Sesat (Bab 5)

Posted: Selasa, 26 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

Api padam sejak subuh. Bakaran rantingnya menjadi karbon. Pagi, ini ada begitu banyak energi yang terkumpul. Riang keluar dari batu. Ia menuju ujung atas Watu Gubug, mencermati adakah jejak kaki gerombolan Kardi di dalam kompleks di mana batu bersiul berada.

Riang tak menemukan jejak apa pun. Ia lantas berbalik dan mendapati Fidel tengah menggulung sleeeping bag bulu angsa, memasukan matras dan sebuah tabung hitam, sementara Pepei tengah sibuk memasak telur. Setelah sarapan, perjalanan mereka lanjutkan

Sekitar satu jam ke depan mereka sudah mulai meniti jalan menanjak yang berujung di kompleks pemancar. Tanjakan yang membuat pening tersebut membuat ketiga orang itu kehausan.

Sampai di pemancar air habis. Di tempat ini pendaki yang masuk di luar jalur Kopeng biasa mencari air di dekat kawah kecil, --mereka tak tahu—padahal, di dalam kompleks pemancar itu, di balik kawat berduri terdapat tong berisi air bersih.

Riang segera membuka tas. Ia mengambil celana jeans untuk ia jadikan pembalut. Riang tak rela jika tangannya berdarah saat memanjat. Hap! Riang sampai di kawat tertinggi. Hap! Tubuhnya mendarat di tanah. Mimiknya melambangkan kejayaan. Riang pun berjalan dipenuh kebanggan hingga --kebanggaan itu pupus—saat ia menemukan Fidel dan Pepei tengah mengisi beberapa botol plastik tanpa rasa bersalah. Kedua orang itu masuk ke dalam kompleks pemancar melalui sebuah celah. Maka di hadapan tong itulah kejayaan Riang pun hancur menjadi puing.

Selepas menara pemancar, rerumputan di lembah dan puncak bukit terlihat serapih karpet lapangan futsal. Kicauan burung terdengar. Saat itu matahari yang berada di posisi seperempat kubah langit belum mampu menerangi lembah dengan cahaya. Fidel mengambil sudut yang pantas diabadikan (semuanya pantas. Tak ada yang tidak). Dari tempat ini perjalanan menuju puncak masih lama. Masih harus lewati bukit-bukit dan tebing yang indah.

Mereka melanjutkan perjalanan meniti Kenteng Songo –sebuah jalur selebar satu meter dengan jurang yang dalam dengan bebatuannya yang mudah runtuh. Kerikil menggelinding menuju jurang. Debu dan pasir menghalangi pandangan. Kawah Condro Dimuko terlihat samar. Inilah jalan terberat di Merbabu yang mewajibkan para pendaki untuk menghemat nafas.

Tiga orang lelaki itu tak banyak bicara, mereka menekuni jalan. Sepi menyebabkan suara keresek ransel, serta langkah kaki terdengar jelas. Di saat-saat letih dan sunyi seperti ini, tak mungkin, ada satu pun pekerja yang masih memikirkan kantornya. Di saat seperti ini, --bahkan-- seorang penakut yang berjalan di tengah malam, tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk berpikit tentang setan. Yang menguasai tempat ini hanya adalah ketenangan yang membuat tentram.

Akhirnya, setelah meniti tanjakan itu selama setengah jam mereka sampai di tanah datar yang bagi para pendaki berarti surga. Mereka istirahat. Ketiga orang itu berada di puncak dua tanduk: puncak Syarif dan Kenteng Songo.

“Inilah tanjakan setan.” Riang memberikan informasi.
“Kalau disebut tanjakan setan, ... yang meniti tanjakannya disebut apa?!” Pepei melempar botol mineral lalu Fidel menyerahkan botol air mineral pada Riang.
“Yang menaikinya berarti setan!” Riang asal bicara sambil memuaskan dahaga.
“Berarti ada tiga setan di tempat ini!” kata Pepei tertawa.
Setelah mengatakan itu angin tiba-tiba datang. Bunyi lengkingan terdengar jelas.

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!!

Dari kejauhan rombongan orang terlihat berjalan beriringan. Kilatan-kilatan besi memantul. Riang tak tahu siapa mereka tapi dari kecepatan langkah kaki nya ... Firasat datang ... sepertinya ... sepertinya ... ya Tuhan, mudah-mudahan jangan! Riang berdoa. Wajahnya seputih bedak. Jemarinya pucat, kakinya bergetar hebat.

