Adil Sejak Dalam Pikiran

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
2

Kebahagiaan.
Apa itu?
Siapa yang bisa menentukan kebahagiaan itu kayak gimana?
Kamu bisa?.
Mungkin saja.

Katanya kebahagian itu kalau kita punya uang seratusan dolar satu gerobak, dan yang dorongnya ceweq-ceweq seksi macam Mulan Ratu. Tapi, siapa yang jamin kebahagiaan itu begitu?. Bagaimana kalau kita lihat perkataannya Rumi:

“Seandainya kamu memiliki ribuan kepingan uang emas, Kemudian kamu pergi membawa kepingan uang emas itu, menggembolnya ke dalam hutan sementara kamu tidak membawa makanan, apa kamu bakal memakan kepingan-kepingan uang itu seandainya kamu lapar?.”

Kemudian saya bertanya, lalu kebahagiaan itu apa?.
Jangan-jangan kebahagiaan itu, punya banyak makanan.
Ternyata nggak juga. Banyak orang yang memiliki makanan, tapi hidupnya resah, gelisah. Jiwanya seperti berada di balik jeruji. Hidupnya seperti terpenjara.

Saya sendiri bingung, untuk mendefinisikan kebahagiaan itu apa.
Kemudian saya baca lirik-liriknya penyair Persia bernama Saadi. Dia berkata

“Aku menangis karena aku tak memiliki sepatu dan aku berhenti menangis, saat aku melihat orang yang tak memiliki kaki.

Apa kebahagiaan itu ada manakala kita menggunakan kaus kaki dan memiliki sepatu atau manakala kita memiliki kaki?.
Rasanya tidak. Banyak orang yang punya kaki juga nggak bahagia.

Lalu Saya berfikir. Dulu saya sering sekali naik mobil pribadi meski mobil pribadi itu milik bapa. Sekarang waktu niat ngembara, saya tidak memiliki kendaraan pribadi. Motor tidak. Sepeda tidak, bahkan kuda pun tidak. Saya seringnya jalan kaki dengan adik saya dari kontrakan menuju toko buku yang kami buat bersama.

Satu waktu saya cape. Saya sudah gak kuat lagi jalan jauh. Begitu pula dengan dia. Akhirnya, pas toko tutup, saya setop itu angkot. Dan di dalam colt yang sesungguhya mirip box, Adik saya senyam senyum. Dia cengengesan dan bilang kalau naek angkot itu, termyata enak. Nggak jalan kaki itu enak.

Saya ketawa. Bener kata dia.
Pada jam 10 malam kami mendapat kebahagiaan.
Termasuk pas pulang, menuju kontrakannya.
Emang ada apa dengan kontrakan?.

Begini. Pagar kontrakan selalu terkunci kalau kami pulang. Pasalnya pagar itu digembok tepat jam 9 malam. Karena nggak punya kunci untuk masuk ke dalam, kontrakan kami harus lompat kayak maling celana dalam. Tapi, pas udah siap-siap melintir-melintir celana jeans, dan Adik saya sedikit ngangkat rok lebarnya supaya gak robek, saya nengok. Eh ternyata pintu pager gak di gembok. Wah senengnya bukan main. Pada jam 10 malam itu kami mendapat kebahagiaan (lagi),

“Tapi ... kebahagiaan itu apa?.”
Kami sendiri tidak tahu. Hingga akhirnya beberapa waktu kemudian, Adik saya tertawa,
“Aku tau kebahagiaan itu apa!.”
“Ya apa?.”
“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang dapat didefinisikan. Kebahagiaan itu ada di hati!?.”
Saya tunjuk dadanya. “Ada di sana?.”
Dengan mantap ia mengatakan
“Ya!.”
Acin cemburu melihsat ….
Suatu saat, mungkin saya akan bertemu dan berkenADIL SEMENJAK DI KEPALA

Malam yang rintik. Dia disampingku. Namanya Ragoe. Sebuah sepeda motor yang pekak, melewati kami. Knalpotnya mencungkili telinga membuat hati kami keruh. Aku katakan pada sahabat di sampingku itu.
“Orang itu aneh-aneh aja. Udah tau idup manusia banyak dosa, dia malah nambah buat dosa”.
“Dosa apa?”.
“Knalpot racing seperti itu mengotori hati orang. Membuat hati keruh dan gendang telinga rusak”.
Ia tidak memberikan tanggapan tapi saya tahu dia berfikir.
Tak berapa lama, setelah melewati jembatan sebuah razia terjadi. Beberapa orang polisi menyetop pengendara motor. Saya kembali berkomentar.
“Malam-malam gini cari duit”.
“Nyari Nurdin M Top kali”.
Aku tertawa. “Polisi kayak gitu lagi cari duit tau. Mereka lagi ngobyek. Berharap ada orang yang tidak bawa SIM”.
“Lalu mereka berharap orang yang tidak bawa SIM itu nyogok?. Dan mereka dapet uang haram untuk sekedar beli rokok atau makan di warung pinggiran?”.
“Begitulah polisi Indonesia. Itu pasti!”.
Tiba-tiba Ragoe membalikkan kata-kata saya. “Kamu itu aneh-aneh aja. Udah tau idup manusia banyak dosa kamu malah nambah-nambahi dosa aja”.
Sialan. Saya berusaha mencari waktu untuk bisa berfikir dengan bertanya padanya.
“Dosa apa?”.
“Dosa berburuk sangka”.
“Saya masih coba mengelak”.
“Berburuk sangka gimana?.”
“Itu memang tugas mereka bukan?. Siapa tau mereka memang ikhlas melakukannya”
Ah, saya salah lagi.
“Ya, ya, ya. Saya memang salah”.
Ragoe tersenyum gemilang.

