Obrolan (Bab 4)

Posted: Kamis, 21 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

SIRKULASI yang baik membuat mereka tidur pulas selama tiga jam dan si penunjuk jalan baru bangun saat matahari tenggelam. Riang keluar dari bolongan batu. Fidel menyodorkan cangkir dan roti saat melihat Riang telah berada di sampingnya. Roti tenggelam di dalam cangkir. Perut Riang kenyang. Ia mengmpulkan ranting-ranting kayu untuk menghangatkan badan. Dimasukannnya kayu ke dalam batu yang dapat bersiul.

Dinding bolongan di dalam batu itu dibercaki butiran kaca. Ruangannya mampu memuat lima orang dewasa, tingginya sekitar satu meter, memiliki dua lubang, yakni lubang yang mereka tempati sementara lubang lainnya yang sebesar roda mobil bisa mereka jadikan perapian mini.

Riang memperhitungkan agar api tidak terlihat dari gubuk gerombolan Kardi. Ia membuat rangka menggunakan ranting yang tersisa. Atap rangkanya ia lapisi kertas koran dan rerumputan. Selesai mengerjakan Riang merasakan angin menderas di buhulnya. Ia masuk ke dalam bolongan dan mengeluarkan sayuran.

Tanggap oleh kesibukan Riang Fidel masuk ke dalam dan memasang kompor parafin di dekat lubang perapian. Matras digelar, tak lama berselang, sup jadi. Mereka makan. Dua kali perut Riang kenyang. Setelahnya, Rokok putih dinyalakan. Riang menolak tawaran Pepei. Rokok kretek yang diselipkan di dalam dompetnya dimainkan. Busss...Buss...Buss! Dalam sekejap ruangan menjadi pekat.

Di saat saat seperti ini cerita pun mengalunlah. Batu yang mereka tempati biasa di beri makan oleh penduduk desa dan pendaki yang percaya. Makanan batu ini adalah sebungkus rokok kretek dan klobot, dua genggam bunga mawar melati, cerutu menyan, bunga kemboja, satu kendi besar berisi air, ditambah nasi dan ayam bakar camani merupakan persyaratan dasar pemberian sesaji. Semuanya dimasukkan ke anyaman besar dan ditujukan untuk mencari jodoh, menebak toto gelap, memohon arwah leluhur memerangi hama, agar lelembut Merbabu tidak lagi menjahili pendaki.

Untuk keperluan yang terakhir tadi Riang pernah menyaksikan dua kepala kerbau disajikan diatas nampan, dimasukan ke dalam bolongan batu setelah belasan pendaki hilang.

Pepei dan Fidel berusaha memahami. Mereka serius mendengar apa yang Riang tak paparkan dan –mereka-- tak mengeluarkan satu komentar apapun pun, hingga ketika Riang mengemukakan keraguannya akan pengaruh mahluk gaib yang bisa mencelakakan atau membuat manusia bahagia, penuturan pun dimulai.

”Sejak zaman purba manusia memiliki ketertarikan terhadap keajaiban yang berada di luar dirinya.” Tutur Pepei. ”Manusia, kita, mengagumi gumpalan awan dan berkah hujan. Manusia, kita, berdecak-decak atas kemampuan hujan menyulap tanaman untuk tumbuh dengan cantik dan baik. Manusia terkagum-kagum menyaksikan hasil bercocok tanam yang semarak, manusia terkagum-kagum tasa melimpahnya hasil perburuan, besarnya gelombang di samudera, tiupan angin yang mampu membawa bahtera berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya. Manusia pun terbelalak manakala menyaksikan kekuatan negatif alam berupa gempa, kekuatan air bah, kekuatan taufan di kepulauan tropis! Manusia heran, kita super heran. Hal ini menjadi semacam rahasia dan untuk medapatkan jawaban atas rahasia yang membuat heran itu, segala peristiwa kemudian manusia sangkutpautkan dengan kekuatan gaib yang manusia anggap berada di balik seluruh kejadian. Manusia berkhayal, fenomena alam nan dahsyat mereka kaitkan dengan kebahagiaan dan amarah mahluk kasat mata yang tak mampu manusia indera ...”

