Spekulasi Bahasa Batin Tuhan

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
3

Akhir-akhir ini teman-teman saya sering berkomunikasi melalui dunia maya. Melalui dunia tanpa batas --yang katanya Tuhan pun tak memiliki otoritas disana--, mereka menuangkan pemikirannya dengan baik. Mereka mengembangkan pembicaraan; mencari celah yang menyegarkan saat teman chat tak tahu menahu lagi, apa yang musti diobrolkan. Mereka sanggup mencipta kata-kata bersayap hingga --sayapnya--dapat menerbangkan wanita yang ada di seberang sana. Lama-kelamaan, hubungan via dunia maya yang semula biasa disemikan oleh ikatan cinta (wuek! hoek!). Lama-kelamaan timbulah keinginan untuk mengetahui, siapa sih! yang menjadi kawan bicara. Bahkan, beberapa orang mulai berharap --jikalau yang dihubungi ternyata sesuai dengan kriteria-- mudah-mudahan si dia mau mendampinginya sampai tua bangka!

Hubungan pun berlanjut. Pertemuan direncanakan di satu kota. Ada yang menyengajakan diri untuk bertemu; ada pula yang menanti untuk ditemui. Alasanpun direka-reka. Yang sudah kerja bilang, bahwa mereka sedang melakukan negoisasi proyek jalan tol (kan gagah?! J); yang masih mahasiswa memiliki alasan klasik: berpura-pura mencari bahan skripsi; yang aktivis, mengisi seminar di UI; lainnya, menjenguk paman yang sakit kangker, atau mau ketemu teman lama yang sudah bekerja jadi Disc Jockey.

Pokoknya, alasannya harus selogis dan sekeren mungkin. Tidak mungkin kan, beralasan “Sekalian cari makanan kambing. Ngored jukut!” atau “Biasalah, aku kena penyakit turunan, impoten!, sambil memohon-mohon “Nanti anterin aku ya? Kan rumah kamu di samping klinik Ma Erot?” Mustahil toh?

Nah, sepersekian menit sebelum pertemuan dilangsungkan, teman-teman yang berharap menemukan pasangan hidupnya, bergaya habis-habisan. Entah berapa spion mobil yang ditekuk untuk meyakinkan: apakah rambut ini tertata rapih atau tidak; entah berapakali hidung dienduskan, hanya untuk memastikan: masihkan olesan parfum melekat di badan.

Sayang disayang setelah dipersiapkan, ternyata sewaktu pertemuan berlangsung, –kebanyakan-- lidah teman-teman meriang. Bahkan, beberapa orang yang saya ketahui --sangat-sangat-- pintar berbicara di depan forum, tiba-tiba kemampuan membangun kata-katanya hilang. Kemahirannya ber-retorika amblas. Seluruh persiapan yang sebelumnya matang di rencanakan hancur jadi rendaman Quacker Oats!. Kekaguman, --kala melihat wujud sempurna teman chatnya-- mengundang cinta untuk datang. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang sanggup mengendalikan diri?

Sebenarnya wajar jika kita menyaksikan hal itu (menyaksikan bagaimana yang pintar berubah menjadi bodoh dan yang percaya diri jadi minder), karena memang keadaan dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Di dalam dunia maya, seseorang dapat mengekspresikan dirinya tanpa dipengaruhi begitu banyak sisi psikologis yang sering mengacaukan setiap perjumpaan di dunia nyata, terlebih jika yang dibicarakan merupakan permasalahan cinta. Lagian, menyampaikan perwakilan bahasa batin mengenai cinta, memang bukan perkara mudah kok.

Manusia itu unik. Ada orang yang bisa mewakilkan bahasa batinnya --mendekati sempurna-- tetapi ia tidak bisa mewakilkannya melalui lisan di dunia nyata.

Sah saja!, jika akhirnya mereka memilih untuk menuliskan kecintaan pada seorang sahabat melalui aforisma yang direka-nya.

