Danau Mistis (Bab 6)

Posted: Selasa, 26 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

Menembus kabut tebal memang merupakan perbuatan terkutuk. Riang tahu itu tapi terkadang ketakutan membuat seseorang hilang akal. Ia tidak lagi mengenal kawasan yang saat ini dipijaknya.

Kabut hilang beberapa jam yang lalu. Hutan seperti labirin yang diciptakan untuk menyesatkan. Riang tak dapat lagi melihat matahari untuk mengetahui kepastian waktu. Matahari terhalang pepohonan tinggi. Fidel segera mengambil inisiatif setelah Riang berulang kali menggelengkan kepalanya saat ditanya mengenai posisi mereka. Fidel langsung naik ke atas pohon. Sampi di dahan pertama ia meminta Pepei untuk melempar tabung berwarna hitam.

Fidel menggantungkannya di leher. Ia merayap lincah setangkas cicak di batang dan dahan pohon. Cara memanjat Fidel tidak tampak seperti gerakan penyadap terpentin yang kaku.Keahlian memanjat tebing membantunya mengurangi pijakan kaki dan genggaman jari yang memboroskan energi.

Dalam sekejap pohon setinggi lima belas meter ia taklukan hingga batang yang paling ujung. Fidel mengeluarkan teropong dari balik bajunya. Ia memandangi seluruh kawasan hutan, lalu membuka tabung berisi selembar peta. Fidel menerpong, melihat peta, matanya berkeliling, mulutnya mengguman: Merapi, Merbabu. Ia mencari tanda untuk menentukan arah utara kemudian merogoh kompas. Ia membidik puncak Merapi dan Merbabu, lantas mengeluarkan bolpoint dan menuliskan angka-angka di balik peta.

Usai menghitung, Fidel menggulung dan menjatuhkan peta bersamaan dengan tabung hitam. Saat peta jatuh ke tanah, Riang melihatnya (peta itu) mirip dengan peta selalu di bawa tim SAR. Peta itu dilengkapi dengan garis-garis kontur, garis imajinasi yang menyerupai sidik jari manusia.

“Ini aliran air yang kita lewati saat menuju Watu Gubug. Ini puncak Merapi dan Merbabu! Kita berada di sini, di pinggir jurang ini,” Fidel menjelaskan sembari menunjuk garis kontur yang rapat bersinggungan antara satu garis dengan garis lainnya.
Pepei berjalan menyelidik. Ia menembus pepohonan. “Di sini jurang curam,” Pepei berteriak, memastikan.
“Sebelum potong kompas sebaiknya kita melipiri jurang lebih dulu,” ujar Fidel sambil memandang Riang.
“Bagaimana kalau kita kembali mencari jalan menuju Selo?” Riang mengusulkan.
“Kita sudah jauh tersesat. Kalau pun menemukan jalur menuju Selo, kemungkinan besar gerombolan itu berada di depan kita. Aku khawatir mereka membagi diri menjadi dua kelompok. Jika bersikukuh, kita akan terjebak di antara dua kelompok itu!” katanya.
Riang faham, terjebak berarti berbahaya. Ia menghela nafas, menghela beban perasaan bersalah, menghela kekesalan terhadap dirinya sendiri karena kedua orang itu untuk melanjutkan perjalanan karena alasan yang ia buat.
“Se...se... sebenarnya...” Riang gugup, “sebenarnya, gerombolan Kardi mengincar kalian sejak di Thekelan,” ia mengaku.
Siapa Kardi tentulah Pepei dan Fidel mana tahu. Riang pun mengkisahkan gubug tempat Kardi bersembunyi hingga menceritakan keberadaan lelaki berewok yang ia temui di dekat gerbang kuburan.
“Seandainya aku berfikir sedikit ... kejadiannya tidak akan sesulit ini! Maafkan aku ...,” Riang memohon.
Pepei tersenyum. “Berfikir sedikit itu yang seperti apa?” Ia malah mempertanyakan hal yang tidak penting.
“Harusnya aku berpikir nyawa lebih penting ketimbang antarkan kalian,” jawab Riang yang tak menyadari jika ia tengah dialihkan.
“Jadi harusnya Kau menyelamatkan dirimu sendiri?!” Pepei menaikan tempernya.
“Bukan! Bukan Mas!” Riang terdesak. “Aku seharusnya memberitahu kalian sejak di Thekelan. A-ak- aku ... aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku berpikir kepalang ... kepalang kalian jauh-jauh datang... sayang apabila perjalanan ke puncak Merbabu tidak kalian lanjutkan.”
Pepei dan Fidel tertawa.
“Seandainya siulan batu Watu Gubug kuperhitungkan,” lanjut Riang, “kejadiannya mungkin tidak akan begini.”
“Apa hubungan gerombolan Kardi dengan siulan di Watu Gubug?” tanya Fidel.

