Immortal

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

(tentang jihad)

Kematian, adalah sesuatu yang membuat kita berlari-berlari-berlari sampai tidak sadar, bahwa satu saat kita akan tersandung batu, aduh! dan batu itu merupakan umur penghabisan kita.

Sejauh mana manusia lari, entah ke Antartika atau Sedna, kematian akan mendatangi dan mengepung kemudian masuk merogoh nafas kita yang tersisa. Oleh karenanya janganlah bercita-cita hidup selamanya di dunia (seperti highlander misalnya) karena mustahil banget terjadinya. Bercita-citalah untuk mati, sebab entah bagaimana keadaannya, kere atau kaya, pintar atau bloon, lugu atau begajulan, cita-cita itu bakal kesampaian. Percaya.... Tapi masalahnya mati yang bagaimana?

Kadang, pertanyaan yang terkesan standar macam begitu sulit untuk dijawab. Bukan apa-apa selain karena pertanyaan standar menyangkut kematian, senantiasa butuh perenungan yang otomatis perlu jawaban.

Secara pribadi saya sudah menjawab, bahkan menentukan (atau lebih tepatnya mengangan-angankan) saya mati ketika saya mengalami pubertas ke-dua.

Seorang teman kuliah bertanya, “Kok pengen mati di umur semuda itu?”

Saya jawab sekenanya, “Ya pengen. Supaya wajah saya selalu tampak muda.”

Teman saya kebingungan.

“Dalam ingatan!” kata saya menjelaskan.

Sebenarnya, terus terang saja. Alasan pengen mati muda --dalam bayangan itu--, bukan seperti yang saya katakan pada teman yang motonya muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga itu.

Bukan, bukan yang selucu itu. Kematian yang selalu diinginkan adalah kematian ketika pikiran saya berada dalam puncak kedewasaan. Sekitar umur empat puluhan.

Saat itu saya berharap dikasih kesempatan, berhadapan dengan helikopter Apache (yang mungkin di tahun 2020 sudah kuno). Saat pilotnya menekan tombol pelepas rudal, saya bidik dan lepaskan peluru RPG. “Bum!” Hancurlah helikopter dan cerailah kontrak pernikahan hidup saya dengan dunia.

Kalau saat itu utang saya lunas, niat saya ikhlas untuk yang di Atas, dan ninggalin keluarga bukan untuk lari dari permasalahan dunia, maka jasad saya yang nantinya jadi serpih remah-remah mudah-mudahan dimandikan malaikat. Ciluk ba! Horey saya ketemu om Ridwan.

Saya pengen syahid. Kenapa? Ceritanya panjang.

Saya pernah berbincang dengan garwa2 saya. Jam sepuluh malam itu, saya dan dia seperti biasa asyik bicarakan macam-macam hal: tentang ngupil bisa buat nikmat; kenapa aransemen Paint the Sky-nya Enya bisa buat tenang jiwa; kenapa dan aneka macam kenapa lainnya sampai nggak tau awalnya gimana, saya dan dia, tiba-tiba bicarakan sebuah padang, dimana seluruh amal perbuatan sekecil tablet hisap vitamin c sampai sebesar pegunungan Cartenz Pyramida bakal dikalkulasikan.

Saya bilang padanya, kalau saya tidak takut dengan masa ketika saya nanti berada di sana. Dengan yakin saya kayakan padanya, “Biar banyak dosa, saya bakal masuk surga!”

Seperti biasa. Karena tipikalnya mirip orang Surabaya, statement saya langsung di caplok, “Yakin amat?!”

“Mesti yakin dong!” kata saya sok gagah, “Keyakinan itu doa! Keyakinan itu pertanda kalau kita berbaik sangka sama Yang ciptakan manusia.”

Dia diam. Setelah cukup lama, ganti saya yang bertanya.

“Tau orang yang paling pengecut sedunia nggak?”

Sambil nyecap teh panas di gelas kalengnya, dia gelengkan kepala.

“Orang yang paling pengecut itu orang yang punya anggapan kalau jihad fisik nggak perlu! ‘Yang penting nahan hawa nafsu.’ Kalau ada cowok yang begitu, berarti cowok itu looser,” entah kenapa malam itu saya jadi emosional apalagi pas sok-sokan ucapkan,“Saya mau mati saat perang! Fisabilillah! Dan pas waktunya tiba, De tinggal di rumah. Jaga anak. Beri mereka pemahaman yang baik!”

