Buried Alive

Posted: Kamis, 24 April 2008 by Divan Semesta in Label:
2

TULISAN ekstrimis tertera di topinya. Photo hitam putih itu nampak membanggakan bagi keturunannya, terutama saya. Mat kancil julukannya. Seorang kakek yang hingga saat ini hidupnya nampak misterius, bahkan di mata keluarga dan anak-anaknya. Kehidupan pribadi Mat Kancil nampak tenggelam di hadapan kisah luar biasa yang sering diceritakan rekan-rekannya yang masih hidup.

Kisah-kisah yang diceritakan nampaknya ada yang berupa mitos, ada pula yang benar-benar terjadi karena cerita diperkuat oleh banyak orang yang menceritakannya. Yang berhubungan dengan mitos, ialah bagaimana kakek sampai di pulau Jawa. Konon ia menggunakan rakit kayu (seperti getek) bersama tiga orang temannya. Di tengah lautan dua orang temannya mati (entah karena apa). Karena ditengah lautan tidak ada makanan, kakek memakan tubuh dua orang temannya, nyaem. Alasan mengapa dia sampai pergi ke pulau Jawa, pun menjadi teka-teki. Ada yang bilang, kepergiannya untuk hindari polisi Belanda karena dia menikam seorang aparat sampai mati.

Meski di dunia ini apa pun bisa terjadi, saya tetap tak begitu mempercayai kisah tersebut. Dengan alasan yang sangat pribadi, dia yang menceritakan kisah kakek saya fikir tidak pantas dipercaya. Yang menceritakan sering ke-gep melebih-lebihkan cerita yang didengar dan dialami. Lain dengan cerita ini.

“Kakekmu pemberani,” katanya, teman seperjuangan kakek kalem, “sewaktu pasukan kami (Siliwangi) di hadang sungai deras, kakekmu itu ambil tali. Seperti ikan ia berenang, tambatkan tali yang dibawanya di pohon raksasa dekat sungai.”

Di sumatera selatan, terutama di Lintang lelaki diajar berenang di sungai berarus deras sejak kecil. Mereka melawan arus, melompat dari jembatan darurat belasan meter, menyelam mencari ikan dan udang adalah kegiatan keseharian mereka disamping berkebun dan memburu babi. Jadi wajar kalau di dalam air kakek bisa berenang sehebat kecebong atau biawak air.

“Dia dikagumi oleh anak buahnya.”

“Bisa begitu?” tanya saya.

“Pada suatu pertempuran,” teman kakek mulai melantur kemana-mana, ”kami lihat kakekmu berada di front. Di tengah hujan peluru kakekmu merunduk-runduk, lari menuju pasukan Belanda. Ia menyusup. Tak lama kemudian ia keluar dari front Belanda melarikan bahan makanan di punggungnya. Makanan itu ia bagikan untuk anak buahnya yang kelaparan. Kakekmu cukup gila!”

Saya todong teman kakek untuk terus cerita, katanya begini.

“Pernah pula, kakemu dipanggil pejabat militer untuk diberi kenaikan pangkat dan uang. Seandainya pangkat dan gaji anak buah yang ikut bertempur dengannya dulu tidak dinaikan, ia tidak mau nerima. Ia menolak!”

Mendengar cerita veteran perang tentang kakek membuat saya bangga. Ternyata saya keturunan pejuang. Keturunan dari seorang lelaki yang miliki solidaritas tinggi, lelaki yang mau angkat senjata hengkangkan kolonialisme Belanda, lelaki yang senantiasa memenuhi hak masyarakat atas tanah air yang sudah dirampas, hak manusia untuk menjadi individu yang setara dihadapan mental inlander dan tuannya yang berasal negerinya Wilhelmina. Betapa bangganya.

Berpikir ke zaman sekarang, bagaimana rasanya jika kakek masih hidup kemudia dia menyaksikan negeri yang ia ikut sumbang saham kemerdekaannya ternyata di jajah bangsanya sendiri, komoditi sumberdaya alamnya di lokalisir untuk kepentingan anak cucu pejabat dan don corleonnya nya pejabat, bagaimana rakyat yang dulu di hinadinakan karena kebodohan yang di tanamkan kolonial, kini dibodohi oleh mafia peradilan, di tipu untuk membayar hutang yang tidak pernah dilakukan (hutang yang seharusnya ditanggung para bangkir). Kakek saya pasti sedih, belum lagi kakek-kakek kalian yang ikut diterjunkan di pedalaman waktu membebaskan Papua, waktu melakukan pertempuran dengan pasukan jenderal Malaby. Kakekku dan kakekmu berusaha rebut hak yang rakyat yang dirampas.