“Kalau ada angin dan di dalam batu tidak ada orang, batu itu akan terus menerus bersiul. Hilangnya siulan di sore hingga subuh hari menandakan adanya beberapa orang yang tengah berkumpul di dalam bolongan batu. Melalui ketiadaan siulan batu, gerombolan Kardi mengetahui: ada orang yang melewati jalur pendakian yang sudah lama tidak biasa dipakai pendaki. Aku sungguh menyesal!” ucap Riang.
Pepei bosan. Ia mengingatkan. “Mas?!” tanyanya.
“Ya,” jawab Riang.
“Tak ada yang harus disalahkan,” kata Pepei. “Setidaknya kami bisa lebih mengenal Masnya.” Pepei melirik Fidel yang tengah tersenyum.
“Nyawa memang harus dipikirkan,” kata Fidel menyambung, “Tetapi jika mati, matilah karena ajal memang sudah tiba. Kalau kami mati kelaparan, mati kekurangan air, terkena hipotermia atau mati dimakan binatang buas, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena itulah hidup.”
“Asal jangan mati sewaktu kami buang air besar!” celetuk Pepei tertawa.
“Memang mati buang air besar dosa?!”
“Tidak, tapi malu.” ” Fidel menyanggah Riang,
Senyum Riang muncul untuk yang pertama kalinya di pagi ini.
“Mas Riang...” Fidel mengingatkan. “Jangan menjerumuskan diri dengan menyalahkan terlalu berlebih. Tak usahlah terlalu dipikirkan! Yang penting Mas Riang sudah berani menentukan hidup! Berani menantang!”
“Berani menentukan hidup, keberanian menantang?”
“Ya! Keberanian menantang hidup! Keberanian untuk menantang ego, keberanian untuk tidak mendekam saat kami tengah diincar bahaya.”
Mendengar sanjungan itu wajah Riang mendadak merah.
“Riang sudah berani memilih! Berani mengganti ego dengan sikap altruis. Riang sudah berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang.”
“Ah Mas ini. Bukankah itu...e...sikap apa tadi?” Rasa berdosa Riang hampir hilang.
“Sikap altruis: mau mengorbankan diri.”
“Bukannya lebih baik aku memberikan informasi mengenai gerombolan Kardi, pada saat ketika kita masih berada di Thekelan, ketimbang dekati bahaya seperti ini? Bukankah sikap yang aku miliki ini sikap yang bodoh .... Ini bukan, .... sifat apa tadi, ... Mas ...?”
“Altruis!”
“Ini bukan sifat altruis yang pintar Mas. Ini altruis yang bodoh!”

Fidel menunjuk dada. “Riang .... Jangan pernah menyesali apa yang pernah Kau perbuat! Jangan pernah mengandai-andai, mengulur angan-angan mengenai suatu kesalahan di masa lampau! Penyesalan tidak akan berfungsi jika tidak menjadikan peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran! Penyesalan hanya untuk sekali! Setelahnya tatap masa depan! Jangan pernah melihat ke belakang!”

Riang merasa senang di angkat-angkat, di puja puji. Ia menggunakan cara-cara merendahkan untuk mendengarkan bujukan dan sanjungan berkali-kali.
“Tapi, sikapku tetap bukan altruis yang pintar. Aku tetap bodoh,” ujar Riang membantah.
Fidel memangkas. Ia bukannya tak tahu apa yang tak sadar Riang lakukan. Fidel hanya menjawab. “Perihal bodoh atau tidaknya, terserahlah ...”
Pepei tertawa.
Tawa itu bukan untuk merajam Riang. Tawa itu merupakan pertolongan pertama agar Riang mau melepaskan dirinya dari rasa bersalah.

Tak lama setelah berbincang, ransel pun sudah berada di punggung masing-masing orang. Mereka beranjak menempuh jurang yang dibentuk oleh bebatuan kapur. Dalam perjalanan itu lumut-lumut terlihat menyediakan tempat bagi tanaman kecil di tebing untuk tumbuh. Lumut gemuk tersebut meneteskan air bening yang steril. Dari jurang ini ketiga orang itu menyaksikan pinus pegunungan tumbang. Suaranya terdengar berderak menakutkan. Sampai di bawah, Riang memandang ke atas. Tebing terjal itu –setidaknya-- memiliki ketinggian lebih dari duapuluh meter.

Matahari terlihat jelas dari bawah. Bolanya tampak condong ke arah barat. Tanah yang mereka pijak tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau pernah dilewati manusia. Beberapa meter ke depan kaki ketiga orang itu mulai menginjak rawa-rawa. Setelah berputar-putar sekian lama di tanah yang basah, mereka menemukan sebuah danau mungil. Fidel dan Pepei bersiul girang.

Riang menyapu pandangan. Mengapa danau ini tidak pernah diceritakan orang? Aneh. Di tengah danau, asap tipis terlihat membumbung, melayang-layang lalu diam seperti sesosok mahluk yang seram. Ikan-ikan putih dan abu-abu sebesar telapak tangan berseliweran di dalam danau. Di pinggirnya, lumpur coklat bergerak-gerak: ada beberapa kepiting yang lezat untuk disantap. Seekor belibis terbang di ujung danau paling jauh lalu masuk ke dalam semak dan berkoak.