“Saya nggak mau ditinggalin!Saya mau ikut!” dia merajuk.

“Ah cewek di rumah aja! Kalau saya mati, cari suami yang baik. Nanti saya kasih surat wasiat supaya De nikah lagi ma si ...”

Belum sempat beritahu siapa yang bakal jadi pengganti saya, dia marah, “Nggak mau!”

Saya ketawa, “Saya punya impian besar jadi syuhada di medan perang. Saya mau kasih syafaat ke empat puluh orang. Dan kamu” saya tunjuk dia, “ termasuk salah satu diantaranya.” dia masih denger lanturan saya yang kemana-mana, “Gimana rasanya dihisab di padang Mahsyar ya?”

Dia senyum, “Perbandingannya gampang. Kalau nunggu hasil UMPTN aja hati kita kelimpungan, apalagi kalau kita nunggu penghisaban? Nunggu hasil kita bakal dicemplungin ke neraka atau masukin ke surga. Pasti deg-degan!”

“Kalau bayangin malaikat ngelempar muka pake buku kejahatan, apalagi kalau nyerahinnya pake kaki, pake nendang segala, serem juga”

Sahabat saya diam. “De’?”.

“Ya?.”

“Nanti, kalau di padang Mahsyar kita ketemuan. Di sana saya bakal jemput De”

“Gimana cara jemputnya?”

“Gak usah dipikirin. Pokoknya skenarionya gini: pas orang-orang lagi stress dihisab, diem-diem saya jemput De’. Di sana … di tempat orang lain lagi bingung, kita tamasya. Kita mancing ikan, atau buat rakit supaya bisa ke tengah telaga Kautsar.” De diam, “Mau gak?”

De’ mengangguk,

”Aa?”

“Ya?”

“Kalau udah di surga jangan lupain De’ ya?”

“Masa lupa? Pokonya, nanti pas ada panggilan untuk segera masuk surga, saya tengokin kepala, kasih isyarat, ajak De’ masuk surga sama-sama. Disana kita gandengan tangan sambil ngegaya kayak Charlie Chaplin. Kita teriakin orang-orang, termasuk ke si Chibi, sama sahabat De’ yang lagi jongkok nunggu antrian. Woiiiiii … Liat nih! … Cihuy! … Cihuy! …. Masuk surga oy!”

“Aa’?”

“Ya?”

“Kayaknya si Chibi bakal sirik!”

“Pasti!”

Dan, jam sepuluh malam itu mata kami berkaca-kaca.

Jadi! Inti ceritanya, saya punya cita-cira mati dalam jihad, dapat tiket masuk surga tanpa tes, dan sewaktu masuk padang Mahsyar, saya bisa dapet ‘dispensasi’ buat ajak De’ mancing di telaga Kautsar.

O, mengerikan. O, mengkhawatirkan. Mungkin itu yang dikatakan orang ketika saya bicarakan kematian dan jihad berulang kali dalam tulisan ini. Ada apa dengan diri saya? Apakah saya psikopat? Apa karna hal ini mama dan papa perlu periksakan anaknya ke klinik psikologi yang terkenal di seantero Daerah Istimewa Yogyakarta?

Hei! jangan anggap orang yang berkeinginan untuk jihad itu gila. Kalau saya dianggap gila, beranikahkah katakan gila kepada manusia yang menghabiskan masa kenabiannya dengan memimpin puluhan kali jihad?

Yeah, saat ini orang-orang banyak yang anggap jihad itu konsep ala fasis yang menyeramkan. Jihad adalah tindakan bar-bar. Dan saya faham jika jihad dalam konsep perang tengah didekonstrusi menggunakan disiplin hermeuneutika.

Beberapa orang dari kalangan Islam ‘protestan’ berkata bahwa konsep jihad jangan diartikan secara tekstual. Jihad itu segala sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh di jalan Allah. Jihad itu bukan hanya perang, “Lagipula Rasulullah pernah bilang kalau jihad yang paling besar itu, adalah melawan hawa nafsu.”

