Beriman Dengan Pikiran

Posted: Kamis, 17 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Bayangkanlah, jika tersesat di hutan belantara, kamu sendiri meniti jalan setapak menuju sebuah puncak Gunung. Kecapaian mendera, sebab kamu sudah melangkahkan kaki tak tentu arah selama 5 hari. Kini, kerongkonganmu serasa di iris sembilu sebab kamu kehabisan air minum --bukan saja untuk menyegarkan tenggorokan melainkan juga, menyelamatkan hidupmu. Disaat-saat penentuan antara hidup dan kematian, kamu bersandar pada sebuah pohon yang ranting-rantingnya dihangatkan oleh lumut-lumut berwarna hijau kekuningan. Sejenak, kamu merasakan keteduhan yang luar biasa.

Selagi bersandar, bola matamu yang cerlang itu menatap ruang biru cakrawala. Tiba-tiba cakrawala yang kosong melompong dibauri gumpalan awan. Dari balik awan yang mengeriting bagai bulu domba, dua ekor elang menyalipi. Sekonyong-konyong angin menyerulingkan orkestranya untuk kemudian menggoyangkan awan perlahan. Lembut sekali gerakannya.
Hujan tanpa awan hitam turun. Rintik-rintiknya jatuh dari atas sana, menetes membasahi helai rambut, mengalir menuju pori-pori kepala, menelusup pada bajumu yang terkoyak oleh dahan-dahan pepohonan. Kamu dongakan kepala. Kesejukan airnya meluruhkan asam tenggorokan. Tubuhmu yang sudah terkena dehidrasi itu, serta merta segar kembali. Butiran hujan yang membuat kulit kecoklatanmu berkilat-kilat, kini menjadi prisma yang membiaskan cahaya matahari. Hutan yang semula diam kini riang bersuara. Kelinci bermunculan dari dalam lubang, melompat-lompat saat buah-buah kenari berjatuhan. Kemudian kelinci-kelinci itu memecah atos kenari dengan gigi depannya yang putih. Suara gigi mereka menimbulkan ketukan-ketukan berirama, mengundang burung-burung untuk berloncatan dari balik bebatuan, begitu pun –dari balik-- pohon-pohon nan rindang.

Seekor burung warna biru hinggap di bahu, diiringi ketukan gigi kelinci dan seruling angin. Ia mulai mendendangkan puji-pujian. Setelah beberapa menit nyanyian tuntas, saat itu pula, kulitmu yang dikilatkan oleh hujan, memantulkan pelangi. Si burung bernyanyi kembali. Suaranya menentramkan serumpun kesegaran, dan serta merta pelangi tampak kembali. Kini kehadirannya tidak tampak satu-persatu. Tidak pula dua, tetapi belasan.
Kamu bersujud syukur. Hatimu membisikan bahwa peristiwa yang kau alami merupakan keajaiban. Ditengah kesyahduan yang membumbung itu, kamu melihat ke angkasa (karena merasakan cahaya semakin benderang meneliputi tempatmu dan ceruk-ceruk lembah yang hitam). Matahari yang semula tunggal, perlahan-lahan berkecambah menjadi dua. Ada matahari kembar diangkasa sana. Keduanya saling menjauh dalam tiga hasta. Disekeliling matahari itu, bintang-bintang bertebaran, menandakan munculnya bayangan besar seperti hologram. Pergerakan matahari kembar terhenti. Ketika bayangan mewujud sempurna, kedua matahari itu, menjadi bola besar yang menyatu pada dua buah bola mata, –bayangan-- Sidharta Gautama.
Bayangan itu berdiri tenang. Melayang di cakrawala luas. Tak berbatas, tak bertepian.

Om! Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om O …………….m O Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om O Om Om Om Om O m Om
Om Om Om Om Om
menghanyutkan
Om Om Om Om Om Om Om Om
Om Om Om Om Om Om Om Om Om Om!

Om! Menapaki sekujur urat nadimu. Mantranya menenangkan aorta! Menelusupkan damai dalam hati. Membulatkan kegelisahan menjadi nol. Menjadi bulat! Nol yang menjadi ada sekaligus menjadi tiada, dalam wadah semesta yang kini rindang, dinaungi kecipak bintang.