“Tempat apa ini?” tanya Pepei mendahului pertanyaan Fidel
Riang menggeleng. Tak berapa lama kemudian, --setelah menyibak tanaman--, Fidel menemukan lahan yang dipenuhi bantalan lumut. Riang tak mampu menutupi kegirangan saat ia memperhatikan tempat yang nyaman bagi mereka untuk bermalam.
Tenda dibuka sementara Fidel menggelar peta. “Daerah ini tidak terpetakan,” Fidel tenggelam. “Danau ini mungkin tidak pernah disinggahi para pendaki.”
“Danau mistis!” komentar Pepei.
“Bukan mistis. Hanya suram,” jelas Fidel menyamarkan.
Riang terganggu saat Pepei mengucapkan kata-kata mistis. Mistis? Danau ini misterius! Bayang-bayang kejadian di gerbang kuburan menziarahi Riang lagi.
Riang bergidik.
Pepei merasakan getaran itu. “Ada apa?” tanyanya berusaha menenangkan.
“Tidak apa-apa.”
Hati Riang mulai diselipi rasa tidak aman.

TENDA DOOM BERSIH seperti baru. Warnanya didominasi merah marun, sisanya kuning. Rangka yang terbuat dari serat fiber melengkung di luar. Setelah selesai mendirikan tenda Pepei mengambil benang pancing dan kail di antara gulungan tali rapia. Ia masuk ke dalam tenda, mengambil parang dan roti. Ia mengitari danau, mencari ranting yang cukup kuat untuk menahan tarikan ikan. Tak menemukan, kemudian Pepei naik ke atas pohon, mengayunkan parang yang menimbulkan suara erangan.

“Apa alam memiliki jiwa?” Riang bertanya pada Fidel. “Apa pepohonan memiliki nyawa?”
“Nyawa?” Fidel kebingungan dengan pertanyaan serius yang datang tanpa lampu sen. “Jika yang dimaksud nyawa seperti jiwa manusia, aku mana tahu? Tetapi, jika yang dimaksud nyawa adalah kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, mungkin pohon memilikinya.”
“Mungkin?”
“Mungkin artinya aku tak dapat memastikan jawabanku tepat atau tidak.”
Fidel menatap Riang. Ia meminta penjelasan: pertanyaan yang datangnya tiba-tiba itu.
“Suara pohon yang Mas Pepei tebang, terdengar sedih. Pohon itu mengerang!s”
Fidel merenung. “Aku merasakan keanehan yang Kau rasakan. Kupikir yang dirasakan Pepei pun demikian.” Hati-hati Fidel bertanya, “Maaf ... agamamu apa Yang?”
Riang menggelengkan kepalanya.
“Tidak tahu agamamu apa?” Suara Fidel datar, tak berteriak, tak berkecipak.
“Aku tidak tahu.”
“Percaya Tuhan?”
“Tentu.”

Fidel menghela nafas. Nampaknya penjelasannya akan panjang. Ia mengetahui benar jika lelaki di hadapannya takut setan. “Ini pemahamanku. Ini kepercayaanku.” Fidel memilih kata-kata dan memulainya. “Aku sangsi mahkluk halus dapat dilihat di bumi. Aku belum bertemu mereka. Banyak orang yang mempercayai wujud halus seperti palasik, pocong yang –yang tubuhnya dibelit kain kafan; genderuwo yang seram; atau tuyul yang dianggap sebagai penyebab raibnya uang, tapi, aku ... seumur hidupku belum pernah melihat mereka, belum begitu mempercaya jika mahluk-mahluk itu mampu menampakkan diri. Aku hanya mempercayai hal-hal yang gaib, tanpa embel-embel penggambaran bentuknya seperti apa,” Saat mengatakan itu wajah Fidel mengesankan ketenangan yang sulit dicapai. “Mengenai keanehan yang kita rasakan, saat ini, adalah hal yang wajar. Keanehan adalah sesuatu yang alami.” Fidel berusaha meraba kondisi orang yang ada di sampingnya. “Riang?” Fidel bertanya.