Esoknya, dia datang lagi. Memberi secangkir kopi susu, tanpa gula serta setangkup roti berisi abon diolesi mentega. Saya berniat balas dendam karena kegemilangannya membalikan kata-kata yang saya keluarkan tadi malam.

“Saya pernah dengar, beberapa hari lalu ada orang yang bilang kalau Gramedia itu Kapitalis, karena menjual buku dengan sampul plastik sehingga tak ada orang yang bisa membacanya”.
Ragoe mengakui itu perkataannya. Saya katakan.
“Bagaimana itu bisa disebut kapitalis?. Bukankah sah-sah saja menjual buku dengan sampul plastik”.
“itu salahnya. Itu kapitalisnya. Orang kapitalis kepentingannya hanya jualan saja”.
“Lho apa salahnya jualan saja. Asal jualan itu dengan aturan, kan tidak masalah. Apakah dalam sistem keyakinan kita hal itu bisa dikatakan salah. Menjual buku dengan sampul plastik tanpa bisa dibuka adalah salah?”.

Tanpa perlu mengutip hadis ini dan ayat tertentu, tampaknya Ragoe gamang juga dengan perkataannya yang kemaren. Saya melanjutkannya.

“Berjualan itu tidak masalah. Berjualan itu tidak menjadi soal caranya. Asal dalam sistem keyakinan kita cara itu diperbolekan. Kita tidak serta merta, bisa mengatakan bahwa apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita itu Kapitalis. Kapitalis itu jelas. Suatu tindakan mengumpulkan uang tanpa memperdulikan aturan yang kita yakini. Tanpa memperdulikan kemanusiaan yang manusia yakini universal. Sekelompok orang menjual sumber daya alam sebuah negeri untuk membesarkan perusahannya padahal seperti yang kita yakini sumber daya alam itu milik rakyat bukan milik perusahaan. Tindakan sepert ini yang bisa dikatakan tindakan Kapitalis”.

Saya tak tahu dia menerima pendapat saya atau tidak tapi yang pasti cara penerimaan saya akan pendapat orang berbeda dengan cara penerimaan dia terhadap pedapat orang. Kalau saya merasa salah maka di tempat itu pula saya akan mengatakan bahwa saya salah, kalau Ragoe salah, biasanya dia cuma diam tapi lain waktu saat menemui permasalahan yang sama dia akan menjawab dengan jawaban baru yang disampaikan oleh orang yang ia anggap telah meluruskan argumentasinya.

Tiap manusia berbeda bukan? Kita tidak bisa mengharapkan ada orang yang mengakui kesalahan saat itu juga karena ini masalah karakter. Sama halnya ketika saya berdiskusi dengan seseorang berambut dread lock. Gimbal De La Rocha itu mengatakan bahwa masyarakat terbagi ke dalam dua golongan. Satu kaum kaya, lainnya kaum miskin. Kaum kaya sudah lama menindas kaum miskin oleh sebab itu kita harus membela kaum miskin.

Saya tidak sepenuhnya sepakat tentang hal ini. Dalam pandangan saya, suatu kaum itu benar manakala mereka benar, dan satu kaum itu salah manakala mereka salah. Setiap kaum memiliki potensi untuk menjadi salah dan menjadi benar.

Realitanya memang demikian kok. Sudah berpuluh kali saya ditindas oleh kaum yang biasa disebut miskin. Beberapa kali saya ditipu oleh mereka saat saya mengupahinya untuk sekedar membeli pot bunga, air mineral, makan nasi kucing dan lain sebagainya. Atau pas saya hendak berangkat dari kosan di Kanayakan menuju ITB. Waktu itu saya marah-marah karena supir angkutan kota menaikan tarif seenaknya.

Teman saya yang kebetulan waktu itu ikut pergi, sinis karena sikap dingin saya pada supir angkutan kota itu.
“Alah tibang dua ratus doang. Niatin aja nyumbang!”.
Mendengar itu saya diam. Saya berniat untuk memberitahukannya setelah emosinya reda melihat kengototan saya.

Hingga saat ini saya tidak pernah merasa apa yang saya lakukan saat turun dari angkutan kota adalah kesalahan. Biar saya diteror bingkisan upil sekantung kresek, demi Allah saya nggak akan mengakuinya sebagai kesalahan. Uang sekecil apapun, duaratus rupiah sekalipun adalah hak saya. Jika hak seseorang telah dilanggar apa yang harus dilakukan?.