Hai! Seandainya kamu mengalami kejadian itu, akankah kamu meyakini Sidharta sebagai juru selamatmu? Dengan fenomena menakjubkan diatas, akankah kamu menjadikan Sidharta Budha Gautama sebagai kendaraan yang akan membawamu menuju nirwana?1)

Atau, taruhlah kamu sakit parah. Kamu terkena penyakit aneh yang membuat pinggangmu bernanah. Nanah yang tak kunjung mengering itu, menyekapmu selama bertahun-tahun. Nanah itu menyiksa kamu dalam lingkup perih dan gatal. Karena sudah tak tahan atas penderitaan itu maka kamu memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan seutas tali. Tetapi, tiba-tiba seorang pendeta Hindu datang dan berkata :

“Nona yang manis, ada gerangan apa sehingga kau memutuskan untuk mengakhiri hidupmu?”. Kamu terdiam dan mencurigainya, sebab ia bukan rohaniawan keyakinanmu. Seolah mengetahui gamangnya batinmu ia bertutur kembali “Jangan takut, saya tidak datang untuk menukar keyakinanmu dengan agamaku. Saya datang hanya untuk menyembuhkan penyakitmu!”

Nafasmu memburu saat ia menghirup nafasmu dalam-dalam. Kamu tersedot dalam pusaran nafasnya. Kemudian, ketika ia menglafadzkan mantra. Kamu mendengarnya seperti ini :

“Wahai Tuhanku Syiwaaaaaaa!, berikanlah kesembuhan bagi-nya!”.

“Duhai Dewa Syiwaaaaa!, izinkanlah hambamu tuk pergunakan sedikit kekuasaan-Mu, untuk menyembuhkan penyakit wanita muda nan malang ini”.

Seusai lafadz dikhatamkan, tiba-tiba!, kamu terjerang demam yang amat tinggi. Kulit punggungmu menghangat. Perlahan-lahan lapisan pembungkus daging itu mengeras. Nanah yang mengalir melambat, mengental, mengering dan berubah menjadi keras. Penyakitmu rontok. Kulitmu yang terkoyak nanah kembali sehat seperti sediakala. Kamu terbebas dari penyakit kusta.

Hai! Dengan kejadian sedahsyat itu, apakah kamu akan menjadi penganut setia Dewa Syiwa?. Menjadi pengagung terbesar Tri-murti?. Menjadi athman dan mengakui diri kamu tunduk dibawah kekuasaan Brahman?. Kalau kamu beriman dengan perasaan, setelah menyaksikan dan merasakan kesakralan fenomena menakjubkan itu, maka kamu akan keluar dari Islam

Lantas bagaimana?!

Beriman merupakan suatu keharusan bagi seorang manusia. Iman tidak saja menyelimuti hal-hal besar melainkan hal-hal kecil. Dalam kehidupan sehari-hari --yang mungkin dianggap sepele— seorang individu theis (mengkui Tuhan) bahkan atheis (anti Tuhan) yang hidup di tahun 2004, mengimani beberapa hal dalam sejarah. Sebagai contoh, ketika ditanyakan hal-hal berkenaan dengan bagaimana terjadinya revolusi Prancis, maka orang yang membaca literatur berkenaan dengan kejadia itu, akan mengatakan bahwa penyerbuan penjara Bastille pada 14 Juli 1789, menjadi perlambang runtuhnya kekuasaan Monarki di Eropa. Melalui revolusi tersebut, tirani Monarki digantikan oleh kekuasaan rakyat (republik). Keimanan menyebabkan seseorang individu theis ataupun atheis menyatakan kepercayaannya terhadap kejadian tersebut. Padahal, pada saat itu mereka belum lahir. Mereka mempercayai terjadinya revolusi Prancis dikarenakan literatur sejarah memberitakannya demikian. Artinya kepercayaan mereka –pada peristiwa tersebut-- disandarkan pada informasi, pada literatur sejarah. Ini adalah keimanan juga.

Ketika sakitpun, manusia menyertakan keimanan-nya pada seorang dokter. Penyertaan Keimanan tersebut diejawantahkan dalam bentuk penyerahan kepercayaan manusia pada kredibilitas dokter --yang akan menyembuhkan penyakitnya. Keimanan tersebut, muncul dalam aktivitas : tidak mempertanyakan racikan obat macam apa yang disuntikan dokter ke tubuh. Keimanan untuk tidak mempertanyakan ”mengapa saya harus minum obat tiga kali?” (kenapa tidak satu kali atau empat kali saja?). Inilah keimanan.