“Ya?”
“Waktu pertama kali melihat kota yang baru Kau lihat, apa yang Kau rasakan?”
“Bingung,” jawab Riang singkat.
“Dulu kau bingung dengan kota yang dipadati orang, sekarang kejadiannya sama! Siapa yang bakal merasa nyaman berada di tempat yang tak tercetak di dalam peta. Siapa yang langsung merasa nyaman saat tersesat tiba-tiba menemukan danau yang airnya berwarna hijau pekat, danau yang seolah dihuni mahkluk hijau menyeramkan. Riang ... merasa aneh tidak merupakan sebuah masalah. Merasakan keanehan pada saat ini merupakan sesuatu sikap yang wajar.”
Fidel membiarkan Riang mengendapkan apa yang ia katakan. Setelah agak lama, barulah ia melanjutkan.
“Riang pernah melihat mahkluk halus?”
“Tidak,” jawab Riang. “Tapi teman-temanku pernah melihatnya. Mas Oerip pernah menjumpai lelembut Merbabu. Rambutnya panjang, wajahnya cantik tapi pucat,” Riang sedikit bersemangat, seolah peristiwa itu ia sendiri yang mengalami..
“Apa Mas Oerip melihat lelembut dengan mata kepaalanya sendiri? Menyetuh dengan tangannya sendiri?” Tanya Fidel.
Riang tak yakin. Ia tak menjawab.
“Bagaimana jika kuusulkan saja, ... Kau bisa mempercayai penggambaran mahluk yang menyeramkan seandainya Kau melihat atau menyentuh mahluk itu dengan tanganmu sendiri.”
Pertanyaan cerdas keluar dari mulut Riang, “Apa untuk meyakini, kita harus menyentuh dan melihat terlebih dulu?”
“Meski tidak mutlak seperti itu, tapi untuk kasus ini, ya! Demi menjaga dirimu dari ketakutan yang berlebih, dari hal-hal yang bisa membuat kita kehilangan kontrol diri. Ya! Kau harus melihat dan menyentuhnya dulu sebelum mempercayai penggambaran yang dikatakan orang. Yang ...” kata Fidel menekankan, “manusia terkadang melakukan dusta.”
“Aku tidak mengerti?” Riang berusaha mencecar. “Mas tidak mempercayai hantu?”
“Aku mempercayai jika mahkluk halus itu ada, tetapi aku belum mempercayai jika mahluk-mahluk itu dapat mengganggu manusia dengan penampakannya. Ingat ... pe nam pa kan nya,” Fidel mengeja, “sebab bagaimana mau percaya, bagaimana dikatakan menggangguku jika bertemu sekali seumur hidup pun, aku tak pernah. Kadang, aku baru bisa meyakini sesuatu setelah melihat atau menyentuhnya, tapi itu kadang-kadang, ... dan teknik ini ternyata berhasil membebaskanku dari rasa takut yang menjijikan.”

Riang tidak mencecar dengan pertanyaan ‘maksudnya?’ ia mengerti sebagian dan tak mengerti sebagian yang lainnya. Ia cuma bilang, “Kata-kata Mas membuatku pusing.”
Fidel tak perlu melanjutkan toh tujuan awal dia untuk mengurangi ketakutan pada diri Riang berhasil dilakukan.
Fidel tersenyum. Riang membalas. O begitu banyak senyum.
Rupanya senyum dapat membuat orang yang kalut menjadi tenang. Yang suram menjadi bahagia.

SEMENTARA ITU itu di bagian danau lainnya, tak satupun bibir ikan yang jontor dikait kail Pepei. Riang kemudian menyampaikan kornet yang diberkani Fidel. Pepei kemudian kembali membuat bulatan umpan. Tak lama berselang, benang pancingnya diseret ikan yang bernasib sial. Sebuah tarikan lantas melayangkan ikan ke udara. Ikan itu membentur pohon. Satu ikan besar memar. Mulutnya sobek mengeluarkan darah.

Riang dan Pepei membawa dua ekor ikan menuju tenda. Sebelum di masak, Riang membedah dua ekor ikan di pinggiran danau, sendirian. Saat itulah keganjilan kembali mendatanginya. Sebuah suara memanggilnya.
R
i
a
n
g
K e m a r i

R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i

M
b
a
h

m
u
J a n g a n

T
a
k
u
t
Riang menepis bisikan itu. Tapi suara yang sama semakin jelas di telinganya. Bulu kuduk Riang tegap. Ia tergopoh-gopoh, menyelesaikan pekerjaannya lalu menghilang di pintu tenda. Bersamaan dengan itu lenyap pulalah pembicaraan antara dirinya dengan Fidel.

Hitam mulai mengepung. Malam menjadikan danau segelap kubangan aspal. Bulan tak sanggup mengintip yang dilakukan ketiga orang itu menggunakan permukaan danaunya. Di luar tenda onggokan kayu kering tampak berdiri menyerupai piramida: kayu terbakar tetapi hutan yang lebat memborgol api. Cahaya api tidak mungkin melarikan diri untuk menyampaikan pesan pada gerombolan Kardi.

MALAM ITU, karena terlalu banyak ganggang, Pepei membawa air di dalam wadah ke dekat perapian. Genangan air yang dari jauh terlihat pekat, dari dekat kini terlihat hijau kekuningan. Ia kemudian menampung air di dalam peples besi dan panci kecil: menunggu ganggang dan tanah mengendap. Tak mau tinggal diam, Riang lantas membantu Pepei membuat penampungan air hujan, sembari berharap agar hujan segera datang hingga mereka tak lagi kerepotan menunggu mengendapkan tanah dan ganggang hingga keesokan harinya.