Saya memang harus menuntut, memperingatkan orang yang sudah merampas hak saya. Apa saya salah? Mengapa tidak niatkan saja sedekah seperti yang dikatakan teman saya. Supaya tidak disebut pelit?

Enak aja! Seumur-umur ibu bapak tidak pernah mengajarkan saya pelit. Kalau saya pelit, saya durhaka sama kebenaran yang sudah berpuluh tahun mereka contohkan ke saya.
Coba difikir, apakah sedekah namanya kalau hak kita dirampas kemudian kita merelakannya?. Itu bukan sedekah. Itu namanya melazimkan penindasan. Itu namanya nggak berniat, melakukan upaya meluruskan, mengingatkan kesalahan.

Kalau sedekah bukan begitu caranya. Sedekah itu memberi orang dengan niat ikhlas, bukan membiarkan orang merampas hak kita kemudian mengatakannya sebagai sedekah.
Teman saya itu tak sadar. Di dunia ini yang harus dibela bukanlah kaum miskin atau kaya. Yang harus dibela adalah kebenaran. Kebenaran dari kaum manapun juga. Entah kaya ataupun miskin.

Islam mengajarkan keadilan dan sikap fair. Saya meyakini itu. Saya meyakini bahwa setiap manusia akan selalu melakukan dosa kecuali Muhammad. Saya meyakini bahwa manusia seharusnya menyepakati keadilan dan sikap fair karena manusia sudah seharusnya begitu meski dalam praktiknya kita terkadang keluar dr konsep yang kita yakini.

Manusia akan selalu melakukan kesalahan. Bangun dan jatuh untuk meluruskan tindakannya sendiri atau tindakan orang lain. Manusia akan merasa melakukan kesalahan. Merasa salah seperti sejenak saat saya tidak adil terhadap polisi yang melakukan razia.

Ya, keadilan sudah seharusnya ada semenjak dalam kepala. Demikian Pramoedya Ananta Toer mengatakannya. Dan saya akan mengingat baik-baik perkataan itu sampai saya mati. Sebab saya berusaha fair, bahwa orang yang berada di luar jalur fikiran dengan sayapun memiliki kebaikan dan kebaikan itu selaras dengan apa yang dikatakan keyakinan fundamental saya.
Maukah kita bersikap adil atau setidaknya mengatakan mana yang adil dan mana yang tidak meski kita melakukan kesalahan. Maukah kita bersikap fair terhadap orang diluar keyakinan kita?. Maukah kita kembali pada ajaran suci yang telah mengajarkan itu pada umat manusia, berabad lamanya?. [tebsiturasanyakayakbir]

2 komentar:

  1. kawan says:

    masih segar dalam ingatan saya, sewaktu maen ke sebuah kota besar yang masih banyak dijumpai pohon2 besar di jalanan. saat kawan saya mengajak mampir ke sebuah tempat makan asri di suatu malam rintik.

    kawan saya mengajakku kesana, saya yakin karena dia ingin memulikan tamunya.
    saat dia bertanya pengin nyobain yang apa.. aq menjawab tidak, minum yang hangat aja..

    entah karena begitu menariknya makanan yang dipesan kawan saya itu, sehingga saya memutuskan untuk pengin nyobain juga dan memesan satu lagi sama embaknya..dan kawan saya pergi cari rokok.

    sepulangnya kawan saya dari mencari rokok dia kaget, kok jadi mesen dua! mungkin dia berpikir niat awalnya untuk memulikan tamunya mungkin masih bisa tetap terlaksana tapi dengan nominal yang berbeda, meskipun dia tidak bertanya banyak, tapi saya tau dia merasa ada sesuatu yang gak pas.

    ini bukan soal uang, ini soal keihlasan, kita tentunya lebih ihlas menyumbang 1000 perak dari pada 100.000 (mungkin hanya pendapat saya)

    kaitannya dengan tulisan ini, mungkin ini yang disebut "ini bukan shodaqoh"

    _____
    yang mungkin kawan saya itu gak tau, bahwa saya niat berangkat dari rumah menuju rumah kawan saya itu dengan beberapa perhitungan biaya transport dan biaya makan. jadi sudah saya alokasikan biayayanya, dan di warung itu malam itu memang saya berniat mentraktir kawan saya itu.

    dan memang saya senang dan sering mentraktir kawan-kawan saya, bukan karena saya banyak uang bukan, tapi karena itu ladang shodaqoh buat saya,
    yang tuntunannya utamakan kerabat dekatmu dulu. bukan pada kotak amal masjid dulu.

    di malam itu, ada dua hal yang berkecamuk di hati saya sampai saat ini,
    yaitu karena saya tidak bisa bershodaqoh, dan karena membuat kawan saya kurang ihlas dalam memuliakan tamunya.

    maaf kawan

  1. Tidak mudah untuk melakukan ini...


    Benar!

be responsible with your comment