Namun, keimanan yang ingin diperjelas dalam tulisan ini, bukanlah keimanan seperti yang saya utarakan tadi, tetapi keimanan yang ada sangkut-pautnya dengan penyelamatan manusia saat menyebrangi dunia fana menuju keabadian. Keimanan, yang merupakan masalah besar, berkenaan dengan keimanan mengenai siapa yang menciptakan diri manusia dan alam semesta. Keimanan terhadap Tuhan seperti apa?, rasul yang bagaimana? dan kitab suci yang mana?. Serta, keimanan terhadap hari sebelum manusia ada; hari sesudah manusia tutup usi;a serta berkaitan dengan keberadaan surga serta samudera pahala dan dosa yang ada.

Keimanan ada dalam setiap diri manusia!. Tumbuh dalam setiap individu, baik yang menyandarkan penciptaan alam semesta pada materi atau causa prima, yang dikatakan --oleh agama langit dan agama bumi-- sebagai, Tuhan!. Karena dunia ini ditempati oleh bermilyar manusia, maka menjadi suatu yang wajar, ketika kita banyak menemukan konsep Tuhan. Oleh karena saking banyaknya konsep tersebut, otomatis kita harus mempertanyakan dan membandingkan konsep mana yang paling benar.

Fenomena Keajaiban

Orang banyak mengatakan bahwa keimanan tidak dapat dilogikakan. Katanya, “keimanan yang benar hanya datang melalui hati”. Keimanan yang sempurna hanya datang melalui pencerahana batin. Tetapi, pada kenyataannya peristiwa-peristiwa mistis seperti munculnya Sidharta yang diawali pemunculan pelangi serta peristiwa pertemuan seorang nona manis yang berhadapan dengan pendeta Hindu, acapkali terjadi di dunia ini. Bahkan, jika kita memiliki waktu untuk mengumpulkan kertas-kertas koran, mendokumentasikan kumpulan artikel majalah kerohanian maka kita akan menemukan hal-hal lain yang sama menakjubkannnya.

Saya pernah mendengar dan membaca artikel sebuah komunitas keagamaan yang mengabarkan keajaiban penampakan Maria pada sebuah dinding gereja di Jakarta, serta lukisan indah Maria --yang ketika malam hari tiba--, darinya keluar cahaya bening air mata. Saya acapkali di perdendangkan peristiwa stigmata (munculnya orang-orang suci Nasrani yang pada tangan dan kakinya, muncul koyakan yang sama seperti koyakan yang ditancapkan orang Yahudi ke badan Kristus). Bahkan dalam Islam, peristiwa keajaiban semacam ini sering kita dengarkan.
Sewaktu SMA, saya mendecakkan kekaguman, ketika anak-anak Rohis (Rohani Islam) menempelkan repro foto ikan yang badannya berkaligrafikan Allah dan Muhammad. Beberapa waktu kemudian muncul repro foto lainnya berkenaan dengan adanya pepohonan yang mengkaitkan akar serta batangnya (di hutan Eropa) hingga membentuk satu jalinan kalimat : laa ilaa ha illallah muhammadarrasuulullah = tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusan Allah. Dibawah repro itu dituliskan kata-kata Maha Suci Allah diuntai kalimat “Akibat keajaiban ini, penguasa Eropa menutup lokasi tumbuhnya pohon tersebut. Karena, dengan adanya keajaiban tersebut, ribuan orang-orang Kristen berpindah agama”.

Ketika ditanya, “kamu percaya dengan keajaiban itu?” dengan mantap saya mengatakan “ya!” keras-keras. Tetapi, jika sekarang saya ditanyakan seperti itu, maka akan mengatakan tidak tahu. Mengapa? Karena saya belum membuktikan kebenaran keajaiban itu tanpa melalui perantara (menggunakan mata kepala sendiri). Lagipula, bagi saya standar kebenaran sebuah keyakinan tidaklah semudah itu, karena --seperti yang telah saya jabarkan diatas-- keajaiban mengenai penampakan yang menimbulkan ekstase spiritual ternyata dimiliki oleh keyakinan manapun!.