Tak jauh dari ke dua orang itu, Fidel berhasil mengubah kayu menjadi abu yang panas. Ikan segera ia masukan ke dalam perapian. Tak beberapa lama kemudian ketiga orang itu sudah bersantap sambil berbincang ringan. Ketiga orang itu kemudian masuk ke dalam tenda, mengistirahatkan badan. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun deras dan ketika –di pertengahan malam-- hujan mereda, sebuah suara kembali datang menyapa Riang.
R
i
a
n
g
K e m a r i

R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i

M
b
a
h
m
u
J a n g a n

T
a
k
u
t
A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.
M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!

Mendengar suara misterius itu, Riang langsung menempelkan badannya di tubuh Fidel. Fidel bangun, ia menebarkan kantung tidurnya. Lelaki itu menyangka jika Riang hampir mati kedinginan. Ia tak menyadari jika tubuh Riang bergetar karena ketakutan yang sangat.

PLASTIK PENAMPUNGAN diluberi air hujan. Seekor semut dan sebuah daun kering mengambang di atas genangannya. Fidel menuangkan genangan air itu ke dalam botol. Sisa genangannya ia manfaatkan untuk memasak air teh dan merebus mie, sementara air endapan danau ia gunakan untuk menanak nasi.

Pagi itu Riang kembali bangun kesiangan. Ia tak sempat melakukan apapun pagi ini. Sekedar untuk cuci muka atau buang air pun belum. Riang mengingat kembali suara yang mampir di telinganya tadi malam. Acapkali ia mengigat suara itu, acapkali pula ia tersesat di dalam pikirannya: mengapa suara yang mengaku sebagai simbah itu kini manambahkan kata damai? Riang berusaha menggodam pertanyaan itu hingga serpih remah-remah. Tetapi, tidak bisa. Riang membutuhkan pertolongan. Ia segera membuka tenda dome. “Mas?” sahutnya pada Fidel. Mulut tenda terbuka lebar.

Fidel melirik. “Badanmu segar?” tanyanya sambil menyodorkan gelas.
Riang menghirup air.
“Ada apa Yang?” tanya Fidel setelah menyaksikan kesadaran Riang bertambah.
“Sore kemarin kita membicarakan keberadaan mahluk halus ...”
“Kemarin kita bicara tentang keberadaan dan penggambarannya, lantas?” Fidel menatap Riang. Tak ada satu orang pun yang pernah ia kenal langsung membicarakan topik yang berat seperti itu setelah bangun tidur.
“Bagaimana Mas mempercayai keberadaan mahkluk halus, sedang Mas sendiri belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?”
Fidel memperhatikan rongga mata Riang. Hitam. Tidurnya tak nyenyak.
“Apa yang terjadi tadi malam?” Fidel curiga. Ia berusaha menyelidikinya.
“Tidak apa,” Riang mengelak.
Fidel tahu. Ia membiarkan Riang. Manusia tidak bisa dipaksa. Kalau Riang bersedia, ia pasti akan membeberkan semuanya.
“Mempercayai keberadaan berbeda dengan mengetahui wujudnya.” Jelas Fidel sambil menambahkan air teh pada gelas yang dipegang Riang. “Ada, belum tentu dapat diketahui wujudnya...”
Keriut di wajah di Riang kurang lebih menanyakan: apa pula ini?!
“Mempercayai keberadaan berarti mempercayai adanya sesuatu di alam semesta, tetapi mempercayai tidak otomatis mengetahui langsung wujudnya: Riang mendengar aku bersuara, tetapi bagaimana wujud suaraku?”
“Tidak tahu”

“Bukankah suara itu ada? Bagaimana wujudnya?” Fidel tak memaksa Riang menjawab. Ia melanjutkan. “ Karena tiupan angin, aku merasakan dingin sewaktu mencuci muka di bak penampungan wihara dekat rumahmu, tetapi bagaimana bentuk angin itu? Seperti apa bentuk dingin itu? Aku tidak tahu tetapi aku yakin angin ada. Ketika dikejar-kejar gerombolan Kardi, kita cemas. Kita tahu bahwa kita cemas, tetapi seperti apa bentuk rasa cemas itu? Kita tidak tahu tetapi kita mengetahui bahwa cemas itu ada. Keberadaan suara, angin, perasaan cemas itu ada, tetapi kita tidak bisa melihat wujudnya. Tidak terlihat itu bukan berarti tidak ada.”

“Rasanya aku mulai paham.”
“Kau merasa paham lantas seperti apa bentuk rasa faham?” Fidel menguji.
Riang tertawa. “Sudah! Sudah!” katanya. Dan dengan itu ketakutannya sedikit reda.

Fidel berusaha mengkoreksi pengertian Riang mengenai perbedaan antara keberadaan dan wujud. Ia memahami bahwa yang dimaksud keberadaan dalam pertanyaan: “Bagaimana mempercayai keberadaan mahkluk halus sedang Mas sendiri belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?” Adalah pertanyaan mengenai wujud.

