Memory Remains (Ingatlah Kambing)

Posted: Selasa, 16 Desember 2008 by Divan Semesta in
2

Pernahkah kau merasa tegang saat duduk di tukang cukur? Melihat bagaimana pisau cukur di kibas-kibaskan pada lembaran kulit, kemudian pisau itu mendatangi kepalamu. Nah, pada saat itu apa yang kau bayangkan, apa yang kau rasakan?
Tiap orang mungkin beda, tetapi pada umumnya aku yakin merasakan tegang. Merasa, “hm, apa aku harus mempercayainya.” Sementara tanggal delapan kemarin kita baru saja melihat bagaimana ustad dikampung kita, menyembelih kambing. Apa yang kau bayangkan ketika tukang cukur memain-mainkan pisau itu di dekat leher kita, bagaimana jika tukang cukur itu ternyata seorang yang pernah kita gampar, kita ludahi.

Itu kalau kita memang berperangai tempramen, tapi ingat walaupun kau mengingat-ingat bahwa seumur hidup marahmu biasa saja, maka itupun tak masuk hitungan. Sebab, bagaimana jika tukang cukur itu ternyata pendendam dan kita tidak tahu bahwa kita pernah melakukan kesalahan padanya. Dan tiba, tiba sreeeeeeeet darah muncrut … crut…. crut, kita jatuh, tangan dan kaki kita kejang seperti kambing dan sapi yang orang-orang kurbankan saat idul adha.

Bagaimana rasanya memiliki air mancur dileher?

Euh!

Atau bagaimana kalau memang, kita yakin seratus persen bahwa kita memang manusia yang baik hati sejak TK, SD, hingga perguruan tinggi dan kerja. Bahwa kita yakin tidak pernah terlibat perbincangan emosional dengan orang lain.
Oke-oke kau memang hebat.

Tapi, apa kau pernah berpikir bahwa orang baik itu tidak dijamin akan mendapatkan kebaikan seumur hidupnya?

Ada banyak kasus, wanita baik yang tinggal didesa, eh dinikahi oleh lelaki yang sukanya mengencingi selangkangan lawan jenisnya sembarangan. Asal bolong, asal ada kesempatan maen embat. Daripada maen sendiri, pikirnya.

Atau, ada lelaki yang … ah banyak sekali kasus seperti itu. dan jika kembali pada pembicaraan kita, bagaimana jika pada saat tukang cukur yang saat ini tengah memain-mainkan pisau cukurnya itu tiba-tiba disambangi temannya. Dan kemudian terjadi perbincangan:

“Eh si goblog. Kumaha kamari eh?!”

“Naon eh goblag-goblog. Bagong siah! Naon nu kamari?”

“Pan sia kaasupan?”

Nah, begitulah saudara,

Bagaimana jika tukang cukur yang saat ini tengah memainkan pisau di lehermu itu ternyata memiliki riwayat kerauhan atau kerasukan?
Dan bagaimana jika kerauhan itu tertjadi saat dia memegang pisau cukur?
Bagaimana dengan nasibmu?

Kalau kau mau tahu (kalau tidak mau tahu tentunya kau tidak akan membaca tulisan ini bukan?) hal itulah yang selalu ku rasakan setiap kali mencukur.
Tidak sedramatisir itu memang. Tapi sejujurnya aku merasakan kekhawatiran yang sukar ku jabarkan dalam bentuk tulisan. Dan kupikir keimanan pun tak jauh seperti itu. Beriman dengan benar, ibarat kita menyerahkan kepercayaan penuh pada “Sang Tukang Cukur,” untuk merapihkan penampilan kita lahir dan batin.
Dan jika kita salah memilih sang tukang cukur, maka kita sudah tahu konsekuensinya.

Ingatlah tulisan ini saat hendak mencukur rambutmu saudara!
Ingatlah wahai kambing! (:D)
Ingatlah iedul adha!
Mbeeeeeeeeeeee…. (hidup Zami)

2 komentar:

  1. Anonim says:

    Ehk... Aer mancur darah di leher...


    Untunglah saya nggak pernah berurusan dengan tukang cukur...

  1. Masa? Emangnya, waktu kecil Yoan nggak pernah di akikah gitu? Atau kalau papas rambut pakai gunting aja. Nah kalau pakai gunting coba bayangkan guntingnya nyungsep ke leher...slep! dan darahpun muntir ky petasan cabe rawit pas Gong Xi Fat Cai. Btw, blog mu lucu. Bagus.

be responsible with your comment