Keimanan harus diawali dengan berfikir. Apa yang terjadi jika keimanan diawali dengan perasaan. Jika orang menggunakan perasaannya sebagai alat awal untuk beriman dan --ternyata dalam kehidupannya ke depan--, ia menemukan keajaiban-keajaiban dari ajaran lain maka orang itu akan dengan mudahnya berpindah keyakinan. Orang yang ber-KTP Islam akan dengan mudah menukar keyakinannya dengan keyakinan Nasrani (ketika perasaannya disantuni kenyamanan, oleh romo-romo, pastur atau biarawati dengan menggunakan sekantung beras dan sekardus indomie). Orang yang berkeyakinan Kristen, Hindu, Budha --dan lain sebagainya--, akan dengan mudahnya mengganti agama ketika mendengarkan adzan yang merdu.

Mengapa keimanan harus diawali dengan berfikir?. Karena inti keimanan memang berawal dari proses berfikir. Karena inti keimanan yang sesungguhnya tidak didasarkan pada keajaiban-keajaiban yang mengguncangkan perasaan, melainkan pada keyakinan/keimanan yang didasarkan pencarian melalui pemikIran. Jika keajaiban dijadikan inti keimanan maka : “kasian dong! orang yang nggak melihat keajaiban!!!”. Keajaiban hanya untuk menguatkan sebuah kebenaran. Bukan sebagai titik awal pencarian sebuah kebenaran! (pusing2 luh ).

Beriman dengan Pemikiran

Bagi saya, beriman dengan akal adalah beriman dengan melakukan pencarian! Beriman dengan melakukan perenungan. Beriman dengan memanfaatkan potensi terbesar manusia --yang membedakannya dengan binatang. Beriman, seperti yang dicontohkan perempuan bertubuh mungil dibawah ini.

Di suatu tempat terpencil (berabad-abad lamanya sebelum Eropa memasuki zaman pencerahan) terdapat sebuah pulau terpencil ditengah-tengah bermuda. Pulau itu luasnya sebesar pulau Natuna. Daratannya dikeliling gunung gemunung yang tegak menjulang, menonjok partikel air yang dikumpulkan matahari menjadi awan.

Di tengah-tengah lingkar pegunungan hidup seorang wanita bernama Ira. Ia tinggal ditengah kaum dinamisme yang mempercayai bahwa dibalik sebuah totem terdapat kekuatan besar yang mampu mengendalikan alam semesta. Ira tinggal di tengah kaum yang mempercayai bahwa di balik benda-benda keramat tersembunyi kekuatan besar penghalau taufan yang dapat menyergap, serta menenggelamkan dan menghancurkan tanah pertanian.

Dalam pada itu, Ira yang dipundaknya tertera tahi lalat, selalu memperhatikan ritual penyembahan totem dari kejauhan. Dalam pada itu, Ira yang mulutnya diperindah bulu-bulu halus, selalu berfikir, akan kah ia menyembah totem yang disembah kaumnya?. Akankah ia mengikuti nenek moyang, orang tua dan klan-nya saat melakukan penyembahan patung yang usianya ratusan tahun?. Tidak semudah itu!. Ira adalah perempuan yang kritis. Sebelum ia mengikuti penyembahan, ia menyaksikan bagaimana patung yang mereka sembah ternyata tidak dapat mengusir lalat yang menempel di hidungnya. Lalu pemikirannya berkata “Tuhan tak mungkin selemah itu. Itu bukan Tuhan!”. Dikemudian hari ia berniat menyembah benda-benda yang ada dilangit tapi akalnya berkontraksi “Hm…manakala malam datang, matahari digantikan bulan. Manakala siang datang, bulan digantikan matahari dan pemik iran Ira berapologi : “Bagaimana mungkin, Tuhan terbit tenggelam seperti itu!?”.

Ira melihat deru awan yang di hinggapi alap-alap. Arakan awan di angkasa seperti kapas emas seusai disepuh cahaya mentari. Ia mentakjubi keagungannya. Lantas ia berniat menyembah awan. Tapi angin datang bergelombang hingga awan terlepas dari tambatannya kemudian…menghilang!. Angin begitu berkuasa untuk menyapukan awan.

