Siulan Batu (Bab 3)

Posted: Kamis, 21 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

RIANG tak mau terus terang. Tetap ia tak mau. Ia memasukan kekhawatiran ke dalam peti dan menggemboknya di dasar hati. Apa yang sebenarnya bakal Riang lakukan, apa yang hendak Riang rencanakan jika gerombolan Kardi memergokinya? Tidak ada. Memang tiga tahun merupakan waktu yang lama untuk mempupuk keberanian. Tapi tak semua lelaki telaten memupuk keberaniannya hingga tanaman dia berubah menjadi pohon keberanian yang rindang.
Perihal keberanian Riang memang ada kemajuan. Buktinya ia memilih untuk mengantar dan menyimpangkan Fidel dan Pepei dari jalur protokol yang biasa dilewati, tetapi sebatas itu -- tetap saja-- tak cukup. Pikiran Riang terlampau sederhana.

ANGKASA BIRU diarsir ujung pohon pinus yang tajam. Awan melayang perlahan menuju tenggara. Angin mengajak bercanda penduduk Thekelan yang beranjak dari peraduan, hendak menuntaskan panenan. Angin bersiul memainkan simfoni ketenangan yang dalam. Satu persatu penduduk Thekelan menyimpang dari jalan batu menuju lahan garapan. Menuju gundukan yang ditutupi plastik pupuk terlihat dari jalan batu.

Gundukan itu berisi tumpukkan wortel, kol, bawang, dan kentang yang kemarin siang tak sempat petani bawa. Beberapa orang menyelinapkan tangan di bawah plastik hitam, lantas melemparkan beberapa ikat hasil pertanian ke arah Riang. Ia menerima sayuran segar yang bisa ia jadikan sup ke dalam tas gendongnya.

Memasuki hutan habislah iring-iringan penduduk. Tinggallah mereka bertiga di jalan setapak yang ditutup helai dedaunan pinus mati. Buah pinus yang berbentuk lonjong dan berbuku berserakan. Beberapa pohon terlihat cedera. Pada batangnya terdapat goresan beralur spiral berupa jalan bagi lendir terpentin, menuju wadah yang terbuat dari batok kelapa.

Pepei menyepak kebekuan saat perjalanan mendekati dua jam. Riang tak mendengar suara sumbang keluar dari lubang penciumannya. Nafas Pepei teratur. Sambil berjalan ia berkata.

“Jalan setapak, udara segar, potongan kayu, semuanya merupakan partikel-partikel pembentuk alam. Mereka mampu mengolah dan memanfaatkan unsur-unsur yang terkandung di dalam diri, untuk meningkatkan kehidupan manusia, meningkatkan taraf peradaban yang sudah dikembangkan semenjak manusia ada. Pernahkan setiap manusia berpikir bahwa hidup memiliki awal dan akhir, bahwa pada akhirnya manusia akan mati dan melebur menjadi bagian dalam keagungan semesta. Adakah manusia yang akan mati, berakhir setelah memiliki guna?”

Pepei tidak menujukan perkataannya pada Riang mau pun pada sahabatnya. Riang menengok Fidel. Ia tengah menggigit pangkal bolpoint. Orang yang dimintainya pendapat angkat bahu –tersenyum. Fidel menjawab tanda tanya yang ada di muka Riang dengan memiringkan telunjuk di keningnya.

Belum selesai Riang membalikan badan, Pepei kembali berkata-kata.
“Manusia. …manusia,
Ah manusia. Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?
Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.
Mengapa kita merasa.
Lantas apa yang dimaksud rasa?
Duhai gila.
Mengapa kita ada?.
Dengan maksud apa k i ta a a a a a ada?”

Riang memikirkan apa yang Pepei lontarkan.

“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.
“O, mengapa aku harus ada!”

Rintang memutar badannya. Fidel kembali memiringkan telunjuknya.

“O, seandainya tuhan ada,
mengapa Tuhan tak memberi tahu
tujuan penciptaan manusia dan semesta?
O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?
Manusia manakah yang mengetahuinya?
Pendetakah?
filosofkan? ilmuwankah? petapakah?
O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?
O’ haruskan Tuhan ada?”

Riang membalikan badannya. Seperti mimpi yang datang berulang, ia menemukan Fidel tengah memiringkan telunjuk di keningnya.