Kembali, saya bermurah hati memberi contoh. Saya pernah diperlihatkan tulisan --oleh teman yang tak begitu fasih berbicara-- mengenai persahabatan. Tetapi saat membuka file komputernya, tidak sengaja saya menemukan tulisan: ”sahabat adalah seseorang yang dapat mendengarkan nyanyian di dalam hati kita. Sahabat adalah orang yang tatkala kita lupa akan bait-baitnya, maka ia akan menyanyikan kembali untuk kita. Persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga. Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga Kita”. Menarik bukan?!

Adapula orang yang kurang terasah dalam mewakilkan bahasa batinnya menggunakan tulisan. Maka, ia memanfaatkan kelebihan lisannya melalui tatap muka di dunia nyata. Seorang propagandis sebuah partai politik, mengaku tidak memiliki kepandaian untuk mewakilkan bahasa batin --mengenai kerinduan pada isterinya-- menggunakan SMS. Ketika sampai di rumah, ia memanfaatkan kelebihan kemampuan lisannya. Lelaki itu merayu isterinya. “Istriku …ingin kugigit bibirmu yang kenyal seperti jelly menggunakan gerahamku!. Belahan hatiku… demi menjaga keseimbangan ekosistem semesta aku ingin menancapkan taringku dalam daging segarmu. Aku ingin menyobek dan menyegerakan menyantapmu!. Aku berkehendak mengunyahmu, hingga serpih remah-remah!. Jika kau pasrahkan dirimu untuk kujadikan mangsaku. Maka, relakan aku untuk menjadi PREDATORMU!”

Meski tidak sempurna, lelaki itu mampu mewakilkan bahasa batinnya dengan apik. Pesan keriduan langsung diterima oleh istrinya dengan baik. Cahaya lampu yang semula terang menjadi remang. Di kamar --yang diberkati, malaikat— itu, perjalanan malam menjadi panjang.

Bahasa Batin adalah Bahasa Paling Murni di Dunia ini

Cinta, kekaguman, kepasrahan, keihklasan, kerinduan dan seribu satu macam lainnya adalah sesuatu yang abstrak. Ia tidak bisa dilihat, ia tidak bisa ditakar. Karena volumenya demikian besar, ia tidak bisa ditampung oleh wadah yang terbuat dari gerabah apapun. Cinta, kekaguman, kepasrahan, keihklasan, kerinduan merupakan bahasa kalbu yang letak geografisnya entah di belahan tubuh bagian mana. Cinta, kekaguman, kepasrahan, keihklasan, kerinduan merupakan bahasa murni yang mengisyaratkan seluruh sengatan rasa yang berdomisili di diri kita. Bahasa batin tersebut melibatkan seluruh emosi, angan-angan, daya fikir --dan entah apa lagi. Sehingga, --wajar saja--ketika bahasa batin yang sakral berusaha diturunkan derajatnya melalui bahasa lisan, tulisan, dan gerak, maka makna yang ingin disampaikan menjadi kehilangan kapasitasnya.

Sampai disini, kita bisa membuat satu perumpamaan. Ibarat sebuah sungai, bahasa batin merupakan bahasa murni sebuah mata air pegunungan. Sedangkan, bahasa lisan, bahasa teks dan bahasa gerak merupakan bahasa --yang meski dikeluarkan dari mata air yang sama-- sudah hampir berada di muaranya. Kita sudah mengetahui bahwa perbedaan air yang ada di hulu dan muara, akan mengakibatkan perbedaan tingkat kesucian. Air yang berada di hulu pastilah memiliki kejernihan, sedangkan air yang sedang dalam perjalanan menuju muara pasti tercampur kotoran –yang menyebabkannya tidak higenis lagi.

Dari perumpamaan perjalanan air, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa ketika bahasa batin mengalir menuju muara, ia akan tercampur oleh ketidaksucian yang dipengaruhi oleh ketidakmampuan mengutarakan karena kurang terasah mengolah bahasa tubuh dan emosi atau pun kesempitan perbendaharaan kata yang dimiliki sebuah bahasa bangsa. Inilah ketidaksucian, yang dalam titik ekstrem --tragisnya-- dapat menyebabkan bahasa yang seharusnya menyehatkan jiwa menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi si penerima.

