Bisikan (Bab 1)

Posted: Senin, 18 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

KEBANYAKAN orang mengalami intimidasi dari lingkungan saat ia pindah keyakinan yang dipeluk turun menurun oleh trahnya. Si Dwi seorang teman SMA Riang di Jogja sempat tidak mendapat kiriman uang selama dua tahun karena pindah keyakinan dari agama Hindu ke Kristen. Teman Riang yang satunya lagi, yang namanya Maimoon pernah kepergok akibat salah perhitungan. Disangkanya orang tua dia sudah pergi arisan hingga bisa leluasa tunaikan sholat. Eh, baru sujud rakaat pertama dilakukan, bunyi ceklik terdengar di kamar. Pintu terbuka dan gelombang suara bariton serta alto mencapai empat oktaf sampai ke telinga, “O YESUS!” Mama Maimoon histeris menangis dan dengan semangat inkuisisi abad keimanan Eropa, bapak anak itu kalap! Dalam posisi sujud pantat anaknya menjadi samsak. Ditendanglah satu-satunya buah percampuran antara zygoth dan sperma mereka pas di bokong! Meclenglah membentur sudut lemari. Ubun-ubun si anak benjol sebesar telur merpati. Tak beres di sana si bapak menggampar Maimoon menggunakan tulang carpals Plak! Plak! Plak! sembari menunjuk tangan ke pintu rumah dan berkata “Aku tak sudi punya anak seperti kamu! Memalukan keluarga. Durhaka! Hina! Are you understand! Are you understand? Pergi!” Dan semua bala yang membuat asmanya teman Riang kambuh itu terjadi karena dia pindah tempat ngetem, pindah dari agama Katolik ke Islam.

Biar kejadiannya menyeramkan, setidaknya si Maimoon itu lebih beruntung ketimbang si Dwi karena cuma setahun dia diintimidasi: dikutuk, diancam mau dibunuh dan dipreteli mendekati mutlisi. Namun, setahun kemudian semuanya wassalam. Mamanya datang ke kosan. “Mama rindu kamu Delilah,” katanya sembari membujuk anak perempuannya yang murtad. ”Kembalilah ke rumah!”

Karena si Maimoon yang dulu memang bernama Delilah itu bersikukuh, Papanya pun mengiming-imingi: Delilah bakal disekolahkan ke negeri kiwi, tepatnya ke Port Moresby New Zealand.

BAGI KELUARGA RIANG konflik perpindahan tempat ngetem macam itu tak pernah berlaku. Sudah berapa kali entah dia pindah-pindah keyakinan: dari Hindu ke Islam pernah ia lakukan. Itu pun cuma satu semester. Dipikirnya –pada saat itu-- bapak dia bakal murka, ternyata tidak. Sewaktu bapak tahu beliau cuma sendawa. “Terserah situ. Yang terpenting jangan dibuat macam-macam. Dibuat sampai kamu berani mencak-mencak! Sampai kamu datang ke depan Ibu dan Bapak cuma untuk ngomong, KAFIR! KAFIR! Seenak dengkulmu. Kalau kau seperti itu nantinya … kalau kau begitu juntrungannya bapak cuma bisa berpesan. Tolong diingat siapa yang susah payah melahirkan kamu. Siapa yang susah payah ngurus dan netekin kamu? Ibumu toh?!”

Setelah itu tak ada letupan. Monggo silahkan pindah. Tidak ada efek. Adem ayem saja. Damai sejahtera. Aman sentausa seperti Indonesia yang benar-benar raya. Marilah kita dentangkan sebuah lagu keramat yang sering dinyanyikan siswa sewaktu upacara bendera. Coba yang di sana tolong di genjrang-genjrengkan gitarnya. Awali dengan kunci C. mulai…

Indonesia tanah air beta
Pujaan abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala, slalu dipuja-puja bangsa
Di sanaaaaa…..tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bundaaaa
Tempat…(lupa) hari tua
Tempat (lupa) menutup mata.