Tiba-tiba Pepei berhenti.
“Di depan tampak sebatang pohon menghalangi jalan,
Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran. Akhir kepastian.
Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.
Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.
Manusia,
binatang dan tumbuhan …
tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.
Mati adalah kepastian.
O’, lantas apa yang akan kita hadapi
setelah kematian?”

Riang mulai terganggu. Ia melihat berkeliling, berusaha matikan ucapan Pepei Tebing batu warna putih keabu-abuan memanjang di sebelah kanan. Seekor elang melayang. Rimbunan tanaman perdu menempel. Ada tetesan air yang masuk ke dalam rimbunan tanaman perintis itu.
“Kita sampai di pereng putih. Ini pohon mati yang kemarin aku ceritakan.” Kali ini Riang yang ganti bicara.

Sambil mendengarkan penjelasan, Pepei memegang pohon yang tumbang. “Biasanya pohon tumbang dijadikan apa oleh penduduk desa?” Pepei membelai batang pohon. Wajahnya diselimuti kasih sayang.

“Tergantung kebutuhan”, jawab Riang. Ia bersyukur berhasil menimbulkan penasaran yang mengalihkan kegilaan Pepei. “Kalau butuh lemari pakaian,” lanjut Riang, ”ya, dibuat lemari. Kalau butuh perluasan kandang ya dijadikan kandang. Kalau dinding rumah lapuk, ya, dijadikan dinding.”

Pepei mengangguk, terantuk-antuk.
Beberapa saat kemudian sesal mendatangi Riang. Penjelasan Riang Pepei gunakan untuk mengganggu Riang dari pangkal, hingga menghunjam ke akar eksistensinya.

“Pohon seperti ini. Pohon yang terlihat tak memiliki daya di hadapan manusia ini … pohon yang sering manusia tebang sekedar dijadikan penunjuk arah … pohon yang sering ditendangi pendaki hanya untuk perlihatkan lelucon barbarnya … ternyata … O ... O ... dalam kematiannya masih memberikan bakti untuk kita. Untuk manusia. Bakti untuk apa?” Pepei bertanya dan menjawabnya sendiri pula. “Baktinya untuk menjadi, menjadi tempat menyimpan pakaian, baktinya untuk dijadikan pelindung bagi hewan peliharaan dari terkaman binatang liar, bakti diri dibakar, agar tubuh kita memperoleh kehangatan.“

Pepei menetesi kepala Riang dengan kata-kata seperti penyair gila,
“O, pohon ini memberi makna
untuk
Kehidupan manusia,
O’, sudahkan manusia berikan makna
Untuk alam semesta?
O, sudahkah kita?
Jika di dunia, manusia hanya hidup untuk dirinya,
hanya untuk kepuasannya dan kesombonganya saja … lantas mengapa manusia dianggap sebagai mahkluk yang paling mulia melebihi kemuliaan emas, topaz ... O intan.
Sementara, sementara ... tumbuhan pada kenyataannya lebih mulia jika dibandingkan dengan manusia.”

Riang meminta pertolongan. Ia mengais penjelasan yang tak mampu ia temukan. Sial! Jawaban Fidel idem, sama, menduplikasi layaknya amuba!

Hatinya kacau. Benarkah tindakannya menemani mereka menuju puncak Merbabu? Haruskah ia mendampingi orang-orang yang di setiap pertambahan langkahnya semakin membuat ia ragu?
Ah bukan ragu! Riang ketakutan! Ia ingin berlari meninggalkan mereka.

Berada di tengah orang gila adalah pilihan yang gila pula. Riang masih sehat. Ia tak mau terular. Ia harus pergi berlari tetapi pikiran untuk meninggalkan mereka tertimbun pasir. Bagaimana dengan keselamatan dua orang ini? Bagaimana? Riang terdampar pada dua pilihan. Ia termenung di atas pohon yang telah mati. Hatinya bimbang. Sangat-sangat bimbang! Ia tak sadar jika tetesan kata-kata Pepei mulai merembes di dalam pikirannya.

”Pepohonan selalu memberikan bakti pada manusia,
apakah manusia lebih mulia
bila tak pernah memberikan baktinya?”

Racauan itu menelusup, menembus masuk ke dalam tulang tengkorak. Ucapan itu membuat Riang –seakan— mandi di pancuran. Suhu tubuhnya sontak sejuk, pikirannya terbuka seluas cakrawala, pikirannya hampir tak bertapal hampir tak berbatas.