Riang cerdas. Ia mengkonfrontir pekataan Fidel kemarin sore bahwa untuk mempercayai wujud atau penggambaran mahluk halus seperti yang dikatakan orang-orang, ia diharuskan untuk menyentuh atau setidaknya melihat lebih dulu apa yang dikatakan orang sebelum ia mempercayainya. Riang pikir Fidel tidak konsisten dengan ucapannya kemarin. Salah sangka itu terjadi karena Riang belum bisa membedakan makna kata: mempercayai keberadaan, dengan mempercayai wujud atau penggambaran (khusus) mahluk halus yang diberitakan orang, semacam Oerip.

“Jadi, apa menurutmu, aku mempercayai keberadaan mahluk halus atau tidak?” Fidel kembali bertanya, untuk memastikan.
“Percaya! Seperti kepercayan adanya angin dan perasaan cemas.”
“Aku mempercayai keberadaan mahluk halus bukan karena menyandarkan pada analogi atau perumpamaan suara, angin dan perasaan. Itu cuma untuk membedakan pengertian kata keberadaan dan wujud,” Fidel tertawa.
Riang tidak. Otaknya keriut.
“Jika kebanyakan orang mempercayai keberadaan mahluk halus dikarenakan merasakannya, sedangkan aku tidak,” Fidel meluruskan penangkapan Riang. “Aku mempercayai keberadaan mahluk halus karena menyandarkan kepercayaan dari informasi yang disampaikan Tuhan melalui kitab suci.”
“Lantas, orang lain mempercayai mahluk halus dari mana?”
“Bisa dari informasi yang diberikan oleh sesuatu yang ia percaya: bisa dukun bisa manusia.”
“Bisa juga ia benar-benar melihatnya,” sanggah Riang.
“Bisa iya melihatnya, dan bisa juga tidak, tetapi untukku .... aku tetap tidak mempercayai penggambaran mahluk halus sebelum benar-benar melihat dan membuktikannya sendiri, karena terkadang ketika orang mengatakan melihat wujudnya, padahal terkadang wujudnya memang tidak ada.”

Pembicaraan ini semakin sulit bagi Riang.

“Orang sering kali menyimpulkan wujud mahluk halus padahal bisa jadi ia salah menganalisa fakta. Kita sering melihat atau mendengar orang lari terbirit-birit karena menurut penuturannya, mereka melihat hantu hitam, melihat sosok mahluk menyeramkan yang dikepalanya menggeliat-geliat ular, padahal setelah diselidiki ternyata bukan mahluk halus atau hantu. Apa yang mereka lihat adalah bayangan pohon kering yang disinari cahaya bulan.”

“Lantas dari mana Mas mempercayai keberadaan mahluk halus?”

“Kan sudah kubilang mempercayainya dari kitab suci. Mengenai wujudnya seperti apa aku tidak tahu, sebab aku belum menemukannya. Aku akan mempercayai wujud atau penggambaran mahluk halus bila aku menemukan wujud, melihat dan membuktikannya langsung, atau menemukan informasi penggambaran mahluk halus dari kitab suci dan informasi yang kitab suci menyuruhku untuk mempercayainya. Aku belum merasa perlu mempercayai penggambaran wujud mahluk halus dari dukun atau manusia di sekitar kita karena manusia itu selalu alpa.”

“Lantas kita harus mempercayai dari siapa?”
“Dari firman Tuhan yang disampaikan melalui kitab suci.”
“Bagaimana kita percaya pada informasi yang diberikan Tuhan?” Pertanyaan Riang naik jabatan. Ia maju selangkah.
“Bagaimana kita bisa tidak mempercayai Tuhan Pencipta Semesta Alam jika kita telah membuktikan-Nya? Bagaimana kita bisa tidak mempercayai informasi yang disampaikan-Nya, jika kita telah membuktikan keberadaan Tuhan sementara kita tidak mempercayai informasi yang diberikan-Nya? Lalu kepada siapa lagi kita menaruh kepercayaan?” jawab Fidel. “Apa Riang pernah disuntik?” tanyanya.

Riang tidak melihat adanya keterkaitanan antara suntik menyuntik dengan kepercayaan terhadap Tuhan, namun ia berusaha mengikuti alur pembicaraan.
“Pernah.”
“Di mana?”
“Di tangan.”
“Berapa kali?”.
“Di tangan sekali, di pantat berkali-kali! Aku tidak menghitungnya. Sebegitu pentingkah?”
“Sebegitu pentingkah pantat, maksudmu begitu?”
“Ya bukan to Mas!”
“Maksudmu, sebegitu pentingkah keterkaitan antara disuntik dengan kepercayaan terhadap informasi yang diberikan Tuhan?”
Riang lega, orang yang ia pikir kehilangan fokus pembicaaraan ternyata mengerti sepenuhnya apa yang akan dibicarakan.
“Kau akan mengerti kaitannya, tetapi sebelumnya mari kita sistematikakan dulu.” pandu Fidel. “ Tetap di lanjutkan?” tanyanya.
“Ya.”
“Sehabis disuntik pernahkah Riang bertanya mengenai racikan bahan kimia apa yang dimasukkan dokter ke dalam tubuh Riang?”
“Tidak. Untuk apa bertanya?”
“Bukan untuk apa, tetapi mengapa, mengapa tidak menanyakannya?!”
“Sebab aku percaya penuh pada dokter.”