MERBABU TEGAK membentengi desa dari risauan angin. Baik pagi, siang, terlebih malam, suasananya sejuk. Di pagi dan senja, horison benteng alam setinggi lebih dari tiga ribu meter itu berubah menjadi warna beludru. Bersamanya lautan aura mistis mengambang di angkasa, bersinar-sinar memberitahu bahwa cahaya alam adalah perlambang keajaiban.

Di sini, di tempat Riang berada ini kegelapan dan cahaya dapat bersatu menjadi sebuah lukisan surealis yang indah. Saat awan berbondong-bondong datang, angin membentuknya menjadi kuda berkepala harimau; cabikan daging manusia yang digilas kereta; atau bulatan-bulatan misterius seperti lukisan psikotik si bohemian kuping rebing Van Gogh.

Desa Riang berada di kangkangan gunung itu, menyempil di lekuk lembah, di sisi belantara dan hutan yang sedikit pepohonan besarnya. Lerengnya ditumbuhi kol yang apabila tua warna daun juga bonggolnya menjadi hijau pekat dan yang muda berwarna hijau pastel, sementara di sisi lainnya, umbi wortel berwarna oranye menghunjami lahan pertanian dan daun-daun bawang menyucuk-nyucuk angkasa mengeluarkan aroma menyengat yang nikmat.

Ya, kisah ini berawal dari desa di lereng Merbabu yang indah. Kisah ini berawal ketika rintik air melayang dibawa kabut, ketika --untuk pertama kalinya-- Riang melihat dua lelaki berjalan seperti kalkun, mengaso di pos penjagaan lokasi wisata Kopeng.

Saat itu Riang memberi mereka sedikit perhatian. Hanya senyum yang dilampirkan. Ia yakin jika kedua lelaki itu bakal bertemu dengannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, secepat-cepatnya.

Setengah jam kemudian kedua lelaki itu sampai di tepi halaman rumah Riang. Salah seorang di antara mereka membuka tas, mengendurkan otot dan menggerakkan jemari tangan sambil melirik jam saat lelaki satunya mengetuk pintu rumah.

Bapak menyambut selagi Riang mengintip dari balik jendela. Percakapan terdengar. Kedua orang itu menuju ruang sebelah, ruang yang khusus didirikan bagi para pendaki sebelum mereka tancap gas melanjutkan perjalanan menuju puncak. Di dalam ruangan yang bisa menampung hingga empat puluh pendaki tu tidak terdapat tempat tidur konvensional. Keluarga Riang sebatas menyediakan panggung sederhana agar para pendaki tidak tidur di lantai. Kondisi itu pun sudah lebih dari cukup sebab, mereka nemang sudah terbiasa tidur beralas tanah dan berselimut ponco, bahkan sebagian kecilnya sudah terbiasa tidur dan melamun di samping jenazah.

Setelah cukup lama berada di dalam rumah, Riang keluar mengantar teh panas, hendak mengundang kedua pendaki itu mengikuti ‘syukuran kecil’ atas panen berlimpah yang keluarga Riang nikmati tahun ini. Masuk ke dalam, ruangan kosong melompong. Riang tidak dapat menemukan mereka. Ia menyimpan baki teh panas di atas panggung kayu. Angin dingin masuk, pintu lantas ditutup. Riang termenung. Sesuatu mengganggunya. Sewaktu berjalan melewati gerbang pekuburan, ia berpapasan dengan beberapa lelaki. Sekilas Riang merasa pernah melihat salah seorang di antara mereka, tapi hingga saat ini ia belum dapat menyimpulkannya.