Pepei coba menyederhanakan. ”Kalau melihat ibu Masnya murka, apa yang akan Mas lakukan?”

Apa maksudnya ia bertanya? Mau mengetes Riang? Bukankah tidak semua orang bisa ditanya seenaknya, --namun-- bukannya balas bertanya, Riang malah terburu-buru untuk menjawab apa yang Pepei tanyakan.
”Melakukan sesuatu yang beliau mau.” Tanggap Riang.

”Seperti halnya Mas, jika alam tampak menakutkan, manusia zaman purba melakukan tindakan yang --manusia anggap—akan disenangi mahluk kasat mata. Manusia memberi sesaji, mereka mengabulkan pesanan yang dianggap keinginan mahluk kasat mata yang menguasai alam. Mereka melakukan berbagai macam hal agar pertanian, perburuan, dan segala hal yang mereka usahakan tidak dikenai bala.”

”Dulu ...” Pepei panjang bercerita, ”bangsa Teotihuakan memiliki ritual agar dewa musim semi Xipo Totec tidak menurunkan murka. Imam-imam yang dianggap paling mengerti keinginan dewa menyeleksi wanita terpilih untuk mereka tikam dengan belati batu lalu jantung wanita-wanita terpilih yang masih segar, yang masih berdenyut itu diambil hidup-hidup. Para Imam dan pengikut agama Teotihuakan menganggap apa yang mereka lakukan sebagai simbol penyambutan bergantinya musim dingin menuju semi. Tak selesai sampai di sana, mereka menganggap para dewa membutuhkan simbolisasi yang sempurna, lantas kulit wanita-wanita pilihan itu mereka kelupas untuk dikenakan para imam selagi merapal mantra dan menari-nari sembari mengelilingi altar.”

Riang mengatakan cerita itu seram sekali.

Ohoi bangsa bangsa Toltec lebih seram lagi, sanggah Pepei. Apa yang dilakukan bangsa Toltec lebih memuakan lagi, apa yang mereka lakukan lebih menakutkan dari bangsa Teotihuakan. Datangnya musim semi –adalah-- berarti pengurbanan besar. Tentara Toltec kemudian mencari kurban dengan menculik atau memerangi suku-suku kecil yang tersebar mengelilingi kota besar mereka. Suku-suku itu diburu, di matikan dan kurbannya bukan hanya ratusan. Dalam satu hari tumpukkan mayat bergelimpangan di dekat altar. Oh, Riang tak bisa membayangkan bila pengurbanan manusia masih berlaku di abad ini. Ia tidak sanggup membayangkan jika imam abad kontemporer ini adalah Kardi.

Riang bersyukur ketika Pepei mengisahkan bahwa manusia sudah mampu memperkiraan alam, manusia sudah mampu mempelajari gejala, sudah mampu mengendalikan bahkan memanfaatkan alam untuk kehidupan. Semakin abad bertambah kemampuan manusia makin baik. Jika dulu manusia mengetahui musim yang baik untuk bercocok tanam melalui rasi bintang tapi manusia tidak mempu mendatangkan hujan, kini manusia sudah bisa membuat tempat bercocok tanam yang tak terpengaruh musim.

“Tidak berhenti di sana kita yang semula hanya menunggu hujan terbang ke awan, membawa berkarung-karung bubuk garam, ammonium nitrat dan bahan kimia lain untuk ditebarkan di atas awan: untuk memaksa awan menurunkan hujan.”

“Dari yang percaya, menyerahkan nasib serta memberi sesaji pada pada penguasa alam, manusia mulai beralih mempercayai dirinya sendiri, pada kekuatan dirinya, tidak pada yang lain! Hanya kepada dirinya manusia percaya! Menyandarkan segala!”

“Maksudnya?” tanya Riang kepada Pepei.
“Jangan menyandarkan diri pada kegaiban, masukilah dirimu sendiri, temukanlah kekuatan untuk mengelola kehidupan. Temukanlah kekuatan ilmiahmu sendiri!”
“Maksudnya?”