“Mengapa harus percaya penuh, padahal banyak dokter yang melakukan praktik ilegal, praktik gelap. Padahal, banyak dokter yang menyuntik cairan kimia yang salah dan membuat penyakit seseorang bertambah parah.”
“Dokter di desaku pintar dan baik,” sergah Riang. “Tidak pernah satu orang pun yang bertambah parah setelah diobati olehnya!”
Fidel tersenyum, “Riang mempercayai dokter, karenanya Riang menganggap tidak perlu untuk bertanya: mengenai bahan kimia apa yang dimasukkan dokter ke dalam pantat?”
“Ya”.
“Nah, sekarang kembali ke pokok permasalahan yang kita bicarakan: mengapa Riang tidak mempercayai sesuatu yang di sampaikan Pencipta manusia, mengenai suatu hal sementara Riang malah lebih mempercayai yang diciptakan-Nya?” “Mempercayai yang diciptakan-Nya? Mempercayai siapa?”
“Orang-orang yang membicarakan wujud mahluk halus ciptaan Tuhan?”
Riang diam.
“Apa mungkin kita menuduh Tuhan berbohong berkenaan dengan informasi yang disampaikan-Nya, sementara kita mengakui bahwa dia Pencipta manusia?”
Riang menggaruk kepala, “Oh iya, tapi ...”
“Tapi apa?”
“Bagaimana kalau kita tidak mengakui adanya Pencipta manusia?”
“Kalau tidak mengakui adanya Pencipta, wajar jika dia tidak mempercayai informasi yang diberikan Tuhan. Karena baginya Tuhan tidak ada.”
“Berarti dia tidak mempercayai keberadaan dan wujud mahluk halus?”
“Itu wajar. Bagaimana mau mempercayai keberadaan mahluk halus terlebih wujudnya sementara mempercayai Tuhan yang menciptakan mahluk --termasuk diantaranya mahluk halus-- saja tidak?"

Riang berpikir lama. “Lantas,” tanyanya, “informasi dari Tuhan mana yang dapat kupercaya.”
Fidel menganggap pertanyaan itu sebagai sebuah kejutan. Riang cerdas.

“Banyak orang yang mengatakan bahwa kitab yang dipegangnya adalah kitab informasi yang paling terpercaya. Artinya kitab yang di pegangnya dianggap sebagai sebenar-benarnya kitab suci ciptaan Tuhan untuk mengatur dan memberikan informasi gaib, termasuk mahluk halus pada manusia. Maka, ketika ada banyak orang yang mengatakan kitab suciku adalah kitab suci ciptaan Tuhan, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku tidak tahu.”
“Membandingkan!”
“Membandingkan?”
“Ya! Membandingkan, meneliti kitab suci yang mana yang sesungguhnya ciptaan Tuhan atau malah reka-rekaan manusia belaka,” Fidel memperhatikan wajah Riang yang bersinar.
Riang mendapat pencerahan.
“Kau memahami bagaimana manusia menemukan alur untuk mempercayai keberadaan sesuatu yang gaib, bukan saja mengenai mahluk gaib, tetapi juga mengenai surga, neraka bahkan awal penciptaan manusia dari mana?”
Riang berpikir hingga semenit. Fidel membiarkan.
“Aku memahaminya,” ucap Riang tiba-tiba.
“Dan kau memahami alur fikiran manusia yang tidak mempercayai hal gaib?”
“Setidaknya faham sedikit Mas.”
“Sedikit juga tidak apa!”
Riang kembali menghirup teh yang sedari tadi ia biarkanmenganggur.
“Mas?”
“Apa?”

“Saat kita percaya keberadaan mahkluk halus melalui informasi yang disampaikan kitab suci-Nya, lalu bagaimana cara kita mempercayai keberadaan Tuhan? Kepercayaan terhadap Tuhan disandarkan pada apa?”
“Disandarkan pada alam semesta menggunakan kekuatan akal kita,” jawab Fidel gembira. Pertanyaan Riang mengejutkannya lagi.
“Mengapa untuk mengetahui keberadaan Tuhan kita harus menyandarkan pada alam semesta menggunakan kekuatan akal? Mengapa bukannya dengan panca indera?”
“Mengetahui keberadaan alam semesta menggunakan apa?” tanya Fidel tersenyum memahami.
“Menggunakan Indera?”
“Benar! Menggunakan telinga, penciuman, penglihatan. Dan salah satu syarat untuk menjalankan akal dengan baik ialah menggunakan hal hal tadi, menggunakan perangkat indera. Kamu mempercaya Tuhan?”
“Aku mempercayainya!”
“Lantas Kau mempercayai keberadaan Tuhan dengan apa?” Fidel menguji.
“Aku tidak tahu! Tetapi yang kutahu alam semesta itu teratur. Dan apa pun alasannya keteraturan selalu ada yang menciptakan.”
“Alam semesta memang teratur sehingga terkesan mustahil jika terjadi dan muncul dari sebuah kebetulan. Sebagai contoh, ada beberapa angka yang dianggap membuktikan penciptaan yang tak mungkin kebetulan. Dan ini harus diuji.” Ujar Fidel. “Contoh ini sedikit klasik.”

