Saya Tidak Takut Arwah Gentayangan

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Di kampong saya, teman-teman dan tetangga keranjingan menceritakan kejahatan jin wanita --yang dari punggungnya keluar nanah serta memiliki rambut gimbal yang menjadi sarang insekta. Selepas pengajian, anak kecil menjadi sering menangis karena menganggap sesosok jin wanita --yang juga diberitakan gemar menggigit rangu daun telinga itu-- bersemayam di sela-sela ranting rambutan, samping rumah kepala rukun tetangga. Al hasil, tak ada seorang anak kecil pun yang mau meliukan mata setiap melewati pohon rambutan yang berumur puluhan tahun itu.

Di lingkungan saya --mungkin, sudah pada dasarnya-- pabila anak kecil yang dahulu menjadi objek, berubah menjadi subjek yang menakut-nakuti. Menjelang SMA, --untuk menunjang perubahan dari objek menjadi subjek—saya ikut latah menggemari cerita seram yang dikumpulkan dari teman-teman yang memiliki kegemaran berpetualang; ataupun dari kejadian “mistik” keseharian.

Kegemaran mengumpulkan cerita menyeramkan, menjadikan setiap kumpul-kumpul malam menjadi acara yang menarik dan menyenangkan. Karena, dari menceritakan kejadian-kejadian irrasional, saya dapat membuat teman-teman terbang menuju alam absurditas; menset-air muka mereka yang semula ceria menjadi muram ketakutan.. Saya menikmati benar, ketika bulu kuduk mereka meremang; yang lelaki merokoknya makin cepat yang wanita menyenderkan tubuh satu sama lainnya; atau menikmati bagaimana mereka selalu melihat ke jendela ketika saya selesai bercerita.

Berangsur-angsur, kemampuan untuk membawa orang menuju alam antah-berantah, memumpunikan saya utuk bercerita dan memainkan emosi kedepannya. Itu sisi positifnya, sisi negatifnya?. saya pun jadi sensitive pada hal-hal setipe itu. Jika berjalan sendirian di malam hari saya jadi takut ada mahluk halus yang membuntuti; khawatir jika --buka pintu setelah buang air-- ada jin menjulurkan lidah; ada setan yang duduk didada, hingga membuat sulit bernafas saat bangun tidur.

Sekarang lain soal. Saya tidak takut dengan yang namanya setan ataupun jin. Penyebabnya saya hanya diberi rumus sederhana oleh teman “Kalau kamu gak mau takut dengan jin dan setan, kuncinya cuma satu: jangan sering membaca, melihat dan mendengarkan kisah-kisah yang menyeramkan”, begitu. Tips yang memang pamungkas itu berfungsi! Bukan saja terbebas dari ras was-was, saya pun masuk dalam kandidat: orang-orang yang diidolakan untuk diminta pertolongan jika beberapa teman terpaksa melewati kuburan –karena satu keperluan—; diidolakan untuk dimintai bantuan saat mereka kebelet pipis --seusai menyelesaikan cerita hantu di radio Ardan.

Di dunia ini, mengumpulkan cerita-cerita supranatural tidaklah sesulit mengumpulkan perangko Black Penny, atau porselen dari dinasti Ming. Di pulau Jawa saja kita mengenal beragam penjelmaan setan atau jin berupa pocong yang jalannya melenting-lenting; genduruwo yang bertubuh besar berambut kriwil; anak kecil berambut plontos yang dikenal dengan Tuyul. Di Sumatera Barat kita mengenal Palasik, setan yang menampakan diri dalam bentuk kepala melayang-layang Bahka, dinegara-negara Eropa atau Amerika yang terkenal ilmiah, cerita setan dan jin belum seratus prosen lenyap dari benak masyarakatnya. Setan dalam budaya mereka menampakan diri dalam wujud yang elegan dan seram: berjubah, terkadang memakai dasi, berambut klimis, gemar menghisap darah melalui nadi di leher manusia (vampire dan werewolf); atau setan yang membawa sabit pemotong gandum; juga setan kucing dan kelelawar hitam yang selalu mengganggu manusia saat Helloween tiba. Di Jepang ada arwah bunga yang disebut kodama (anak seruas bambu atau putri oyayubi: putri seruas ibu jari). Setan dan jin pun, mengikuti persepsi masyarakat pada umumnya. Dan persepsi --yang beraneka ragam ini—memperlebar perbedaan wujud setan dan jin, antar satu budaya dengan budaya lainnya

Selang satu paragraph sebelumnya, saya mengatakan sampai pada titik ekstrim. Meski demikian “gegabahnya” --tidak mempercayai perwujudan setan ataupun mahluk halus semisal jin-- bukan berarti saya tidak takut pada penampakan-penampakan yang menyeramkan. Bisa jadi,–sehabis nongkrong di masjid— kalian mendapati saya berteriak histeris sambil mengeluarkan ilmu mustika manakala sesosok menyeramkan, eksis dihadapan. Tapi jangan menyimpulkan --bahwa ilmu mustika alias ilmu musti kabur-- itu, sebagai inkonsistensi ketika saya menyatakan tidak mempercayai penampakan bentuk jin maupun setan. Bukankah merupakan fitrah jika seorang manusia terkejut dan kehilangan kontrol diri, saat dihadapkan pada kejadian seram yang pertama kali dialami?. Bukankah hampir setiap orang akan ketakutan manakala dihadapannya mucul seekor singa; ular sebesar pohon kelapa; atau seeonggok jasad lelaki tanpa kepala karena kepalanya tergilas kereta?

