Stylish

Posted: Jumat, 16 Januari 2009 by Divan Semesta in
0

Badannya tegap, dan berhubung dia pernah menjadi manager Erha Clinic, penampilannya telihat menarik. Rambutnya hampir selalu terlihat basah, pakaian kerjanya senantiasa di seterika rapih dan kadang ia menjadikan kacamata sebagai bando. Lelaki yang kukenal ini memang stylist. Tp aku tidak begitu melihat dia dari penampilannya.

Sudah dua bulan ini aku menodongnya menjadi pembicara dalam session training yang ku kelola. Perusahaan kami memang tengah berada di situasi yang tak menguntungkan, karenanya departemen ku harus menggunakan otak extra memanfaatkan (jangan dipahami negatif ya) sdm yang kami miliki sebagai kekuatan tersembunyi.

Dan aku, melihat pria itu memiliki potensi karena pembicaraan yang sering kami lakukan mengesankan itu. Dan ia pun menyanggupi ketika aku menodongnya (masalah mendongnya dengan pistol atau apa, itu urusanku).Aku meminta dia untuk memilih waktu dan ia memilihnya.

Dan peristiwa buruk pun datang. Pada hari seharusnya ia pentas, ia mengatakan tak bisa. Dan aku pun menggantikan posisinya. Aku mengajukan lagi jadwal dan ia menyanggupinya. Dan di waktu seharusnya ia mengisi ia tidak mengisi dengan alasan yang sama. Dan sejak saat itu aku tidak menganggap janjinya perlu ku anggap serius.

Hingga tak lama kemudian aku kembali bertemu dengannya. Ia bercerita panjang lebar mengenai kekecewaannya terhadap managemen (termasuk departemen tempatku berada).

“Ngapain gw ngebantu lu, kalau departemen lu jg nggak ngebantu gw.”

Terkesan kasar kata-katanya, namun aku tidak merasa hal itu menggangguku. Aku hanya menganggap dia semakin runtuh dihadapanku. Itu saja.

Perkara ia memiliki hak itu perkara lain (karena jika melihat dari pekerjaan yang dilakukan ia layak mendapat apa yang kami dapatkan).

Aku tidak sakit hati karenanya. Aku juga bukan decision maker.
Tidak apa-apa.
Lagipula, masalah keduniawian seperti ini selalu enteng buatku.
Ada lebih banyak hal yang lebih urgen untuk kupikirkan, dan kuambil hati.

Tentu saja, cerita tidak begitu saja selesai karena beberapa waktu yang lalu saat tengah membawa secangkir kopi, aku memergokinya masuk ke dalam ruang rapat. Saat ia berbalik keluar dari ruangan yang hampir selalu disesaki asap itu ia berkata:

“Ada yang pengen gw omongin,” ujarnya.
Lantas kami memasuki ruang rapat. Kutanyakan apa keperluannya.
“Gw Cuma mau buat pengakuan dosa.”
Ia lalu membicarakan tentang perkataannya yang sinis padaku.
“Gw khilaf… harusnya gw nggak ngomong ky gitu.”
Aku masih menunggunya bicara.
“Kemaren gw ngerenung tentang keikhlasan, quantum ikhlas,” ia melanjutkan. “Harusnya orang seumur gw udah harus nyampai kesana. Tapi, ini nggak. Gw mau minta maaf...” pria itu mendesah. “Hm… untuk training ke depannya, insya Allah gw siap!”

Bagiku, moment itu begitu mengharukan.
Aku tidak mau memanfaatkan kata maaf untuk menodongnya mengisi training. Aku hanya bilang padanya. “Kalau mas sudah siap, tinggal sms sy.”

Hanya itu. lalu, karena aku memang harus menyelesaikan sesuatu, pintu kututup. Aku baru saja melihat manusia yang kembali mereproduksi mentalitasnya. Aku tidak melihat pria itu sebagai seorang manusia kerdil, manusia sekepalan batu. Ia menutup kesalahannya (yang sebenarnya sangat manusiawi) dengan cantik Ia menjadi begitu gagah. Menjadi sedemikian gigantiknya.

Hm… hari itu aku benar-benar melihat pria itu sebagai pria yang stylish…stylish dalam arti yang sesungguhnya.

0 komentar:

be responsible with your comment