Tapi, apa daya? Untuk mewakilkan bahasa batin, manusia mutlak memerlukan perantara (tekstual, lisan, dan bahasa tubuh). Tanpanya, manusia tak mungkin mengkomunikasikan hasratnya yang terpendam. Tanpanya, bahasa batin seseorang tidak mungkin dipahami oleh orang lain.

Menafsirkan Bahasa Batin Tuhan

Menjadi rumit ketika manusia berusaha menafsirkan Al Quran menggunakan analogi bahasa batin antar sesama manusia, kemudian mengalihkannya pada interpretasi mengenai batin Tuhan.

Al Quran merupakan teks kitab suci yang diyakini kebenaran mutlak-nya oleh setiap muslim. Sampai di sini tidak terjadi masalah, tetapi ketika kita berbicara mengenai penafsiran, maka kita mulai menemukan perbedaan --yang saya nilai-- mengkhawatirkan.

Di kalangan Islam liberal, keberagaman interpretasi Al Quran diangap sah dalam keberagaman setiap kepala. Penafsiran Al-Quran kini tidak mesti disesuaikan dengan ketentuan yang sudah baku (ikut menyertakan sejarah turunnya ayat Quran & Hadist serta ijma sahabat). Penafsiran Al-Quran bisa dikembalikan pada masing-masing akal yang dimiliki manusia untuk menginterpretasikannya. Al Quran bisa ditafsirkan berdasarkan budaya setempat dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Bolehlah saya ceritakan mengenai pengalaman beberapa waktu lalu (mengenai kebebasan penafsiran Al Quran menggunakan akal bebas, tanpa menyandarkan pada aturan yang baku). Di bulan Ramadhan itu, seorang pengemis mendatangi angkutan kota yang kami tempati. Ia menyorongkan gelas plastik Mc Donald ke arah kami.

Hingga traffict light menyala hijau, tak ada satu orang pun yang ada di dalam angkutan memberikan uang. Di saat angkutan kota jurusan Dago-Kelapa --berjalan merayapi kemacetan, pembicaraan singkat terjadi. Seorang yang mengenakan kacamata tebal menuntut seorang temannya:

“Tuh kan!” sahutnya, “Untuk apa puasa ritual, kalau ngasih uang ke pengemis tadi aja gak mau? Untuk apa loe ngejalanin shalat ritual setiap hari, kalau gak mau ngasih tu anak!? Ngapain juga loe ngejalani ritual kalau puasa dan shalat sosial lu, kagak jalan!?1) He..he..he… mending kayak gua, anti ritual-
ritualan!!”

Temannya yang menggunakan kupluk hitam menjawab, “Goblog!!!, mendingan gua! Biar puasa sosial kagak jalan, alhamdulillah, puasa ritual gua jalan!! Biar shalat sosial gak jalan, tapi shalat ritual gua jalan! Lu rugi dua kali! Kan elu gak kasih uang saku sama tu anak!?” Pembicaraan terhenti. Di dalam angkutan kota itu, ada pening di dalam hening.

Sekarang, apa yang dimaksud dengan puasa ritual dan shalat ritual? Apa yang dimaknai sebagai puasa sosial serta shalat sosial yang dibicarakan kedua orang tadi? Yang dimaksud dengan puasa ritual adalah puasa senin-kamis, puasa daud, puasa nadzar, ataupun puasa ramadhan (dalam pengertian: berniat ibadah menahan lapar dan haus berdasarkan apa yang dicontohkan rasulullah). Sedangkan, puasa sosial adalah: menahan keinginan pribadi untuk menumpuk kekayaan --termasuk uang saku— kemudian meningkatkan kepedulian dengan menjalankan derma pada kaum papa.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan shalat ritual adalah shalat yang dimulai dengan niat, takbiratul ihram hingga mengucapkan wasalam. Sedangkan, yang dianggap shalat sosial adalah upaya mendekatkan diri pada Allah dengan bersikap sosial: menyantuni fakir miskin, anak yatim; menolong korban bencana; bersikap jujur; tidak korupsi; menyekolahkan orang yang tidak mampu dan lain sebagainya.