Pemikiran untuk memutarkan konsep jihad mengangkat senjata, menjadi jihad “menahan hawa nafsu” kini diangkat media massa yang mensupport gerakan liberalisasi Islam bertepatan ketika umat Islam tidak tahan melihat genocide saudara-saudaranya di Bosnia, Poso, Ambon, Afghanistan maupun Irak.

Karena media massa memiliki kekuatan untuk membentuk opini, tak jarang ulama-ulama dan ustadz-udtadz ikut terkena imbasnya. Terkadang mereka mengatakan,

“Tak usahlah mengangkat senjata! Kita berjihad semampunya! Belajar sungguh-sungguh adalah jihad bagi pelajar! Berusaha yang keras dalam mencari nafkah adalah jihad bagi para suami untuk menghidupi istri dan keluarga! Jangan mengartikan semata-mata jihad itu berperang. Bukankah setelah pergi berperang, Rasulullah berkata bahwa jihad terbesar adalah jihad menahan hawa nafsu! Jadi, yang harus dilakukan saat ini adalah mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu!”

Tentu kita tidak bisa menafikan pemahaman lain mengenai jihad diluar berperang, namun konsep jihad yang dikatakan ulama dan media massa itu ada salahnya.

Memisahkan jihad berperang dengan jihad menahan nafsu adalah sebuah kekeliruan besar. Ekstrem-ekstremnya kita bisa berkata

“Emangnya nahan hawa nafsu itu cuma nahan libido supaya nggak muncratin cairan semen ke pacar atau cewek yang mangkal di lokalisasi prostitusi? Emangnya nahan hawa nafsu itu cuma nahan keinginan untuk togel dan korupsi?”

Pertanyaan lain dalam hal ini, “Apa Rasulullah dan sahabatnya menghentikan perang setelah ucapkan: jihad terbesar adalah jihad menahan hawa nafsu? Tentu tidak di sana maksudnya.

Menahan hawa nafsu itu meliputi banyak hal. Menahan diri untuk tidak mencuri. Menahan diri untuk tidak dengki dan iri hati. Menahan hawa nafsu untuk tidak berangkat seandainya, seruan jihad mengangkat senjata berkumandang adalah sebentuk jihad juga, yang tidak perlu dipisahkan.

Dampaknya besar jika pemisahan dilakukan. Orang-orang yang semula ingin mengangkat senjata akan berfikir dua kali karena dalam pandangan mereka, jihad melawan ‘hawa nafsu’ dianggap “lebih besar” ketimbang jihad mengangkat senjata.

Kalau maunya begitu bagaimana dengan nasib ratusan wanita yang dipenjara dan diperkosa ramai-ramai dipenjara Jaslik? Bagaimana dengan nasib bayi-bayi, dan anak-anak Palestina dan Iraq saat di bombardir oleh militer Amerika, dan Zionis Israel? Bagaimana perasaan saudara-saudari kita yang ditindas saat mengetahui pikiran kita mengalihkan upaya untuk menolong mereka? Bagaimana jika dunia dibalik: keluarga kita ditindas, ibu tercinta kita dicungkil matanya, istri kita yang sedang hamil diperkosa, perutnya di belah, dicacah-cacah. Lalu, ketika meminta pertolongan pada orang yang mengaku saudara, eh, yang dimintai tolong malah bilang:

“Jihad yang paling pol diantara yang pol adalah melawan hawa nafsu! Bekerja dan belajar yang sungguh-sungguh, adalah jihadnya pelajar dan mahasiswa!! Berusaha yang keras dalam mencari nafkah, adalah jihad bagi para suami untuk menghidupi istri dan keluarganya.”

Apa nggak keselek?

Pemikiran lah yang menggerakan seorang manusia. Jika dalam fikiran, seseorang meyakini bahwa jihad mengangkat senjata itu tidak perlu, maka dia tidak akan bergerak. Ia bahkan tidak mau sekedar-berucap, untuk mendukung orang yang berangkat menunaikannya. Dan betapa menyedihan manakala saya melihat permainan media merasuki pikiran kita. Dalam diskusi kecil di sebuah kampus, seorang mahasiswa pernah berkata:

“Takdir manusia sudah ditentukan Tuhan dalam wilayah kematian. Manusia sudah terdaftar kapan waktunya meninggalkan dunia ataupun berangkat menuju alam baka. Orang banyak menganggap bahwa kemenangan dalam peperangan, ditentukan dari berapa banyak, jumlah orang yang dimatikan atau dikalahkan. Jika seperti itu kejadiannya maka sesungguhnya kemenangan dan kekalahan sudah ditentukan. Lantas, jika kemenangan dan kekalahan sudah ditentukan, untuk apa kita berangkat berperang?” s

Ia bukan bertanya. Ia mempertanyakan sesuatu yang sudah diyakininya. Saya pikir, pemikiran seperti itu bukan saja menghambat dirinya, melainkan membuat orang-orang menjadi ragu, untuk ikut atau mendukung orang-orang yang hendak berperang demi kemanusiaan.

