Kembali Keperaduan

Posted: Senin, 15 Desember 2008 by Divan Semesta in
0

Sudah beberapa kali aku melewatkan ide-ide di kepalaku. Aku yakin itu akan mengganggu alam bawah sadarku, tapi aku terlalu capai. Ya ya, aku tak mau membuat pembenaran. Memang benar capai, tapi rasanya tidak perlu sampai membuat aku tidak bisa menulis. Aku tidak berada di zaman revolusi industri ketika anak anak dan pemuda yang bangun dan bekerja pada jam empat pagi dan keluar dari pabrik enam jam setelah entog dan ayam pulang kandang, yah sekitar jam 24.00 malam. Setidaknya, kalau pun aku hidup di zaman itu, aku mungkin bekerja di pabriknya Robert Owen, seorang sosialis yang berdedikasi untuk memuliakan waktu senggang pekerja.

Ya, ya, aku memang capai tapi rasanya bukan itu alasan utama untuk tidak menulis. Ya, ya aku terlalu memanjakan tubuh. Setiap pulang, aku letih dan aku hanya ingin istirahat. Dan itu selalu kebablasan.

Dulu aku bisa mempraktikkan teori bahwa sebuah sebuah ide yang akan terus mengganggu kecuali kau memenjarakannya dalam tulisan atau lebih maju dari itu memenjarakannya dalam secarik dua carik kertas prinan-printer canon 1800 atau apalah. Aku bisa melakukannya, mempraktikannya, tapi beberapa waktu ini aku malah mempraktikan apa yang dikatakan Eiji Yoshikawa melalui tokohnya sebelum menjadi Taiko. Kasarnya tokoh itu mengatakan begini, “Hei, kalau udah cape molor aja! Udah tidur aja kaya bangke keledai!” lain kali saja aku menuangkan pikiran ke dalam cetakan itu, lain waktu saja…satu dua…ada domba terbang… ada penguin berjalan melewati kasur melewati kaki anakku, nyawa, nguik di telinga istriku … lewat beberapa penguin, dan aku tertidur. Berhasil!

Hingga malam ini, semuanya tidak berlangsung seperti biasa. Aku hanya bisa menjauhkan tapi tidak menghilangkan pikiran-pikiranku. Aku hanya mengalihkan. Dan ketika ada sebuah pantik yang mengejutkan maka keinginan untuk menuangkan pikiran meski dalam keadaan letih pun muncul kembali. Kali ini lebih kuat. Lebih berbobot, lebih berlemak. Proteinnya melebihi DHA yang anakku konsumsi ketika dalam kandungan.
Malam sebelum kuniatkan tidur aku membaca ensiklopedia yang didalamnya ada kisah mengenai Newton, sang deis serta perkembangan gereja, aliran berpikir dan perubahan cara pandang dunia hingga Eropa mengelupas diri dari cangkan dan memproklamirkan diri menjadi manusia dewasa.

Sialnya aku tidak meminjam ensiklopedia remeh temeh, tapi Pustaka Life Time. Ensiklopedia yang dari dulu hingga saat ini kusanjung-sanjung karena jarang ditandingi oleh tulisan lain yang mengisahkan sebuah abad.

Inilah sialnya. Buku yang baru kupinjam dari salah seorang teman SMA-ku itu membuatku kembali menulis. Padahal sehari sebelumnya aku keracunan jamur. Tahulah bagaimana siksa yang diakibatkan keracunan (meski taraf rendah). Memakan jamur kuping yang kupikir salah dalam mengolah bumbunya, membuatku mengeluarkan cairan bukan saja dari knalpot tapi juga dari mulut.

Hoek…muntahan pertama yang keluar irisan jamur, muntahan kedua bawang. Dan di malam hari hingga dini hari cairan terus keluar. Aku lemas, dan rekan-rekan di tempatku kerja menanyakan keadaanku. Dan kujawab dengan tersenyum seolah bukan menjadi masalah, “Saya keracunan.” Lemas, tetapi ensiklopedia itu menjadi pangkal masalah lain. Dari keracunan menuju ‘keracunan’ yang lain.

Baru setengah membacanya tiba-tiba seluruh ingatan tentang pencarianku akan makna hidup kembali terbuka sejelas-jelasnya. Aku kembali mempertimbangkan, mengurut fase-fase perubahan hidupku.

Dan di fase yang terakhir kujalani, aku baru menyadari bahwa aku telah tersesat (dalam bahasa agamanya murtad). Kafir terlalu lama. Bayangkan. Jika aku membandingkan dengan fase kehampaan tak mengetahui tujuan hidup dan sedikit menyangsikan tuhan yang terjadi hanya dalam jangka waktu kejapan, fase terakhir ini tanpa kusadari terjadi selama tiga tahun. Dan aku tidak menyadari itu.

Tulisan ini bukan bercerita tentang penyebab kekafiran itu (nanti akan kuceritakan) tetapi lebih kepada esiklopedia yang ternyata membantuku untuk membedah diriku sendiri.