Setelah–di rumahnya-- Riang mengatakan o dan ya, o dan ya, kini pertanyaan ‘maksudnya-maksudnya’ yang bertubi ia sampaikan, membuat Riang tampak seperti anggota sekte yang tidak memiliki kreatifitas. Padahal, --di dunia tertentu—perkataan Pepei masih standar. Pemaparan tersebut belum merambah perkataan bapak atom Democritus hingga Menheim, dari Durkheim, si kere Marx hingga pemikiran Deridda yang licin berlendir seperti belut.

Beberapa hal yang Pepei paparkan memang masih terlalu cepat untuk Riang cerna, tetapi pada kenyataannya Riang memang tidak bodoh bodoh amat. Yang ia perlukan saat ini hanyalah duduk manis dan tidak terburu-buru mempertanyakan hal-hal yang mendesak di kepalanya. Selanjutnya, Riang tak mengetahui kelanjutan arah pembicaraan ketika Fidel menggertak Pepei dan mengejeknya. Untuk sementara keikutsertaan Riang dalam pembicaraan berakhir. Ia merasa belum mampu masuk ke dalamnya. Pembicaraan itu masih terlalu cepat.

Riang hanya menyimak, menyaksikan bagaimana Fidel menyangkal bahwa tidak semua manusia yang percaya pada Yang Maha Mengendalikan alam menjauhi pemikiran ilmiah. Newton, Pascal dan Einstein adalah bukti. Yang lainnya pun tidak hanya berdoa agar taufan reda. Manusia beriman menerbangkan kamera kecil super canggih untuk mengetahui, untuk menggali penyebab, untuk mengendalikan kebuasan alam, tetapi mereka tetap menyadari bahwa tidak semua hal bisa di laboratoriumkan, dan tidak semua hal yang tidak bisa dilaboratoriumkan bukan merupakan sesuatu nyata.

Siapa yang buas? Jawabannya, tentu alam, tetapi pikiran Riang jauh melampaui. Buas dalam metafora Riang adalah bab serudukan badak dan cakaran singa.

“Kita tahu di dunia ini ada banyak paham,” Fidel menyambung, “keyakinan akan keberadaan Tuhan ataupun penafikan terhadap-Nya, tidak ada sangkut pautnya dengan upaya manusia menjelajah, mengeksplorasi alam semesta. Di alam ini ada manusia beriman tapi pemalas, ada pula manusia yang tak percaya tetapi juga pemalas yang sama. Yang satunya menyandarkan semua hal dengan jawaban sederhana: “ya itu karena Tuhan” sementara yang satunya lagi mengatakan, “tidak ada tuhan, yang terjadi di alam semesta hanyalah hukum alam. Lalu mereka diam membatu dan berlumut di dalam dunia filsafat yang pasif.”

Pepei menyepak Fidel “Kebenaran itu relatif!” kataya, “Tetapi, di antara kebenaran yang relatif itu hanya pemahamankulah yang benar,” Pepei bercanda.
“Gneuti Seuton! Pahamilah kaplingmu sendiri!” Fidel menyalak.
“Sialan! Obrolan kita tak pernah berakhir. Sudah berapa kali kita bicara dan Kau tak lantas meyakinkanku!”
“Justru argumentasimu yang tak meyakinkan!”
Mereka saling membantah.

Pepei meninju lengan Fidel, sahabatnya yang telah lama dipisahkan oleh bus antar kota dan provinsi. Pepei merindukan Fidel. Dan di atas bolongan batu itu,s langit yang menggantung menyerupai atap tenda yang melengkung. Atmosfer seakan kantung plastik yang melindungi kemah bumi dari canon ball angkasa yang tajam laksana belati. Bintang-bintang silih berganti berpijar.

Ketiga lelaki itu pun tertidur hingga matahari datang menyepuh pagi.

BEBERAPA RATUS METER dari bolongan seorang lelaki memaki-maki dengan kata-kata kasar sambil menendang batang pohon, menjatuhkan dua ekor tentara semut yang tengah menggendong larva anggota koloninya. Sementara itu, belasan orang lelaki yang mengelilinginya menadah tetesan anggur murahan yang masih menempel di pohon sembari memainkan kartu remi porno, untuk membunuh rasa bosan.

0 komentar:

be responsible with your comment