengoplos warna-warna di angkasa menggunakan cahayanya yang indah

“Sudah lama melamun?” tanya seorang pendaki sambil menyisir rambutnya menggunakan jemari tangan.
“Sudah setengah jam yang lalu.” Riang tersenyum.
Lelaki itu pendendam. Ia merasa harus membalas senyuman Riang. “Namaku Pepei,” katanya, mengulurkan tangan.
Tangan yang dingin berjabatan dengan tangan yang hangat.
“Kemarin sore Mas mencari kami ya?!” tanyanya tiba-tiba.
Bagaimana lelaki ini bisa tahu? Riang bingung.
”Dari mas Oerip,” Pepei menjelaskan.
”O”
Mereka diam
Pepei mengalihkan pembicaraan. “Dini hari begini Masnya sudah keluar rumah?”
“Iya.”
Pembicaraan kemudian berlanjut dengan dengan huruf o dan gabungan y dan a: ya. O ya, o ya, o dan ya.

O dan ya yang keluar dari mulut Riang membuat bosan. Pepei memilih pergi usai meminjam sendal. Ia balik ke dalam, mengambil sikat gigi yang diimbuhi pasta, kemudian pergi menuju bak penampungan air di dekat wihara. Di sana ia menjumpai sahabat karib yang bahunya bergetar menahan dingin. Ia mencium wangi pasta gigi dan pembersih di wajahnya. Rambutnya lelaki bernama Fidel itu klimis.

Sekembalinya dari bak penampungan Pepei mendapati sahabatnya tengah bicara dengan orang yang sebelumnya berkata o ya o ya menyebalkan. Pepei kemudian masuk ke dalam ruangan, kemudian keluar membawa sebungkus rokok. Dimasukkan sampah plastik ke dalam kantung celana. Disodorkannya bungkus rokok untuk Riang. Riang menjentik sisa rokok kreteknya, ia mengambilnya sebatang. Pepei memantikkan geretan untuknya. Api menyerobot keluar dari dalam lubang geretan. Asap pun mengepul.

Riang kini leluasa bicara. “Hendak mendaki jam berapa?” tanyanya. Riang merasa ujub dan bangga dengan bau mulutnya.
“Jam tujuhan.” Pepei memasukan batang rokok ke dalam mulut. Badan yang sebelumnya bergetar hebat bergerak beraturan. Hisapan rokok membantu kinerja paru-parunya. “Tidak berangkat bertani?” tanya dia kepada Riang.
“Tidak, Mas. Paling-paling nanti pagi mencari kayu. Seminggu yang lalu bapak, melihat pohon besar tumbang di jalan setapak dekat Pereng Putih. Dari pada busuk, sebaiknya pohon itu dimanfaatkan.”
“Penduduk yang lainnya ndak tahu?”
“Ndak tahu apa?”
“Pohon yang tumbang?”
“O… Kayunya pasti masih teronggok di jalan. Saya belum melihat penduduk Thekelan membawa lempengan kayu sejak seminggu yang lalu.”

Fidel yang berada di samping mereka, tersisih. Ia membiarkan kedua orang itu berbincang sementara dirinya memandangi dinding Merbabu yang setiap pertambahan detiknya mengingatkan dia pada keajaiban teknologi yang membuat foto hitam putih menjadi berwarna.
“Mas baru pertama kali naik Merbabu, ya?” kali ini Riang yang ganti bertanya.
“Ya? Tapi, orang yang di samping Mas Riang pernah,” Pepei menunjuk ketika Riang melirik Fidel.
“Masnya pernah lewat mana?” tanya Riang pada Fidel.
Fidel lupa, tetapi ia yakin selama ini ia belum pernah melewati jalur Kopeng.
Jawaban inilah yang menimbulkan ilham di dalam diri Riang. Ia lantas menjelaskan beberapa jalur yang ada namun ia menekankan bahwa jalur yang pemandangannya paling menarik, jalur yang paling indah yang pernah ia lalui adalah jalur Kopeng. ”Start awalnya, ya dari desa ini!” ujarnya bangga. “Dan, kalau seandainya masih menginginkan pemandangan yang lebih indah lagi, Mas-Masnnya harus berbelok ke arah Tenggara dari jalur yang biasa pendaki tempuh.” Riang terkekeh, ”trek rahasia Mas! Karena jarang ada pendaki yang mengetahui, jalurnya sudah lama tidak dilalui.”

Kedua orang itu mulai terpengaruh oleh kekehan Riang yang bernada misteri itu
Fidel yang sedari tadi tenang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, “Petanya bisa dibuatkan?” pintanya pada Riang.
Aha, inilah saatnya.
“Sulit Mas! Sukar!” Riang pura-pura berpikir. ” Begini saja ... bagaimana kalau kalian aku antar saja?”

Berpandang-pandanglah mereka. Dan pada jam tujuh lewat dua menit, Fidel serta Pepei melakukan packing, sementara sang gembala mempersiapkan semuanya: Riang menukar uang dengan sendal capit baru. Ia memasukan pakaian, bahan makanan berupa beras dan beberapa bungkus mie. Ia mengambil geretan yang tergeletak di perapian dan memasukan golok ke dalam sarung lalu ia selipkan ke pinggang sewaktu ibu tengah membungkus nasi dan sayuran untuk bekal di perjalanan.

Beberapa belas menit kemudian, --di depan rumah-- Pepei mengeluarkan dua lembar poto kopi KTP dari dompetnya. Ia memberikannya secara estafet kepada Fidel, lalu Fidel menyerahkan lembaran dengan tambahan beberapa helai uang pada Bapak sebagai balas jasa penginapan (Bapak menolak).

Mereka pun berangkat. Wajah Fidel dan Pepei tampak jelas bahagia. Mereka tak sadar jika kebahagiaan menjadikan alpa: jam tangan Fidel ketinggalan di Thekelan. Kedua orang itu begitu bahagia hingga tidak mengetahui jika hati orang yang mengantarkan mereka mulai dirawani kerusuhan. (DS)


Bersambung ....


Keterangan:

Jika memungkinkan, kisah ini akan di up date setiap tiga hari sekali

0 komentar:

be responsible with your comment