Angin yang semula menderas perlahan-lahan mengalun. Angkasa menjadi tenang. Sunyi tetirah. Setelah itu, kejadian-kejadian yang dialami selama beberapa waktu terangkum dalam ingatan Ira. Dialog kembali berlangsung dalam dirinya : “Mana mungkin Tuhan seperti itu?. Mana mungkin Tuhan tak berkuasa atas dirinya sendiri (tak mampu mengusir lalat)?. Mana mungkin sifat kekuasaan Tuhan temporal atau hanya bersifat sementara (seperti halnya bulan, bintang matahari api angin, dan lain sebagainya)?.

Dalam ruang kegelisahan yang menjemukan, di kejauhan ia melihat tiga orang berpakaian putih serta berjanggut lebat mendatangi pulau. Dibantu angin yang dijaring layar, mereka mendarat dan menambatkan tali perahunya pada karang --tempat Ira mengumpulkan tiram--. Tujuh lapis harapan menuntunnya untuk menuntaskas kegelisahan dalam jiwa. Ia berlari menuju arah mentari yang merefleksikan ketiga orang tadi menjadi siluet. Gerai rambut Ira menyuarakan sukacita. Matanya mengkedip dan menjatuhkan bingkis bening keharuan. Ia turun dari bukit untuk menyambut mereka.

Sesampainya ditepian pantai, Ira di suguhi tatapan lembut oleh ketiga orang itu. Mereka seolah sudah mengetahui sejak lama isi hatinya. Ira lantas membawa mereka menuju kediamannya. Malam tiba. Suara debur ombak tak begitu kentara dalam pendengaran Ira, ketika ketiga orang itu mulai memperkenalkan dirinya lamat-lamat.

Mereka berasal dari arah Baitul Maqdis. Sebuah tempat suci tiga agama dunia yang diberitakan. Ira tidak begitu menahu mengenai hal yang membuat ketiga orang tersebut diselimuti energi kedamaian saat membicarakan tempat suci itu. Yang ia tahu, ketiga orang itu mulai memberikan pengabaran mengenai Kristus ketika pertengahan malam mulai menelingkupi pulau.

Mereka bilang bahwa Tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga. Mereka menganalogikannya dengan segitiga. “Segitiga sama sisi memiliki tiga sisi yang sama. walaupunada tiga sisi tetap saja segitiga. Tuhan itu ada tiga tetapi satu”1). Tetapi ia berfikir : “Bagaimana ini?. Ia bingung setengah mati. “Bagaimana kalau ada orang yang mengatakan bahwa bujur sangar ada empat sisi dan Tuhan ada empat tetapi satu?”.

Ira terus berfikir “hmm seandainya Tuhan tiga tetapi satu... pening sekali pemahaman itu!. Kalau Tuhan ada tiga, Tuhan pasti sering berkelahi. Kalau Tuhan ada Tiga dalam satu berarti Tuhan memiliki kepribadian ganda : satu kepribadian sebagai ibu, satu kepribadian sebagai anak dan sebagai bapa. Ah, masyarakatpun tak mungkin akur jika memiliki tiga pemimpin yang tiga dalam satu tubuh, yang satu tubuh dalam tiga. Apa lagi alam semesta kalau punya tiga Tuhan?”. Kemudian Ira berfikir lagi : kalau ada Tuhan bapa, ibu dan anak, lantas siapa kakeknya?”. Ting!!! Ira berfikir bahwa Tuhan tidak mungkin beranak dan diperanakan.

Tapi ketiga orang itu terus mendesaknya, salah satu diantara mereka bertutur “Tuhan kami amatlah baik. Ia berkorban untuk umat manusia. Melalui penyaliban, ia menebus dosa umat manusia semenjak Adam hingga akhir dunia. Seandainya engkau mau mengimani Tuhan kami dalam hati, maka kau akan diselamatkan!”