Pada awal –menyaksikan hal-hal itu-- mungkin saya akan terbirit birit melihat sosok seramnya, tetapi --tetap saja-- saya menolak menyimpulkan --apa yang saya lihat-- sebagai perwujudan setan atau jin. Saya akan berusaha rasional mengulik kemungkinan, bahwa yang saya lihat merupakan kesalahan penginderaan terhadap fakta.

Penginderaan terhadap fakta yang mengakibatkan kesalahan untuk menyimpulkan, acapkali dialami oleh orang-orang yang ketakutan (terlebih pada orang-orang yang sering di dongengi cerita-cerita seram oleh lingkungannya). Bagi mereka bayangan pohon kelapa yang ditimpa cahaya bulan dapat dianggap sebagai kuncir jin tomang; ranggasan ranting pohon jati diidentifikasi sebagai cakar hantu, nguik-nguik anjing yang kehilangan anaknya disangka –berasal-- dari rengekan tuyul. Sebenarnya, (mulai sok mempengaruhi deh J) penampakan yang orang anggap perwujudan setan atau jin, --senyata-nyatanya, semutlak-mutlaknya—hanya persepsi-yang --berulang kali saya bilang— merupakan bentukan lingkungan.

Apa yang muncul dalam benak masyarakat, merupakan akibat dari menderasnya informasi menyeramkan yang mengkrsital menjadi persepsi. Persepsi inilah yang mempengaruhi daya khayal seseorang, hingga membuatnya ketakutan. Akibatnya, kita mendapati orang-orang sering ditakut-takuti oleh pikirannya sendiri, sebab mereka belum pernah menemui mahluk yang ditakutkannya

Pebudidayaan sesat informasi hingga menimbulkan ketakutan kolektif merupakan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak --yang memiliki kepentingan untuk menundukan suatu masyarakat. Dalam rangka menaklukkan masyarakat yang masih mempercayai mistis, sebuah negara penjajah bisa saja mengirimkan antropolog untuk mendalami budaya mistis ketika masyarakat turun melakukan resistensi hegemoni. Negara penjajah tinggal mengerahkan sekelompok perupa serta ahli mekanik untuk membuat robot yang dianggap masyarakat sebagai sosok jin dan setan, setelah pengetahuan mengenai budaya mistis.dilengkapi oleh para antropolognya.

Dengan memanfaatkan ketakutan yang dibentuk dari persepsi budaya mengenai wujud jin dan setan, saya pun dapat menjadi kaya raya hanya dengan mengkedipan mata. Ting!. Awalnya, saya akan datangi suatu masyarakat dengan mengidentifikasi diri sebagai seorang pemburu hantu (ghost buster) yang akan memberantas hantu yang mengganggu sebuah keluarga (jika di kediaman keluarga itu tidak terdapat cerita mengenai hantu, saya akan menyebarkan isu melalui jonggos saya bahwa dirumah itu terdapat ribuan jin dan setan). Lantas, saya akan bilang bahwa tanah yang mereka dirikan rumah –dulunya-- merupakan tanah kuburan, tempat korban-korban kejahatan Nyai Blorong disemayamkan. Jika isu itu sudah dipercayai, saya akan datang berpakaian ala sunan ataupun wali, bersurban dan berjanggut ala ulama Arabia; tidak ketinggalan pula sebuah guci untuk mempraktikan kemandragunaan: memenjarakan setan, jin dan arwah gentayangan.

Show time tiba. Untuk mendramatisir kejadian, saya akan bercerita mengenai betapa berbahayanya mahluk-mahluk yang mendiami rumah itu. Ketika suasana tegang tercipta, saya akan suruh jonggos–di kerumunan massa— berakting kemasukan. Di saat genting itu, saya harus turun tangan, mengibaskan jubah; berkomat kamit, sembari meminta sesajen berupa nasi kebuli, ayam bakar, sate kambing (karena saya anemia), bunga mawar warna merah; dan rokok dji sam soe (kalau rokok putih takut dicurigai) sebagai sesajen. Sambil merapal mantra yang dibumbui sedikit ayat Quran, saya akan menunjuk-nunjuk. “Oh disana ada ular betina berkepala delapan. Astaghfirullah, di balik pohon bamboo itu ada puluhan mahluk yang sedang menggantung dirinya. Masya Allah diatas genting ada reog, dari mulutnya keluar darah dan kelabang” dan lain sebagainya. Setelah pembangunan persepsi selesai tugas saya selanjutnya adalah mengeluarkan kesaktian: memasukan mahluk menyeramkan itu kedalam guci. Lima belas menit kemudian, gucipun ditutup, dan saya pun berucap: “Alhamdulillah, rumah ini telah aman dari gangguan. Anda sekeluarga bisa hidup tenang. Supaya kita sama-sama tenang, jangan lupa uang rokoknya ya Pak” bisik saya, sambil mengkelilipkan mata.