Riang pun keluar, dan di bawah pohon beringin dekat rumah ia menjumpai Oerip. Tetangganya yang baru menikah itu tidak melihat pendaki yang Riang maksud. Setelah memberitahu Oerip bahwa penjualan panen tahunan bisa diambil di rumahnya, Riang lantas pergi menyusuri jalan batu. Ia berpikir kedua pria itu hendak membeli Djarum Coklat, rokok yang konon paling mantap jika dihisap di ketinggian, sembari melengkapi kekurangan bahan makanan.

Sesampainya di warung Riang menemukan Simbok Rahayu tengah menyeduh mie instant rasa rawon untuk anaknya, Parman.
”Hari ini ndak ada pendaki yang ke sini, Mbok?” tanya Riang.
”Ada juga yang beli batu baterai, Yang,” jawab Simbok.
“Dua orang?!”
”Bukan, sendiri Yang.”
Riang menduga. ”Lelaki berewok, yang pakai kupluk, yang lehernya dililit kain merah?” tanyanya.
Simbok mengiyakan sambil mengetuk mangkuk mie hingga menimbulkan bunyi ting berkali-kali.
“Orangnya sendirian Mbok?”
“Memangnya kenapa Yang?”
”Di gerbang pekuburan aku melihatnya tidak sendirian.” Riang meminta penegasan, ”Benar dia sendirian, Mbok?”
Simbok sewot “Sudah dibilang sendirian, ya sendirian!”

Riang tertawa. Ia mencomot pisang goreng lalu pergi menuju lahan di mana leluhur desa Thekelan dikuburkan.

Menuruni jalan batu yang menyimpan dingin, sunyi menjadokan ketukan langkah kaki Riang terdengar. Di kuburan itu tak ada tanah merah yang baru. Semuanya menua. Batu-batu nisan terlihat jompo, gerbang pekuburan lembab dan tampak kehilangan vitalitas dimakan usia. Jangkrik mengerik. Kerosak pohon kemboja yang disiurkan angin menciptakan suasana yang mencekam. Bayang-bayang hitam pohonnya bergerak-gerak melambai. Sunyi kembali datang dan sebuah bisikan tiba-tiba terdengar:
R
i
a
n
g
K e m a r i

R
i
a
n
g

A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i

M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t

Sesuatu di luar akal tiba-tiba menyebut nama Riang berulang-ulang Mendengar bisikan itu tubuh Riang mendadak dijalari dingin yang menjalar seperti ubi jalar.. Bulu kuduk Riang meremang menancapi udara. Ia ingin berlari tetapi takut jika sesuatu yang membisiki telinganya itu memiliki persamaan dengan tingkah laku anjing. Anjing yang semakin garang, yang semakin kurang ajar apabila yang digonggongi mengeluarkan ilmu mustika alias ilmu musti kabur, angkat kaki dan berlari.

Saat pinus hutan menjadikan bayangan bukit di sebelah barat Merbabu terlihat seperti pucuk senjata tajam, Riang berbalik. Sesampainya di halaman rumah ia melihat halaman pintu ruangan di samping terbuka lebar. Kedua orang yang dicarinya sudah kembali. Riang masuk ke dalam rumah menghangatkan badan. Tak terpikirkan lagi olehnya berbincang. Yang kini mengisi tempurung kepala Riang hanya bisikan yang masih menyisakan rasa heran bercampur kekhawatiran.

Riang menyegerakan masuk ke kamar. Orang tuannya menganggap biasa. Mereka pikir anaknya tengah membutuhkan waktu menyendiri, melakukan semedhi. Mereka tidak tahu jika hati anaknya kebat-kebit seperti hati perawan yang baru saja dinodai dan dirogol kokolnya satpam.

Sekeping merah tersisa di angkasa. Bintang-bintang menyala, menggantikan matahari yang meredup di batas cakrawala. Usai selamatan Riang tertidur dan keesokan harinya ia sudah bisa memulai kehidupan seperti biasa. (DS)

Bersambung .....

Keterangan :
Jika memungkinkan, kisah ini akan di up date setiap tiga hari sekali

0 komentar:

be responsible with your comment