Nietzche dalam Diriku
Posted: Senin, 19 Januari 2009 by Divan Semesta inSampai saat ini Nietzche masih mempengaruhiku. Demkian dengan Soren, Berdayev (tetapi tidak untuk Sartre). Namun si filsuf palu, si rajawali gila yang cakar terkuatnya adalah Spoke of Zarathustra itulah yang paling merubah diriku (mungkin lebih tepatnya –secara general--- menguatkan diri untuk mempercayai diri sendiri, berada diatas lutut dan kaki sendiri)
Saking cantik dan menariknya Nietzche, aku bahkan pernah mengatakan bahwa kitab yang paling indah di dunia itu bukan Al Quran. Alasannya sederhana, aku muslim dan sayangnya aku tak merasakan cita rasa seperti halnya ketika aku merasakan kecantikan Spoke of Zarathustranya Nietzche.
Temanku mengatakan sebaiknya aku mempertimbangkan apa yang kuakui, meski pun ia tahu bahwa dengan pengakuan itu bukan berarti aku memurtadkan diri. Ia mengetahui benar bahwa aku hanya berusaha untuk jujur pada diriku sendiri. Dan lagi-lagi ia pun mengatakan bahwa sangatlah wajar jika aku tidak merasakan taste nya al Quran karena aku tidak mengerti bahasa Arab. Maka –masih menurutnya-- aku menjadi sangat keliru ketika menilai al Quran dari terjemahannya.
Maka aku pun mengajaknya mendatangi alam berpikirku.
“Jika jawabanmu hanya seperti itu kupikir Spoke of Zarathustranya Nietzche akan menjadi semakin indah jika aku mengerti bahasa ibunya (kalau tidak salah bahasa German).”
Bagaimana tidak indah, jika penterjemahannya menjadi sesuatu yang sangat indah. Kurasa, tastenya Nietzche mungkin hanya bisa disamakan oleh Saad atau perkataan-perkataannya imam Ali (karena terjemahannya demikian indah).
Aku bukannya menafikan Quran sebagai sebuah kebenaran pada saat itu, karena aku memahami bahwa kebenaran al kitab tersebut bisa ditelusuri melalui otentisitas dan kandungan-kandungan keajaiban yang ada di dalamnya (coba baca Membumikan dan Wawasan Qurannya Dr. Quraisy Shihab).
Aku hanya menganggap bahasa Al Quran tidak memberikan memberikan banyak influence yang diawali dari apresiasi bahasa. Kalau tidak salah baca, hal yang kurasakan ini pun pernah dirasakan Goenawan Mohammad.
Tapi aku bukanlah kakek tua Goen. Aku masih mempercayai, aku masih mengimani Al Quran… dan ketika seorang temanku bernama Khusnul dengan santainya mengatakan, bahwa apresiasiku terhadap Nietzche wajar karena, “keadaan keadaan mental yang pas dengan Spoke of Zarathustra-nya Nietzche.”
Aku merasa sebuah hijab terbuka setelah beberapa tahun, aku tak bisa mendeskripsikan perasaan apa yang kualami ini.
Aku mulai merenung kembali mengapa Spoke of Zrathustra benar-benar mempengaruhi diriku..
Di akhir umur 23 aku sungguh mengagumi diri.
Benarlah yang dituliskan Ade dalam Belajar Nakal (buku yang luar biasa).
Pada kisaran umur itu aku merasa tak terkalahkan, aku memiliki sahabat yang luar biasa dan aku semakin merasa di atas, seperti rajawali, aku merasa tak ada satu pun yang sanggup menjatuhkan logika berpikirku.
Aku berada di tengah kemabukan atas diriku sendiri.
Dan pada umur 24 aku pun berkenalan dengan Spoke of Zarathustra.
Cocoklah sudah.
Mabuklah sudah.
Aku mabuk oleh kekuatanku sendiri.
Pada kreatifitasku.
Pada diriku.
Disanalah fase benar-benar mencintai hidup.
Amor fati!
Aku mencintai diri dan hidupku ini.
Kini ketika umurku beranjak di dua delapan, aku mendapatkan jawabannya.
Aku kemudian merenung kembali,
memperhatikan bagaimana sahabat-sahabatku beberapakali kupergoki menangis karena alunan al Quran yang mereka katakana luar biasa.
Sahabatku Heri bahkan pernah menangis terseguk, menghentikan bacaan shalatnya ketika ia membaca surat yang mengisahkan tentang bagaimana keterpisahan ibu dengan anak, anak dengan suami: meski dalam satu barisan tidak ada yang sanggup menolong karna kesempatan untuk tolong menolong telah ditutup oleh hari penghisaban. Setiap manusia diharuskan mempertanggungjawabkan eksistensinya.
Kisah mengenai keadilan, mengenai penghapusan nepotisme di tuangkan dengan sangat indah di sana. Dan sahabatku itu menangkap banyak ayat-ayat al Quran melebihi daya tangkapku terhadapnya.
Bukan hanya sahabatku yang itu saja yang mengalami.
Aku bisa mengatakan Mahdi seorang pria muda yang pengaruh Quran terhadapnya melebihi influence Zarathustra pada diriku. Atau sahabat-sahabat yang lainnya.
Benar apa yang Khusnul sampaikan. Kadang influence sebuah buku tergantung pada kondisi kejiwaan seseorang. Dan ketika magnum opusnya Nietzche telah menghabiskan sekitar empat tahun masa eksistensialis ku, sepertinya … kini saat yang tepat bagiku untuk kembali mempelajari kandungan Quran: mempelajari kandungannya sehingga aku bisa merasakan bagaimana nikmatnya merenung, bagaimana rasanya tertawa atau terseguk ketika ayat-ayat Quran dialunkan.
Di danau filsafat aku telah berenang terlalu jauh.
Aku harus kembali ke tepian.
mengancingkan pakaian,
menuju lepas pantai,
dan meminta bantuan sahabat-sahabatku
untuk membimbing,
menuju samudera luas tak berbatas itu...
untuk mencintai hidup
dan belajar mencintai sisi yang lainnya:
kematian.
...karena kita bukanlah kupu-kupu yang bermetamorfosa sekali, lalu ia mati...