Waria Unite!

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
1

SMASH! Layaknya halilintar yang menggeledek, bola volly itu mendesing-desing melewati net, menghantam tanah yang sudah diplester tembok, kemudian memantul dan ditangkap salah seorang penonton. Hampir semua orang bersorak-sorai waktu salah seorang pemain menjemput bola volly. Sebelum permainan dimulai lagi, pemain volly itu mengucapkan terimakasih menggunakan kedipan.

Saya tertawa di dekat warung rujak manis, membayangkan bagaimana lelaki yang diberi tanda kasih (kedipan) buluk kuduknya mencucuk-cucuk seperti tajamnya ujung alang-alang makanan sapi. Saya merinding! Hiiii, membayangkan diberi kerlipan oleh seorang waria yang pahanya kelihatan dekil.

Di Malang, volly waria, rutin diadakan di samping stadion Gajayana. Mereka jauh dari image cantik, macam waria Thailand. Biar begitu, gaya mereka gak ada matinya. Biar norak, percaya diri mereka super duper! Saya? Kalah deh.

Nonton kumpulan waria ganjen olahraga sekaligus show of force itu, membuat saya keingetan sama Mbak Rere, salah seorang waria (tentunya) yang menjadi langganan warung nasi sahabat saya. Seorang banci yang diceritakan seringkali disuiti lelaki hidung belang dari belakang dan depan. Seorang banci yang dicintai pol-polan sama seorang lelaki dari negeri carok. Seorang banci yang ternyata menyesalkan sikap sekumpulan banci buas, yang suka mangkal di kawasan minim cahaya. Seorang banci yang hingga dipertemuan terakhir dengan sahabat saya, tetap mengatakan bahwa jalur hidupnya adalah jalur hidup yang salah. Seorang banci langka yang memilih mengikuti nuraninya namun tetap menganggap bahwa tindakannya salah kaprah.

“Ah, andai Rere ngejalanin kodrat sebagai lelaki, pasti banyak yang naksir,” sahabat saya mendesah.

“Ya! Kalaupun gak ada seenggaknya ada satu yang naksir!”
Dia tahu apa yang saya maksudkan, karenanya dia pun merajuk, mengajukan pembelaan. “Abis badannya tinggi! Udah gitu cakep.”

Dasar cewek! Dimana-mana sama! Saya gelengkan kepala. Dan seratusribu pembelaan berhamburan lagi dari mulutnya.

Hhh, Rere-Rere. Mengapa di dunia ini ada manusia sesedih Dikau. O berdukanya. O mengharukannya. O kepak sayap kelelawar, O rendang kucing, O sembelit. O Sutardji! O salutnya diriku atas pengakuan kesalahan itu. Kau begitu membanggakan! Kau kau kau begitu langka di dunia!

Seakan anoa yang dilindungi pro fauna, pengakuan Rere nggak ada dua. Penyangkalan tidak ada dalam kamus kebanciannya. Ini kontras dengan yang dilakukan banci bergelar hajjah, yang dipanggil bunda oleh masyarakat. Banci yang ketika akan melakukan operasi kelamin, melakukan pembenaran atas perbuatannya dengan mensyiarkan di media massa bahwa ia sempat berdoa agar Allah memberi petunjuk padanya. “Seandainya aku salah maka akan terjadi sesuatu yang buruk pada operasiku. Dan seandainya aku benar, maka Allah akan membiarkan operasi kelaminku berlangsung baik.”

Gampang ditebak. Operasi berlangsung lancar. Tak ada pohon tumbang. Tak ada pusaran angin yang mengkanvaskan pesawat terbang. Tak ada kejadian mengerikan yang dialami organ genitalnya.

Setelah mengganti kelamin, waria tersebut melangsungkan pernikahan dengan lelaki yang mau menerima sejarah hidup dia apa adanya. Hingga kini tak ada yang terjadi dengan alat kelaminnya, bahkan melalui talkshow yang ia pandu, rezeki waria itu mengucur deras melebihi kucuran riski ustad-ustad yang pernah berusaha meluruskannya. Karenanya, hingga saat ini waria bernama Dorce itu –nampaknya-- masih menganggap bahwa Allah menyetujui tindakan memotong lingga dan menggantinya dengan yoni buatan.

Uh, saya sebenarnya tidak suka menulis dengan gaya tunjuk menunjuk, salah menyalahkan macam gini, tapi di dunia ini, melakukan pembenaran, adalah sesuatu yang paling membuat saya sebal. Saya paling sebal dengan pembenaran yang mengatasnamakan Tuhan. Pembenaran --yang seandainya dianggap kebenaran mutlak-- bisa digunakan tukang sodom untuk membenarkan tindakannya:

“Tuhan, kalo gue salah, pas gue nubles pantat anak orang bule ini, tolong Lu buat kelamin gua peluh! Atau Lu buat pantat anak orang bule itu tiba-tiba punya gigi supaya pas gue tubles, nyaem... kelamin gue putus digigit pantat itu anak! Amin!”

Pembenaran macam itu, bisa juga digunakan oleh pemabuk, pezinah, tukang riba, dan koruptor untuk membenarkan tindakannya. Di sini, standar kebenaran tengah diubah dalam usaha pembenaran.

Standar kebenaran di dalam Islam yang semula berawal dari Al Quran dan Assunnah, berusaha dirubah menjadi standar kebenaran ketika seseorang berhasil melakukan sebuah tindakan (menyodom, mencuri, korupsi, mabok, dsb).