Menyaksikan perubahan itu, Pepei segera membuka ransel. Ia mengambil teropong dan memberikannya pada Riang. Melalui lensa Riang melihat beberapa orang memegang parang. Riang tidak mengenal orang-orang itu tetapi beberada detik kemudian, --dari patahan setapak dekat pemanca-- sesosok lelaki brewok yang ditemuinya di gerbang kuburan muncul. Orang kelima belas sang empunya gerombolan, tampak!

Hati Riang diboyong huru-hara.

Fidel dan Pepei menatap Riang meminta penjelasan. Namun Riang tak sempat memberi keterangan secara detail. Ia meringkas.
“Kita harus berangkat, mereka begal!”
“Begal apa?” Fidel meneropong barisan itu.
“Aku tak bisa menjelaskan! Satu jam lagi mereka sampai di tempat ini! Kita harus segera pergi menuju puncak, sekarang!” Riang beranggapan ke dua orang di samping dia merupakan tanggung jawabnya. “Kalian harus selamat sampai di Jogja!” katanya terdengar hebat.
Fidel menepuk bahu Riang. Ia berjalan lebih dulu, namun langkahnya terhenti.
“Del?!” tegur Pepei mengingatkan.
“Ya!?”
“Foto! Siapa tahu ini hari terakhir kita di dunia,” Pepei tertawa.
Setelah menghabiskan sepuluh buah jepretan mereka berjalan seperti dikejar setan!

Riang tak habis pikir mengapa gerombolan Kardi bisa mengetahui keberadaan mereka. Ia tak mengerti apa yang terjadi, namun mendadak, angin besar mengiibarkan rambut Pepei yang panjang. Suara siulan terdengar.

Aaaaaaaah, bolongan batu di Watu Gubug tidak bersiul tadi malam. Bagaimana mungkin gerombolan iblis itu tidak berfikir ke sana. Sial! Riang mengutuk. Ia memukuli kepalanya. Pepei segera menenangkan Riang dengan sebatang rokok yang terbakar. Mereka kemudian menyusul Fidel yang tengah meniti tebing curam.
Beberapa saat kemudian, batu besar berwarna hitam menghadang perjalanan mereka. Sepintas tak ada jalan, namun di samping batu itu terdapat setapak kecil selebar setengah meter. Ketiga orang itu kemudian meretas jalan dan menemukan gundukan eidelweis. Setelah tebing curam terlewati, ketiga orang itu pun sampai di puncak tertinggi.

Sebuah letusan menyambut. Merapi terlihat kokoh berdiri. Tubuhnya kelabu. Bagi Pepei dan Fidel gunung itu tampak menakjubkan, tetapi bagi Riang, tidak! Bentuk mengkerucut itu menandakan angkuhnya kekuatan alam. Merapi –baginya—merupakan lambang kejahatan.

Merapi memang tak memiliki jiwa dan keinginan, Riang memahami itu tetapi ketidaksukaannya tetap sukar untuk dihilangkan. Di atas puncak tertinggi Merbabu itu ia lebih suka melayangkan pandangannya menuju arah barat tempat Sindoro dan Sumbing: dua buah gunung yang kini sebagian hutannya telah habis dibabat.

Riang mengingatkan, tak ada waktu untuk mengaso di puncak Merbabu. Pepei segera membuang air di botol, meringankan beban. Kini langkah kakinya tidak lagi tersendat. Ia bahkan mampu berlari menuruni bukit yang jalur setapaknya sambung menyambung dengan Merapi.

Fidel yang lebih dulu berangkat, tersusul. Semakin cepat berlari, semakin jauh gerombolan Kardi berada di belakang mereka. Saat ketiga orang itu memasuki padang eidelweis udara menjadi dingin. Sengatan matahari menjadi tak terasa di kulit. Kabut pun datang menyandung perjalanan.

Fidel dan Pepei segera menyalakan senter, lalu mengenakannya di kepala sementara Riang yang tak membawa alat penyinaran mereka tempatkan di tengah. Perjalanan menembus kabut tebal dilanjutkan hingga dua ratus meter ke depan. Setelahnya senter tak bisa lagi diandalkan.

“Berhenti di sini dulu,” Fidel mengusulkan, namun dalam kebingungan Riang merasakan gerombolan Kardi masih tetap menghantuinya. Riang ketakutan. Ia memaksa Fidel dan Pepei untuk terus melangkah.

“Mereka tidak akan diam diri!” kata Riang tercekat. “Gerombolan itu mengetahui seluk beluk Merbabu! Kita harus pergi... kita harus pergi!”

Fidel dan Pepei tak sampai hati mendengar suara itu. Mereka langsung melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya buah ketakutan Riang menjadi penyebab hilangnya arah perjalanan mereka menuju Selo. Riang menyesal. Mereka tersesat!

0 komentar:

be responsible with your comment