Fidel mengambil penggaris pita di dalam tabung hitam. Ia meminta Riang berdiri. Riang mengikuti arahannya. Ia mengambil penggaris untuk mengukur tinggi badan, kemudian membagi dengan jarak pusar ke telapak kaki; mengukur pinggang ke kaki dan membagi dengan panjang lutut sampai kaki; membagi panjang jari dan membagi dengan lekuk jari; yang terakhir, membagi panjang pundak ke ujung kaki dan membaginya dengan siku ke ujung jari.

“Hasilnya: selalu 1,618: phi” ucap Fidel.
Riang terperanjat amat sangat. “Menakjubkan!” teriaknya. “Mengapa bisa seperti ini?”
“Mengapa? The golden number of human life Fibonaci jawabannya. The golden number of human life, merupakan bukti keberadan Arsitek Agung penciptaan. Semua manusia kalau diukur seperti itu hasilnya, sama.”
“Mungkin Tuhan menggunakan penggaris saat menciptakan manusia?”
Fidel tertawa. “Dan menggunakan millimeter blok untuk menggambar cetakan wanita cantik,” sambutnya.
Riang menggelengkan kepala berulang-ulang. “Menakjubkan! Me-m-menakjubkan!”
“Jangan dulu bahagia!” Fidel kembali mengetes Riang. “Latas, bagaimana dengan manusia cacat yang tak memiliki jemari tangan dan kaki untuk membuktikan adanya angka fibonacci? Apa mereka tak menakjubkan juga?”
Riang tak dapat menjawab. Penemuan yang membahagiakan itu dihantam palu. Kebahagiaannya melesak hingga ke dasar bumi.
Fidel tidak mau membiarkan Riang kebingungan. Ia segera mengangkatnya kembali.

“Riang ...” ujar Fidel. “Manusia tak begitu memerlukan angka fibonaci untuk membuktikan keseriusan penciptaan. Susunan saraf yang ada di dalam tubuh orang cacat, di dalam aliran darah, di degup jantung mereka membuktikan betapa rumitnya proses penciptaan. Alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, tidaklah terjadi secara kebetulan seperti saat kita mendapat lotre”.
Riang merasa lega, namun ada lagi yang hendak ia pertanyakan. ” ”Mas?”
”Ya?”
”Maaf ...” Riang bertanya hati-hati. ”Agama yang Mas Fidel anut, apa?”
”Memangnya kenapa?”
”Hanya ingin tahu saja.”
Fidel mengatur nafas. ”Menurut bahasa, agamaku bermakna damai. Islam berarti damai.”
Mendengar kata damai Riang tiba-tiba terkena setrum! Bukankah suara yang menghantuinya itu menambahkan perkataan:

M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!

Sesuai dengan apa yang Fidel sampaikan. Riang tenggelam di dalam arus deras pikirannya. Ia tak begitu memperhatikan lagi apa yang Fidel sampaikan. Kata damai terus menerus mengiang-ngiang di telinganya. Memompa jantungnya, mempercepat aliran darah di aortanya dan membangkitkan perasaan yang tak menentu. Mata Riang melompong! Pandangannya kosong!

KEMARIN SORE Kardi masih berharap bisa menyusul sasarannya, tetapi ketika kabut datang menyandung harapannya menjadi pupus. Kabut mengaburkan semua benda. Jangankan menemukan kedua pendaki, untuk pulang pun mereka kesulitan. Sore datang dan kabut tak jua hilang. Malam datang dan kabut menghilang. Ketiadaan senter memaksa gerombolan itu menginap. Mereka menebasi ranting pepohonan, mengumpulkan dedaunan untuk mereka jadikan atap bivak.


Pagi harinya, kekesalan memuncak! Malam dingin yang memaksa Kardi untuk tidur bertumpuk-tumpuk bersama anak buahnya membuat Kardi mengutuk. Ia menghabiskan seluruh perbendaharaan makian. “Asu!” teriaknya.

Kardi membangunkan beberapa orang anggota gerombolan yang mendengkur. Dalam perjalanan pulang, pepohonan menjadi sasaran goloknya. Kardi membacok mereka. Sampai di kaki gunung, penduduk kampung menjadi pelampiasan kemarahannya.

Gerombolan Kardi membuat onar.

0 komentar:

be responsible with your comment