Demi Allah, saya masih meyakini diantara kita masih terdapat orang-orang yang menganggap, bahwa di sisi Tuhannya kemenangan adalah sebuah usaha memperjuangkan kebenaran! Jika dalam peperangan itu tumpas, maka ia akan berpora dengan menyenandungkan stanza:

Jika badanku Tiran tumbangkan!
aku tidak merasa kalah!,
Karena kalahku bukan dalam kejahatan
Melainkan dalam ruang kebenaran
Akulah pengembara kesejatian IMMORTAL,
meski dalam kesunyian
***

Hwarakadah! Sudah berapa lembar saya mengetik? Satu? Dua atau empat halaman? Ahm, sebaiknya saya hentikan saja ya. Namun sebelum semuanya berakhir, ada baiknya saya sempilkan sebuah kisah.

Konon, Stalingrad pernah menjadi saksi bagaimana seorang lelaki berdiri, menyerukan pemberontakan terhadap Tsar Nicolas. Di lapangan kota itu, seorang lelaki bernama Illich Ullyanov --yang kemudian dikenal dengan sebutan Lenin- berdiri untuk membakar amarah ribuan massa yang kelaparan. Menggunakan pidato politiknya ia mengagitasi bahwa rakyat Rusia harus memenangkan pertarungan antar kelas untuk keluar dari penderitaan yang menindas. “Kemenangan rakyat adalah kehancuran Tsar!” teriak Lenin berapi-api, “dan kehancuran Tsar berarti kehancuran mata rantai kapitalisme oleh komunisme! Kita disini berkumpul untuk memajukan Rusia dan menjadikannya sebagai sinar peradaban yang akan memunculkan masa ketika semua manusia diperlakukan sama! Karenanya, revolusi harus terjadi. Sekarang! Dan saat ini!”

Pada saat seru menyeru terjadi, di antara kerumunan seseorang mengacungkan telunjuknya.

“Jika kami berhasil meruntuhkan Tsar, rakyat akan jaya?”

“Benar!”

“Lantas, sebaliknya. Apa yang partai janjikan jika rakyat tumpas dan mati dibantai Tsar?”

Mendengar pertanyaan itu Lenin bungkam. Ia tidak bisa menjanjikan apa-apa, karena dalam pandangan partai komunis yang dipimpinnya, manusia mati hanya akan menjadi materi. Tidak ada surga dan neraka. Yang ada hanya materi. Ia tidak bisa menjanjikan apa-apa.

Seribu tigaratus tahun yang lalu, kejadiannya berbeda. Seeorang lelaki dari trah Ismail yang mulia tidak merasa kebingungan sepertihalnya Lenin. Di bawah angkasa Arabia, lelaki yang sosoknya dikatakan sejarawan Thomas Carlyl sebagai the great man who always act like a thunder, berkata di bawah bendera pasukan perangnya.

Ia menjanjikan kemuliaan jika tigaratus-an orang yang mengikuti perang di dataran Badar untuk hidup dan memenangkan perang melawan kaum jahiliah yang despotik dan tiran.

Jika peserta perang Badar meninggal dunia maka ia akan menjadi syuhada. Bukan hanya gelar itu saja. Surga yang berisi bidadari bermata elok, taman-taman yang dialiri sungai, buah-buahan nan segar, serta berbagai macam kenikmatan abadi lain akan menjadi balasannya.

Janji Pencipta melalui manusia mulia itu melegenda dan dimonumenkan oleh sejarah manusia. Janji itu menjadi api yang menjadikan setiap muslim yang memahami sirah nabawiahnya berbondong-bondong maju ke medan perang dengan suka cita. Mereka bercita-cita mati untuk menjadi syuhada (karenanya cara berperang mereka tidak seperti orang yang mencari kehidupan di alam yang fana).