Pembodohan diatas bisa saja terjadi, jika keluarga dan masyarakat tidak menyadari bahwa sayalah yang membentuk dan mempengaruhi persepsi, melalui informasi atau isu-isu yang sengaja disebarluaskan Pertama, mereka mempercayai isu yang saya persepsikan bahwa ada mahluk halus yang mengganggu dan berwujud menakutkan. Kedua, saya membuat mereka percaya --mengenai persepsi lanjutan-- bahwa saya, sang selaku pembasmi hantu dapat memenjarakan ribuan setan, jin dan arwah penasaran kedalam guci. Jika dua tahapan itu dijalankan maka akan terlihat peran informasi dalam membentuk persepsi sekaligus menyembuhkan ketakutan. Jika kedua hal itu dikuasai, kalian bisa kaya sekaligus memiliki kharisma.

Mengungkit wujud mahluk halus serupa jin dan setan yang dipersepsikan masyarakat merupakan usaha, mengungkit kegaiban. Definisi kegaiban menurut saya adalah sesuatu yang Allah anggap gaib bagi manusia. Jika saya mengatakan bahwa definisi kegaiban adalah sesuatu yang tidak bisa manusia lihat dan sentuh, tentu --makna definisi-- menjadi sukar dipertanggung jawabkan, sebab pada zaman dahulu, manusia tidak bisa menangkap bakteri dengan mata telajang (mata berkolor bisa J). Pastinya, jika kegaiban di tidak bisa dilihat oleh manusia zaman dulu maka –manusia zaman dahulu menganggap-- bakteri adalah mahluk gaib. Sehingga, definisi kegaiban, lambat laun akan menyempit seiring dengan perkembangan teknologi1). Tentunya tidak bisa seperti itu toh?. Maka, saya pun mencukupkan diri bahwa definisi kegaiban adalah sesuatu yang Allah anggap gaib bagi manusia.

Bagaimana jika ada manusia yang mengatakan telah menemukan surga; neraka dan wujud setan serta jin, dengan bantuan teknologi mutakhir?. Seratus prosen saya tidak akan percaya --sebab Allah sudah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang gaib bagi manusia. Jika ada yang menyangkal bahwa Allah adalah pemberi informasi kegaiban --yang paling saya percaya-- maka saya tidak akan berdiskusi mengenai klaim manusia penemuan itu, karena akan menjadikan diskusi ini berputar-putar. Saya hanya akan berdiskusi mengenai landasan mengapa saya mempercayai Allah sebagai sumber informasi kegaiban, dengan mendiskusikan bukti keberadaan dirinya dan kebenaran firmannya.

Setan dan jin adalah mahluk halus ciptaan Allah. Karena sudah diciptakan berarti ada, --tentu saya meyakininya-- sebab Allah mengatakan demikian. Yang harus ditekankan kembali disini: saya hanya mempercayakan pada apa yang Allah dan Rasulnya utarakan. Perwujudan (betuk) sesuatu yang gaib hanya dapat disandarkan pada informasi yang Allah firmankan, --melalui, dalil yang penunjukannya mutawwatir, melalui dalil yang sumbernya jelas (qatiuttsubut) dan penunjukannya jelas pula (qatiutdilalah)--, bukan yang lingkungan mitoskan.

Sehingga jika ada orang yang mengatakan wujud setan dan jin seperti yang ada di televisi atau di tabloid-tabloid mistik maka akan menolaknya sebab, didalam Quran dan Hadist yang mutawwatir tidak disebutkan bentuk setan dan jin seperti itu. Saya mencukupkan diri dengan apa yang Allah katakan sehingga saya akan terbebas dari persepsi lingkungan --mengenai bentuk jin dan setan-- yang acapkali membuat terkencing-kencing dicelana ketika ketakutan.

Saya hanya mencukupkan diri dengan keimanan saya terhadap informasi yang Allah berikan --mengenai kegaiban. Sehingga, saya akan mengatakan dengan bangga, bahwa saya adalah seorang muslim rasional yang telah memerdekakan diri dari budaya kurafat yang tak memiliki dasar pembuktian.



----------------------
Footnote
1) Sekarang bakteri bukan saja bisa dilihat tapi dapart dimasukan kedalam botol platsik kecil kemudian kita minum. Gak curiga kalo motif menulis esay ini, sebenernya ekonomi?. Siapa tau anak OM ada yang jadi distributor yakult!? :)

0 komentar:

be responsible with your comment