Akal Ira berkerja kembali “Menurut bapak, seluruh manusia di tebus dosanya oleh Tuhan tapi mengapa orang yang tidak mengimaninya tidak diselamatkan?. Mengapa Ia menebus dosa manusia melalui penyaliban?. Apakah tidak ada cara lain bagi Tuhan untuk menebus dosa manusia selain dengan penyaliban, yang tentunya merendahkan dirinya sendiri?. Bapak tercinta, seandainya hanya karena Adam semua manusia berdosa, maka tak tahu menahukah Tuhan mengenai kaidah kausalitas (sebab akibat) yang ia ajarkan pada manusia?, mengenai siapa yang mengerjakan dosa maka dialah yang seharusnya menanggungnya. Bapak, haruskah hal itu masuk ke dalam logika saya?. Bapak, seandainya saya memiliki ayah seorang perompak, apakah kemudian saya dan anak cucu saya nantinya dicap sebagai perompak pula?. Dicap memiliki dosa?. Padahal, saya dan anak cucu saya tidak pernah melakukan perompakan sama sekali?.

Seperti tahu isi hati Ira, wakil ketiga orang itu kembali bertutur :

“Keimanan tidak bisa dilogikakan. Keimanan adalah kepercayaan mutlak pada sesuatu yang akan menjadi pembimbing kehidupan manusia di dunia. Keimanan adalah keyakinan. Keimanan bukan untuk dipertanyakan. Tiga dalam satu adalah keimanan. Satu dalam tiga adalah keimanan. Tinggal anakku Ira mengimaninya. Pilihannya ya dan tidak. Diselamatkan atau dijerumuskan”.

Mulut Ira tidak merekah sempurna. Dalam lirih ia bersuara “Bapak, seandainya keimanan bukan untuk dipertanyakan, seandainya keimanan adalah kepercayaan mutlak yang tak bisa diganggu gugat, bagaimana seandainya jika ada orang yang menganggap Ira Tuhan?. Bapak, seandainya orang menganggap Ira sebagai Tuhan, tentu Bapak yang baik hati, Bapak yang jauh-jauh dari Timur untuk mengabarkan penyelamatan, tidak berhak untuk mempertanyakannya keimanan orang itu pada Ira. Sebab, itu keimanan baginya. Tapi … bagi Ira keimanan bukan sesuatu yang tabu untuk digugat. Keimanan perlu digugat. Perlu dipertanyakan sebab ada begitu banyak konsep keimanan di dunia ini. Mana yang benar?. Ira fikir, banyaknya konsep keimanan harus saling dibandingkan. Dan, perangkat akal lah, yang akan membenarkan mana keimanan yang paling benar”

“Kalau begitu kamu menafikan perasaan suci yang mengarahkanmu pada kebenaran?”

“Saya tidak menafikan perasaan Bapak. Perasaan hanya pelengkap. Perasaan hanyalah bumbu kebulatan iman. Ira hanya berusaha menempatkan perasaan dan akal pada tempatnya saja. Seandainya perasaan dijadikan alat untuk mencari kebenaran maka sejak jauh-jauh hari Ira menyembah batu dan benda-benda dilangit karena hati Ira terharu akan keagungan keajaibannya. Seandainya perasaan dijadikan alat mencari kebenaran maka saudara-saudara dan kawan-kawan Ira, tak berhak Bapak pengaruhi keyakinanya. Sebab, mereka telah merasakan indahnya keimanan. Sebab, hati mereka bergelora ketika menatap benda-benda langit dan bumi yang mereka anggap memiliki keajaiban. Duh Bapak yang baik, saya tidak mungkin menafikan perasaan dan hati, sebab saya memang memilikinya sebagai fitrah. Tetapi, perasaan hanyalah sebagai pelengkap setelah akal mengawali pencarian keimanan. Akal lah yang seharusnya mengawali atau mendampingi perasaan dalam mencari kebenaran iman. Dengan hal itu, Ira dapat memilah-milah, membenturkan serta menggugat keimanan yang satu dengan yang lainnya. Dari benturan-benturan keimanan itu, Ira yakin bahwa keimanan yang terkuat akan Ira dapatkan”

“Keimanan yang seperti apa kalau begitu?”

“Saya tidak tahu. Yang pasti bukan keimanan yang Bapak tawarkan pada Ira. Maafkan Ira Bapak!”

***
Sampai disana, tahap pencarian keimanan seseorang telah menemui titik terang. Dari titik itu, tercapai satu kemajuan mengenai ajaran monotheis (ajaran atau keimanan mengenai satu Tuhan bagi alam semesta). Selanjutnya kamu yang berbeda keyakinan akan mempertanyakan pemaparan cerita saya di atas dengan :

“Sepertinya argumentasi yang kamu bangun, mengarah pada Islam!. Licik sekali. Kamu melakukan pembenaran!”.