Kecintaan akan kematian untuk menjadi syuhada itulah yang membuat Islam ditakuti sekaligus dikagumi oleh pasukan manapun yang ada dunia. Kecintaan akan kematian untuk menjadi syuhada itulah yang menjadikan Persia bukan saja dipukul mundur, melainkan dikalahkan oleh pasukan berani mati yang benar-benar mencari mati di siang dan malam hari. Kecintaan akan kematian itulah yang menyebabkan dinding Konstantinopel setebal belasan meter dirobohkan, kemudian Byzantium di taklukan. Kecintaan akan kematian itulah yang mendorong ratusan ribu orang berjalan dari Baghdad menuju Amuriyah untuk membuktikan ancaman Khalifah Mu’tasim Billah “Aku akan mengirimkan pasukan yang kepalanya ada di Amuriyah, sementara ekornya masih berada di Baghdad!” manakala seorang muslimah dizalimi oleh penguasa Romawi. Kecintaan akan kematian itulah yang menjadikan Ain Jalut sebagai saksi dipukul mundurnya pasukan barbarian Mongolia yang mengguncangkan dunia. Kecintaan akan kematian itulah yang menjadikan negeri-negeri kaum muslimin tidak pernah tunduk di bawah kezaliman imperialis dari sejak kolonialisasi Aceh oleh Belanda, hingga perjuangan muslim Moro dan intifada Palestina yang melegenda.

Kini ketika teknologi komunikasi mutakhir telah menjadikan setiap etnies dan ras manusia menjadi "publik dunia”, Amerika selaku negara adidaya memanfaatkannya menyetir opini dunia. Kini setelah keruntuhan Soviet, Islam dianggap sebagai ancaman terbesar.

Amerika dan sekutunya mulai melihat bahwa jihad merupakan pemahaman yang mengacaukan kepentingan. Jihadlah yang dianggap menyebabkan umat Islam di berbagai negeri melakukan resistensi terhadap kepentingan terselubung mereka. Maka sejak saat itulah propaganda menyetir publik dunia dimulai.

Jihad diabelisasi sedemikian rupa. Jihad didekatkan dengan aktivitas teror, dan pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah untuk meraih tujuan: menciptakan ketakutan. Jihad dilekatkan dengan aktivitas brutal yang tidak berpihak pada kemanusiaan.

Adab-adab jihad yang sesungguhnya memanusiakan manusia, serta tujuan jihad yang sebenarnya yakni tegaknya Islam yang akan memelihara kehidupan dan membebaskan manusia dari penindasan, berusaha dinafikan. Akibatnya kentara. Umat Islam, di satu negeri-dengan negeri lainnya tidak lagi menyala saat saudaranya dipadamkan. Umat Islam amnesia.

Silahkan. Manusia boleh membuat makar, menggunakan strategi canggih yang memanfaatkan propaganda dan ideologi kata untuk menghancurkan keyakinan kita! Tetapi siapakah yang lebih besar makarnya, Allah kah atau manusia?!

Saat ini saya melihat api kemuliaan --yang semula-- hanya dikemukakan di sudut-sudut kampus, lorong-lorong masjid dan dibawah pohon yang rindang mulai tersebar. Api kembali menyala, menggunakan sumbu kata-kata. Stiker “Hidup mulia atau mati syahid”, kini dicetak dan ditempel di dalam agenda para pemuda, di atas speedometer NSR, di kaca depan kijang Inova hingga pintu jati, rumah bergaya eropa mediterania.

Lantas, kapan kata-kata itu memasuki kesadaran kita?

Kapan api kemuliaan itu, membakar aliran darah serta menyalakan fikiran dan hati kita?!

Benar-benar terahir. Saya mau ngajak kamu semua.

“Ngajak apa?”

“Ngajak mancing di telaga Kautsar yang ada di padang Mahsyar. Mau ikut nggak?”

“Nggak mau!”

“Kok gitu?”

“Iyalah! Saya nggak mau diajak! Saya maunya ngajak! Lagian saya nggak mau mancing.”

“Terus ngapain?”

“MOTAS! 1)

---------------------------
1) Pent, Sunda: menangkap ikan dengan cara di racun (agar hasilnya berlimpah)

0 komentar:

be responsible with your comment