Pemuda berkacamata tebal menganggap bahwa shalat dan puasa ritual, tidak perlu dilakukan. Yang penting dalam kehidupan di dunia ini adalah menjalankan shalat dan puasa sosial. Ia berusaha memperlihatkan bahwa dirinya tidak terjebak oleh penafsiran tekstual –akan shalat dan puasa ritual-- yang umum dilakukan.

Saya berasumsi, bahwa –apa yang dilontarkan pemuda berekacamata tebal-- itu merupakan buah penafsiran dari usaha mempelajari bahasa batin manusia yang kemudian dikaitkan dengan perwakilan bahasa batin Tuhan melalui firman-Nya (Al Quran). Baiklah, kita akan mencoba mengikuti alur berfikir mengenai bahasa batin Tuhan.

Orang yang mempercayai-Nya, meyakini bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang Maha Mengagumkan termasuk kedahsyatan bahasa batin-Nya. Bahasa batin Tuhan adalah bahasa samuderanya alam semesta. Bahasa batin Tuhan adalah bahasa yang sangat menakjubkan keluasan jangkauannya. Dari pemahaman kemahakuasaan-Nya ---termasuk di dalamnya keluasan bahasa batin Tuhan--, disarikan kesimpulan bahwa mahluk yang diciptakan-Nya adalah mahluk yang memiliki keterbatasan. Karenanya, manusia tidak mungkin memiliki wadah yang mumpuni untuk memahami bahasa Tuhan yang demikian menyamudera, --kecuali sebagian kecil saja. Akhirnya, untuk menutupi ketidakmungkinan itu, maka satu-satunya cara Tuhan untuk mewakilkan bahasa batin-Nya ialah dengan melisankannya. Tuhan menyampaikan bahasa batin menggunakan firman-Nya –untuk—kemudian, dititipkan pada Jibril, yang bertugas: melafadzkan firman Tuhan pada Muhammad.

Otomatis, pelisanan itu mengakibatkan apa yang ingin disampaikan Tuhan pada Muhammad --melalui Jibril-- terkena distorsi! Karena, bahasa lisan-Nya tidak mungkin mewakili 100% bahasa batin-Nya (inilah analogi bahasa batin manusia yang ditarik pada bahasa batin Tuhan). Kalau kalian bertanya, “apakah terjadi distorsi, ketika Jibril menyampaikan lisan Tuhan pada Muhammad,?” Saya fikir tidak!, sebab Jibril bisa kita anggap sebagai tape recorder Tuhan. Tape recorder akan mengeluarkan seluruh isi rekaman lisan tanpa distorsi. Muhammad tinggal menghafalkan lisan Tuhan (Al Quran) melalui tape recorder bermerk Jibril. Barulah, setelah menghafal dari tape recorder, Muhammad menghafalkan Al Quran, untuk disampaikan pada manusia?

Dari sini muncul pertanyaan “Jika, ia tidak langsung bertemu dengan-Nya, Bagaimana Muhammad bisa mengerti keinginan Tuhan?” Muncullah anggapan bahwa atas petunjuk-Nyalah Muhammad melakukan spekulasi atas bahasa batin Tuhan. Dengan berpatokan pada firman dalam menjalankan kehidupan --yang nantinya akan dijadikan contoh untuk umat manusia hingga akhir zaman. Spekulasi adalah kunci untuk memahami kemunculan penafsiran akal bebas terhadap bahasa batin Tuhan (untuk menghantam penafsiran Quran yang baku).

Spekulasi atas bahasa batin Tuhan memunculkan pemikiran “Kenapa kita tidak berusaha menafsirkan sendiri apa yang Tuhan kehendakkan? Toh semua yang kita dapatkan mengenai tuntunan ibadah ritual seperti shalat dan puasa, merupakan spekulasi?” Dari ucapan itu, kita bisa memahami mengapa ada orang yang mengatakan bahwa “Tidak usahlah kita mengkaitkan firman Tuhan (Qur’an), dengan apa yang dilakukan Muhammad dalam keseharian”. Maka, dari kandungan pemikiran seperti itulah lahir konsep shalat dan puasa sosial.

