Seiris Luka

Posted: Jumat, 16 Januari 2009 by Divan Semesta in
2

Seorang pria di tempat kerjaku kelihatannya kelihatan sok, dari cara berjalan dan bahu yang ditegak-tegakan. Tapi toh itu kelihatannya, dan aku tak pernah menjatuhkan vonis padanya.

Siang itu ia berhenti diantara dua bilik ruangan. Aku melihat kekhawatiran terpatri di wajahnya dan tiba-tiba pria itu mengeluh:

“Kenapa sih kita tidak menggalang dana… untuk solidaritas?”

Tentunya solidaritas Palestina.

Lalu aku mendekat. Aku berusaha mencairkan suasana. Berusaha memutar, untuk menahan diri dari magnet perasaan yang menguasainya (dan sesungguhnya menguasai diriku juga)

“Mas Mer-C juga buka sumbangan,” sahutku. “Tapi, kalau Mas mau nyumbang senjata, ada jalurnya juga kok.”

Ia kemudian diam.

“Sekarang dingin ya Mas, apalagi di sana,” lanjutku menambahkan.

“Iya,” ia menerawang. “Masya Allah…” Aku melihatnya tersekat. “Orang-orang disana bahkan sudah memakan rumput, Mas!”

Aku tak sanggup untuk melanjutkannya.

Sekarang aku bisa melihat sisi dirinya yang sama rapuh dengan yang kumiliki.
Ya kami memang rapuh.
Tapi itu memang sudah sepantasnya.

***
Usai menggorganisasikan beberapa konsep yang baru saja dilimpahkan atasanku, aku beranjak menuju pantry, tempat biasanya aku menyeduh kopi.

Di dalam ruangan yang hangat itu aku merasa betah. Bukan, bukannya sok-sokkan proletar atau sok-sokan merakyat. Tidak. Aku seperti itu karena aku memang merasa nyaman. merasa hangat.

Sambil menyeduh kopi, pa Kosim, salah seorang office boy tersenior mendadak masuk sambil bicara:

“Keur neangan jelema eh,” ia tergopoh-gopoh.
“Keur naon pa?” tanyaku.
“Baturan urang boga elmu, … elmu ngilangkeun jelema.”
“Keur naon ngilangkeun jelema?”
“Keur ngebom Israel atuh! Keur ngasupan jelema nu mawa bom ka pabrik senjata! Atawa keur ngabom satelit!”

Lantas salah seorang office boy lainnya yang biasa menjadi kurir uang ke bank nimbrung.

“Kumaha mun urang nyokot duit management. Duitna dipake keur ngirim duit ka Palestina.

Mendengar itu aku sama sekali tidak ingin tertawa.
Aku yakin sang office boy tidak akan melakukan apa yang ia katakan.
Dan aku pun berusaha menghindari kegaiban yang tak jelas juntrugannya itu, tapi… terus terang hal itu membuatku terharu.

Aku mulai menyadari wajah-wajah yang seolah tak terpengaruh tragedi,
ternyata menyimpan beban kegetiran.

Wajah yang terkesan biasa saja itu ternyata menyimpan kepedihan…
Memendam luka yang sama.
Seiris luka yang sama … di dada…

---------------------
Kadang Adieu (jendelanalar.blogspot,com) itu pintar :),
Ia benar… ketika mengutip
”knowing nothing is better than knowing at all.”
(The Used, On my Own)

2 komentar:

  1. Anonim says:

    Saat bnr2 pgn bertindak 'sesuka hati' - tp terbatasi karena sudah terikat pd hukum "code of silent", kira2 apa yg akan anda lakukan?

    ”knowing nothing is better than knowing at all.”

  1. ... saya belum mengerti kata2 azyla .... jika code of silentnya hanya kode akal-akalan manusia, sepertinya sy akan berontak saja... jika berasal dari interpretasi atas firman Tuhan, mungkin sy akan mencari penafsiran yang lain... dgn syarat: hawa nafsu tentunya harus di abaikan. nggak tau ah... kan sy nggak ngerti :P --divan--

be responsible with your comment