Aku harus menolong mereka. Kegelisahan ini tidak sebanding dengan keselamatan mereka. Aku harus berkorban seperti pohon yang tumbang. Berbakti! Aku harus berbakti seperti pohon yang tumbang itu!... Tak kan, tak akan kubiarkan mereka menjadi arwah!
Dan mereka pun beranjak.

Setengah jam perjalanan dari pohon mati Pepei tidak lagi berbicara. Ia hanya bersiul-siul. Tanda-tanda yang menjadi penghalang jalan setapak rahasia mulai tampak. Rerumputan nampak mengembang di kanan kirinya. Jalan rahasia itu terhalang batu dan longsoran tanah yang terjadi setahun lalu.

Sebelum menyimpang dari jalan protokol Riang menyuruh Fidel dan Pepei istirahat. Riang memeriksa keadaan. Lima menit kemudian ia kembali, menyerahkan buah arbei yang memenuhi kantung bajunya. Setelahnya Riang berjalan melawan arah dari jalan yang tadi telah ditempuhnya.

”Apa yang kau lakukan?” Tanya Pepei sebelum Riang menjauh.
Riang menjawab asal. Mencari jamur, katanya.
Empat menit kemudian Riang kembali.

Tak ada yang ditenteng, oleh tangan Riang, sebab alasan sebenarnya bukan itu. Riang menyelidik, ia memastikan mereka aman dari kuntitan gerombolan Kardi. Fidel memasukan arbei ke dalam kantung plastik transparan dan mengaitkannya di pinggang. Sebelum rute baru dimulai Riang mengatakan bahwa monyet dan kucing hutan bersarang di sepanjang jalan yang akan mereka lewati. Pepei berhenti bersiul. Itu yang diharapkan. Riang khawatir jika rombongan Kardi mendengar siulannya.

Riang kemudian mengitari longsoran. Ia lantas memasuki jalan setapak yang tertutup semak-semak. Duapuluh meter kemudian ia keluarkan golok. Ranting pohon yang menghambat dibabat. Mereka berjalan dalam diam. Hening diganti kepak sayap belalang. Pekik monyet terdengar. Jalan semakin curam, menurun. Hingga ...

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!!! (bunyi melengking terdengar panjang)

”Suara apa itu?” tanya Fidel.
”Suara angin di Watu Gubug.” Jawab Riang sambil membersihkan wajahnya yang gatal.
Beberapa langkah kemudian ketiga orang itu sampai di kali kecil yang bening. Riang turun mengisi air. Pepei dan Fidel mencuci mukanya. Aliran kali kecil mengalir hingga ke penampungan Thekelan.

Fidel mengeetatkan tali ransel, saat perjalanan kembali dilakukan. Adalah hal yang wajar, sebab mereka menghadapi tanjakan curam selama setengah jam ke depan. Sesampainya di puncak lembah, Pereng Putih tampak. Dua ekor elang terlihat melanglang di atasnya. Pemandangan itu membuat Pepei dan Fidel menggelengkan kepalanya.

Desa Thekelan terlihat jelas di bawah. Atap wihara berwarna merah cerah. Petak-petak sayuran terhampar bagai permadani yang dibentangkan raksasa Kilau-kilau air pada bak penampungan menyilaukan mata. Pemandangan menakjubkan itu melukis kegembiraan di wajah Pepei dan Fidel. Hal itu Riang syukuri benar. Kegembiraan Riang memupuskan kekhawatiran di dalam dirinya hingga kemudian sepi pun datang dan ...

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!! (bunyi melengking kembali terdengar panjang)

Perjalanan dilanjutkan hingga sampai di batu berkumpul yang –kumpulannya-- mengesankan persekutuan. Batu-batu itu memanjang hingga menuju ujung Watu Gubug. Bebatuan itu tersusun rapi, seolah ada yang menatanya.

Tepat jam dua siang mereka berhenti di depan batu besar yang masyur. Batu memiliki bolong besar tepat di tengah.

Suiiiiiit! (bunyi menjadi pendek)

Pepei dan Fidel masuk ke dalam batu hingga otot-otot mereka menjadi lemas. Mereka mengantuk ...
Lantas, kemana bunyi suit?
Hilang?!

0 komentar:

be responsible with your comment