Bayangkan jadinya jika mereka tidak menuntut, tidak berjuang karena memaafkan kelakuan sok mandor kolonialis Belanda? Memaafkan hak-hak yang telah dirampas sementara sesuatu yang dirampas tetap ada di tangan si perampas, memaafkan kelaliman seseorang yang dilakukan selama tigapuluh dua tahun atas pembantaian Tanjung Priok, Lampung, atas perjanjian yang dilakukan dengan lintah darat IMF, Free Port, World Bank, atas birokrasi yang disulap menjadi fasilitator bisnis raksasa keluarganya, atas intimidasi keputusan bernama NKKBKK, memaafkan seribu anggota MPR, DPR atas kejahatan birokrasi, korupsi yang menjijikan, serta ribuan kasus yang terkait dengannya. Bayangkan?

Kalau memaafkan akan menyelesaikan semuanya, kalau maaf akan tuntaskan rasa perih, rasa linunya kesakitan antar generasi, kalau maaf akan hilangkan himpitan dan kembalikan nyawa yang sudah ditumpas, maka tidak akan ada ada perjuangan rakyat China untuk bebaskan diri dari kolonialisme Inggris, maka tidak akan ada longmarch Mahatma untuk bebaskan masyarakat India dari pajak garam yang mencekik, tidak akan muncul Tan Malaka yang memilih bunuh diri kelas dan tinggalkan penghasilannya sebagai petinggi perkebunan di Deli, tidak akan Trotsky menemui Frida Kahlo di Meksiko, maka tidak akan ada kematian Munir karena boleh jadi, Munir hanya akan hidup santai menjadi PNS, atau pegawai bank. Maka … tidak akan ada Mat Kancil, kakek dan veteran perang yang perjuangkan hak kolektif (yang berarti juga memperjuangkan haknya sebagai seorang pribadi). Tidak akan ada perjuangan jika seluruh masalah diselesaikan dengan maaf dan pengampunan.

Andai kakek masih bisa bicara, dia akan panggil saya, “Kakek, kami yang reot ini tinggal menunggu waktu yang tersisa,” ia mengepul asap. ”Nak, hidup ini seperti permainan estafet. Jika dulu kami berlari, sekarang giliranmu!”

“Saya tidak yakin sanggup Kek.”

“Kalau ditanya sanggup atau tidak, pasti tidak ada yang sanggup karena jalan yang kami, dan jalan yang nantinya harus kau pilih memang jalan bara. Kau kenal Iqbal?“

“Tentu kenal Kek.”

“Bagus untukmu! Kau mengenalnya dan kau pasti pernah dengar bahwa hidup yang paling indah adalah hidup yang selalu menginjak bara. Kami telah menginjak bara itu.”

“Tapi sakit kek!”

“Jangan manja. Kau harus menahannya.”

“Aku mau jadi orang biasa saja!”

“Jangan!” katanya sambil berpura-pura menyundut bara rokok di pahaku, “kalau kau mengambil jalan biasa, aku … kakekmu ini bakal malu. Kau tidak punya pilihan. Kau keturunanku. Orang lain boleh begitu, tapi kau tidak! Pilihan berjalan di atas bara, di jalan terjal, di titian ‘Dela Rosa’ bukan hanya akan membuatku bangga, tapi membuat sesuatu yang indah itu bangga.”

“Siapa yang indah itu Kek?”

“Tuhan … Allah yang setiap hari kau sembah!”

2 komentar:

  1. Anonim says:

    “Jangan manja. Kau harus menahannya.”
    hmmm...asik, moga kita tdak hanya mampu untuk menahan tapi juga mampu untuk menyerang!

    kyak katanya orang jenius yang hancur karena kejeniussannya dalam rumah sakit jiwa, yakni Nietzche yang mengatakan “Percayalah padaku; rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlich)”
    he..he.. kang jangan dimarahi ya kang klo saya memetik kata2 orang aneh itu..saya kan nyampeinnya pada orang yang dah paham pisau analisis islam.

  1. Pergilah! ayo! ayo bangun rumah di bawah magma Vesuvius! Ayo cintailah hidup! cintailah maha bahaya! (Itu kata orang gila juga :)

be responsible with your comment