Halah! Melakukan pembenaran tindakan yang pada awalnya sudah tidak benar adalah suatu penambahan kesalahan. Kesalahan yang bahkan mungkin tingkatan dosanya bisa jadi melebihi kesalahan ketika seseorang melakukan tindak kejahatan.

Inilah yang membedakan Dorce dengan Rere. Rere memahami dan mengakui kalau apa yang dilakukannya, menjadi banci itu salah. Ia mengetahui kalau dirinya adalah lelaki, tapi dia belum bisa menjalaninya karena ada sesuatu yang bicara. Perasaannya.

Rere mengakui kesalahannya, ia tidak berusaha melipat yang putih menjadi hitam, dan yang hitam menjadi putih. Ia menjalani apa adanya, bahwa dirinya salah tetapi dia belum bisa meninggalkan kesalahannya, --dan sekali lagi--, ini berbeda dengan apa yang dilakukan para banci atau homoseks yang hatinya gosong.

Saya bersimpati dengan orang-orang yang didakwa oleh nuraninya, kemudian mau mengakui kesalahannya karena mereka memiliki kedekatan personal dengan saya. Di samping mendoakan saya sendiri, Dorce, saya juga doakan Rere agar sebelum matinya menjalani kehidupan yang benar (yang tentu, sudah pasti baik).

Saya doakan semua berproses menjadi lebih baik karena kita semua memang harus memahami, bahwa alam memberikan waktu kepada manusia untuk melakukan perbaikan. Manusia yang sama-sama berdosa harus sabar, diiringi usaha meluruskan kemudian diperkuat dengan doa.
Di luar itu semua, dunia tempat tinggal kita sepertinya telah diputarbalikkan oleh pembenaran demi pembenaran. Yang salah, dijustifikasi agar dipandang benar. Yang benar dikucilkan media dan dianggap ketinggalan zaman. Bukankah saat kita melihat demonstrasi menolak pornografi, berbondong-bondong orang membela dan melakukan pembenaran atasnya; ketika homoseksual dan lesbian dilarang keras oleh agama, LSM-LSM menggunakan media massa melakukan pembenaran lainnya mengatas namakan liberalisme agama; ketika orang-orang membolehkan poligami, kaum feminis “Islam” menganggap bahwa poligami adalah tindakan asusila, tak beradab dan memalukan dan sudah tidak up to date lagi, padahal rasul dan sahabat mencontohkannya. Ketika orang-orang membolehkan dan berusaha melegalkan pergantian kelamin, padahal rasulullah saja melarang seorang lelaki menyerupai wanita, apalagi berusaha merubah kodratnya.

Ada apa dengan dunia ini? Kemanakah muslim yang fair di dalam fikirannya. Dimanakah pertanggung jawaban? Dimanakah letak kejujuran? Ah, setidaknya, di tengah-tengah zaman yang kerontang ini, saya yakin kita selalu bersikap fair terhadap diri kita sendiri. Kita selalu fair pada orang lain dan nilai (Islam) yang kita yakini.

Dan ketika sebuah bola volly kembali menghantam tanah, memantul beberapa kali kemudian menggelinding ke arah warung rujak petis, saya membayangkan dari arah timur Istiqlal Jakarta sekumpulan waria turun dari truk berplat N. Mereka membawa spanduk berwarna nyala, dan olalala, yang membawa TOA dan menjadi korlap demonstrasi itu ternyata Rere, seorang waria yang menggalang kawan-kawannya untuk mau tunduk di bawah syariat Islam seperti halnya seorang pezina di masa Rasulullah manakala merindukan surga.

Allah maha besar dan kita maha kecil kawan!

--------------------
Big Foot

Seorang wanita datang kepada Nabi mengatakan:
"Ya Rasul, sucikan aku, sucikan aku"
Nabi bertanya. "Mengapa ya fulanah engkau minta di sucikan?"
Wanita itu mengatakan. "Aku telah berzina dengan laki laki yangkemarin telah di rajam karena berzina, dan akulah si wanitanya."
Nabi berkata. "Adakah saksinya ? Apa buktinya?"
Wanita itu berkata. "Allah dan aku saksinya, dan perutku semakinmembesar."
Nabi berkata. "Pulanglah engkau, hingga anakmu lahir."
Akhirnya wanita itupun pulang. Setelah anaknya lahir, wanita itu datang lagi dan meminta hal yang sama: untuk di sucikan.
Nabi berkata. "Pulanglah, susuilah anakmu selama 2 tahun."
Setelah di susui selama dua tahun, wanita ini kembali datang untukminta di sucikan lagi.
Nabi berkata. "Pulanglah, asuhlah anakmu hingga ia cukup besar."
Beberapa tahun kemudian wanita ini kembali lagi.
Nabi lalu mengambil anak itu, lalu berkata. "Siapa yang akanemnanggung anak dari wanita ini ??"
Lalu seorang sahabat berkenan mengasuhnya.
Nabi bersama sahabat lalu menggali lobang, kemudian merajam wanita ini hingga meninggal.
Seorang sahabat mengejek wanita pezina itu dan mengatakan kejelekannya sebagai pelacur.
Rasul nampak marah mendengar komentar itu dan berkata:
"Jika taubat wanita ini di bagi bagikan kepada seluruh pendudukmadinah, niscaya semua akan kebagian."
Wanita itu telah suci dan mensucikan dirinya.
Dia menghadap Allah dalam keadaan bersih dan berpredikat sebagai orang yang bertaubat.

1 komentar:

be responsible with your comment