Banyak konsep-konsep lain yang berasal dari penggunaan akal bebas untuk menafsirkan Al Quran. Salah satunya ialah sebagai berikut: Shalat adalah sebuah perintah Tuhan yang jika dilakukan dengan khusyu; yang jika dikerjakan dengan konsentrasi vertikal tinggi, maka manusia akan mendapatkan kedamaian di hatinya. Melalui pemahaman seperti itu, diambil kesimpulan bahwa substansi yang terpenting di dalam shalat dan --penyebab utama-- mengapa Tuhan menyuruh manusia untuk shalat adalah: agar manusia mendapatkan kedamaian.

Jika dalam kehidupan sehari-hari, manusia sudah mendapatkan kedamaian --dengan melakukan meditasi, yoga, relaksasi--, maka manusia tidak usah melakukan shalat ritual lagi!2). Menarik kan?!



Bedah Pemikiran

Penggunaan akal bebas untuk menafsirkan bahasa batin Tuhan yang diwakilkan oleh lisan-Nya (Al Quran) tanpa disertai landasan hadits, dan ijma sahabat, menjadi hal yang menarik untuk difikir dan dipraktikkan. Karena darinya, kita dapat mengembangkan aneka ragam filosofi mengenai sesuatu hal yang diperintahkan Tuhan.

Penggunaan penafsiran yang baku atau tekstual kini dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Sahabat-sahabat yang memiliki pemahaman seperti itu kemudian mencoba membuat satu konsep ke-islaman --yang disesuaikan dengan konteks kekinian dan kedisinian.

Sayangnya, --ketika berusaha memahami persoalan ini-- saya menjamah adanya ketimpangan dalam permainan logika mengenai spekulasi bahasa batin Tuhan --yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh saudara-saudara saya dari kalangan Islam Liberal. Apa yang akan dijawab –oleh orang-orang yang anti terhadap shalat ritual --yang kemudian mengembangkan filosofi mengenai shalat dan puasa sosial-- ketika saya bertanya:

“Apakah penafsiran bebas menggunakan akal bebas, tanpa landasan hadits dan ijma shahabat merupakan spekulasi terbaik? Bukankah spekulasi terbaik dalam mengetahui bahasa batin Tuhan adalah dengan mengikuti spekulasi orang yang pernah langsung bertemu dengan Jibril sang utusan? Manakah spekulasi yang paling aman dan mendekati kebenaran: spekulasi orang yang tidak pernah bertemu dengan Jibril atau mengikuti spekulasi orang (Muhammad) yang langsung bertemu dengan utusan Tuhan (Jibril). Bukankah spekulasi terbaik adalah spekulasi orang yang langsung dekat dengan sumber bahasa batin-Nya? Bukankah, spekulasi yang paling minim resikonya adalah spekulasi orang yang langsung dibimbing oleh Tuhan dengan tangan-Nya? melalui teguran dan arahan-Nya? Bukankah seharusnya kita mengikuti spekulasi orang yang dikatakan firman-Nya sebagai manusia yang berakhlak Qur’ani (ahlak firman)? Bukankah, seharusnya kita lebih memilih mengikuti akhlak firman-Nya (perilaku Muhammad), dibandingkan mengikuti ahlak orang-orang yang berspekulasi menggunakan akal bebas; dibandingkan dengan orang-orang yang tidak diberi jaminan kesucian tingkah lakunya? Maukah, kita yang --katanya-- mengerti bahasa batin ini konsisten dengan kebenaran permainan logika kita sendiri?”

Seandainya saya ikut-ikutan bersepekulasi3) mengenai bahasa batin Tuhan, maka saya akan tetap memilih untuk menjalankan shalat dan puasa ritual seperti pemuda berkupluk tadi. Karena, Muhammad pun melakukannya! Mengenai sedekah, saya menganggap bahwa hal tersebut merupakan hal yang juga harus dilakukan berdasarkan kadar kesanggupannya.

Di sini, saya ingin menekankan bahwa shalat ritual harus jalan! puasa ritual harus jalan! dan sedekahpun harus jalan!4). Shalat adalah shalat! puasa adalah puasa! dan membantu orang yang kesulitan (alias bersedekah) merupakan bagian dari ibadah yang harus pula ditunaikan!.