Saudaraku, bukankah setiap manusia selalu melakukan pembenaran?. Bahkan orang yang menganggap dirinya netral dari pembenaran, sebenarnya melakukan pembenaran atas kenetralan pembenarannya. Jadi, setiap manusia berhak melakukan pembenaran asal manusia bisa mempertanggung jawabkan pembenarannya”.

Atau kamu selaku pemikir bebas akan menghaturkan pertanyaan : “Seandainya ada kebenaran lain, apakah kamu akan berpindah keyakinan dari keimanan Islam mu yang sekarang?. Oh satu lagi, Ira yang kamu ceritakan tadi berada di pulau terpencil. Dan saya perhatikan, dipulaunya tidak ada ajaran Islam. Lantas, bagaimana jika ia mati sebelum memeluk Islam?. Dalam ajaran Islam termuat pendapat yang menyatakan, bahwa orang yang matinya bukan dalam keislaman, maka ia akan kekal di neraka?”

“Saya fikir tidak!. Dalam kasus Ira yang tinggal disebuah pulau terpencil dan disana tidak ada ajaran Islam sama sekali maka mesti bagimana lagi?. Yang harus dilihat disini ialah : Ira sudah berusaha memaksimalkan petunjuk yang diberikan Tuhan padanya (meski tidak lengkap). Dia telah menggunakan petunjuk alam semesta, menggunakan alat berupa indera dan akal, yang menunjukan mana sebenar-benarnya konsep keimanan. Saya fikir Ira sudah berusaha maksimal. Dia telah berusaha melewati kegelisahan-kegelisahan pencarian tehadap Tuhan dan ajarannya. Dia telah memaksimalkan potensi-potensi dan petunjuk yang diberikan Tuhan, untuk mencari kebenaran. Ia tidak beriman hanya karena keturunan. Ia beriman bukan dengan perasaannya. Ia beriman dengan pemikirannya. Apa yang dilakukan Ira membedakan derajat dirinya dengan orang yang merasa aman dengan keimanan yang didapatkan melalui jalur darah, jalur trah dan keturunan!.Apakah Tuhan sedemikian kejam untuk menjebloskan Ira pada penderitaan nantinya?. Saya fikir Tuhan maha adil untuk menempatkan Ira pada tempat yang seharusnya”.

“Begitu ya?” terus pertanyaan pertama, jawabannya bagaimana?”

“O, sebentar, saya minum kopi dulu ya. Slurp..slurp…cegluk-cegluk!. Bung mau kopi?”

“Nggak ah!. Kalau bir saya mau!?”

“Saya nggak minum bir. Anti malah!. Saya buatin air teh aja ya!?”

“Susu ada nggak?”

“Ada, tapi, meres dulu dikandang!”

“Sialan!. Nggak usah deh, jawab aja pertanyaannya!”

“Pertanyaan yang mana?. Pertanyaan mengenai ungkapan cinta kamu sama saya?”

“Sialan!, emangnya gua homo!”

“Lho bukannya yey emang homo!?”

“Sialan!. Situ yang homo!”

“Idiiih, eike kan nggak nuduh yey homoseks!. Eike kan cuma bilang yey homo. Homo itu berarti sama. Maksud Eike sama, ya… kita sama-sama manusia gitoo!. Yey sih ngeres aja!”

“Ah kamu…!. Terus gimana dong?”

“Gimana-gimana?. Mengenai pertanyaan, seandainya di dunia ini ada kebenaran lain selain Islam?, apakah saya akan berpindah keyakinan dari keiman islaman saya yang sekarang?. Yang itu?”

“Iya!”

“Seandainya ada kebenaran lain, mengapa tidak?. Tapi, masalahnya sodorkan kebenaran baru itu ke hadapan pemahaman keislaman saya. Mana coba?1)”

“Belum punya!”

“Ah kalau begitu jangan nanya. Dasar!!!”