Tahun ini aku merasa terang melihat puncak kedewasaan, dan hal itu sudah aku titi jauh tahun-tahun sebelumnya. Aku pernah menjadi sosok yang radikal, seorang pemuda sangat sulit untuk menampakan bahasa tubuh bersahabat pada orang-orang yang memiliki anggapan yang berbeda dengan diriku. Tapi, itu masa lalu, dan aku belajar, bahkan hingga sampai pada tahapan … ya aku masih bisa tersenyum ketika ada seseorang yang mengolok-olok keyakinanku, caraku berdoa (shalat), mengenai hari akhir atau bahkan mengenai tuhan meskipun masih dalam tataran olokan yang tidak membawa seluruh binatang yang ada di dalam perahu Nuh.

Aku telah mampu mengelola emosiku. Aku bisa tertawa di saat perdebatan keyakinan yang dianggap genting. Aku bisa terlihat antusias saat berbicara mengenai hal-hal yang mereka anggap diluar atmosfir otak manusia, selama berjam-jam. Entah Jamal, entah saudaraku sendiri, entah segelintir orang yang sering nongkrong di Ultimus, entah dalam forum diskusi atau siapa saja yang kutemui tanpa berjanji untuk bertemu. Berbicara dengan mereka rasanya membuat adrenalinku berpacu. semakin berdebar, semakin aku berusaha menyeimbangkan emosiku, dan semakin aku terlatih.

Hal inilah (berbincang dengan agnostic, deis, atheis) yang membantuku banyak untuk bersikap santai mengundang dua orang saksi yehova untuk membicarakan tentang keyakinan mereka, atau masuk kedalam vihara hanya untuk meminjam kitab Budha demi membandingkan, meminjam injil pada seorang biarawati yang tengah menghadapkan monitor komputernya dengan tubuh Yesus yang berdarah-darah. Bagaimana kondisiku tidak santai, jika aku telah berbincang dengan orang-orang yang logika berpikirnya lebih ekstrim dari mereka? Inilah diriku!

Sedikitnya aku merasa telah mendapatkan pencapaian tinggi mengenai pengelolaan emosi. Dan malam ini, … tak tahunya … tak selamanya apa yang kurasakan itu adalah tindakan yang benar. Tindakan benar ketika bersikap santai saat orang deis, atheis atau agnostic mengolok-olok kepercayaanku terhadap hal yang metafisik: surga dan neraka, dosa, Allah, Muhammad sang Rasul, dan tentu saja Al Quran.

Tidak, tidak, aku tidak akan mengutip pembenaran (yang memang kuat) ketika seorang muslim membunuh orang yang menghinakan Quran dengan tembakan dan sayatan dileher cucu pelukis gila bernama Van Gogh. Aku tidak akan mengutip satu ayat pun, satu hadispun (karena kau sudah banyak mengetahui hadis dan ayatnya). Aku hanya akan mengutip ensiklopedia yang saat ini kubaca. Aku hanya akan mengutip ensiklopedia yang membuatku menulis hal ini untukmu sayangku, cintaku ….O’ api yang tak padam. Nah, isinya mari kita lihat saja:

“Pada saat itu khotbah pastor (dan bukan hanya kaum yesuit saja , “semakin kurang menyebut-nyebut dosa neraka maupun kutukan…” (Abad Pencerahan. 34)

“Pastor biasa harus percaya sedikit saja supaya tidak dianggap munafik,” tulis Sebastien Chamfort , orang seangkatan raja Louis dan seorang pengamat yang tajam terhadap zamannya. “Tetapi ia tidak boleh terlalu jujur dalam keyakinannya agar jangan dianggap fanatik . Vikaris jenderal (wakil uskup) boleh tersenyum bila agama diserang, uskup boleh tertawa , sedangkan cardinal boleh menyetujuinya dengan ramah dan riang.” Tulisan chamfort, seorang pengaram epigram (sindiran tajam), memang agak berlebihan demi memperoleh ketajaman kata, tetapi kata-kata itu memuat cukup banyak kebenaran hingga orang jujur menjadi gelisah …” (Abad Pencerahan,. 34-35)

Dan hal ini, “ …memberi umpan kepada kegiatan propaganda para philosphe.”
(Abad Pencerahan. 34)

Jika dimasa lalu dunia Kristen telah menuai badainya dengan perilaku ‘ramah tamah’ tersebut, kali ini aku tidak mau menjadi batu-bata. Paham pluralisme, yang diusung kalangan Islam ‘protestan’ mempercepat arahnya. Aku tidak mau ikut andil membentuk orde secular! Aku tak mau menjadi kerikil, aku tak mau menjadi adukan semen, aku tak mau menjadi tiang penyangga kebangkitan deisme yang berarti kebangkitan sekularisme di negeri ini

Ah aku tak mau bersikap seperti paus ataupun pastur yang disebut dalam ensiklopedia itu. Ah, aku tak mau lagi. Apa yang kulakukan, yang kusebarkan melalui sikap so called toleran kadang bisa memberi andil bagi perkembangan renaissance deisme di kalangan kaum muslimin. Aku harus berhati-hati.

Maka … jika berhadapan denganku bersikap santun (normallah) membicarakan Al Quran dan Allah.
Hati-hati! karena inilah fase perubahanku. Inilah masa kelahiranku kembali.
Kelahiranku sebagai seorang muslim fundamentalis!

***

Dan akupun tersenyum puas.
Setelah menuangkan isi kepala, akupun kembali keperaduan.
Ya … saatnya memeluk istri dan anakku lagi.
Selamat malam!

0 komentar:

be responsible with your comment