Saya menyesal kenapa dulu tidak ikut larut dalam pembicaraan kedua oang pemuda di angkutan kota itu. Seandainya saya ini octopus yang dapat menjungkir balikan bola-bola waktu, saya berniat kembali ke masa lalu –sekedar-- untuk mengatakan

“Saya fikir, anda tidak konsisten dengan ucapan anda. Berkenaan dengan shalat dan puasa sosial yang anda yakini”.

“Emangnya kenapa?” lelaki berkacamata tebal itu balik bertanya.

“Karena, satu!, anda tidak konsisten dengan makna shalat dan puasa sosial yang anda yakini, --sebab anda tidak ikut memberikan sedekah! Yang kedua, anda melecehkan orang yang giat melaksanakan shalat dan puasa ritual! Bukankah dengan melecehkan prinsip seseorang, berarti, anda menyakiti hatinya?! Bukankah menyakiti hati seseorang merupakan indikasi bahwa anda tidak memiliki kesadaran sosial karena dengan sengaja anda merusak hubungan sosial?! Sudah sepatutnya anda berwudlu kembali. Karena saya fikir, shalat dan puasa sosial anda telah batal!?

“…”

Sayang-disayang! Waktu itu, saya masih over hang. Ah, yang paling penting menjelang khataman tulisan ini, “apakah perwakilan kecintaan saya pada kalian sudah terwakilkan dengan adanya teks essay yang memusingkan ini?! Ah … sudahlah!. Pokonya, yang mengerti alhamdulillah; yang tidak mengerti … pura-pura sajalah! J.

-------------------------------
Contekan di Kaki si Didi (waktu ujian di telkom):

1) Ada orang yang menggunakan argumentasi ini, sebatas untuk menyindir orang yang shalat, dan puasanya tidak mendorong dia untuk melakukan sedekah. Tetapi ada orang yang menyindir hal ini --dikarenakan-- dia memang memiliki pemikiran bahwa shalat dan puasa ritual itu, tidak perlu. Dalam tulisan ini, si pemuda berkacamata memang memiliki pemahaman seperti itu.

2)Penafsiran terhadap kehendak Tuhan seperti itu, ditentang oleh kelompok Islam yang konsisten dengan penafsiran tekstual yang menganggap bahwa shalat ritual mutlak harus dilaksanakan seperti yang Muhammad lakukan. Di kalangan Islam tekstual (termasuk saya) kedamaian setelah melaksanakan shalat bukanlah tujuan –pelaksanaan shalat—melainkan merupakan hikmah. Hikmah adalah sesuatu kebaikan yang ada dibalik ketaatan terhadap pelaksanaan perintah-Nya (salah satunya: gerakan shalat spt yang dilakukan Muhammad). Tujuan dari shalat adalah mentaati perintah Tuhan.

Oh ya, saya takut kalian mengambil kesimpulan bahwa Islam Liberal tidak shalat. Maka, harus difahami bahwa dikalangan Islam Liberalpun banyak orang yang melaksanakan shalat ritual. Didalam Islam liberalpun terdapat banyak pemahaman. Dan Apa yang saya utarakan hanyalah contoh bagaimana salah seorang yang berusaha menafsirkan Al Quran --menggunakan akal bebasnya--, menyimpulkan, bahwa yang sebenarnya harus dilakukan oleh kita: adalah shalat dan puasa sosial saja.
3)saya yang meg-imani bahwa apa yang dilakukan Muhammad bukan spekulasi (tapi belum bisa membuktikan, saya jujur kan? J)
4) Mengapa saya waktu itu tidak sedekah? Bagaimana mau sedekah sedangkan waktu itu, makan pun susah?Tabungan saya habis sementara uang bulanan belum sampai. Apakah ini sekedar pembenaran yang licik. Atau memang, saya berniat membongkar rahasia keuangan?


3 komentar:

  1. Anonim says:

    Panjangnya.. tapi bagus...

  1. divan says:

    kalau pendek kayaknya lebih bagus

  1. patihsa says:

    Kang.. izin copas ya..
    buat nambah2 tulisan di blog ane yang masih miskin perabotan..
    tulisan yang ini keren soalnya..
    mampirlah kalo lagi ada banyak waktu..
    tks..
    :)

be responsible with your comment