Tamat
---------------------------------
Foot note

1) Dalam pelajaran budaya, yang saya dapatkan di kampus, Budhism terbagi menjadi dua jalan yaitu Hinayana dan Mahayana. Hinayana adalah jalan dimana seorang manusia dapat mencapai Nirwana dengan kekuatan welas asihnya. Manusia akan menuju pemberangkatan ke Nirwana seandainya ia mampu melepaskan rantai reinkarnasi. Sedangkan, Mahayana adalah jalan yang dibentangkan agar manusia melakukan pembebasan egosentrisme diri kemudian menjadi Budha itu sendiri.
2)Tulisan ini, tidak akan membahas dan membandingkan keimanan seorang materialis atheis dengan seorang theis. Tetapi, kita akan membahas dan membandingkan keimanan, serta dengan apa keimanan harus manusia capai?.
3) Jika mengartikan saya seorang Liberal dengan pemahaman seperti itu. Bagimana jika saya melontarkan pernyataan itu –justru—sebagai pertanda bahwa saya siap berhadapan dengan orang seperti apapun dengan pisau keyakinan saya terhadap Islam?. Apakah ini yang dinamakan Liberal?. Nggak ah.

Lainnya :
Didunia ini ajaran monotheisme ada 2, yaitu Islam dan Yahudi. Kedua ajaran ini memiliki kontradiksi dengan pemahaman trinitas dan trimurti serta pantheism. Anda tinggal mencari kitab mana dari kedua ajaran monotehisme tadi (kitab otentik yang diturunkan Tuhan). Setelahnya membuktikan Rasul mana yang seharusnya dipercayai atau diimani.
Setelah pembuktian ketiga hal tadi maka segala sesuatu yang berkaitan tentang pengaturan kehidupan manusia, tata cara ibadah, surga dan neraka, tentang hari akhir dan hari sebelum manusia ada serta hal-hal gaib lainnya, tidaklah sepenuhnya disandarkan pada akal. Disini fungsi akal mulai dibatasi. Manusia hanya menyandarkan keimanan (kepercayaan) pada Tuhan, yang memberitakan informasi-informasi tersebut melalui kitab suci yang disampaikan rasulnya.

Dalam buku berjudul Epistemologi yang diterbitkan Lentera, Murtadha Muthaharri seorang martir revolusi Iran mencoba menggali apa yang salah yang ada di dalam ajaran Yahudi. Menurutnya kitab suci Yahudi telah diselewengkan sedemikian rupa. Dalam ajarannya, orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Tuhan menurunkan Adam dikarenakan Adam memakan buah pengetahuan (epistemologi) yang akan membawa dirinya pada kekekalan dan kecerdasan. Buah ini menurut Iblis dapat menjadikan Adam cerdas dan derajatnya sama menyerupakan Tuhan. Kisah ini berbeda dengan Quran. Didalam Quran Adam diturunkan dari Surga karena rencana Tuhan, juga karena ia melanggar kemanusiaannya. Dengan memakan buah, yang merupakan metafora kejahatan (buah iri dengki, buah keszaliman dan sebagainya). Adam diturunkan karena ia tidak menggunakan epistemologi atau pengetahuan yang telah diberikan-Nya untuk melihat kebenaran. Artinya Adam telah mengkhianati, menyalahi epistemologi/pengetahuan yang telah diberikan Tuhan.
Menurut Muthaharri kedua perbedaan antara kisah Adam antara kedua ajaran ini, sangat kentara. Yang satu, menganggap Adam diturunkan karena ketakutan Tuhan. Yang kedua, Adam diturunkan karena tidak memanfaatkan epistemologi/pengetahuan untuk menghindari kezaliman atas diri. Dalam buku-bukunya, Sartre mengidentikkan apa yang dilakukan oleh Adam dalam ajaran Yahudi sebenarnya selaras dengan yang dilakukan oleh Promoteheus dalam mitologi Yunani. Yang berusaha mencuri api perlambang kekuatan yang dimiliki Zeus di Olympus untuk manusia. Tetapi hal dalam ajaran Yahudi berbeda dan tidak bisa disamakan dengan ajaran diluar ajaran Yahudi (setidaknya Islam). Terus terang, saya belum pernah mengakses kitab Yahudi, jadi apa yang saya tulis di foot note ini berasal dari sumber kedua.

Ada baiknya anda membaca buku berkenaan dengan Quran, seperti :
Wawasan Quran, dan Membumikan Quran karangan Quraisy Shihab, VCD Harun Yahya (meski saya tak terlalu suka).

0 komentar:

be responsible with your comment